Terinspirasi dari sebuah film, 'Sandlots Home Base' yang tayang di sebuah stasiun TV swasta.
Semoga cukup bagus untuk dibaca.
Hope you like it!
Disclaimer: I never own 'Naruto' or 'Sandlots'
Warning: AU, OOC, typo (s)
#1
Where Am I?
8
8
8
"Ayolah, Sasuke! Sebentar saja!"
Seorang pria berambut cerah menampakkan wajah kusutnya, putus asa mencoba membujuk sang aktor tampan. Rambutnya yang acak-acakan bertambah parah ketika kedua tangannya membantu dengan menjambak rambutnya sendiri.
Sasuke –si aktor –memilih untuk berpura-pura tak mendengarkan. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela kaca yang berembun karena hujan deras yang masih belum mau mereda.
"Sasuke…"
Menghela nafas dengan kasar, Sasuke akhirnya menjawab, "Tidak akan."
"Ayolah… apa masalahnya? Kau hanya lima belas menit berdiri di tempat itu." Si manajer belum putus asa, "Lewat lima belas menit, kau boleh pergi, menghilang kemana pun kau mau," tambahnya.
Sasuke mengabaikannya.
"Sasuke…" jelas suara ini mengindikasikan nada pasrah. Manajer itu hampir saja berlutut jika seandainya Sasuke tak segera menyahut kata-katanya dan menyuruh –mengusir lebih tepatnya –dirinya keluar segera dengan nada suara yang bisa dibilang sangat keras.
Ketika pintu di tutup, Sasuke kembali menatap jendela kaca dingin di sebelah timur ruangan itu. "Aku benci hujan," ujarnya, "Aku benci anak-anak."
Sementara Suigetsu –sang manajer – yang masih berdiam di belakang pintu ruangan Sasuke hanya bisa menghela nafas pasrah dan berjalan pergi. Menuju mobil untuk mengambil ponselnya, menghubungi Orochimaru-san, dan segera membatalkan jadwal yang telah disusun.
8
8
8
Minggu pagi, Sasuke bangun terlalu dini hingga merasa seluruh tubuhnya seakan membeku ketika air dingin mengucur dari shower, membasahi tubuhnya. Musim dingin di Konoha memang telah tiba semenjak seminggu lalu, tapi dia tak pernah menyangka akan separah ini dinginnya.
Mengambil handuk yang tergantung di dinding kamar mandi, Sasuke mengeringkan dirinya sendiri, dan kembali ke kamar dengan handuk melilit pinggangnya.
Kemeja biru muda dan celana panjang hitam, serta mantel tebal menjadi pilihan yang tepat untuk dia kenakan. Keluar dari rumah tanpa mobil mewah, penjaga, Sasuke menikmati dirinya yang hampir tak pernah mengenal kata privasi. Yah, sesuatu yang hanya bisa dia dapat di hari-hari seperti ini. Hari di mana ia tak terlibat kesibukan syuting, wawancara, atau hal lainnya. Hanya ada dirinya dan kesendirian.
Merapatkan mantel hitamnya, Sasuke semakin berpikir bahwa berjalan-jalan di pagi hari adalah sesuatu yang buruk. Bukan hanya soal cuaca dingin yang terus menusuk hingga ke sumsumnya, tapi juga karena semua tempat yang ia lalui tak pernah terasa berubah, membuatnya seolah terperangkap dalam suatu masa lalu yang dia benci selamanya.
Berjalan sekitar dua blok dari rumahnya di kawasan perumahan mewah Senjuu, Sasuke berhenti hanya untuk melihat lapangan kosong yang tak terawat diapit oleh bangunan tinggi yang terlihat kurang bagus dengan catnya yang mulai mengelupas.
Matanya menangkap sesosok gadis kecil bermain di sana, duduk di bawah pohon sakura yang sudah mati, bersenandung riang dengan wajah yang bersemu merah. Samar-samar ia mendengar suara gadis itu berbicara, "Suatu saat nanti, aku ingin menjadi pemain opera terkenal."
Seorang bocah yang duduk di sebelah gadis itu memejamkan matanya, menyandarkan tubuh di pohon dengan kedua tangannya terlipat, menjadi bantalan untuk kepalanya. "Terserah," sahutnya tak berminat.
"K-kalau Uchiha-san, bagaimana?"
Tak perlu mendengar lebih lanjut soal percakapan itu. Sasuke tahu apa yang dijawab si bocah yang mirip sekali dengannya belasan tahun lalu.
"Bukan urusanmu."
Kata-kata sinis itu terlontar dengan sangat lancarnya dari bibir seseorang yang dipanggil Uchiha. Sasuke bisa melihat kalau gadis kecil itu menunduk, dan kalau diperhatikan lagi, dia sedikit… bergetar?
Apakah dia terlalu kedinginan di musim dingin lima belas tahun lalu? Atau itu terjadi karena takutnya dia pada Sasuke kecil?
Sasuke terdiam sesaat. Wajahnya masih tetap seperti biasa –tenang, tapi pikirannya sedang berkecamuk hebat. Dalam hatinya, dia merasakan kesal pada dirinya versi kanak-kanak yang perlahan memudar itu, ia juga kesal pada dirinya karena telah mengingat hal ini.
Sasuke kembali melangkah. Kali ini kaki membawanya ke sebuah tempat kumuh di sudut kota. Sebuah rumah tua dengan kayu lapuk sebagai kusennya. Tak ada cat, tak ada lampu ataupun listrik. Papan besar yang biasanya berdiri di depan kini tergeletak di tanah, bercampur dengan debu dan sampah plastik serta rumput liar.
Santa Maria.
Tempat di mana seharusnya Sasuke hadir dua bulan lalu, ketika Suigetsu memintanya untuk berupaya menggalang dana, mengumpulkan para dermawan berkantong tebal untuk membantu tempat ini. Tapi Sasuke telah menolaknya dengan keras, dan akhirnya, seperti alasan umum lainnya, panti ini ditutup karena masalah dana.
Keegoisan Sasuke lah yang secara tidak langsung membuat panti ini tutup, hingga akhirnya Suigetsu, manajer yang telah mendampinginya selama bertahun-tahun dari awal karirnya sebagai aktor, memutuskan untuk pergi. Mencari pekerjaan lain yang memberikannya kesempatan untuk tak terus menatap wajah Uchiha sombong yang membuat giginya selalu bergemertak.
Sasuke melepaskan segala bebannya dalam satu helaan nafas panjang, lalu melangkah lagi.
Sebuah katedral megah yang berada di pusat kota, menjadi tujuannya. Melangkahkan kaki masuk ke dalam, ia menemui seseorang duduk di bangku paling depan, diam, tak bergerak ataupun bersuara.
Sasuke melangkah lagi.
Ia bisa melihat dengan jelas kini, ketika dia berdiri tepat di samping orang itu. Matanya langsung mempelajari gerak-gerik sasarannya.
Gadis itu, melipat tangannya sambil memejamkan mata, dengan kepala tertunduk memanjatkan permohonan yang tak terdengar di telinga Sasuke yang tajam. Sebuah senyum terlukis di wajah manisnya. Rambutnya yang kelam dan panjang membuat mengangkat tangannya, terjulur ke atas kepala gadis itu, dan berhenti. Tangannya tak pernah menjentuh bahkan ujungnya. Bukan hanya sekedar udara yang membatasi, ada hal yang jauh lebih rumit dari ini. Pandangan Sasuke turun, tepatnya ke arah genggaman tangan gadis itu, ke arah jari-jarinya, ke jari manisnya.
Inilah dinding itu.
Sebuah cincin indah tersemat, bukan hanya sebagai pajangan, tapi sebagai pengukuh. Pengukuh hubungannya dengan seseorang berambut silver, bukan berambut hitam seperti Sasuke.
Terpaksa memahami posisinya, Sasuke kembali menurunkan tangannya.
"Uchiha-san?"
Sasuke melirik objek yang sedari tadi ia amati. "Kau sudah selesai?"
Hinata mengangguk ragu, "Y-ya," bisiknya.
Mereka berdua keluar dari gereja, dan berjalan tanpa tujuan pasti.
Kecanggungan yang selalu terjadi pada mereka selama dua tahun ini, kembali terjadi pagi itu.
Suhu dingin yang memang tak pernah begitu cocok buat Hinata, membuat gadis itu bersin beberapa kali. Sasuke menyodorkan sapu tangan biru tua yang tersimpan di saku celananya.
"Terima kasih, " ujar Hinata dan langsung menyambar benda yang memang sangat ia perlukan di waktu-waktu seperti ini.
"Keluar pagi-pagi. Kau bisa sakit."
Hinata tersenyum.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan.
"Tak masalah," ujar Hinata tanpa memandang Sasuke, "Aku hanya ingin berdoa sebentar."
"Kelancaran pernikahanmu?" Sasuke memberikan tebakan yang terdengar seperti sangkaan ngotot yang keluar dari seorang jaksa di persidangan.
"Moegi."
Sasuke melirik, ingin tahu kelanjutannya. Dia ingat Moegi adalah salah satu anak penghuni panti asuhan yang telah tutup itu. Hinata ternyata memungutnya.
Mata Hinata berubah sendu meski senyum tetap tertahan di wajahnya. "Dia sakit."
"Oh, ya? Seberapa parah?" nada Sasuke terdengar menjengkelkan bagi siapapun yang mendengarnya.
Hinata mengangguk, "Ya. Lumayan parah." Langkahnya terhenti, lalu menoleh dan memandang Sasuke, "Aku sudah sampai. Terima kasih telah menemani, Uchiha-san," Hinata membungkuk, lalu berbalik arah, berniat memasuki apartemennya saat kemudian sesuatu menahannya.
Hinata berbalik, menatap Sasuke yang kala itu terlihat memandangnya tajam.
"Ikutlah denganku, Hinata."
Hinata meringis, menahan sakit di pergelangan tangannya yang di cengkram kuat oleh Sasuke. Telapak tangannya memucat. "U-Uchiha-san… sa-"
"Berhenti memanggilku seperti kau tak pernah mengenalku, Hinata!" bentakan Sasuke memutus omongan Hinata. Matanya menyiratkan kepedihan yang luar biasa. Dia tak peduli pada tatapan orang yang berlalu lalang di sana, dia hanya fokus pada wanita muda yang sebentar lagi akan menikah. "Berhenti berpura-pura tak mengenalku!" Sasuke menghempaskan tangan gadis itu, "Berhenti menjauh dariku. Berhenti menyakitiku," ucapnya lagi, lirih.
"Maaf," Hinata lagi-lagi membungkuk, sedikit isakan terdengar jelas di telinga Sasuke. Pergelangan tangannya memerah.
Rahang Sasuke saling menekan erat, kemarahan mulai mengambil alih kesadarannya. Dia kembali meraih tangan Hinata, menyeret gadis itu memasuki apartemennya.
Tak perlu berbasa-basi, Sasuke mendobrak pintu kamar Hinata, membongkar lemarinya, dan mengeluarkan beberapa helai pakaian dari sana. Koper hitam yang tersembunyi di sudut ruangan tak luput dari perhatian Sasuke.
Hinata hanya berdiam diri sambil terus melihat Sasuke yang memasuki pakaiannya ke dalam koper. Air mata masih sedikit mengalir di sana.
Tidak! Jangan lakukan ini. Jika dia pergi, maka akan ada yang terluka. Hinata tak bisa membiarkan Sasuke bertindak semaunya.
"Uchiha-san…"
Sasuke masih mengabaikannya.
"Uchiha-san."
Tak ada tanggapan.
"Uchiha-san!"
Sasuke hanya melirik sebentar, lalu kembali membereskan barang-barang Hinata untuk dimasukkan ke dalam koper.
Hinata menggigit bibirnya. Ia tak bisa terus seperti ini. Bukan hanya dirinya yang diperjuangkan di sini. Ia harus melawan.
"SASUKE!"
"Tak perlu teriak Hinata, aku mendengarmu," ujarnya sambil tersenyum, sementara tangannya mengancing koper yang sudah penuh. "Aku selalu mendengarmu saat kau memanggil namaku." Ia segera meraih tangan Hinata, "Ayo!"
Hinata bergeming.
"Hinata?"
"…"
Sasuke menekan rahangnya, berusaha menyembunyikan kemarahan yang mendidih di hatinya. "Hinata, ayo pergi."
"Tidak."
"…"
"Tidak…"
Sasuke mendengus kasar, "Apa ini keinginanmu? Atau hanya kasihan pada Hidan? Hah! Jawab aku, Hinata!"
Hinata gemetar. Ketakutan. Mulutnya yang terbuka tak mampu mengeluarkan suara apapun. Sasuke benar-benar menakutinya.
Duk!
Pukulan telak menghantam kepala Sasuke. Yang ia sadari selanjutnya hanya pandangannya yang memburam, rasa sakit, dan akhirnya terjatuh.
Pingsan.
Di belakang Uchiha bungsu itu berdiri seorang bocah perempuan dengan tongkat baseball di tangannya. Ia langsung berlari menghampiri Hinata, "Nee-chan tak apa?"
8
8
8
"Hei! Dia belum sadar juga?" tanya Naruto yang mendekati kerumunan.
"Entahlah," sahut Kiba.
"Aku harap dia cepat sadar, kalau tidak… Lee bisa dipenjara."
"Eh? Apa maksudmu, Sai? Kenapa aku yang dipenjara?"
"Jelas saja, kan? Kau tadi yang melempar bola itu dan mengenai anak ini."
"Eh, Itu kan ketidaksengajaan!" bantah Lee, "Eh? Kok kau nggak ngebela aku sih, Kiba?"
"Huh! Siapa loe siapa gua?"
"Ih! Nggak sohib gue lagi deh lo!"
"Terserah!"
"Ih! Kok pada berantem, sih!" muncul seorang berambut pink di antara mereka. "Diem, donk! Kalian nggak nyadar di sini ada orang pingsan!"
Sasuke perlahan mulai mendapatkan kembali kesadarannya. Kepalanya terasa berdenyut, tapi ia paksakan untuk membuka mata. Ia melihat banyak wajah mengelilinginya. Mendekat, dan terus mendekat dengan wajah penasaran.
"Dobe?" tunjuknya pada Naruto.
"Hn?" Naruto mengangkat alisnya.
.
.
.
"HEI! Seenaknya kau bilang aku dobe!" teriaknya marah. Hampir saja tangannya meninju Sasuke jika Sakura tak menjitak kepalanya terlebih dahulu. "Ittai, Sakura-chan…"
Sasuke segera duduk, matanya memperhatikan sekitar. Ruangan ini tak asing baginya. Dan kenapa ia dikelilingi anak-anak? Dan mirip dengan teman-temannya?
"K-kau tak apa?"
Sasuke berbalik, mendapati seorang gadis berambut indigo pendek menatapnya cemas. Sang aktor tak bisa lagi berpura-pura menutupi keterkejutannya, ketika melihat sosok itu dalam versi chibi yang sudah belasan tahun lalu tak pernah ia lihat.
"Hinata?"
Keheningan tercipta. Semua mata orang yang ada di situ memandang bergantian antara Sasuke dan Hinata.
"Kau mengenalnya?" tunjuk Naruto pada Sasuke.
Memegang kepalanya yang masih sakit, Sasuke melontarkan pertanyaan pada semua yang ada di sana, "Di mana aku?"
To be Continue
Kenapa alurnya jadi membosankan begini? Ah, ini dia kelemahan Haze kalau langsung nulis berhadapan dengan komputer. Nggak bisa fokus untuk mencari feelnya.
Ah, yasudlah… yang penting kepala nggak lagi sakit karena menahan ide yang dari tadi terus muter-muter di kepala.
Mind to Review?
