FROM THE TEXT
YoonMin, MinYoon || Oneshoot, AU! || Warning! Jimin!GS, Yoongi!Seme
Seluruh cast milik Tuhan, saya hanya punya ceritanya aja! Enjoy!
Story by: jiminized
Jimin mengerutkan keningnya heran. Ia membaca pesan singkat dari seseorang. Bukan hal yang aneh jika kau menerima pesan singkat, hanya saja jika yang mengirimu pesan singkat adalah seniormu dan ia adalah seorang yang cuek, kelewat dingin dan acuh itu merupakan hal yang tidak wajar. Belum lagi Jimin dan seniornya tersebut tidak terlalu dekat hanya saja mereka berada di satu klub yang sama. Itu saja.
Min Yoongi Sunbae-nim:
Selamat malam, Jimin.
Apa kabarmu hari ini?
Tidak sedang bertengkar dengan ayahmu kan?
Sudah makan belum?
Bagaimana planning kuliahmu?
* kiss*Park Jimin, semangat ya! Kau pasti bisa!
Jimin masih benar-benar bingung dengan hal tersebut. Oke, pembahasan topik pesan singkat dari Yoongi. Untuk masalah ia dan ayahnya bertengkar, Jimin sering beradu mulut dengan ayahnya lewat telfon bahkan ketika ia sedang berada di klub jurnalistik sekolah jadi wajar jika Yoongi mengetahui hal ini. Kemudian, Yoongi menanyakan kabar Jimin? Heol, demi rambut Seokjin Oppa yang baru saja diwarnai pirang, baru beberapa jam yang lalu Jimin dan Yoongi berpapasan di sekolah dan sekarang Yoongi menanyakan kabarnya? Mengapa seniornya tersebut menanyakan hal yang sebenarnya tidak penting tersebut? Manalagi menanyakan apakah Jimin sudah makan atau belum. Hello, Jimin adalah gadis dengan nafsu makan yang meluap-luap. Ia tidak bisa melihat makanan menganggur tanpa ada yang menjamahi. Lagi-lagi ia heran dengan pertanyaan konyol Yoongi. Belum lagi Yoongi menanyakan rencana kuliah Jimin. Tolonglah, Jimin masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Belum terpikir oleh Jimin untuk melanjutkan kuliah dimana dan masuk jurusan apa. Seharusnya yang memikirkan hal itu adalah Yoongi karena laki-laki tersebut sudah duduk di tingkat akhir. Terakhir dan yang paling membuat Jimin bingung adalah emot kiss dari Yoongi! Sekali lagi demi rambut pirang Seokjin Oppa! Mengapa sih pakai emotikon cium segala? Yoongi dan Jimin kan tidak ada hubungan apapun, hanya sekedar senior dan junior di sekolah dan mereka berada dalam satu klub.
Jimin berpikir dan mencari jawaban yang tepat untuk Yoongi. Akhirnya dengan hasil pemikiran seadanya ia membalas,
Selamat malam, Sunbae.
Kabarku baik-baik saja.
Hari ini kebetulan sekali aku tidak ada masalah apapun dengan Ayahku.
Tadi sekitar 20 menit yang lalu aku baru saja menyelesaikan makan malamku. Bagaimana dengan Sunbae sendiri?
Kuliah? Belum terpikirkan malahan. Bagaimana dengan Sunbae sendiri?
Aku selalu semangat, Sunbae.
Jimin berusaha menjawab dengan setenang dan selembut mungkin, walau sebenarnya ia sedang was-was total. Jelas, karena perubahan sikap Yoongi yang sangat luar biasa. Baru saja Jimin meletakkan ponselnya ketika ia bermaksud ke kamar mandi untuk buang air kecil, ponselnya berdering memberi notifikasi ada pesan yang masuk. Jimin mengedik pelan dan beranjak menuju kamar mandi. Sekeluarnya dari kamar mandi ia kemudian membuka ponselnya,
Min Yoongi Sunbae-nim:
Wah aku senang jika kau baik-baik saja!^^
syukurlah kalau kau tidak ada masalah dengan ayahmu. Teruskan perkembangan baik ini!^^
Aigoo, uri Jiminie memang selalu makan dengan baik. Maukah kau lain kali kutraktrir?
Aku ingin kuliah di bidang seni musik, doakan sukses ya!
Semangatku bertambah jika kau begitu semangat.
Semakin aneh jawaban dari pesan Yoongi. Jimin menggeleng heran dengan pesan singkat dari Yoongi yang mendadak dan cukup aneh ini. Jimin berusaha tidak memikirkan lagi dan akhirnya gadis tersebut meletakkan ponselnya dan menarik selimutnya sampai sebatas leher.
Mencoba melupakan tingkah laku Min Yoongi sunbaenya yang aneh.
.
.
Jimin berjalan pulang meninggalkan sekolahnya dengan langkah terseok dan kepala sedikit pening. Ia bertengkar dengan ayahnya, lagi. Kali ini masalah ayahnya yang sudah datang ke sekolah Jimin untuk menjemput tapi ternyata gadis tersebut masih ada tambahan pelajaran dan tentu Jimin sudah memberi kabar tersebut kepada ayahnya tapi ayahnya tetap tidak mau tahu dan tidak mau disalahkan. Alhasil ayahnya memaki Jimin sedemikian rupa dengan kata-kata kasar yang bisa membawa satu kebun binatang. Mental Jimin langsung hancur dan moodnya sudah tak karuan. Sempat tadi si gadis bergigi kelinci mencoleknya dan mengajaknya untuk ke kedai es krim karena ia tahu jika Jimin sedang badmood dan ada bekas airmata di pipi Jimin. Namun Jimin menolaknya, ia ingin sendirian saja.
Jimin berjalan dengan kepala tertunduk hingga ia menabrak seserang.
"Ah maaf, maaf, aku tidak sengaja. Maaf seka—" Jimin mendongak untuk melihat siapakah sosok yang ia tabrak barusan. Jimin langsung bungkam begitu melihat wajah orang yang ia tabrak.
Min Yoongi.
Dengan wajah super datar dan tatapan yang juga datar ia menatap Jimin yang berada di hadapannya. Jimin jadi ragu apakah yang mengirimi pesan dengan kata-kata manis kepadanya semalam benar adalah pria dihadapannya.
"Kau baik-baik saja?" oh, bukan kata-kata yang Jimin harapkan. Jimin kira ia akan dimaki setidaknya ditanyakan apakah ia punya mata atau tidak, ternyata bukan. Yoongi menanyakan kondisi Jimin.
"Eh? Apanya?" Jimin membulatkan matanya tanda masih bingung dengan pertanyaan sunbaenya tersebut.
"Keadaanmu. Sepertinya kau bertengkar dengan ayahmu lagi." Masih dengan wajah datarnya Yoongi menjawab Jimin.
"Bagaimana sunbae tahu?" perlahan tangan Yoongi naik dan jemari pria tersebut menyusuri pipi Jimin. Menyusuri jejak air mata yang ada di pipi gadis tersebut lebih tepatnya.
"Aku bisa melihat dari ekspresimu. Lihat juga, ada jejak air mata disini." Jimin mengangguk-angguk paham. Masih belum peka oleh sentuhan Yoongi.
"Kau juga terlihat lucu jika habis menangis seperti ini." Jimin masih mengangguk-angguk, belum peka juga.
"Kau terlihat jelek, Jim." Baru ketika dikatai jelek Jimin sadar dan langsung mempoutkan bibirnya dan melotot ke arah sunbaenya tersebut.
"Jika tidak ingin terlihat jelek jangan menangis. Senyummu lebih indah daripada tangismu." Mulai ada senyum tipis menghiasi wajah Yoongi. Tangan Yoongi juga mengusap pelan rambut hitam pekat Jimin yang diekor kuda.
"Pulanglah, Jim. Jangan malam-malam sampai rumah. Tidak baik seorang gadis keluar sendirian." Jimin yang kelewat lambat mencerna apa saja yang Yoongi lakukan sedari tadi, ia malah menjawab Yoongi,
"Aku belum ingin pulang, Sunbae. Aku malas bertemu Appa. Lagipula ini masih jam 6 sore. Orang tuaku tak akan mencariku juga. Aku ingin jalan-jalan sebentar. Kalau begitu," Jimin membungkukkan badannya sedikit dan beranjak dari hadapan Yoongi. Tinggi Jimin dan Yoongi tidak berjarak begitu jauh jadi Jimin tidak perlu mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi untuk melihat wajah Yoongi. Bukan, bukan Min Yoongi yang terlalu pendek untuk ukuran laki-laki hanya saja Park Jimin yang kelewat tinggi untuk ukuran seorang gadis.
Jimin terus berjalan mengamati toko-toko yang ia lewati, menelisik kegiatan orang-orang yang ia lihat. Pikirannya melayang-layang kemana-mana sampai hinggap di suatu tempat. Ia ingat sesuatu. Min Yoongi. Sunbaenya. Jimin baru saja sadar setelah apa yang Yoongi lakukan kepadanya. Ia terhenyak cukup terkejut atas apa yang terjadi. Mengapa Yoongi bisa sedetail itu hingga bisa mengamati bekas air mata Jimin? Jimin menelengkan kepalanya heran.
Jimin berhenti di pinggir jalan bermaksud untuk menyebrang. Namun karena asik memikirkan tingkah laku Yoongi tadi, jadi Jimin tidak fokus. Ia menyebrang ketika lampu penyebrangan masih merah. Kendaraan masih berjalan berlalu lalang karena memang seharusnya. Jimin yang melamun tidak sadar bahwa ada mobil boks dengan kecepatan cukup tinggi melaju ke arahnya. Jimin hanya mendengar suara klakson yang meraung. Ia terkejut mobil tersebut hanya berjarak kurang dari lima meter darinya. Jimin tidak tahu harus melakukan apa ia malah memejamkan matanya.
1 detik.
3 detik.
5 detik.
Jimin sudah bersiap jika tubuhnya terlempar sekian meter dan ia merasa kesakitan. Tapi ia tidak merasakan kesakitan tersebut. Yang ia rasakan sebuah tangan merengkuh tubuhnya di dalam sebuah pelukan.
"Kau gila?" jimin mendongakkan kepalanya dan mendapati Min Yoongi sudah memeluknya dengan raut wajah tidak bisa didefinisikan. Jimin juga kaget melihat orang yang sedang bergulat di pikirannya tiba-tiba sudah dihadapannya. Ia kira Yoongi akan langsung pergi dan tidak peduli setelah bertemu Jimin. Ia kira juga sekarang ia sudah tergeletak mengenaskan di jalanan dengan bersimbah darah dengan menyedihkan. Tapi ternyata tidak, sekarang Jimin sedang berada di pelukan sunbaenya.
"Kau segila itu hingga ingin mati? Kau juga ingin membuatku gila ya?" Jimin masih terdiam menatap sunbaenya. Ia baru tersadar ketika ada suara bisik-bisik disekitarnya, terdengar seperti sedang membicarakan Jimin dan Yoongi. Oke, memang pose mereka tidak baik untuk dipandang. Lengan Yoongi yang melingkar di sepanjang bahu Jimin, dada sampai paha mereka benar-benar menempel, dan jarak wajah yang kurang dari 10 cm apalagi keduanya masih menggunakan seragam sekolah. Jimin mundur menjauhkan diri dari Yoongi.
"A-ah, maaf sunbae. E-eh, terima kasih juga." Jimin membungkukkan badannya kemudian beranjak dari hadapan Yoongi. Ia berlari kecil meninggalkan Yoongi. Setelah ia pikir jaraknya dan Yoongi sudah cukup jauh, karena ia pikir Yoongi tidak akan mengejarnya, Jimin kembali berjalan dengan normal dan biasa saja. Namun, Park Jimin salah,
"Kau pikir kau bisa pergi begitu saja?" Yoongi mencengkeram lengan Jimin tanpa ampun. Jimin meringis pelan tanda ia minta untuk dilepaskan oleh laki-laki di hadapannya.
"Mengapa pergi begitu saja?" Jimin hanya terdiam di hadapan Yoongi, ia tidak bisa menjawab. Mana mungkin ia menjawab karena memikirkan sunbaenya itu.
"Park Jimin, kau tidak punya mulut?" Jimin masih diam saja, ia malah membulatkan matanya dan menekuk bibirnya.
"Park Jimin!" Jimin terkejut dan bergidik ngeri. Oke, cukup sesi tidak menjawab Yoongi.
"Ke-kenapa Sunbae seperti ini?" pertanyaan Jimin to the point dan tepat mengenai sasaran. Jawaban Yoongi nantinya juga akan membuat rasa penasaran Jimin hilang.
Tapi bukan jawaban yang keluar dari mulut Yoongi. Tangan Yoongi malah maju dan mengusak poni depan Jimin dan Yoongi terkekeh pelan.
"Kenapa apanya?" Yoongi malah berbalik tanya.
"Kenapa sunbae seperti ini kepadaku? Kita kan tidak dekat juga." Yoongi tidak menjawab. Ia melonggarkan genggamannya di lengan Jimin dan beranjak menggenggam jari-jari gemuk Jimin. Jimin juga tidak bisa protes atas apa yang Yoongi lakukan. Untuk orang yang dikategorikan tidak dekat, tindakan Yoongi sangat pantas untuk digolongkan seenaknya sendiri. Kemudian Yoongi menarik Jimin untuk berjalan di sebelahnya,
"Aku tahu rumahmu arahnya tidak kesini. Ayo, pulang. Nanti Appamu bisa marah-marah lagi." Yoongi berjalan santai di sebelah Jimin. Jimin memasang ekspresi kebingungan atas apa yang dilakukan oleh Yoongi, namun ia hanya diam saja.
Mereka berdua sampai di halte dan menunggu bus datang. Jemari keduanya masih saja bertautan, Yoongi enggan melepaskan dan Jimin segan melepaskan. Tak lama setelah menunggu bus datang dan mereka naik. Karena tempat duduk yang penuh, keduanya akhirnya berdiri. Jimin berusaha melepaskan tangan kirinya dari genggaman Yoongi namun gagal. Yoongi malah melirik tajam ke arah Jimin. Jimin akhirnya diam saja tidak berpegangan pada apapun.
Namun sudah menjadi resiko ketika supir bus mengerem mendadak, Jimin terhuyung ke arah Yoongi untung dengan cepat Yoongi menangkap Jimin di dalam pelukannya. Jimin langsung berdiri lagi, melepaskan diri dari Yoongi kemudian berpegangan. Ia berpura-pura tidak ada apapun yang terjadi. Hingga akhirnya mereka sampai di halte yang berada di dekat rumah Jimin. Keduanya turun. Jimin mengerutkan keningnya pertanda ia bingung, kenapa sunbaenya ikut turun?
"Kenapa sunbae ikut turun juga?" Jimin bertanya kepada Yoongi.
"Sebenarnya rumahku arahnya ke barat sedangkan rumahmu ke timur." Yoongi menjawab dengan nada datar dan tentu ekspresinya juga. Jimin membulatkan matanya kaget,
"Lalu kenapa sunbae mengantarku?" Yoongi tersenyum tipis,
"Hanya memastikan kau sampai rumah dengan selamat. Ya sudah kalau begitu, aku pulang dulu ya, Jim. Hati-hati." Yoongi mengusak rambut Jimin kemudian berjalan menjauhi gadis tersebut. Kening Jimin berkerut dalam, bingung akan apa yang seniornya lakukan.
.
.
Setelah malam itu, malam dimana Yoongi mengantarnya pulang, Yoongi benar-benar tidak mengontak Jimin. Lewat pesan singkat, sosial media, maupun langsung. Walaupun Jimin berada dalam satu klub jurnalistik bersama Yoongi, tapi tidak ada tindakan berarti. Malah Yoongi sama sekali tidak mengajak Jimin bicara, sepatah katapun. Yoongi tetap menjadi Min Yoongi, ketua klub jurnalistik yang cuek dan dingin, tidak peduli dengan keadaan sekitar. Jimin berusaha biasa saja dan tidak menghiraukan apa yang terjadi, meski terkadang ia mencuri-curi pandang ke arah seniornya tersebut.
Sampai sore ini, Jimin baru saja masuk ke dalam ruang klub jurnalistik, ia disuguhkan pemandangan yang mungkin saja tidak mengenakkan untuknya. Lee Jihoon, siswa kelas satu yang memiliki tubuh mungil dan mata sipit sedang menarik-tarik lengan Yoongi. Jimin melihat keadaan tersebut dengan kening berkerut. Aneh, sangat aneh. Manalagi Yoongi menganggapi tindakan Jihoon dengan senyum dan tawa yang Jimin tahu itu tidak dipaksakan. Jimin berjalan menuju kursi yang mengelilingi meja ruang klub yang melingkar. Ia memilih untuk duduk di sebelah Jeon Jungkook, teman satu angkatan Jimin yang mengikuti akselerasi yang juga anggota klub. Sebentar, tapi Lee Jihoon kan bukan anggota klub?
"Kok ada Jihoon?" Jimin berbisik kepada Jungkook tepat di telinganya membuat Jungkook terperanjak dan langsung melotot.
"Eonnie! Lain kali beri aku tanda dulu jika mau bicara. Mengejutkan saja, kan Eonnie tahu jika aku sedang membaca!" Bukannya menjawab pertanyaan Jimin, gadis kelinci tersebut malah mengomeli Jimin.
"Ah, maaf Jungkook-ah. Aku tidak mengamatinya. Hehe." Jimin meringis sembari menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal.
"Eonnie tadi bertanya masalah siapa? Jihoon?" Jimin mengangguk cepat mendengar pertanyaan Jungkook.
"Entahlah, sedari tadi ia merengek kepada Yoongi-sunbae. Aku sempat mencuri dengar dari wanita-wanita yang ada di ruang ini mereka membicarakan Jihoon yang keterlaluan."
"Memang Jihoon itu siapanya Yoongi-sunbae sampai berani melakukan hal itu?"
"Melakukan apa?"
Sekujur tubuh Jimin membeku mendengar suara berat yang berada di belakangnya. Apakah suaranya terlalu keras hingga seniornya itu bisa mendengarnya?
"Kutanya kau, Park Jimin. Melakukan apa?" Jimin diam saja dan menyumpahi dirinya sendiri dalam hati ketika Yoongi terus bertanya kepadanya.
"Tidak apa-apa, Sunbae-nim." Jimin menjawab sembari menunduk, tidak ada keberanian dalam dirinya untuk hanya sekedar menatap Yoongi.
"Lain kali diamlah, jika tidak tahu." Kemudian Yoongi berlalu begitu saja meninggalkan Jimin yang sedang menunduk.
"Ya! Apa suaraku sebegitu kencangnya, Kook?" Jimin langsung menenggelamkan kepalanya di lengan Jungkook dan menyesali perbuatannya yang kelewat kepo terhadap Yoongi.
"Sebenarnya tidak, Eonnie. Aku juga heran Yoongi sunbae bisa mendengar suara Eonnie. Apa Yoongi sunbae punya kekuatan supranatural hingga bisa mendengar suara sekecil apapun?" Jungkook menyipitkan matanya, memberikan kesan mistis yang konyol.
"Kau kira Yoongi sunbae itu kelelawar bisa mendengar infrasonic?!" Jungkook hanya terkikik pelan mendengar jawaban dari Jimin.
.
.
Jimin keluar dari gerbang sekolahnya ogah-ogahan. Sebenarnya ia ingin pulang hanya saja kejadian Jihoon dan Yoongi tadi mengganggu pikirannya. Ia jadi lesu entah kenapa melihatnya. Jimin dengan wajah tertekuk berjalan menyusuri trotoar menuju halte bus. Tiba-tiba ada yang mencium pipinya dari samping,
"Kenapa cemberut?" Wajah Jimin seketika berubah bersinar dan matanya langsung bersinar ketika melihat siapa yang dengan lancang menciumnya begitu saja. Ia langsung memeluk pria di hadapannya.
"Oppa! Kenapa disini? Kapan Oppa sampai di Korea? Aku sangat merindukan Oppa hingga ingin mati rasanya." Jimin memeluk pria tersebut dengan kencang saking senangnya. Akhirnya, kakak laki-lakinya kembali ke Korea Selatan setelah tiga setengah tahun meninggalkan negerinya tersebut untuk menuntut ilmu.
"Baru saja tadi pagi Oppa sampai." Jimin mengamati pria dihadapannya. Oppanya masih sama. Oppanya masih tinggi seperti dulu, walau Jimin yang bisa dibilang tinggi untuk anak gadis seumurannya, mungkin Oppanya memang terlalu tinggi untuk manusia. Senyum bersinar, sama seperti Jimin, kakaknya memiliki senyum yang benar-benar bersinar hingga gigi mereka bisa tampil semua. Mata bulat, ini berbeda dengan Jimin yang cenderung sipit. Yang pasti wajah tampan, Oppanya selalu tampak menarik kapanpun.
"Uh, aku sangat merindukan Oppa, jangan pergi-pergi lagi ya." Jimin melingkarkan tangannya di pinggang milik kakaknya. Ia menenggelamkan wajahnya di dada kakaknya dan menghirup dalam-dalam wangi parfum maskulin milik kakaknya.
"Kau mau makan, Jimin-ah?" Jimin mengangguk kencang.
"Tapi Chanyeol-Oppa ya yang traktir?" Chanyeol menganggukkan kepalanya dan terkekeh melihat tingkah laku adiknya yang masih manja kepadanya. Kemudian mereka berjalan menuju mobil Chanyeol yang terparkir.
.
.
Yoongi membisu melihat pemandangan di hadapannya. Singkatnya seorang pria dewasa mencium pipi Park Jimin-mereka mengobrol sebentar-bergandengan menuju mobil-kemudian pergi. Yoongi dalam sekejap membisu. Siapakah pria yang tangannya sedang menggenggam tangan Jimin? Yoongi hanya mengamati tanpa berbuat apapun. Sebongkah kekecewaan langsung menyebar dalam relung hati Min Yoongi. Ia tidak bisa berbuat apapun, ia bukan siapa-siapa Jimin. Belum lagi ia sadar beberapa minggu ini ia tidak mengajak bicara ataupun berinteraksi kepada gadis tersebut.
Yoongi melangkah menuju halte bus menuju rumahnya. Ia tinggal di sebuah apartemen, tidak bersama orang tuanya. Orang tuanya berada di Daegu. Kedua telinganya ia tutupi dengan earphone dan ia memutar lagu. Bus sudah datang dan ia segera naik ke dalam bus menuju apartemennya tersebut. Pikirannya masih berkecamuk disekitar kawasan bernama Park Jimin. Siapakah laki-laki yang berada di samping Jimn tersebut.
Sampai akhirnya ia sampai di halte yang berada di kawasan apartemennya. Begitu turun dari bus, ia melihat sebuah warung kecil yang menjual berbagai jajanan. Ia memutuskan untuk membeli udon dan tteokpokki dulu untuk mengisi perutnya sebelum kembali ke apartemennya. Yoongi segera menyebrangi jalan dan masuk ke dalam kedai tersebut. Ia pesan satu porsi udon beserta tteokpokki kemudian ia mencari tempat duduk paling nyaman untuknya.
Pesanan datang dan ia benar-benar serius menghabiskan makanannya tanpa menoleh kemanapun serta telinganya yang tertutupi earphone. Sampai ketika ia menghabiskan tetes terakhir kuah udonnya akhirnya ia beranjak. Tepat ketika ia berdiri, Jimin beserta pria yang sampai sekarang masih menggenggam tangannya masuk ke dalam kedai tersebut. Jimin yang langsung membungkuk hormat kepada sunbaenya tersebut.
"Oh, annyeonghaseyo, Sunbae-nim." Yoongi hanya mengangguk pelan menjawab sapaan Jimin.
"Sunbae sendirian saja?" Yoongi lagi-lagi menjawab hanya dengan anggukan. Tidak, Yoongi bukannya malas kepada Jimin. Yoongi terlalu gugup untuk berbicara dengan Jimin karena gadis itu tampak lucu. Walau Jimin sebenarnya tampil seperti biasanya. Jadi sebenarnya menurut Yoongi, Jimin selalu tampak lucu.
"Ah, ini kakakku. Namanya Park Chanyeol, Chanyeol-Oppa baru saja pulang dari Inggris dan menjemputku tadi di sekolahku. Oppa, ini Min Yoongi-sunbae. Senior di sekolahku dan dia ketua klub jurnalistik." Yoongi reflek membungkukkan badannya kepada pria yang lebih tua darinya tersebut.
"Min Yoongi?" Chanyeol mengucapkan nama Yoongi. Yoongi hanya menghadapkan wajahnya ke arah Chanyeol, memberikan ekspresi bertanya.
"Kau Min Yoongi? Jim, Min Yoongi itu yang kau ceritakan tempo hari yang mengan—" belum sempat Chanyeol menyelesaikan kalimatnya, mulut pria tersebut sudah dibekap oleh tangan Jimin. Yoongi hanya mengedikkan bahunya tidak peduli.
"Kalau begitu aku duluan ya, Jim. Saya pulang dulu ya, Hyung." Yoongi menepuk pelan pundak Jimin kemudian membungkuk 45° ke arah Chanyeol kemudian meninggalkan kedua kakak beradik tersebut.
Sepeninggalnya Yoongi, Jimin langsung mencubiti lengan kakaknya,
"Mengapa Oppa seperti ember? Mengapa bisa mengatakan hal itu kepada Yoongi-sunbae? Kan aku jadi malu?!" Chanyeol hanya terkekeh menjawab perkataan adiknya tersebut.
"Ya sudah, sekarang mau makan atau tidak?"
.
.
Genap tiga hari Jimin tidak bertemu Yoongi selepas mereka bertemu di kedai tersebut. Jimin juga tidak datang selama tiga hari ke klub karena ia harus meliput konferensi remaja se-Asia yang berlangsung di Seoul selama tiga hari juga. Baru hari ini, Jimin lowong dan ia menyempatkan diri untuk datang ke klub kesayangannya.
Ruangan klub penuh, sepertinya seluruh anggota datang. Termasuk Min Yoongi yang duduk di sudut ruangan sembari menghadap laptopnya. Jimin melangkah menuju Jungkook kemudian memeluk gadis tersebut dari belakang,
"Jungkook-ah!"
"Eonnie! Mengejutkan saja! Tapi aku merindukanmu Eonnie!" Jungkook kemudian berbalik dan memeluk Jimin.
"Aku begitu hampa tanpamu,Eonnie. Kenapa harus kau sendiri yang datang ke acara itu?" Jimin mengusak rambut Jimin,
"Aigoo, nae dongsaeng. Sebegitu merindukanku?" Jungkook mempoutkan bibirnya. Tiba-tiba terdengar teriakan dari sudut ruangan,
"Park Jimin! Beri laporanmu!" Min Yoongi yang berteriak barusan. Jimin langsung beranjak dari Jungkook kemudian memberikan tumpukan kertas kepada Yoongi untuk dikerjakan lebih lanjut.
Yoongi berpura-pura biasa saja padahal hatinya sudah tidak karuan tidak melihat Jimin selama berhari-hari. Sebenarnya hatinya juga sangat super-duper lega ketika mengetahui pria yang menggenggam tangan Yoongi adalah kakak Jimin, tapi berhubung sifat cuek sudah menjadi system default milik Yoongi jadi ia tetap saja bertingkah tidak peduli.
Yoongi mengamati punggung Jimin yang tertupi rambut panjangnya. Bahu sempit yang sangat ingin ia peluk. Tapi Yoongi hanyalah pengagum rahasia Jimin. Rasanya Park Jimin terlalu jauh untuknya dan sulit untuk ia gapai. Yoongi menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikirannya yang sudah ngelantur kemana-mana untuk kembali mengerjakan pekerjaannya.
"Kau mengamati bokongnya ya?" Tiba-tiba ada yang berbicara tepat di telinga Yoongi. Jung Hoseok.
"Tutup mulutmu atau sepatuku akan berada dalam mulutmu." Hoseok tertawa,
"Ah, kau mengincar si Park Jimin itu ya?" Yoongi tidak menjawab omongan Hoseok dan hanya kembali berhadapan dengan laptopnya.
"Jimin itu lucu, rambutnya hitam panjang tidak ada sentuhan warna lainnya. Wajahnya sangat menarik untuk dilihat terus menerus. Ya tidak?"
"Tentu saja." Kemudian Yoongi baru sadar ia masuk perangkap milik Jung Hoseok.
"Assa! Aku tahu kau Min Yoongi! Ya, sainganmu lumayan banyak lho jika ingin mendapatkan Jimin." Yoongi hanya meneleng tidak peduli dengan omongan Hoseok.
"Kau yakin tidak peduli? Aku tahu di dalam hatimu sedang berteriak-teriak 'memang siapa saja yang menginginkan Jimin'? Iya kan? Mengaku saja?"
"Memang siapa saja yang ingin mendapatkan Jimin?" Akhirnya Yoongi menjawab karena malas mendengar celotehan tidak penting Hoseok.
"Ah, kalau kusebutkan tidak seru. Sudah-sudah kau kerjakan saja itu pekerjaan jurnalistikmu. Aku akan menggoda Jimin sebentar. Bye, Yoongi." Kemudian Hoseok berlalu.
"Ah, rasanya ingin menyobek mulutnya." Batin Yoongi.
.
.
Bulletin mingguan sekolah akhirnya sudah terbit dan terpasang di papan pengumuman sekolah agar bisa dibaca oleh seluruh warga sekolah. Mata Jimin bersinar melihat headline tentang kegiatan yang diliputnya kemarin yang membuatnya melewatkan kegiatan belajar mengajar selama tiga hari. Ia tersenyum karena ia bisa membuat berita dengan baik, baginya. Ia merogoh ponselnya dan memotret rubrik tersebut, sebagai kenang-kenangan mungkin.
Saat ia berpaling dari papan pengumuman tersebut, Jimin terperanjat melihat sunbae yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Min Yoongi.
"Ah, annyeonghaseyo, Sunbae-nim." Jimin sedikit membungkukkan badannya ke arah Yoongi, yang kemudian dibalas anggukan acuh oleh Yoongi.
"Kau sudah bekerja keras, Jim." Balas Yoongi sekenanya. Setidaknya ia berusaha mengatakan bahwa ia menghargai kerja keras adik kelasnya tersebut.
"Ah, terima kasih Sunbae-nim. Lain kali aku akan bekerja lebih keras lagi." Jimin memasang senyumnya dan otomatis kedua matanya menyipit. Hal itu membuat Yoongi menggeram dalam hati karena Park Jimin benar-benar terlihat menggemaskan. Kemudian Yoongi berdeham untuk menutupi kecanggungannya,
"Kau ada waktu luang tidak sore ini? Kudengar ada kafe yang enak dan nyaman di ujung jalan. " Ajakan Yoongi sangat klasik dan tentunya sedikit kuno. Yang ditanyai hanya menoleh memberi tatapan bertanya kepada Yoongi.
"Sore ini?"
"Ya, sore ini." Kenapa Yoongi malah membeo?
"Maaf, Sunbae. Tapi sore ini aku sudah ada janji makan malam bersama keluargaku. Aku minta maaf, mungkin lain kali." Penolakan Jimin yang super halus membuat Yoongi sedikit kecewa.
"Ah, begitu." Yoongi mengangguk-anggukan kepalanya, pura-pura mengerti.
"Kuharap Sunbae maklum karena Sunbae tahu bagaimana karakter ayahku. Jika aku mendahulukan kepentingan lain selain keluarga nanti ayah pasti marah besar." Jimin menundukkan kepalanya, sejujurnya ia ingin sekali menerima ajakan sunbaenya tersebut.
"Well, aku harus mengerti. Karena ayahmu kan akan menjadi ayahku juga." Jimin mengangguk-angguk paham, sebenarnya ia belum memahami apa yang Yoongi katakan, begitu pun juga dengan Yoongi. Laki-laki itu belum sadar akan apa yang ia katakan. Baru tiga detik kemudian ia sadar apa yang ia katakan. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya tapi di luar ia tetap berusaha stay cool dan tidak terjadi apa-apa.
"Iya, ayahku juga akan menjadi ayah Sunbae juga nantinya." Sahut Jimin. Belum sadar juga rupanya. Yoongi hanya mengepalkan tangannya seerat mungkin, merutukui kebodohannya. Saat Yoongi sedang merutuki kebodohannya dalam hati, Jimin baru tersadar apa yang ia katakan.
"Eh?! Apa yang aku katakan?! Maaf Sunbae maafkan mulut lancangku ini." Jimin berujar sembari menepuk-tepuk bibirnya, merasa sangat bodoh dan ceroboh akan apa yang ia lakukan.
"Aduh, kalau begitu aku pamit dulu ya Sunbae." Kemudian Jimin membungkuk dan berlari meninggalkan Yoongi sendirian di depan papan pengumuman.
Yoongi menatap punggung Jimin yang tertutup rambut hitam panjangnya yang perlahan menjauh dari Yoongi. Kenapa Jimin malah menyalahkan dirinya sendiri? Kan yang memulai Yoongi? Ah, Jimin kelewat polos akan hal itu, Yoongi terkekeh pelan menyadari hal itu.
Tiba-tiba ada yang merangkulnya dari belakang. Jung Hoseok.
"Wow, what's up man?! Seorang Min Yoongi tertawa sendirian tidak ada angin tidak ada hujan, wow ini seperti keajaiban dunia ke? Berapa ya?" baru saja datang Hoseok sudah mengoceh tidak jelas dan tidak tentu arah.
"Tutup mulut besarmu, Jung. Diamlah jika tidak tahu." Yoongi membalas perkataan Hoseok dengan ketus.
"Oh my lord! Bisa kuduga penyebab Min Yoongi bertingkah konyol sedemikian rupa dan menjadi seseorang yang random adalah Park Jimin?! Apakah aku benar, Tuan Min?" Yoongi memutar bola matanya mendengar ocehan Hoseok. Untuk ukuran pria, Hoseok terlalu talkactive membuat lawan bicaranya malas hanya untuk sekedar membuka mulut.
"Jika memang Park Jimin bagaimana?"
"Yo, man. Park Jimin itu memang imut dan lucu, wajar jika kau suka."
"Jika bukan Park Jimin bagaimana?"
"Hey, Min Yoongi. Aku ini Jung Hoseok. Aku tahu di dinding kamarmu banyak foto Polaroid Park Jimin dengan berbagai model wajah. Dari senyum hingga cemberut kau punya semua. Jangan pernah membodohi si pintar Tuan Jung ini." Yoongi memutar bola matanya malas, ia menyesal pernah mengijinkan Jung Hoseok masuk kamarnya yang jarang dimasuki orang lain.
"Menyingkirlah." Yoongi berusaha menyingkirkan lengan Hoseok yang melingkar di bahunya. Namun Jung Hoseok tetap menempel dengannya sembari Yoongi beranjak meninggalkan papan pengumuman.
.
.
Jimin menendang-tendang udara di hadapannya. Ia bosan, acara keluarganya sore ini mendadak dibatalkan karena Chanyeol ada urusan mendadak sehingga Jimin menjadi kurang kerjaan di rumah. Ia sudah rela meninggalkan ekstra kurikulernya di sekolah. Belum lagi ia menolak ajakan sunbae kecengannya, Min Yoongi. Akhirnya Jimin memutuskan untuk beranjak dan berjalan, hendak mencari kegiatan daripada berdiam diri di halaman rumah seperti seorang gadis kesepian. Well, Jimin memang tidak punya pacar tapi dia tidak kesepian.
Kaki Jimin melangkah menuju sebuah toko buku yang cukup ramai dikunjungi sore itu. Ia juga tidak tahu ingin mencari dan membaca buku jenis apa. Tapi ia baru ingat, komik Detective Conan kemarin sudah terbit tapi ia belum sempat membeli. Segera saja ia melangkah menuju rak deretan buku komik.
Namun, saat ia sampai di rak berisi serial komik kesukaannya tersebut, ada dua seniornya terlihat sedang beradu argument yang kelihatannya cukup serius dan menegangkan,
"Kau yakin? Wajahmu tidak meyakinkan."
"Kau meremehkan kemampuan mata-mataku? Aku ini Jung Hoseok! Bahkan aku bisa tanya kepada permen karet yang kau injak kemarin siang apa komik kesukaan gadis itu!"
"Jangan bercanda, Jung Hoseok. Aku serius." Jimin memundurkan badannya ke tempat yang lebih aman dan dia bisa setidaknya menguping apa yang dibicarakan dua pria tersebut.
"Demi rambut pirang Kim Seokjin! Aku ini serius! Jangan mentang-mentang aku ini humoris lalu dianggap bercanda terus dong!" Jimin memutar otak, siapa yang hendak dibelikan komik memangnya?
"Lalu aku harus beli berapa? Aku kan tidak tahu dia punya sampai volume berapa." Suara yang lebih berat dari milik Jung Hoseok menyahut. Jimin sudah tahu siapa pemilik suara tersebut.
"Kemarin aku stalk SNSnya. Aku melihat retweet tentang komik volume 88. Dari yang kuamati akhir-akhir ini dia sibuk dan mungkin dia belum sempat ke toko buku. Kau beli volume 88 saja, Yoongi-ah." Mood Jimin semakin merosot. Yoongi sunbae hendak membelikan seseorang komik? Bisa diduga dari pembicaraan keduanya bahwa yang akan dibelikan komik adalah gadis yang disukai oleh Yoongi. Jimin melipat bibir dan menggigit kecil. Ia semakin kesal, entah kenapa.
Moodnya sudah hancur lebur. Akhirnya dengan langkah menyentak-sentak, walau sambil diamati oleh pegawai toko buku, Jimin meninggalkan toko tersebut dengan perasaan tak karuan. Ia kesal! Padahal kan, dia juga hendak membeli volume 88, tapi ia mendengar percakapan Yoongi dan Hoseok membuatnya semakin tidak mood.
Setengah berlari ia menuju rumahnya yang jaraknya memang tidak begitu jauh dari toko buku. Begitu sampai di rumah ia menghempaskan tubuhnya ke kasur dan memejamkan matanya. Ia jengkel dan lelah dengan semuanya. Tidak keluarganya dan tidak juga Yoongi sunbae. Semuanya sama-sama menghancurkan mood Jimin.
Akhirnya Jimin memilih untuk memejamkan matanya untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak.
.
.
Bukannya sejenak, Jimin malah keterusan tidur hingga pagi saat jam wekernya berdering menandakan sudah waktunya untuk berkegiatan kembali. Akhirnya dengan malas-malasan ia berjalan menuju kamar mandi dan bersiap menuju sekolah.
Setelah siap ia menuruni anak tangga dan mendapati Ayah, Ibu, dan kakak laki-lakinya sudah duduk di meja makan. Ayahnya membaca koran pagi, Ibunya mondar-mandir menyiapkan sarapan, dan kakaknya dengan khidmat menikmati sarapannya. Begitu sampai di menja Jimin mendapatkan sapaan hangat dari kakaknya yang akhirnya tidak ia jawab. Ia masih kesal dengan Chanyeol karena pria tersebut seenak pantatnya sendiri membatalkan janji. Jika saja itu Jimin, mungkin satu kebun binatang bisa keluar dari mulut ayah Jimin.
Jimin menghabiskan makanan itu cepat, kemudian berpamitan dengan kedua orang tuanya juga Chanyeol. Jimin hanya mencium pipi kanan Chanyeol kemudian pergi, tidak ada kata-kata apapun.
Rute perjalanan Jimin masih sama seperti biasa, halte-naik bus-sekolah. Tidak memakan waktu lama untuk menunggu bus dan naik ke dalamnya. Seperti biasa keadaan dalam bus ramai, namun tidak juga berdesakkan. Jimin berdiri hingga bus sampai di halte dekat sekolahnya. Jimin turun dan langsung berjalan menuju sekolahnya. Masuk sekolah ia langsung menuju loker untuk mengambil buku yang ia perlukan selama pelajaran nanti.
Namun ada yang membuat Jimin mengerutkan kening.
Detective Conan Volume 88 tergeletak dengan manis di dalam loker Jimin disertai korsase bunga mawar diatasnya. Siapa yang memberikan komik ini? Jimin menoleh ke kanan-kirinya. Tidak ada yang mencurigakan. Ia meraih komik tersebut dan membolak-balikkannya. Tidak ada tanda dari pengirim komik tersebut, hanya ada korsase. Jimin memutar otaknya, ia memang belum memiliki komik volume ini dan kemarin tidak jadi membeli karena ia mendengar percakapan Yoongi dan Hoseok tentang masalah Yoongi akan membelikan komik untuk seorang gadis yang kedengarannya spesial untuk Yoongi.
Sebentar, komik? Detective Conan? Volume 88? Min Yoongi?
Perlahan Jimin menyatukan satu per satu puzzle di dalam kepalanya. Apa benar Yoongi yang memberikan komik ini untuk Jimin? Jimin juga ingat tentang perkataan Hoseok men-stalk SNS orang yang akan dibelikan komik itu bahwa seseorang tersebut me-retweet berita tentang komik volume 88 tersebut sudah terbit. Dan Jimin me-retweet berita tentang komik volume 88 tersebut melalui akun SNSnya.
Apa yang dimaksudkan kedua sunbaenya tersebut adalah dirinya?
Jimin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ah, rasanya tidak mungkin. Yoongi pasti suka gadis yang cantik dan terkenal. Tidak seperti Jimin. Ya walaupun Jimin tidak akan menolak jika Yoongi menyukainya tapi hal itu baginya impossible.
Ia putuskan akhirnya untuk menutup kembali lokernya kemudian beranjak menuju ruang kelasnya dan mengubur dalam-dalam untuk sementara masalah misteri pemberi komik tersebut sampai pulang sekolah sampai ia bertemu Jungkook.
Ketika ia sudah di klub bersama Jungkook, ia langsung heboh menceritakan semua kronologi kejadian dari kemarin sore hingga tadi pagi. Dari ia melihat Yoongi dan Hoseok di toko buku sampai ada komik di lokernya. Tak luput juga ia ceritakan masalah kata-kata Yoongi yang berkata masalah ayah Jimin akan menjadi ayah Yoongi juga.
"Omo! Eonnie kenapa begitu bodoh sih?!" Jungkook malah merutuki pemikiran Jimin yang kelewat tidak peka.
"Hei bocah, kenapa malah mengatai aku bodoh? Aku ini sedang bercerita malah kau katai bodoh. By the way, aku ini lebih tua darimu. Beraninya mengatakan aku bodoh." Jawab Jimin sembari menoyor kepala Jungkook.
"Eonnie punya hati tidak sih?" Jungkook semakin gemas oleh Jimin.
"Hati? Maksudmu?" Jimin mengernyitkan keningnya tanda tak paham.
"Yoongi Sunbae sangat jelas menyukaimu!" Jungkook gemas sekali akan ketidakpekaan Jimin.
"Ehey, jangan membual Jeon Jungkook." Jimin sembari menepuk-tepuk pundak Jungkook. Mengalihkan pikirannya agar tidak terbawa perasaan.
"Eonnie saja yang tidak memekakan diri! Sudah jelas dengan berbagai macam kode Yoongi Sunbae tapi Eonnie bersikeras bahwa Yoongi Sunbae tidak menyukai Eonnie!" Jungkook mencebik kesal tapi terlihat lucu. Mungkin setiap laki-laki yang barusan melihat Jungkook akan gemas dan naksir gadis itu saking lucunya.
"Benarkah begitu?" Akhirnya Jimin menjulurkan kepalanya mengarah ke Jungkook. Benarkah Yoongi benar-benar suka padanya? Jika tidak?
"Yakinkan hatimu, Eonnie! Cepat atau lambat Yoongi Sunbae pasti akan menyatakan perasaannya!" kemudian Jimin hanya mengedip-kedipkan matanya. Masih belum yakin akan apa yang dikatakan Jungkook.
.
.
Aroma petrichor menyambut indra penciuman Jimin begitu ia sampai di tangga halaman depan sekolah. Hujan turun tanpa malu-malu membuat Jimin memilih untuk berteduh terlebih dahulu. Hari yang sudah beranjak gelap membuat sekolah sudah tidak terlalu ramai. Halaman depan kosong karena hujan dan lingkungan sekitar juga tidak terlalu bising. Mungkin hanya tinggal beberapa anak kelas satu dan dua. Semua siswa kelas 3 sedang mengikuti tambahan pelajaran.
Jimin merogoh saku roknya dan mengambil ponselnya. Ada pesan dari ibunya untuk jangan pulang terlebih dahulu, ayahnya sedang badmood dan lebih baik pulang setelah ibunya menghubungi lagi. Heran, seperti wanita sedang pms saja Ayah. Akhirnya Jimin membalikkan badannya dan kembali menuju ruang klub jurnalistik yang kini sudah kosong. Jarum jam sudah menunjuk ke angka 6 menandakan memang seharusnya ruangan klub sudah kosong, kegiatan klub hanya sampai pukul 5. Jika masih ada pekerjaan, dikerjakan di luar sekolah.
Namun berhubung hari ini hujan deras dan kunci ruangan ini ia bawa, ia memutuskan untuk disini dulu sampai hujan reda. Jimin menaruh pantatnya di salah satu kursi. Kursi-kursi disusun sedemikian rupa hingga kakinya bisa selonjor dan punggungnya ia sandarkan di sandaran kursi. Jimin menyumpal telinganya dengan earphone dan memilih lagu untuk di putar kemudian ia memejamkan matanya. Mencoba untuk beristirahat.
Jimin tidak tertidur, tapi tidak juga terjaga. Telinganya yang tertutup earphone membuatnya tidak bisa mendengar suara selain lagu yang ia putar. Ia tidak sadar, sunbae yang sedang memporak-porandakan hatinya sedang berdiri di pintu ruang klub meneliti apa yang gadis tersebut lakukan. Yoongi menelengkan kepalanya meneliti detail wajah Park Jimin.
Yoongi yang kelas sorenya sudah selesai kemudian duduk di kursi di samping kursi Jimin. Ia duduk dengan masih mengamati wajah Jimin. Kulit putih, pipi tembam, bibir penuh, mata lebar yang seketika bisa menyipit jika tertawa yang kini sedang terpejam milik Park Jimin membuat Min Yoongi benar-benar terpesona. Yoongi hanya terdiam menelusuri detail wajah Jimin.
Jimin yang merasa ada sesuatu yang aneh di sekitarnya mencoba untuk mengintip dari celah netranya. Ia membuka mata sedikit, tidak akan ada yang tahu jika Jimin membuka mata. Ia bisa melihat Yoongi sunbaenya duduk disampingnya hanya diam sambil melihat ke arah Jimin. Entah kenapa jantung Jimin berdegup cepat ketika merasakan hal itu.
Agar tidak terlihat aneh jika tiba-tiba membuka mata, Jimin menggerakkan sedikit badannya dan membuka matanya perlahan. Ia tidak ingin dicurigai Yoongi jika ia sudah mengintip atau apalah itu.
"Kau bangun?" suara baritone Yoongi menyambut pendengaran Jimin begitu Jimin membuka mata. Jimin hanya mengangguk-angguk tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Kenapa belum pulang?" Kembali Yoongi bertanya kepada Jimin. Jimin menoleh ke arah jendela tanpa berkata apa-apa. Yoongi ikut menoleh ke jendela dan akhirnya mengerti apa maksud Jimin. Masih hujan di luar sana.
"Jimin-ah." dalam hening Yoongi memanggil nama Jimin. Sekujur tubuh Jimin membeku mendengar panggilan dari sunbaenya tersebut.
"Ya, sunbae?" Jimin berusaha biasa saja menghadapi senior crushnya tersebut walaupun jantungnya sedang senam aerobic di dalam dadanya.
"Apakah kita tidak bisa melewati batas sunbae dan hoobae?" Jimin tahu, paham, dan sadar kemana arah pembicaraan Yoongi, apalagi dibarengi dengan mengingat perkataan Jungkook tadi. Namun berkali-kali seorang Park Jimin masih ragu kepada sunbaenya tersebut.
"Lalu setelah melewati batas, akan menjadi apa nantinya?" Jimin kembali bertanya kepada Yoongi. Yoongi menghirup nafasnya panjang,
"Min Yoongi ini akan menjadi namchinmu, Park Jimin akan menjadi yeochinku. Nantinya tidak akan ada kesungkanan batas antara senior dan junior, panggilan yang tadinya sunbae akan digantikan menjadi Oppa, aku akan dengan bebas memanggilmu jagi. Semua akan berubah karena aku akan menjadi milikmu dan tentunya kau akan menjadi milikku." Min Yoongi mengungkapkan perasaannya kepada gadis di hadapannya. Tentu tanpa kata 'aku menyukaimu'. Khas Min Yoongi.
"Sunbae."
"Hm?" Jimin mendongakkan wajahnya.
"Berkali-kali aku ragu. Bukan dengan perasaanku. Tapi kepadamu. Aku takut kau tidak benar-benar menyukaimu, aku takut ini hanyalah sementara. Aku tahu banyak gadis di luar sana yang lebih cantik dan baik dariku, tentunya menginginkanmu. Aku hanyalah gadis biasa yang diam-diam menyukaimu, sunbae. Gadis yang bahkan tak pernah berusaha mendapatkan atensimu. Berbagai dilemma hati ini datang ketika kau berusaha mendekatiku. Aku takut, sunbae. Aku takut akan perasaanku sendiri." Jimin kemudian menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah tomat. Ia merasa malu sekaligus bodoh begitu menyadari apa yang dikatakannya.
"Jimin-ah." Jimin mendongakkan wajahnya. Begitu matanya bertemu dengan Yoongi, pria dihadapannya langsung maju dan mencium Jimin. Jimin membelalak kaget, tak percaya dengan apa yang terjadi. Yoongi memejamkan matanya, mencoba mencari atensi Jimin diantara ciuman mereka. Yoongi mulai menggerakkan bibirnya, membuat Jimin kemudian menutup matanya. Yoongi menggapai pinggang Jimin dan mendekatkan tubuh gadis itu kepadanya, Jimin reflek menggapain pundak Yoongi dan meremasnya. Yoongi mulai melumat bibir Jimin, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Jimin hanya ikut dalam permainan Yoongi. Merasa gadis yang berada di hadapannya mulai kehabisan nafas, Yoongi melepas ciumannya dan sedikit menjauh,
"Jadi mulai sekarang tidak ada sunbae lagi di belakang namaku. Panggil aku Oppa, Yoongi Oppa." Yoongi tersenyum tipis masih memeluk pinggang Jimin posesif.
"Baiklah, Oppa. Yoongi Oppa."
"Kau terlalu lucu, Jim." Kembali, Yoongi mencium Jimin dan lebih merapatkan tubuhnya ke arah Jimin.
a.n
Aloha! Aku author baru disini, walau diluar sana sudah jadi author tapi dengan pen-name yang berbeda dan dengan tema cerita yang berbeda juga! Maaf kalau typo bertebaran di cerita author juga manusia ya, hehehe. Mungkin kalau responnya positif bakal aku bikin sequel untuk menjelaskan semuanya/? Mind to RnR?
Asking me or contact me on twitter on jiminawzm!
Thank you for reading!
