Antonim Benci

Oleh: Jogag Busang

Disclaimer: Another by Yukito Ayatsuji

Penulis tidak mengambil keuntungan materil dari fanfiksi ini

.

.

"Apa arti cinta yang sesungguhnya?"

.

.

Sebenarnya aku tidak tahu darimana asal mula perasaan ini. Sebelum buah mangga jatuh di atas tanah karena dorongan gaya gravitasi, buah itu pasti tadinya memiliki tangkai yang bergelanyut pada batang pohon. Begitu juga dengan sebuah rasa yang tiba-tiba hadir dalam diriku. Yang pasti ini bukan seperti rasa asin garam, bukan pula rasa manis gula. Tidak. Aku tidak sedang membicarakan rasa yang bisa dirasa dengan lidah. Ini adalah suatu rasa yang lain.

Ah, aku jadi malu membicarakan perkara yang sedemikian eksplisitnya. Bagiku sendiri. Aku tidak sedang membicarakan pendapat orang umum. Tidak, cukup tentang aku saja. Aku sendiri tidak suka mengungkap pendapat orang lain tanpa ijin. Dan aku ingin menekankan sejak awal, aku masihlah orang yang waras.

Kembali kepada masalah pokok. Sederhana saja sumbernya.

Dua hari yang lalu, aku pergi ke toko peralatan sekolah. Seperti biasa, aku sedang ingin membeli alat tulis. Aku baru saja diterima di sebuah sekolah SMA swasta. Ngomong-ngomong ibuku yang merekomendasikannya. Beberapa minggu ini, hubunganku dengan ibuku lumayan lebih baik. Semua ini tidak lepas dari kunjungan yang sering dilakukan oleh beberapa temanku, sehingga membuaka jembatan komunikasi antara orang tua dan anak—dalam keluargaku. Dan yang terbaik (atau malah terburuk?), aku tidak menyangka jika akan bertemu dengan Kouichi toko tersebut. Iya, Kouichi, Sakakibara Kouichi, teman dekatku sejak SMP dulu itu. Dia ternyata juga bersekolah di SMA yang sama denganku.

Entah mengapa, mendadak aku merasa gugup berdiri di sampingnya, yang juga sedang memilih buku dan alat tulis. Ini pertama kali aku merasa tak berdaya. Berulang kali aku menyelipkan rambut ke telinga agar dapat menekan rasa gerah yang bersemayam. Rasanya cukup mengerikan ternyata.

Bodohnya, secara tak sengaja, aku menjatuhkan satu kotak pensil, membuat isinya tercecer di lantai. Kouichi buru-buru membantuku memunguti pensil-pensil tersebut.

"Cepatlah, Misaki, sebelum penjaga toko melihat."

Aku geragapan. Kusambar cepat-cepat tiga atau lima?—pensil di dekat kaki Kouichi. Saat aku memasukkan pensil tersebut ke wadahnya, jemariku berbenturan dengan tangan Kouichi. Aku segera menarik tanganku. Kuyakin sekali, wajahku merah padam.

Apa yang sedang terjadi padaku?

Aku berusaha mengingat. Tidak biasanya aku bertingkah ganjil seperti ini. Aku ini bukan anak yang mudah terbawa suasana. Selalu tenang dan memasang wajah datar adalah keahlianku. Tapi mengapa sekarang jadi begini?

Kouichi memandangku dengan ekspresi bertanya. Aku cepat-cepat berdiri dan meletakkan kotak pensil kembali pada tempatnya.

"Boleh pulang bersama?" tanya Kouichi.

Menentramkan diri, aku membalasnya dengan mengangguk, sembari menambahkan, "Sesudah membayar di kasir."

Apakah ini yang dinamakan dewasa?

Aku tidak tahu. Aku benar-benar tidak tahu. Setengah jam kemudian, aku dan Kouichi sudah berada di luar toko. Berjalan bersama, membicarakan masa-masa SMP yang baru saja terlewat, sambil sesekali berhaha-hihi. Walau begitu, ada bagian dalam tubuhku yang masih tegang, seolah kejadian di toko tadi membakar habis napasku. Kuraba dadaku. Hangat. Berjalan bersama Kouichi begini saja sudah sedemikian membuat amburadul hatiku, apalagi dengan kegiatan-kegiatan lainnya—sebentar, hei, kegaiatan lainnya apa? Memangnya aku hendak mengharap akan melakukan apa bersama Kouichi?

Dan semua itu membuatku bertanya-tanya; apakah ini yang dinamakan cinta?

###

Butuh waktu sekitar lima hari untuk mengendalikan segenap perasaanku, supaya kembali seperti semula; agar aku tidak salah tingkah saat di depan Kouichi, agar aku bisa menampilkan diri sebagai sosok yang serba tenang.

Tidak mudah tentu. Aku malah semakin penasaran dengan perasaanku sendiri.

Saat bel istirahat berdentang, murid-murid berhamburan, begitu pula denganku. Hanya saja aku tidak berlari memburu makanan di kantin. Aku lebih memilih menyendiri di perpustakaan, sebuah kebiasaan dari SMP yang sampai sekarang sulit kuubah.

"Ada apa, Misaki?"

Aku mendongak melihat siapa yang datang. Ternyata Kouichi. "Tidak ada apa-apa."

"Entah mengapa belakangan ini kau terlihat aneh."

"Bukankah dari dulu aku memang aneh?"

"Bukan begitu. Hanya saja kau lebih… lebih pendiam dari sebelumnya. Apa yang terjadi? Kau bisa menceritakannya kepadaku. Atau mendiskusikannya?" Kouichi mengakhiri kata-katanya dengan senyuman kecil. Dia lalu mengambil tempat duduk di sebelahku.

"Mungkin kali ini pertanyaanku akan sangat aneh—bukan, sangat absurd malahan."

"Tentang apa?" tanya Kouichi sambil membuka buku sembarang yang dapat dijangkaunya dari lemari di samping meja.

"Sakakibara-kun pasti akan menertawakannya."

"Aku tidak akan tertawa."

"Kalau begitu, Sakakibara-kun tahu apa arti cinta?"

"Apa? Kau bertanya kepadaku apa arti cinta?"

"Begitulah."

"Apa, ya? Cinta adalah… entahlah, Misaki," Kouichi mengangkat bahunya, "aku juga tidak tahu apa arti cinta."

"Aku sudah memikirkan hal ini sejak lama. Semakin berkembang manusia, maka suatu saat manusia pasti akan memiliki perasaan ini. Sisi emosial manusia akan tumbuh."

"Kalau kau meminta penjelasan rumit yang melibatkan nama-nama hormon di dalam tubuh untuk menerangkan arti cinta, sudah jelas aku tidak bisa. Tapi, kalau kau meminta penjelasan sederhana dan mudah, aku tentu saja bisa."

"Lalu, menurut penjelasan sederhana Sakakibara-kun, apa arti cinta?"

"Apa arti cinta? Sebenarnya, tak usah sulit menjelaskan. Jika kau pernah merasakan benci, kau pasti tahu apa itu cinta. Cinta hanyalah perasaan yang merupakan lawan dari benci. Singkatnya, cinta adalah antonim dari benci. Mudah, kan?"

Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna penurutan dari Kouichi.

"Hmm, sepertinya, penjelasanmu memang mudah, Sakakibara-kun. Tapi, ada satu masalah yang muncul."

"Masalah apa?"

"Masalahnya, jika menganut pengertian dari Sakakibara-kun tadi, aku belum pernah merasakan benci. Jadi, aku juga belum bisa merasakan cinta. Bukankah begitu?"

Sakakibara Kouichi hanya bisa ternganga mendengar perkataanku. Dia tidak tahu harus menjelaskan pengertian cinta kepadaku dengan cara apa lagi.

Ah, sudahlah. Itu juga bukan hal yang teramat penting.

.

GAME OVER