Naruto © Masashi Kishimoto
Tidak satupun orang di dunia yang ingin hidup sebagai yatim piatu. Tidak ada yang menyambutmu saat membuka pintu, membangunkanmu di pagi hari, berteriak karena kau memecahkan salah satu vas kesayangannya, memberikan nasihat bijak saat kau terkena masalah, atau yang diam-diam mencium keningmu saat kau tertidur.
Aku bahkan sudah lupa seperti apa rasanya berbagi tempat tinggal dengan orang lain. Hidup dengan bantuan keluarga jauh tidak begitu menyenangkan. Nenek Tsunade dan suaminya memang tidak protes sekalipun dia bukan ibu kandung dari orang tuaku. Tapi malu dan perasaan membebani selalu menghantuiku. Beruntunglah aku sudah cukup dewasa untuk menghidupi diri sendiri.
Namaku, Naruto Uzumaki. Atau setidaknya begitulah orang-orang memanggilku.
Seumur hidup tidak mengetahui siapa yang melahirkanku dan dibesarkan oleh sepasang suami istri berusia nyaris lima puluh tahun—sampai aku merasa cukup dewasa untuk berhenti membebani mereka. Semuanya berjalan lancar, kehidupanku sederhana, namun tidak begitu menyedihkan. Sampai suatu malam di pertengahan musim panas, semua berubah.
Malam itu berlalu seperti biasa; restoran tutup sesuai jadwal, berpisah dengan Lee di perempatan, menyapa Nenek Chiyo yang menutup toko, dan berbelok di gang sepi menuju apato. Jalan pintas menuju apartemen ini memang selalu sepi. Tidak banyak yang berani lewat karena rumor hantu dan lainnya.
Aku tidak percaya hantu. Jadi bukan masalah bagiku.
Siluet bergerak di belakangku, aku berputar dan tidak ada hal mengancam kecuali kucing dengan mata menyala di kegelapan. Aku membuang napas kuat-kuat, kucing itu menatapku beberapa detik kemudian lanjut berusaha menggulingkan tong sampah di dekatnya. Tiba-tiba aku merasakan ada angin yang bertiup di sekitar tengkuk, spontan seluruh bulu di tubuhku berdiri tegak.
Tidak ada yang namanya hantu.
Kalimat itu aku ulang berkali-kali sambil berputar untuk melanjutkan perjalananku. Tapi tiga orang berbaris menghadang jalan. Aku nyaris berteriak kaget. Jantungku berdetak terlalu cepat, aku takut mereka menyadarinya.
Seorang gadis berambut putih melirik lelaki bertubuh besar seperti raksasa di sampingnya "Ah—lihat, kau membuatnya takut, Kongou." Mata merah mudanya beralih menatapku. Dia tersenyum, tapi aku terlalu tahu mana yang asli dan yang palsu.
Instingku menuntut siaga, tiga orang ini tidak mungkin muncul tiba-tiba tanpa alasan yang tidak baik. Aku bahkan tidak pernah melihat mereka sebelumnya.
"Kau yakin dia orangnya, Ishidate? Dia terlihat seperti remaja biasa." Lelaki yang tadi dipanggil Kongou bertanya tanpa menatap lelaki berambut oranye gelap yang sedari tadi diam mempelajari gerak-gerikku dengan mata birunya.
Aku ragu Kongou bisa melihat dengan mata sekecil itu. No offense. Tapi serius, matanya nyaris berbentuk dan satu ukuran dengan—hanya—bola mataku. Aku tidak berani menebak berapa ukuran bola matanya.
Lelaki berambut oranye gelap bernama Ishidate menyeringai padaku. Lagi-lagi aku merinding. Tatapannya seperti singa yang dihadapkan pada daging segar. Lapar.
"Tentu saja. Orang bodoh sepertimu pun harusnya bisa merasakan chakra bocah ini."
Apa orang itu baru saja berkata chakra?
Kongou meneliti dengan mata hitam-bulat-seukuran-kelereng. Aku merasa bisa melihat asap imajiner keluar dari hidung besarnya. Sepertinya pria raksasa itu marah dan aku tidak tahu kenapa aku yakin akulah penyebabnya.
Hei, bukan aku yang memanggilnya bodoh.
"Sudah berapa lama sejak hari itu? Aku senang bisa melihatmu lagi." Satu-satunya gadis di antara mereka berkata sambil menatap langit, menerawang jauh entah kemana. Saat tatapannya kembali ke bumi lagi-lagi dia tersenyum padaku.
Sekarang aku yakin aku tidak suka dengan senyumnya.
"Apa maksudmu?" Tanyaku, pada akhirnya. Gadis itu tertawa, aku tidak percaya gadis seumurannya bisa tertawa seperti itu. "Ternyata benar, kau tidak ingat apa-apa. Baguslah, kami bisa membunuhmu dengan mudah kalau begitu."
Wow. Apa barusan dia bilang membunuh? Sungguh tidak pantas diucapkan gadis seumurannya. Kalau tebakanku benar, abaikan fakta rambut putihnya karena Kakashi-sensei guru matematikaku juga mempunyai rambut yang sama dan dia masih berumur 28 tahun, mungkin gadis ini baru 15 tahun.
Berada di luar rumah pada malam hari dan bersama dua orang dewasa nyaris psycho dan bertubuh raksasa jelas tidaklah wajar.
Ishidate ikut tertawa. Oke aku tidak tahu kenapa tapi aku benar-benar benci dengan orang-orang ini. "Kalau begitu ayo kita selesaikan, Karenbana, Kongou. Kita balaskan dendam lama."
"Tunggu! Apa maksud kalian?" Bodohnya aku karena suaraku terdengar panik.
"Membunuhmu tentu saja."
"Walau pun gadis kurang ajar yang dulu melukaiku tidak ada di sini." Sambung gadis yang ternyata bernama Karenbana.
Kongou menyeringai dengan bibir tebalnya, "Juga si alis tebal yang aneh." Tambahnya.
Kedua tangan Ishidate terangkat. Aku baru sadar dia menggunakan sarung tangan berbahan besi. Atau mungkin tangannya memang terbuat dari besi. Dari dua kemungkinan tidak ada satu pun yang aman. Punggung tangan kanannya memiliki tonjolan besar yang juga dari besi dengan tiga garis horisontal di bagian tengahnya. Seakan memperburuk suasana, tojolan itu membelah di garis ke dua.
Sebuah mata berwarna api diarahkan tepat kepadaku. Sempurna. Sekarang aku semakin gugup. Aku pernah mendengar cerita monster bermata tiga dan yang ke tiga berada di tengah dahinya. Aku tidak tahu mata tiga yang berada di punggung tangan bisa semengerikan ini.
Well, sepertinya aku harus waspada kalau-kalau Ishidate mengajakku berjabat tangan.
"Jadilah patung paling indah yang pernah kubuat, Naruto Uzumaki."
Aku tidak punya waktu untuk bertanya kenapa Ishidate bisa tahu namaku. Atau apa maksudnya menjadi patung paling indah yang pernah dia buat. Hanya satu hal yang bisa kulakukan saat ini.
Lari.
Secepat yang kubisa berputar, mengincar ujung lain dari gang sempit. Gerakanku terhenti oleh Kongou yang entah bagaimana bisa muncul di hadapanku.
Karenbana tertawa di balik punggung Ishidate, tawanya tidak membuatku merasa lebih baik. "Apa ini? Kau melarikan diri?" Dia tertawa lagi.
Sekarang aku terjepit di antara laki-laki bertubuh raksasa dan laki-laki yang menggunakan tangan besi dengan mata menyala.
Aku sering terlibat perkelahian saat masih di sekolah dasar, bisa dibilang aku memang dicap sebagai pembuat onar. Tapi itu dulu, aku memang masih remaja yang tempramental dan bisa meledak kapan saja, aku akui itu, namun sejak SMA aku sudah tidak pernah mengadu tinju dengan remaja seumuranku. Malah aku menyibukkan diri dengan bekerja paruh waktu di restoran Ibiki-san.
"Aku tidak tahu kau menjadi pengecut sekarang."
Kata-kata dari Ishidate justru membakar emosiku. Entah mengapa aku jadi tidak stabil di hadapan mereka bertiga. Takut, marah, benci, semua bersatu menghasilkan kepanikan yang tidak dibutuhkan sama sekali.
"Aku bukan pengecut."
"Hooh? Kalau begitu maju dan hadapi kematianmu."
Tidak ada pilihan lain. Aku harus melawan. Setidaknya kematianku tidak akan berakhir memalukan. Aku sudah bersiap dengan kuda-kuda terbaik, menunggu siapa yang akan menyerang duluan. Sialnya mereka maju secara bersamaan.
Tinjuku nyaris mengelus perut buncit Kongou sebelum gerakan mereka terhenti. Dua benda tajam mirip pisau dengan ujung bulat seperti pegangan mendarat di kaki mereka.
Dua benda tajam yang kuketahui sebagai kunai dari pelajaran sejarah, senjata ninja.
Mataku mengikuti tatapan bengis ketiga orang yang berusaha membunuhku. Di atap gedung sebelah kanan gang, Kakashi-sensei berdiri dengan kedua tangan dalam saku celana. Memakai masker berbeda dari yang sehari-hari dia gunakan, tapi aku yakin dia sedang tersenyum terlihat dari kedua matanya yang menyipit ramah. Dia memakai baju hitam polos yang dibalut vest berwarna hijau. Aku berani bersumpah vest seperti itu hanya akan kau dapatkan berabad silam, di masa kejayaan ninja.
Ishidate meringis di sampingku, "Kakashi Hatake."
Kakashi-sensei masih tersenyum dan menyapa. "Yo, Ishidate! Sudah lama sekali." Hal lain yang mengejutkanku selain mengapa guru matematikaku bisa berada di atas atap gedung tinggi adalah fakta bahwa mereka sudah saling kenal.
Sepertinya cuma aku yang kaget secara berlebihan saat Kakashi-sensei tiba-tiba berada di hadapanku dan memegang tangan kiri Ishidate. Pegangannya sangat kuat dan seakan belum cukup, dari tangan Kakashi-sensei yang bebas muncul aliran petir yang menyilaukan.
Semua terjadi begitu cepat. Kakashi-sensei berusaha menghujam dada Ishidate dengan petirnya dan pada saat yang bersamaan menendang Kongou sekuat tenaga. Sialnya, Ishidate berhasil lolos dari cengkraman Kakashi-sensei, petir hanya melukai sedikit bahunya. Kongou kurang beruntung karena mendapat tendangan telak di perutnya. Aku kaget saat tahu lelaki bertubuh raksasa sepertinya terpental cukup jauh.
Karenbana berdesis tidak suka, sedetik kemudian puluhan kelopak sakura mengelilingi kami. Tiba-tiba gadis itu menghilang. Aku merasakan perih di bagian lengan, betis, paha, bahkan pipi. Tanpa aku sadari tubuhku nyaris penuh dengan goresan tajam dan berdarah. Kakashi-sensei mengeluarkan kunai entah dari mana. Petir di tangannya sudah menghilang sejak melukai bahu Ishidate.
Kelopak sakura masih mengelilingi kami saat aku berlutut, tak kuat menahan perih yang perlahan menghilangkan kesadaranku.
"Naruto!"
Kakashi-sensei terlihat sedikit panik kemudian menutup mata, mungkin berkonsentrasi. Dia juga terluka, tapi tidak separah aku. Sayup-sayup aku mendengar tawa Karenbana, tapi kehadirannya tak dapat kulihat.
Satu lagi goresan tajam di lengan kiriku, aku menggeram lemah. Penglihatanku sudah mengabur. Hal terakhir yang kuingat adalah kedua iris merah berpola rumit milik Kakashi-sensei dan kelopak sakura yang menghilang bersamaan dengan visi jelas Karenbana tertusuk kunai, kemudian semuanya gelap.
-o-o-o-o-o-
Aku bermimpi sedang terikat pada salah satu potongan kayu yang tertanam cukup dalam. Aku bisa melihat hutan melintang di sebelah kananku dan seorang pemuda duduk memakan bentou di atas hamparan rumput hijau. Di sebelah kiriku, Sakura-chan duduk dengan damai juga sedang memakan bentou-nya.
Seketika aku sadar hanya aku yang tidak mendapat makan siang, dihukum dan diikat pada permukaan kayu yang kasar. Perutku berbunyi, aku lapar, sangat lapar. Wajahku memerah karena malu.
"Ini."
Pemuda yang duduk di dekatku menyodorkan kotak bentou-nya tanpa melihat ke arahku. Matanya sibuk mengawasi sekitar, seolah takut tertangkap basah memberi makanan pada anak nakal yang dihukum. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hanya rambut raven yang anehnya bisa mencuat seperti pantat ayam.
"Eh? Kau yakin?" Tanyaku. Sejujurnya aku berusaha menarik perhatiannya.
Aku ingin melihat wajahnya. Tapi dia hanya diam dan mimpiku berubah. Kali ini aku terbaring dengan luka di sekujur tubuhku. Pandanganku buram, butuh beberapa detik untuk melihat dengan jelas.
Di depanku, pemuda yang sama berdiri dengan napas terengah. Mataku membola melihat tubuhnya dihujam puluhan jarum. Seketika aku merasa marah dan sedih, tidak tahu mengapa tapi aku yakin pemuda itu baru saja melindungiku dari serangan jarum mematikan.
Aku berteriak, "Kenapa?!"
Tapi lagi-lagi pemuda itu diam masih membelakangiku.
"Kenapa?!"
-o-o-o-o-o-
Aku terbangun dengan peluh dan tenggorokan kering. Tubuhku yang tadinya penuh luka sekarang kembali seperti semula. Bukan hal yang aneh, aku sudah terbiasa sejak kecil setiap terluka pasti akan sembuh dalam sekejap. Nenek Tsunade bilang karena daya tahan tubuhku sangat kuat.
Satu kedipan dan aku sadar aku tidak di kamarku. Di sebelah kiriku ada jendela yang menghadap balkon, di luar masih gelap.
Kakashi-sensei masuk membawa nampan berisi air dan kue kering. "Mimpi buruk?" Tanyanya. Seolah itu adalah hal yang wajar. Bisa dipastikan aku sedang berada di rumahnya.
"Sen—" Aku menelan kembali kata-kataku. Suaraku terdengar buruk, tenggorokanku kering dan perih seperti habis berteriak. Kakashi-sensei tersenyum dan menyodorkan segelas air putih yang langsung kuhabiskan. Aku benar-benar haus.
Kali ini Kakashi-sensei berpakaian normal, tanpa vest dari ratusan tahun lalu. Bahkan maskernya sudah diganti dengan masker antidebu yang sehari-hari dia gunakan.
"Aku mengerti kau sedang kebingungan." Katanya, menatap iba padaku. "Aku akan jelaskan secara perlahan, tapi mungkin kau bisa menceritakan mimpimu terlebih dahulu."
Wajahku memerah. "Apa aku berteriak?" Tanyaku ragu. Kakashi-sensei tersenyum dan menjawab, "Ya."
Aku tidak tahu apakah wajahku bisa lebih merah lagi. Tapi aku memilih menceritakan mimpiku, tentang Sakura-chan teman sekelasku dan pemuda misterius yang menolongku.
Kakashi-sensei membuang napas. "Sejak kapan kau mulai bermimpi seperti itu?"
"Sejak masuk SMA, awalnya hanya sesekali, bisa dibilang sangat jarang, tapi akhir-akhir ini jadi semakin sering nyaris setiap hari."
"Dan pemuda itu selalu muncul di mimpimu?"
Aku mengangguk. Menggeser tubuhku saat Kakashi-sensei mendarat di pinggir kasur. "Sensei, di mimpi itu aku dan Sakura-chan mengenakan pakaian yang aneh, dan mungkin aku masih berumur tiga belas tahun sedangkan aku baru mengenal Sakura-chan saat masuk SMA."
"Kau benar-benar tidak mengingat apa-apa?" Tanya Kakashi-sensei.
Dahiku berkerut sebagai tanda sedang berpikir keras. "Apa yang aku lupakan? Gadis yang tadi nyaris membunuhku juga bilang aku benar-benar lupa tentang sesuatu atau mungkin banyak hal."
Teringat sesuatu mataku langsung membola dan berbinar menatap guru matematikaku. "Sensei! Tadi kau sangat hebat! Bagaimana, bagaimana kau melakukan gerakan seperti itu? Bagaimana bisa petir keluar dari tanganmu, dan—" suaraku melemah, "Bagaimana bisa kau ada disana? Di saat yang tepat sebelum aku nyaris dibunuh."
Kakashi-sensei menghela napas, matanya lurus menatap jendela yang terbuka. "Aku dan Iruka—"
"Iruka-sensei?!" Suaraku meninggi mendengar nama guru kesayanganku. Kakashi-sensei tidak protes saat ucapannya kupotong. Dia hanya mengangguk dan melanjutkan. "Kami sudah lama mengawasi dan melindungimu, Naruto."
"Mengawasi? Melindungi? Dari apa?" Tuntutku.
"Dari apapun dan siapapun yang bisa membahayakanmu."
Aku terdiam. Tidak mengerti mengapa guru yang baru kutemui di SMA mengaku sudah mengawasiku sejak lama dan berkata aku dalam bahaya. Well, hari ini aku memang dalam bahaya.
Aku tidak yakin dengan apa yang akan kukatakan. Aku menelan ludah, "Sensei, apa aku amnesia?"
Kakashi-sensei menggeleng. "Tidak, kau tidak bisa dibilang terkena amnesia."
"Lalu—apa?"
"Ingatan yang hilang bukanlah ingatan selama kau menjalani kehidupan normalmu."
"Berarti ingatan saat hidupku tidak normal? Apa aku pernah menjadi orang gila?"
Guru matematikaku tertawa di balik masker antidebunya, matanya sudah kembali ke warna semula. Kepalaku tiba-tiba sakit saat mencoba mengingat mata merah milik Kakashi-sensei.
"Naruto? Kau baik-baik saja?"
Aku tidak menjawab. Kepalaku tertunduk dan rasanya mau pecah, gambaran mata merah yang sama namun dengan pola yang berbeda memenuhi otakku. Aku menggeram dan meremas rambutku.
"Jangan paksa dirimu, Naruto!" Kakashi-sensei mencengkram bahuku. "Naruto!"
Aku tersadar dan sakit yang kurasakan berangsur menghilang, napasku terengah, dahiku basah oleh keringat.
"Sensei, mata itu—" Aku menelan ludah. Tidak tahu harus berkata apa.
"Sharingan."
Kepalaku terangkat, menatap Kakashi-sensei yang memandang khawatir. "Sharingan?" Tanyaku.
"Kau melihat mataku berubah warna?"
Aku mengangguk.
"Apa kepalamu sakit karena mengingat mataku atau—"
Ucapan Kakashi-sensei menggantung, seolah tahu apa yang kupikiran. "Bukan." Jawabku. "Bukan mata sensei, polanya berbeda dan—" Kepalaku berdenyut. "—mata itu penuh dengan amarah, kesedihan dan, dan—"
Kakashi-sensei sabar dan menunggu. Namun aku sendiri tidak yakin dengan kelanjutannya, aku memilih diam dan dia mengerti keadaanku.
"Semua ingatanmu akan kembali secara perlahan."
Memikirkan rasa sakit di kepala yang sepertinya akan sering kualami tidak membuatku merasa lebih baik. Aku lebih memilih menghapal rumus matematika yang memusingkan daripada harus merasakan sakit. "Ingatan apa, Sensei? Ingatan macam apa yang kulupakan?"
Aku tidak bisa tenang. Sudah dua orang yang datang dan berkata bahwa aku melupakan banyak hal. Padahal aku tidak merasa ada sesuatu yang hilang. Aku merasa menjalani hidupku dengan normal dan baik-baik saja.
Tiba-tiba saja aku teringat perkataan Kakashi-sensei tentang hidup yang normal.
"Sensei, jika menurutmu sekarang aku menjalani kehidupan normal. Lalu kehidupan apa yang kulupakan?"
Aku tidak yakin dengan pertanyaanku sendiri. Aku hanya ingin tahu apa maksud dari ingatanku yang hilang bukan berasal dari kehidupan yang normal.
Jantungku berdetak lebih cepat saat Kakashi-sensei diam, seperti memilah kata yang tepat untuk menggambarkan kehidupan-tidak-normal-dan-ingatan yang kulupakan. Dia menghirup udara pelan-pelan dan menatap tepat di kedua mataku.
"Kehidupanmu sebagai seorang ninja."
To be Continue
Saya minta tanggapan kalian, apakah fic ini layak lanjut atau tidak? xDDD
Regards,
Kitsune Haru Hachi
