Halo Semua ! Saya kembali lagi dengan ff terbaru saya rasa ini ff terpendek yang pernah aku buat..Tp ada sekuel nya kok...
Hehe Maaf ya Klo judulnya nggak nyambung...
Oh ya mohon jangan jadi Silent Reader..Klo nggak suka sama ceritanya mending nggak usah baca..Dari pada nge Bash dan ngoceh-ngoceh nggak jelas. Tinggal pencet back aja.
Author koplak ini kembali lagi dengan ff baru...
Oh ya ff ini aku post tanggal 20 Juni denga hari dimana author kplak dan teman teman sedengku lulus ini acara ini hadiahku...
Haha oh ya BTW ada yang nyangka aku masih SD baru mau masuk Smp?
Ok ok *nggak usah banyak bacot*
Let's Go !
*jangan copy paste ff murni hasil jeri payah author*
Author : .Lovers
Pairing : Naru x Hina
Disclaimer : All cast~ Belongs to Masashi ff ~Is Mine.
Warning : OOC,Typo's,cerita tidak jelas,alur tidak urut,Dll
Genre : Romance,Hurt/Comfrot.
Summary : Mocchacinno dingin itu, mungkin adalah
refleksi dirimu sekarang.
.
.Don't Like,Don't Read
.
Enjoy The Story
.
.
Hinata Pov
Aku selalu mengamatinya setiap hari...
Huh?Setiap malam tepatnya.
Entah kenapa Hati ini rasanya ingin selalu menatapnya dan segelas Mocacinonya itu..
Laki-laki yang dingin,sama seperti minuman favorite nya itu..
Aku selalu menatapmu yang setiap harinya duduk manis di Cafe depan rumahku lewat balkon rumahku..
Entah kamu mengagapku ada atau tidak,aku tak peduli.
Dan hari ini lagi lagi aku di atas balkon rumahku dengan duduk di atas kursi dengan manis...
.
Cahaya membuatmu bersinar hari ini. Ia
bertingkah seakan tidak ada hal lain yang
mampu diteranginya selain dirimu.
Lampu yang menaungimu terlihat begitu
cemerlang, kendati biasanya lampu itu
bisa mati secara tiba-tiba. Listrik yang
mengalirinya dalam sekian ampere
terkadang bisa terputus tanpa alasan
yang jelas.
Seperti biasa, kau duduk di belakang
meja itu. Tepat di samping jendela kecil
yang selalu terbuka. Dengan senyum yang
menghangatkan, serta di sisi lain terasa
menguatkan. Senyum itu seperti terpatri
di wajahmu. Seakan senyum itu sudah
menjadi bagian dari topeng yang biasa
kaupakai sehari-hari.
Ada segelas mocchacinno yang
menemanimu duduk sendirian di bawah
lampu labil itu. Mocchacinno dingin, untuk
dirimu yang terlihat hangat. Segelas
cairan berwarna cokelat terang itu
seakan ikut menampung semua
perasaanmu. Entah itu kesal, senang,
marah, atau sedih.
Biasanya kau tak banyak berbicara.
Mungkin, kau sudah kenyang dengan
semua cercaan atau komentar pedas
tentang dirimu, mereka, atau kalian. Kau
sudah lelah menjawab semua cercaan itu.
Lelah mengendalikan ucapanmu, kendati
kau ingin sekali melemparkan sumpah
serapah pada mereka.
Gelas kaca itu berputar kecil di tanganmu.
Kau memutarnya seakan kau sedang
memutar sebuah wine. Minuman di
dalamnya harganya tidak sampai
seperempat dari segelas wine, namun kau
berlagak seolah mocchacinno itu adalah
minuman yang sama berharganya
dengan wine usia tahunan.
Kemudian, aku teringat tentang seorang
anak kecil yang pernah duduk di bangku
yang sama, dengan sebuah jus apel yang
selalu ia sesap perlahan. Anak kecil itu
akan bermain-main sejenak dengan buih
yang berada di permukaan jus, sebelum
akhirnya menghabiskan jus apel yang
berada dalam gelas berukuran sedang
tersebut.
Di bangku yang sama, anak laki-laki itu
selalu berceloteh betapa inginnya ia
menjadi seorang astronot. Ia berkata
dengan semangat yang memercik,
layaknya serentetan kembang api yang
ditembakkan ke udara. Anak laki-laki itu
berkata bahwa ia ingin sekali berfoto di
bulan seperti Neil Armstrong, manusia
pertama yang berhasil menginjakkan
kakinya di satelit bumi.
Selang beberapa waktu, anak laki-laki itu
masih duduk di bangku yang sama.
Uniknya, ia tidak lagi ingin menjadi
seorang astronot. Ia ingin menjadi
seorang penyanyi yang multi-talenta. Ia
sempat berkata bahwa ia sudah direkrut
menjadi seorang trainee di sebuah label.
Umurnya masih enam belas tahun saat
itu.
Anak laki-laki itu, tujuh tahun kemudian
memulai debut-nya, kemudian secara
perlahan berubah menjadi dirimu.
Tak banyak yang berbeda dari anak laki-
laki itu dan dirimu. Kalian tak ubahnya
adalah orang yang sama. Secara fisik, kau
lebih tinggi. Rahang itu terlihat lebih
tegas. Bahu yang dulunya kecil itu kini
sudah melebar.
Namun yang berbeda adalah, tak kutemui
lagi laki-laki yang selalu membuatku
penasaran karena ocehannya.
Sebaris kalimat itu tak kau ungkapkan
sedikitpun. Kalimat itu tergantikan pada
kalimat yang kautulis di fanboard. Kalimat
itu tergantikan pada sederet ucapan
terima kasih yang kau haturkan pada
semua orang saat acara penghargaan.
Kalimat itu bahkan tergantikan pada
pesan singkat yang kaukirim pada orang
yang terus itu aku pun masih tetap seperti hanya saat itu aku masih berumur 14 tahun. Mocchacinno dingin itu, mungkin adalah refleksi dirimu sekarang. Kau menjadi
seorang laki-laki yang bahkan tak
kurasakan jiwanya, kendati ragamu
berada di sini.
Aku berharap, suatu saat mocchacinno itu
akan berubah menjadi sebuah kopi
hangat. Perlahan melelehkan hatimu yang
sudah beku karena keadaan. Aku
berharap aku dapat menemui laki-laki
yang sama, dengan tujuh tahun yang lalu.
Laki-laki yang selalu mengoceh tentang
impian, realita, dan hidup yang terdengar
rumit.
Aku berharap aku dapat menemui
senyum hangat yang sama di bawah
lampu redup itu. Karena kutahu, kau tak
pernah butuh lampu yang terang.
Secercah cahaya bintang cukup untuk
membuatmu bersinar.
Karena senyum itu – senyum yang
kurindukan – adalah senyum yang
mampu membuat semua orang berbalik
melihatnya.
Aku mohon Naruto...
Walau hanya sekali saja tolong ijinkan aku melihat senyuman termanismu yang dulu...
Senyum yang sangat kurindukan...
.
Sebelum ada yang mengisi hatimu...
.
~Fin~
Sekuel or No
Comment Please
