Jauh di padang rumput, di bawah pohon willow Tempat tidur dari rumput, yang hijau, lembut, dan kemilau Letakkan kepalamu, dan tutup matamu yang mengantuk Dan saat matamu kembali membuka, fajar akan mengetuk.

"Bangun, pemalas"

Kata-kata itu seolah menarikku dari mimpi lagu itu. Lagu itu berisikan sebuah tempat yang aman dan tenang. Harapan yang sia-sia, memang. Tak ada sesuatu yang aman dan tenang di sini. Penuh ketakutan setiap tahunnya.

Aku membuka mataku. Aku memfokuskan mataku dan melihat cahaya matahari yang menerobos memasuki ruangan kamarku. Aku membangunkan badan dan melihat kakakku berdiri sembari berkacak pinggang

"Alexandra Nightingale, sampai kapan kau akan menjadi sloth, huh?" kakakku menarik selimutku dan merapikannya

"Jacob Nightingale, sampai kapan kau akan mendikteku, huh?" aku mencibir dan merenggangkan badanku "lagipula, masih jam 8, bisakah kau tidak medikteku?"

"Tidak." Jacob menggelengkan kepalanya "Sekarang waktumu untuk berburu dan waktuku untuk merapikan rumah ini. Bukannya ini kesepakatan kita semenjak orang tua kita meninggal?, berganti-gantian tugas setiap harinya?" memang, setelah orangtua kami meninggal, setelah kecelakaan kereta, kami terpaksa melanjutkan hidup kami secara mandiri

"Apalah."

Aku melompat ke lantai dan menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka. Memakai kaus lengan panjang ku dan celana jins yang sudah tertambal di daerah lutut. Mengambil busur dan panahku, yang mungkin berguna nantinya. Karena untuk menangkap kelinci hutan saja, aku tidak bisa. Mengambil jaket dan sepasang sepatu botku, memakainya. Aku hendak keluar pintu rumah, tetapi Jacob berteriak dari dapur.

"Hei, hei… pastikan kau dapat anjing liar atau kelinci liar, ya. Oh, ya suruhlah Greasy Sae untuk mengolahnya menjadi sup hangat!"

Aku tertawa "Ya, ya. Jika aku dapat ya." Dan tanpa ba-bi-bu lagi, akupun keluar.

Aku menyusuri jalan yang sudah tidak bagus lagi. Kanan-kiri, kau bisa melihat rumah-rumah yang hampir bobrok, kakek-kakek tua setengah pemabuk yang tidur dijalanan, segerombolan orang yang menuju tempat pertambangan, dan anak-anak kecil dengan baju yang hampir compang-camping.

Distrik 12, distrik termiskin dari ke-12 distrik. Menyedihkan, memang. Tapi, positifnya, penjaga perdamaian tidak terlalu memerhatikan distrik ini. Contohnya, pagar-pagar pembatas menuju hutan tidak dialiri listrik, Inilah kenapa aku dan kakakku bisa berburu hampir setiap hari.

Aku tinggal di Seam yang merupakan daerah termiskin di distrik 12. mayoritas anak Seam adalah memiliki rambut hitam dan mata kelabu. Anehnya tidak denganku dan kakakku. Aku bermata biru kehijauan dengan rambut pirang pasir dan kakakku memiliki warna mata sama dengan ku dengan rambut cokelat kehitaman. Makanya aku dan kakakku merasa tersisih di sini, meskipun—mungkin—orang Seam yang lain tidak pernah membuat kami merasa tersisihkan. Contohnya, Greasy Sae, wanita tua itu sangat baik terhadap kami. Pernah ia memberi aku dan kakakku sup hangat ketika sedang musim salju dan saat itu kami sama sekali tidak mempunyai makanan. Dan masih banyak lagi.

Akhirnya, aku sampai ke pagar pembatas. Aku melewati pagar pembatas itu dengan mudah dan mempersiapkan busur dan panahku. Sebenarnya, busur dan panah ini tidak terlalu kubutuhkan, sih. Karena aku yakin kakakku sudah memasang jerat untuk binatang-binatang hutan yang malang ini. Tapi, siapa tahu aku bisa mendapat hewan lain yang dagingnya lebih lezat jika dimakan.

Aku memasuki hutan dan melangkah hati-hati. Aku mencari-cari mangsa yang sempurna untuk dimakan. Dan, akhirnya aku menemukan kelinci liar yang gemuk. Aku membungkuk, mencoba berkamuflase dengan semak-semak. Aku mengarahkan busur dan panahku menuju kelinci gemuk dan lezat itu. Dan akhirnya aku melepaskan anak panahku. Sayangnya, anak panahku meleset dan malah mengenai batang pohon. Kelinci itu juga sudah pergi.

"sial.." aku mendesis kesal dan menuju ke arah dimana panah itu menancap.

JLEB, BRUG

Aku menoleh dengan kaget, melihat ada seekor burung yang tergeletak tak bernyawa di tanah dan sebuah panah yang menancap di area perutnya. Tentu itu bukan aku, aku sama sekali tidak berbakat untuk memanahi burung, anak-anak seam juga jarang berburu, kalaupun ada…

"Lexa?"

Aku menoleh melihat sepasang anak seumuran denganku yang sedang memandangi aku kebingungan "Hai, Gale dan Katniss bukan? Aku dengar kalian suka berburu juga." Aku tertawa ketir. Sekali-dua kali aku pernah tak sengaja menemui mereka yang sedang berburu, itupun aku akan segera pergi dari mereka dan mereka tak pernah menyadari adanya aku.

"Oh, ya, kami suka berburu bersama," Gale—yang memanggilku tadi—tersenyum "sudah menjadi rutinitas, sih." Anak laki-laki itu kemudian memandangi panahku yang menancap di batang pohon "Kau juga sedang berburu ya? Sepertinya kau kesusahan… mau kami bantu?"

Sebenarnya, bisa saja aku menerima bantuan Gale. Tapi, sepertinya Katniss keberatan "Oh, tidak usah," aku menolak dengan halus "kakakku pasti sudah memasang jerat di sekitar sini, dan aku harus memeriksanya."

"Benar tidak apa-apa?"

Aku tersenyum "Ya, oh, sepertinya aku harus pergi. Bye." Aku pun segera mengambil panahku dan melangkah menuju tempat jerat kakakku.

Aku menjauhi mereka dan mencari-cari jerat yang ada di hutan ini. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah tali putih dengan tulisan N di talinya. Aku berlari kecil dan menemukan sekitar 5 kelinci liar dan 2 ekor tupai terperangkap di situ. "Maafkan aku…" Aku berbisik dan mebidik mereka satu per satu. Setelah mengeluarkan hasil jeratan itu, aku segera memasang jerat lagi hingga ke bentuk semula dan pergi dari tempat jerat kami.

Aku berjalan menuju ke Seam. Di tengah jalan aku menemukan semak-semak buah beri dan mengambil sebanyak-banyak nya. Aku memasukannya ke tas ku. Setelah mendapat sebanyak yang ku mau. Aku kembali berjalan ke Seam lagi menuju the Hob.

The Hob merupakan pasar gelap disini. Sesampai disana, aku segera mencari tempat Greasy Sae dan memintanya untuk mengolah daging-daging ini untuk menjadi sup.

"Oh, Lexa." Greasy sae tersenyum ramah

"Hai, Greasy sae," Aku membalas tersenyum "Bolehkah kau mengolah daging 4 kelinci ini menjadi sup? Dan apakah ada roti?"

"Oh, baiklah dan ya, ada roti hangat," Greasy sae segera mengambil 4 kelinci itu dan mulai mengolahnya.

Aku duduk di bangku yang tak jauh dari tempat Greasy sae. Aku bisa melihat ada beberapa orang yang memandangku dengan tatapan siapa-anak-ini atau ia-bukan-anak-dari-Seam. Akhirnya aku malah menunduk dan pura-pura untuk tak melihat mereka. Hingga akhirnya aku mendengar Greasy sae memanggilku. Aku segera berjalan menuju tempatnya.

"Semangkok besar sup daging kelinci hangat, sepotong roti hangat, susu dan keju." Ia memberiku sekantung besar berisi makanan-makanan tadi.

"Tunggu," aku mengingat-ingat "Aku tak meminta keju dan susu, kok…"

"Tak apa Lexa, aku sedang beruntung hari ini, banyak yang memberiku hasil buruan mereka."

Aku tersenyum senang dan memberikannya 1 kelinci, 2 tupai dan segenggam buah beri "Terima kasih…" aku pun segera berjalan pulang.

Sesampai di rumah aku segera menaruh sepatu bot di luar rumah dan jaket kulitku di cantolan pintu "Jacob! Aku pulang!"

"Lama sekali, sih." Jacob menggerutu tetapi kemudian ia membelalakan matanya ketika melihat isi kantong yang kubawa "Ya ampun! Banyak sekali!"

Aku tertawa kecil "Ya, Greasy Sae sedang beruntung hari ini, jadi kita mendapat imbasnya," aku membuka tas ku "Dan lihat apa yang kutemukan!" aku segera memperlihatkannya buah-buah beri yang banyak "Kita sangat beruntung hari ini!"

"Woohoo!" Jacob melompat kecil "Banyak sekali yang bisa kita makan!" ia pun segera meletakkan makanan-makanan dari Greasy Sae itu di meja kecil kami, yang kami sebut meja makan.

Aku berjalan ke dapur mencari alat penghancur yang tak lain tak bukan adalah sebuah sendok kayu dan juga sebuah mangkok kecil. Aku segera mengeluarkan buah-buah beri yang banyak itu, menambahkan sedikit air hangat dan menghancurkannya menjadi sebuah selai. Aku menambahkan sedikit gula dan menyampurkannya. Setelah selesai aku menyendokkan selainya ke toples kecil.

Aku membawa toples kecil itu ke meja makan dan menaruhnya. Jacob yang sedari tadi sudah duduk di kursi menungguku dengan sabar. Akupun duduk.

"Baiklah, selamat makan." Jacob tersenyum dan mengambil semangkuk sup dan segelas susu. Aku pun begitu. Kami sepakat untuk menyisakan sup dan susunya untuk nanti malam. Roti dan selainya? Kami biasa memakannya setelah makan-makanan ini.

Aku menyeruput kuahnya. Hangat, lezat dan menurut kami mewah. Kenapa mewah? Kami jarang sekali makan-makanan seperti ini. Bahkan, kadang kami hanya bisa memakan belalang yang kami asal tangkap. Aku memakan dagingnya, dan oh, tuhan, ini sangat empuk. Lagi, kami jarang memakan-makanan seperti ini. Aku segera menghabiskan sup ini dan menjilat dasar mangkoknya. "Oh, ya ampun… ini enak sekali…"

"Ya…" Jacob tertawa kecil dan mengambil roti, keju dan selai buah beri. Ia oleskan selai itu ke rotinya dan menambahkan seiris keju "Selai ini lezat juga."

"Terima kasih." Aku tersenyum dan juga melakukan hal yang sama seperti Jacob. Aku memakannya. Rasa manis meletup di lidahku, rasanya lezat. Aku meminum susu dari gelasku. Puas dengan makanan ini, aku tersenyum puas.

Tiba-tiba ekspresi Jacob berubah. Ia terlihat muram "Ada apa?"

"Oh, aku lupa…" Jacob mendesah "Besok. Reaping day."

Aku terdiam seribu bahasa. Reaping day? Hari yang terburuk sepanjang hidup kami semua. Dimana hari itu akan terpilih 3 tribut dari ke-12 distrik. 1 laki-laki. 1 perempuan. 1 terpilih. Untuk mengikuti hunger games. Orang-orang yang mengikuti hunger games adalah remaja yang berumur12-18 tahun. Untuk tribut laki-laki dan perempuan, kita dapat bersukarela mengganti tribut yang terpilih. Untuk terpilih? Tidak, kita tidak bisa bersukarela mengganti mereka.

Hunger games adalah permainan bertahan hidup—lebih tepatnya bunuh atau dibunuh—yang diselenggarakan oleh Capitol. Yang bermain adalah 36 tribut yang didatangkan dari 12 distrik. Hanya 1 orang yang boleh jadi pemenang, tidak lebih.

"Yeah…" aku menghembuskan nafas "Kita bisa berdoa."

Jacob mengacak rambutku "Sepertinya kecil kemungkinan kita terpilih, kau tahu, banyak sekali anak-anak berumur 12-18 tahun di distrik 12."

"Wah, kenapa yakin sekali?"

Jacob mengendikkan bahunya "tak ada salahnya punya keyakinan sendiri."

Aku nyengir "Yeah," aku mengangkat gelas kecilku yang menunjukkan beberapa kerusakan di sana-sini "May the odds…"

Jacob mengangkat gelasnya—yang berkondisi sama dengan gelasku—juga "Always be in your favor!"

Dan kamipun menenggak tetes terakhir dari susu kami bersama sama.