Angin laut meniup kencang. Pakaian berkibar pun dengan helai rambut berubah berantakan olehnya. Suara deru mesin kapal beradu dengan deburan ombak sedang perlahan pandangan tertangkap hijau di mata.

Pulau itu perlahan terlihat, kian lama kian besar dengan rimbun dedaunan pohon menyita perhatian seketika.

"Kita sampai,"

Baekhyun menoleh pada Chanyeol dengan senyum terkembang lebar pada bibirnya. Dia menatap suaminya itu dalam anggukan dan menyandarkan dirinya pada bidang pria itu.

"Rasanya sudah lama sekali," tenang kalimat Baekhyun membalas. Puncak kepalanya di kecup Chanyeol sekali sebelum membawa tubuhnya erat dalam dekapan.

Kapal kecil itu perlahan melambat bersamaan dengan deru mesin yang kemudian dimatikan. Hentakkan kecil terasa kala badan kapal menabrak karang dan nahkoda sekaligus pemilik kapal yang mereka sewa itu, lekas keluar dan melepaskan jangkar ke dalam air.

Chanyeol melompat turun pertama kali, lalu memberikan tangannya untuk Baekhyun genggam sebelum lelaki itu ikut melompat turun dari kapal.

"Terima kasih Paman," ucap Chanyeol kepada pria setengah baya pemilik kapal itu. "Kami akan menghubungi saat akan kembali nanti," katanya.

"Aku tidak mau turun saat malam, jadi pastikan kalian menghubungi sebelum malam." Pesannya.

Keduanya mengangguk paham dan mengantar kepergian pria itu menjauhi daratan. Pandangan lantas berpendar pada sekeliling tebing perlahan merangkak naik pada puncak daratan sana.

"Ayo," ajak Chanyeol sembari menggandeng tangan Baekhyun. Lelaki itu menurut dan mengikuti langkah Chanyeol hati-hati naik ke atas sana.

Pulau Hanju merupakan pulau yang berada di tengah lautan Hanju. Sebuah pulau kecil dengan jumlah keluarga paling sedikit di antara pulau-pulau lain yang ada di Korea. Pulau yang merupakan tempat lahir dan tumbuh kembang Chanyeol dan Baekhyun sampai remaja sebelum keduanya memutuskan untuk mengadu nasib ke Seoul.

Ini adalah kali pertama sejak nyaris 8 tahun sejak kali terakhir mereka menginjakkan kaki ke pulau terpencil itu. Sudah lama sekali sedang rindu tiba-tiba saja memuncak dalam diri masing-masing.

Pohon besar dengan daun hijau rindang, lautan biru dan tentu saja suasana perdesaan dengan fasilitas seadanya.

Tak ada yang berubah dari desa itu, semuanya masih sama. Perkebunan juga rumah-rumah warga yang berdiri saling berjauhan dengan rumah-rumah yang lain.

"Pulau ini sudah kosong sejak beberapa tahun terakhir," Chanyeol berkata selepas menarik nafasnya dengan dalam. Udara bersih mengisi paru-paru, menghantar rasa nyaman pun dengan desiran angin sejuk menyapa keduanya. "Kupikir sejak kita memutuskan untuk ke Seoul, pulau ini sudah sepi sejak itu." Sambungnya lagi.

"Dan sepertinya hanya kita datang kesini lagi." Sejauh langkah keduanya memasuki desa tak ada seorang pun mereka temui. Beberapa rumah dalam keadaan terbuka dengan pakaian bergoyang di tiup oleh angin pada tali jemuran.

Rumput tinggi memenuhi halaman, bahkan ladang wortel dan kentang terlihat tak terawat disana.

"Rasanya sedikit aneh," Baekhyun memeluk lengannya tiba-tiba membuat Chanyeol menoleh padanya dengan bingung.

"Ada apa?"

"Entah mengapa rasanya sedikit menyeramkan." Baekhyun menahan ringisan.

Chanyeol tertawa dan memeluk suaminya itu. "Jangan bilang kau takut dengan desa kita sendiri Baek?" dia mencolek pipi Baekhyun—menggoda dengan jenaka. "Hei, ayo kita berkunjung ke sekolah." Ajaknya.

Baekhyun tak menolak. Langkah keduanya menapak pada jalanan tanah yang terlihat kian sempit ditutupi oleh rumput-rumput liar. Matahari bersinar terik di atas langit sana—mengakibatkan titik peluh membanjiri pelipis keduanya.

Chanyeol mengusap wajah Baekhyun lembut sebelum melayangkan kecupan lagi pada puncak kepalanya dengan sayang.

Gedung sekolah terlihat di kejauhan sana. Satu-satunya bangunan yang dijadikan oleh warga desa sebagai sekolah; sekolah dasar sampai sekolah menengah atas semuanya dijadikan satu. Bahkan guru ajar hanya berjumlah 3 orang dengan jumlah siswa yang tak mencapai 20 orang terhitung untuk semua tingkatan kelas.

Bangunan kecil yang hanya memiliki beberapa ruang kelas itu pun sama tak terurusnya. Cat telah terkelupas digantikan oleh lumut-lumut hijau yang menempel pada tembok menjadikannya lembab terlihat.

Pohon akasia di depan halaman masih kokoh berdiri sedang tanah naungan akarnya semak oleh dedaunan kering menumpuk. Di dekat pohon itu terdapat sebuah kursi beton, di hari lalu di gunakan oleh para siswa untuk sekedar duduk menghabiskan jam istirahat. Chanyeol dan Baekhyun sering menempatinya pula, terlebih ketika jam sekolah telah berakhir mengantar matahari terbenam di depan mata.

Baekhyun mengedarkan pandangannya pada seluruh areal itu dengan kerlipan mata bercahaya oleh rindu membuncah.

"Kita juga sering menghabiskan waktu disana." Baekhyun menunjuk bukit kecil di belakang sekolah. Disana terdapat kolam kecil milik sekolah dengan ikan-ikan hias yang diberikan cuma-cuma oleh nelayan ketika mencari ikan di laut. "Kira-kira sudah sebesar apa ikan-ikan itu ya?"

"Mau melihatnya?" ajak Chanyeol.

Baekhyun mengangguk semangat, cepat-cepat menarik lengan pria itu dan berlari menuju belakang bangunan sekolah. Chanyeol terkekeh melihat betapa antusiasnya lelaki bertubuh mungil itu.

"Jangan lari sayang, nanti kau jatuh." Chanyeol menegur dan sedetik kemudian Baekhyun benar tersandung langkahnya sendiri dan jatuh terjerebab di atas tanah. Chanyeol mengenggam tangannya tak mampu merespon cepat dan taunya ikut terjatuh bersama.

Ringisan Baekhyun tak berselang lama, digantikan tawa oleh kecerobohannya sendiri. Langit biru dengan awan putih menghias puncak pandangan dengan burung laut yang terbang bebas di atas sana.

Keduanya bertahan pada posisi berbaring itu dan saling menoleh—melempar pandangan untuk satu sama lain. Chanyeol membawa tangannya di bawah kepala Baekhyun—menjadikan lengannya itu sebagai bantal suaminya.

"Dulu karena bolanya hanya 1 dan tim sepakbolanya sudah lengkap kita tak pernah diberikan kesempatan untuk bermain bola." Baekhyun berujar pertama kali—membuka lembar nostalgia dalam ingatannya. "Ingat Yongdo?" tanyanya pada Chanyeol.

"Tentu saja ingat," sahut Chanyeol. "Dia penguasa sekolah sejak kita sekolah dasar sampai sekolah menengah. Karena badannya besar semua anak takut padanya."

"Termasuk kita juga," tambah Baekhyun.

"Lagipula mencari masalah dengannya bukanlah hal yang menyenangkan." Chanyeol menyahut tak setuju. "Sebagai lawan tanding dia sangat membosankan."

"Ya, aku tau." Baekhyun tersenyum. Sipitnya menelusuri bulat milik Chanyeol dengan jembatan transparan mengikat mereka dalam tautan kian dalam. "Menurutmu apa yang akan terjadi jika kita tidak ke Seoul?" Baekhyun bertanya.

"Hm…" Chanyeol berguman—berpikir untuk jawaban yang Baekhyun tanyakan. "Mungkin sampai hari ini kita tidak tau bagaimana rasanya pizza dan burger?"

Tawa Baekhyun sontak meledak oleh jawaban polos itu. Namun dia membenarkan karena apa yang Chanyeol katakan tidaklah salah sepenuhnya. Karena di desa makanan siap saji seperti itu jelas tidak diperjual belikan, bahkan untuk bahan adonannya pula.

"Jika kita tidak ke Seoul, mungkin kita takkan pernah menikah." Baekhyun berujar sembari membawa pandangannya kembali pada langit di atas. Retinanya bergerak pelan mengikuti gerakan awan paling besar disana.

"Atau mungkin kita takkan bisa bertahan sampai hari ini." sambungnya lagi.

"Tapi akhirnya disinilah kita." Chanyeol menyahut. "Apa yang lebih kau sesali dari itu semua?" tanyanya.

Baekhyun diam selama beberapa sesaat—menerawang dalam pikirannya.

"Percaya tidak jika sampai hari ini… aku tidaklah menyesali apapun. Bahkan—" Baekhyun mengantung kalimatnya untuk bersitatap dengan Chanyeol lagi, "untuk apapun yang terjadi malam itu, aku tidak pernah menyesalinya sedikitpun."

Mereka kembali melanjutkan niatan pergi kebukit belakang gedung sekolah untuk melihat kolam ikan yang ada disana. Ikan-ikan itu nyatanya tidak lagi berada disana, bahkan petak kolam kecil itu tak lagi berbentuk dengan retak pada semua sisi. Chanyeol menebak itu disebabkan oleh gempa bumi dan ikan-ikan itu mati setelah airnya terkuras habis.

Baekhyun sedikit kecewa dan Chanyeol lekas menghiburnya dengan mengajak untuk menjelajah tempat yang lain. Desa pulau Hanju tidaklah besar namun nyatanya menyimpan beribu kenangan yang mereka bangun sejak kanak-kanak dulu.

Ketika Baekhyun berumur 5 tahun orangtuanya meninggal dan dia dititipkan pada bibinya yang merupakan kerabat jauh dari Ibunya yang tinggal di desa Hanju. Bibinya itu memiliki seorang anak laki-laki yang sebaya dengannya bernama Chanyeol dan itulah bagaimana awal mereka bertemu.

Ketika mereka beranjak umur 12 tahun, ibu Chanyeol meninggal dan itu juga bagaimana kehidupan pahit nan sulit itu mereka coba bangun bersama. Ada banyak hal yang terjadi, umur yang masih terlalu muda namun nyatanya tempaan hidup keras membuat mereka mampu bertahan sampai dewasa kini.

Tak ada warga desa yang benar-benar peduli, guru di sekolah pun enggan untuk melakukan hal yang sama dan taunya itu bukan alasan untuk berhenti melanjutkan hidup. Chanyeol menjadi sosok pekerja keras, dia membantu warga di ladang dengan harapan upah untuk membeli beberapa kebutuhan pokok. Sesekali dia ikut ke turun ke laut, mencari ikan lantas menjualnya di pasar.

Baekhyun lebih sering berada di ladang, terkadang dia pulang lebih awal; memasak dan menyiapkan semua yang Chanyeol butuhkan. Kebersamaan itulah yang kemudian membawa mereka pada perasaan ilusi; cinta, walau kodrat yang tak seharusnya mereka lampaui.

Terkadang sebelum tidur mengarungi mimpi, keduanya akan saling memutar nostalgia bagaimana kisah cinta itu kali pertama mereka jalin.

"Kau menyatakan perasaanmu padaku disini." Baekhyun menunjuk semangat tebing yang mereka lewati. Di sampingnya terdapat pohon besar sebagai tempat persinggahan sempurna selepas bekerja di ladang.

Chanyeol menggaruk belakang kepalanya—memalu oleh ingatan dirinya sendiri. Chanyeol dengan jelas dapat melihat sosoknya pada pohon itu, dengan seikat bunga azalea warna warni di tangan. Dia memberikan bunga itu pada Baekhyun dengan sebaris kalimat cinta menguar dari celah bibirnya.

"Baekhyun aku menyukaimu…"

Hanya dengan mengingatnya, merah wajah Chanyeol bersemburat cepat pada parasnya yang tampan. Baekhyun menyikut lengan pria itu menggoda dengan alis naik turun jenaka menatap suaminya itu.

"Ah, manisnya Chanyeollie…" guraunya.

"Kau juga sangat manis saat bilang mau," kini berbalik Chanyeol yang melempar godaan. "Kau bahkan menyimpan bunga pemberianku sampai kering."

"Tentu saja aku menyimpannya, itu bunga yang berharga." Baekhyun mencibir.

"Saat pulang nanti, aku akan mencarinya untukmu."

"Yang banyak!" tuntut Baekhyun. "Kita bisa mengambil beberapa untuk di tanam di apartemen." Sambungnya antusias.

Dan Chanyeol lagi tak memiliki penolakan untuk hal itu.

Jalan setapak semakin lebar ketika perumahan warga mulai terlihat. Rumput-rumput tinggi masih menjadi hiasan halaman itu. Guci-guci besar yang berbaris rapi di samping rumah; beberapa telah retak sedang beberapa lagi ditempeli lumut di keseluruhan badannya.

Rumah Yongdo adalah rumah pertama yang ditemukan, merupakan rumah paling dekat dengan bibir tebing yang menjorak langsung pada laut. Ayahnya adalah nelayan dengan berbagai macam jaring-jaring ikan bergantung banyak pada dinding rumah.

Pintu rumah itu terbuka dengan pekat hitam tercetak banyak pada dipan. Serbuk putih terlihat di atas kayu itu, perlahan terbang tiap kali angin meniupnya ke udara.

Chanyeol dan Baekhyun melewati rumah itu menuju rumah yang lain.

Ada rumah Tuan Gong, salah satu pemilik ladang terbesar di desa dimana Chanyeol dan Baekhyun bekerja dulu. Si pria tua berperut buncit dengan seribu makian yang selalu keluar dari celah bibirnya.

Dia adalah pria yang sombong, tak hanya karena menjadi satu-satunya orang terkaya di desa namun juga karena posisinya sebagai kepala desa itu pula membuatnya jadi yang paling berkuasa, gemar memerintah namun tak pelit kapada orang-orang yang memuji dirinya. Alhasil, semua warga desa memilih untuk memasang gurat wajah ramah pun kalimat manis—apapun asal lembar uang pria itu berikan sebagai imbalan.

Rumahnya adalah yang paling besar dengan sebuah sepeda motor pula yang selalu terparkir apik di depan halaman. Kenderaan roda dua itu terlihat berkarat dengan debu tebal menempel pada setiap bagian tubuhnya. Tumbuhan rambat menjalar, melilit besi itu berkuasa.

Chanyeol masuk ke halaman, langkahnya tenang melewati lahan luas itu dan berjalan masuk ke dalam rumah. Sarang laba-laba tergantung banyak, tumpah tindih dengan berbagai macam pecahan barang di lantainya yang kotor.

Bercak darah yang ada disana ikut berubah warna pula, menghitam seperti yang mereka lihat sebelumnya di rumah Yongdo. Beberapa terpercik pada dinding, mengalir pada lantai yang berasal dari seonggok tubuh bersisa tulang dari si pemilik rumah.

Chanyeol melihat lama tengkorak itu, mendengus pelan lantas membawa langkahnya keluar dari kediaman itu.

"Bagaimana?" Baekhyun bertanya.

"Masih sama seperti kali terakhir," jawab Chanyeol. "Sepertinya benar-benar tak ada yang kesini sejak kita pergi Baek." Katanya lagi.

Baekhyun mengangguk dalam persetujuan, "kupikir polisi juga tidak pernah datang kesini, jika mereka datang tak mungkin mayat-mayat warga desa dibiarkan membusuk dan bersisa tulang seperti ini."

"Memangnya siapa yang mau kesini?" Chanyeol menimpal. "Mereka hanya akan menghabiskan waktu untuk melihat sampah."

Baekhyun tertawa oleh penuturan itu. Dia merapatkan diri dan membiarkan satu lengannya membelit pinggang Chanyeol.

"Ayo kita pulang ke rumah, mungkin masih ada barang lama kita yang bisa kita ambil disana." pinta Baekhyun.

Mungkin—karena nyatanya rumah kecil itu telah habis terbakar. Sisa kayu yang hitam dilalap api telah menyatu dengan tanah bersama tanaman rambat ikut mengelilinginya dengan leluasa. Tidak ada yang tersisa, kecuali kenangan buruk yang nyatanya masih menghantui ingatan mereka berdua.

Imajinasi terbentuk tanpa sadar, melempar mereka kembali pada malam itu… pada kobaran api yang melahap seluruh rumah juga teriakan kebahagiaan dari seluruh warga desa.

"BAKAR MEREKA!"

"YA BAKAR, BAKAR! MEREKA HANYA AKAN MEMBAWA KESIALAN BAGI DESA! BAKAR MANUSIA PENYUKA SESAMA JENIS ITU!"

"BAKAR! BAKAR! BAKAR!"

Teriakannya masih terdengar sangat nyata, berseru keras dan menggema dalam gendang telinga.

Chanyeol dan Baekhyun bertahan pada posisi mereka, seolah telapak kaki telah terpaku di atas tanah dan membiarkan mata ilusi mereka mendapatkan kepingan akan malam kelam itu.

Sosok keduanya terlihat ketakutan dalam kobaran api, tangan tergenggam kuat dalam rasa takut dan membiarkan tubuh mereka menyatu dalam pelukan. Keduanya bersembunyi di antara guci-guci yang menyimpan bumbu fermentasi, menjadikan keramik itu sebagai punggung menghindari kobaran api yang kian buas melahap.

"Chanyeol aku takut…" Baekhyun terisak oleh tangisnya. Sipitnya pecah oleh air mata, memantul dalam bulat milik Chanyeol oleh ketakutan serupa.

Pria tinggi itu menggenggam jemari Baekhyun semakin erat, seolah itu mampu menyalurkan sisa kekuatan yang di milikinya.

"Aku disini bersamamu," dia berbisik nyaris tak terdengar.

"Apa yang harus kita lakukan?" Baekhyun lagi terisak.

Chanyeol mengatupkan rahang benar tak memiliki kata apapun yang bisa dia jadikan sebagai jawaban. Dia menoleh pada api yang tengah melahap habis rumahnya, kayu yang menjadi pilar itu telah menjadi abu. Beberapa patah dan jatuh pada tanah.

Lalu tiba-tiba hujan mengguyur deras, menyurutkan teriakan warga desa hingga akhirnya memilih beranjak menuju rumah masing-masing. Api padam perlahan, menyisakan asap tebal yang kemudian hilang tertiup angin.

Baekhyun menggigil kedinginan cepat-cepat Chanyeol rengkuh dalam pelukan. Kedua lelaki berusia belasan tahun itu meratap langit tanpa tau harus melakukan apapun.

Malam semakin larut sedang hujan perlahan mereda. Debur suara ombak terdengar lagi bersama rembulan yang kembali terlihat.

Chanyeol mengintip dari balik guci, sekali lagi memastikan tak ada seorang pun yang berada di depan rumah. Dia lantas bangkit, berjalan tertatih menuju puing rumah hangus itu, berpikir akan menemukan selembar kain untuk menghalau dingin yang mendera Baekhyun.

Namun semua itu telah terbakar habis. Semua telah menjadi abu kecuali besi tajam yang kini menghitam oleh lahapan api.

Chanyeol melihat benda itu lama bersama bisikan aneh memenuhi inderanya tiba-tiba. Dia mengambil cepat parang itu, menatapnya lama sebelum berpendar jatuh pada lampu yang menerangi rumah warga yang lain.

Matanya mengkilap pun dengan tungkai tiba-tiba saja memacu langkah menuju Baekhyun yang menggigil kedinginan.

"Baekhyun…" Chanyeol memanggil nama lelaki kesayangannya itu dengan lembut. Pundaknya yang bergetar Chanyeol goyangkan pelan, membuat Baekhyun terjaga oleh kantuk yang mendera tubuhnya yang demam.

Sipitnya terbuka berat dengan pandangan buram menatap Chanyeol.

"Aku akan segera kembali oke?" Chanyeol berkata lembut dalam bisikan. "Tidurlah disini sampai aku kembali, hm?"

"Chanyeol mau kemana?" suara serak Baekhyun nyaris tak terdengar.

"Kau kedinginan, aku akan mengambil beberapa kain untukmu, hm?"

"Aku ikut." Baekhyun memaksa menegakkan tubuhnya.

"Aku hanya sebentar, Baek." Chanyeol memberikan penolakan. Namun Baekhyun adalah si keras kepala yang sama, dia menggeleng dan lagi mencoba bangkit dari posisinya.

Chanyeol menghela nafas berat tak mampu menolak permintaan itu. Dia membantu Baekhyun bangun dengan merengkuh pinggangnya dengan erat.

Langkah kaki Baekhyun nyaris tak memiliki tenaga dengan pusing semakin berat menderanya. Suhu tubuhnya naik dengan drastis dan Chanyeol berubah panik ketika tubuh mungil itu melunglai dalam pelukannya.

Kilatan matanya terpancar kembali, menatap penuh amarah pada pintu rumah yang paling besar di desa. Dia dengan hati-hati meletakkan Baekhyun pada dipan dan membantunya bersandar pada pilar.

"Tunggu aku disini, hm?" bisik Chanyeol. Dia mencium kening Baekhyun sekali dan tak mendapatkan jawaban apapun.

Chanyeol menuju pintu, menendangnya dengan keras membuat engsel itu terlepas seketika. Debuman terdengar bersama hentakkan langkah kaki Chanyeol menggema dalam kediaman itu. Matanya bak hewan—terbakar oleh amarah menatap pemilk rumah yang keluar dari kamar.

Chanyeol tak menyisakan detik, lekas menerjang pria tambun itu dan membiarkan parang di tangan menyayat tubuh itu. Darah keluar dengan banyak, mata mendelik bersama tubuhnya yang meluruh jatuh pada lantai.

"Ka-kau—" pria itu merenggang nyawa ketika Chanyeol lagi mengarahkan parangnya pada leher. Menebasnya dengan keras membuat kepala itu terlepas dari batang lehernya. Chanyeol menatap tanpa berkedip bagaimana nyawa meninggalkan tubuh itu di lantai.

Pria itu bergegas masuk ke dalam kamar, menemukan istri Tuan Gong dan tanpa kata melakukan hal yang serupa. Tubuh wanita itu tumbah ruah oleh darah yang keluar dari lehernya yang putus. Chanyeol menyeringai menatap dua tubuh parah baya itu tak lagi bergerak di depannya.

"Chanyeol…" bisikan itu adalah apa yang menarik perhatian Chanyeol seketika. Baekhyun berada pada pintu, menatap sayu Chanyeol lalu jatuh pada Tuan Gong. "Apa yang kau lakukan?" dia bertanya tak bertenaga.

Chanyeol tak segera menjawab, dia membongkar lemari mencari baju kering dan selimut sebelum menghampiri Baekhyun. dia mengganti pakaian si mungil itu lantas melilitkan selimut itu pada tubuhnya.

"Aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan Baekhyun…" Chanyeol berujar lembut. Mata bulatnya mencari sipit Baekhyun dan mengusap pipinya dengan sayang.

"Kau… membunuh mereka?" tanya Baekhyun.

"Mereka pantas untuk itu," sahut Chanyeol.

"Mengapa?" tanya Baekhyun lagi.

"Karena…" Chanyeol menjeda kalimatnya sesaat, dia menoleh pada jasad Tuan Gong dan menatapnya tanpa ekspresi, "Mereka adalah bajingan yang hanya bisa menghakimi kita, orang-orang seperti itu pantas untuk mati."

"Chanyeol…" Baekhyun tergugu atas apa yang Chanyeol katakan. Dia menatap jasad Tuan Gong sekali lagi sebelum beralih pada Chanyeol dan lekas memeluk tubuh pria itu.

"Jangan lakukan ini…" bisiknya.

Chanyeol terkesiap, matanya membola. "Baekhyun…"

Desah nafas Baekhyun menyapa leher Chanyeol dengan hangat. Dia kecup kulit itu sekali sebelum lagi melepaskan diri dan menautkan hazel dengan milik pria-nya.

"Jangan lakukan ini sendiri, ayo kita lakukan ini bersama-sama."

Baekhyun tersenyum, sangat cantik seolah pucat bibir itu bukanlah hambatan untuk celah surga yang Chanyeol inginkan.

Pria itu mengangguk cepat dan lagi memeluk Baekhyun dengan erat.

"Ya, ayo kita lakukan ini bersama."

"Menurutmu apa yang akan terjadi jika polisi tau kita telah membunuh seluruh warga desa?" Baekhyun mendongak pada Chanyeol di atasnya. Jemarinya mengusap guci-guci itu dengan lembut dan memperhatikan tiap celah, berharap sesuatu sempat dia tinggalkan disana.

"Mereka tidak akan," geleng Chanyeol. "Kita juga telah di anggap mati." Sambungnya.

Baekhyun menghela nafas pelan lalu bangkit dari posisinya. Dia mengitari puing rumah itu dan mengusapnya dengan pelan. Ujung jarinya menjadi hitam oleh arang yang tercipta oleh sisa kayu yang terbakar.

"Tentu saja, karena kita telah dibakar oleh warga desa." Dia berbalik badan, tungkainya melangkah pelan menuju Chanyeol dan membawa kedua lengannya melingkari leher itu. Chanyeol merunduk, mencuri kecupan pada bibir Baekhyun dengan decakan pelan di akhir.

"Yang nyatanya kita pergi meninggalkan pulau ini dengan kapal milik Ayah Yongdo setelah membunuh semua warga desa dan menjarah semua uang mereka," Baekhyun terkikik kala mengatakannya. "Setelah kupikir kita berani sekali…"

"Keberanian itu timbul oleh rasa takut sayangku." Ucap Chanyeol. "Kita harus merasakan takut untuk menjadi berani."

"Kau benar," Baekhyun mengangguk setuju, "Omong-omong, kita harus segera pergi sebelum malam. Aku tidak berpikir untuk menginap disini bagaimanapun."

Chanyeol tertawa lagi dan mengecup ujung hidung Baekhyun dengan gemas.

"Siapa yang mau bermalam disini memangnya? Ingat tujuan kita kesini karena apa?"

Baekhyun tersenyum lagi sembari menjemput Chanyeol dalam kecupan kembali, "Bernostalgia."


terima kasih sudah membaca :D