Hi, everyone!
Setelah banyak juga yang minta sequel dari fic "Knock Knock!" yang terakhir Anne tulis. Ini, nih.. Anne buat cerita lanjutannya. Anne akan memfokuskan cerita ini pada kehidupan Flo di dunia sihir dan dinamika hubungan keluarga Dudley dengan keluarga Harry. Untuk rate, Anne pilih menurunkan rate meski di chapter ini masih kemasukan sedikit unsur mature dari bahasanya saja.
Terima kasih untuk yang sudah support Anne.. Anne seneng punya teman-teman seperti kalian semua! Langsung saja yuk! :)
Happy reading!
Ginny terkekeh melihat Hermione begitu kesusahan membersihkan bagian tubuh Hugo setelah bayi dua bulan itu buang air besar. Selama beberapa bulan setelah putranya lahir, Hermione belum begitu cekatan membersihkan Hugo. Tidak seperti saat Rose bayi dulu, Hermione begitu merasa berbeda saat mengurusi bayi laki-lakinya ini.
"Bersihkan bagian depan dan belakangnya. Jangan lama-lama, nanti Hugo kedinginan," pesan Ginny. Ia gemas juga mengamati Hermione sejak beberapa menit lalu belum juga selesai mengurus anaknya sendiri.
Sang kakak ipar mendesah lemas namun masih terus menyapukan kapas basah ke kulit pantat Hugo. "Aduh, aku masih belum terbiasa mengurus bayi laki-laki," kata Hermione pelan.
"Nah, Hugo putramu sendiri, kan, Mione?" Ginny berdiri dari duduknya untuk menenangkan Lily yang menangis. "Apa bedanya?"
"Yaa, tubuh perempuan dan laki-laki, kan, berbeda. Jadi—"
"Kau malu melihat tubuh telanjang putramu sendiri? Merlin, kau sebelumnya bahkan sudah melihat jauh lebih parah dari ini saat membuatnya, bukan begitu Hermione— Ouch!"
Tutup bedak bayi milik Hugo seketika melayang ke dahi Ginny. Penekanan kata 'membuatnya' yang Ginny ucapkan sambil melihat ke arah Hugo menyiratkan satu bukti bahwa tidak mungkin Hermione malu melihat tubuh bayi laki-lakinya sendiri. Sedangkan dengan lahirnya Hugo, Ginny sangat yakin tak mungkin Hermione tidak pernah melihat yang jauh lebih parah dari sekadar melihat bayi laki-laki telanjang.
"Aku yakin Ron memiliki teknik sendiri saat bersamamu. Aku akan tanya Ron untuk memastikan bahwa dia pernah telan—"
"Cukup, Mrs. Potter. Jangan mengotori telinga bayi-bayi ini dengan urusan kamar orang tuanya!" Hermione menatap tajam Ginny yang terkiki geli lantas melanjutkan memasang popok Hugo. "Yups, aku sudah selesai, jadi kita jadi ke rumah sepupu Harry?" tanya Hermione mengubah topik pembicaraan.
Ginny mengangguk. Ponselnya menyala saat pesan singkat Sarah Dursley masuk. Istri Dudley itu mengirimkan pesan bahwa ia dan putrinya, Flo, sudah kembali ke rumah setelah menyusul Flo pulang dari kindergartennya. Seperti informasi dadakan yang sebelumnya sempat disampaikan Harry, Ginny diminta untuk menyusul Flo dan mengantarkannya ke Kementerian. Harry sedikit terlambat karena urusan rapat sehingga tidak sempat jika harus menyusul Flo sendiri.
"Jadi benar, anak sepupu Harry yang tukang bully itu penyihir?" tanya Hermione menyalakan mobilnya. Para bayi diposisikan nyaman dibangku khusus yang sudah dipasang sebelumnya di bangku tengah. Ginny memilih duduk di bangku belakang untuk menemani dua anak-anak itu.
"Ya, aku juga terkejut saat semalam Dudley rela datang sambil.. yeah tampak sekali dia begitu ingin meminta bantuan Harry untuk putrinya. Karena kata Dudley, ia sangat yakin Harry bisa membantunya untuk urusan ini. Sungguh, Dudley sedikit banyak berubah," cerita Ginny tentang Dudley yang berkunjung tengah malam ke rumahnya hanya untuk meminta pertolongan Harry untuk menetralkan hasil sihir Flo yang mengubah gulingnya menjadi separuh tikus.
Setelah coba ditenangkan, Dudley akhirnya bersedia untuk menyerahkan urusan putrinya yang positif penyihir untuk dibantu segalanya oleh Harry. "Ya, semoga dengan putrinya yang juga seorang penyihir bisa membuat hubungan Harry dan Dudley semakin baik."
"Semoga saja, Mione."
Merekapun berlalu melintasi jalanan perumahan menuju kediaman Dudley.
Seorang anak kecil cantik berdiri di tiang teras saat sebuah mobil hitam memasuki pekarangan rumahnya. Ia kemudian berbalik menatap ke arah pintu dan memanggil sang ibu. "Mummy, Aunty Ginny datang!" teriaknya.
Beberapa saat kemudian, munculah wanita berperut besar berjalan sedikit terseok-seok mendekati gadis itu. Ia tersenyum dengan wajah sedikit pucat. "Hai, Ginny," panggilnya.
"Oh, apakah itu Lily, Aunt Ginny?" tanya Flo sambil mengayuh-gayuhkan tangannya ke arah buntalan kain yang digendong Ginny.
Ginny merendahkan tubuhnya dan memperlihatkan Lily kecil yang sedang terlelap di balik selimutnya. "Hai, Lily. Aku sudah tak sabar menunggu adikku lahir," kata Flo mengelus dahi kecil Lily.
"Sebentar lagi, sayang!" jawab Ginny sambil memperbaiki poni Flo.
Hermione, yang kesusahan menggendong Hugo mendekat lantas memperhatikan lekat-lekat wajah Sarah. Wanita hamil itu seperti sedang menahan sesuatu. "Sarah, kau tak apa?" tanya Hermione. Tangan yang terbebas dari menggendong Hugo diletakkannya di atas perut besar Sarah. Merasakan gejolak sang janin di dalam sana.
Wajah Hermione berubah panik, "kontraksi?" tanyanya diikuti anggukan pelan Sarah.
Di sisinya, Flo kebingungan dengan percakapan ibu dan para bibinya. Ia melirik Ginny mencari penjelasan tentang keadaan ibunya. "Mummy—"
"Tidak apa, sayang. Adikmu sebentar lagi akan lahir, jadi Mummy sedikit kesakitan. Kau tenang saja, ya!" bisik Ginny. "Berapa lama, Sarah?" tanyanya lagi.
"Masih beberapa jam. Masih lama. Aku masih bisa tahan, kok," ujar Sarah lantas mempersilakan Hermione dan Ginny masuk.
Rumah Dudley rapi dan penuh dengan mainan. Itulah penilaian Ginny dan Hermione saat kaki mereka menginjakkan kaki di ruang tamu. Seperti yang pernah diceritakan Harry, sejak kecil Dudley dibesarkan dengan banyak mainan dari kedua orang tuanya. Bahkan satupun tidak ada yang dibagi untuk Harry. Sangat besar kemungkinan jika keturunan Dudleypun akan diperlakukan sama seperti dirinya dulu. "Dudley juga memanjakan putrinya, Gin—" bisik Hermione.
"Apa kalian langsung saja mengajak Flo? Bagaimana dengan Harry?" tanya Sarah.
Ginny mengangguk, "Harry tetap yang akan mengantar Flo, Sarah. Tapi Harry tidak bisa menjemput. Dia masih ada urusan dengan pekerjaannya. Jadi," Ginny melihat ke arah Flo yang asik bermain dengan Hugo dari gendongan Hermione. "Nanti aku yang akan mengantar Flo ke tempat kerja Harry. Baru Harry yang akan mengantarkan ke tempat sahabatku yang bisa menetralkan sementara kekuatan Flo," tutur Ginny dengan nada bersahabat.
"Selama aku dan Flo pergi, Hermione akan menemanimu di sini bersama anak-anak. Aku akan kembali secepatnya setelah aku memastikan Flo sudah berada dalam pengawasan Harry."
"Tapi, Ginny—"
"Jangan menolah, Sarah. Kau sedang hamil. Kau saja sudah merasakan kontraksinya semakin cepat. Kami tak tega meninggalkanmu sendiri," kata Hermione memaksa.
Sudah sejak semalam, Ginny memikirkan cara agar Sarah tak sendiri selama Flo bersama Harry. Itulah mengapa Ginny mengajak Hermione untuk ikut datang ke rumah Dudley saat menjemput Flo. Untungnya, Hermione berbesar hati untuk membantu. Ya, tentu saja Ginny butuh bantuan. Tidak mungkin ia memaksa Dudley bolos bekerja hanya untuk menemani Sarah yang sendirian di rumah.
"Kau istri Dudley, sepupu suamiku. Jadi, kau juga keluarga kami, Sarah. Jangan memandang kami orang lain, kita keluarga. Dengan Hermione ataupun kakak-kakakku yang lain. Kita saling tolong. Kau tenang, ya," Ginny memeluk singkat melalui sisi tubuh Sarah untuk menghindari tertekannya perut Sarah maupun Lily yang masih ia gendong.
Sarah menyeka air matanya terharu. Ia salut dengan para penyihir wanita di hadapannya itu. Dulu, Dudley sempat bercerita bahwa ia memiliki kenangan tidak baik selama kanak-kanan bersama Harry. Meski perlahan Dudley mengakui bahwa tindakannya dulu adalah salah, Dudley tetap tak enak jika harus berurusan lagi dengan Harry maupun teman-teman penyihirnya. Sarah sempat melarang Dudley untuk memutus hubungan keluarga antara suaminya itu dengan Harry. Meski keduanya masih sering saling bungkam jika bertemu, paling tidak Sarah berhasil membuat Dudley mau bertemu tatap muka dengan sepupunya.
Saling berkirim surat ucapan natal dan mengantar anak-anak mereka bertemu untuk bermain adalah cara sederhana agar tali kasih keluarga Dudley dengan Harry tak hilang begitu saja. Dengan adanya fakta bahwa Flo, putri Dudley juga seorang penyihir, Sarah begitu yakin Dudley maupun dirinya mau tidak mau akan berurusan lagi dengan Harry dan para penyihir itu.
Sarah juga berharap bahwa keputusan mereka kembali menjalin hubungan baik dengan Harry adalah keputusan yang tepat. Kesalahan masa lalu akan perlahan terobati. Ya, Sarah semakin yakin ia memiliki keluarga dan sahabat baru yang baik.
"Aku titip Lily dulu, aku akan segera kembali setelah aku mengantarkan Lily pada Harry." Ginny meletakkan Lily di kursi bayi yang sengaja ia bawa dari rumah. Hermione langsung menyerahkan kunci mobilnya pada Ginny.
"Naik mobil?" tanya Sarah kebingungan.
Hermione mengangguk. "Tidak ada akses untuk bisa menuju ke Kementerian dari rumah, walaupun dengan jalur perapian, ahh.. mungkin kita bisa membuat juga jalur floo di rumah ini. Cepat atau lambat itu akan sangat dibutuhkan," Hermione menunjuk perapian keluarga Dudley tak jauh dari tempat mereka berkumpul.
Sarah semakin bingung dengan istilah-istilah baru yang ia dengar. "Ow maaf, jadi maksudku ada jalur perapian untuk kita bisa menuju ke tempat tujuan dengan cepat. Tinggal masuk ke dalam perapian dan mengucapkan tempat tujuan sembari menjatuhkan segenggam bubuk floo. Itu bubuk khusus yang kami gunakan. Mungkin kami bisa bantu mengurusnya kalau kau bersedia," jelas Hermione.
"Kalau itu membantu, aku dan Dudley pasti setuju," jawab Sarah. Ia pelan-pelan mengerti bagaimana jalan pikiran para penyihir yang memiliki banyak kejutan.
"Baiklah, mungkin kau bicarakan dulu dengan Dudley. Kalau setuju, Harry akan mengurusnya di Kementerian. Harus ada proses juga dari pihak Kementerian." Ucap Ginny. Setelah berpamitan, ia dan Flo bergegas masuk mobil dan menuju salah satu box telepon umum untuk mengantarkan mereka ke Kementerian.
Banyak hal baru yang akhirnya Flo lihat di dunia yang akan segera ia dalami itu. Ginny mengajaknya ke pusat kota, masuk ke dalam box telepon umum dan turun ke dasar tanah menuju sebuah ruangan luas penuh manusia saling sibuk dengan urusan masing-masing.
"Pakaian mereka aneh-aneh, Aunty! Wow, mereka menghilang dan muncul dari asap hijau itu? Kok bisa?"
Satu persatu pertanyaan Flo semakin membuat Ginny gemas. Anak lima tahun itu penuh dengan rasa ingin tahu yang dalam. Pelan-pelan Ginny pun menjelaskan tentang apa yang sempat Flo lihat dan temui.
"Mereka bekerja di beberapa departemen, Flo. Jadi, seragam mereka tidak sama. Kalaupun yang berjubah atau pakaian biasa seperti kita, mungkin itu tamu atau penyihir yang ingin mengurus sesuatu di kementerian. Sekarang, kita masuk lift dulu agar cepat sampai ke tempat Uncle Harry. Ok!"
Flo sangat excited ketika memasuki lift. Beberapa penyihir yang berada dalam satu lift dengan Ginny dan Flo saling bertukar salam. Bahkan banyak dari mereka begitu mengenal Ginny. Tentu saja, siapa yang tak kenal dengan suaminya.
"Ow, Mrs. Potter, selamat sore. Wah, akhirnya saya bertemu Anda juga di sini," sapa seseorang yang berdiri di belakang Ginny. Wanita bermata biru cerah dengan seragam Auror menyapanya dengan ramah.
Ginny terkejut bukan main dengan siapa yang baru saja menyapanya. "Helen!" panggil Ginny. Helen adalah salah satu anak buah Harry yang ditugaskan ke luar negeri selama beberapa bulan. "Terakih kita bertemu saat Anda masih mengandung. Maaf saya tidak sempat berkunjung untuk menengok bayi Anda, Mrs. Potter."
"Ahh, tak apa Helen. Lily sudah tiga bulan sekarang. Berkunjunglah ke rumah," Ginny tersenyum.
"Lily? Perempuan? Aaaggghh pasti lucu sekali, mirip siapa? Mr. Potter lagi?" tanya Helen begitu penasaran.
Ginny terkikik sebentar lantas menjawab, "kali ini akhirnya mirip aku. Kecil dan berambut merah. Walapun banyak orang yang sudah melihatnya jika Lily tersenyum wajahnya bisa berubah mirip Harry," katanya bercanda.
"Aku mungkin harus memastikan sendiri nanti, Mrs. Potter!" Helen tertawa sampai matanya berair. Ia berhenti tertawa saat menyadari ada anak kecil yang ikut berdiri di sisi Ginny.
Helen menunjuk ke arah Flo dan bertanya, "gadis kecil ini siapa, Mrs. Potter?"
"Ow, ini Florence. Keponakanku. Harry mau mengajaknya keluar, mangkanya aku mengantarkannya kemari. Harry ada di ruangannya?"
"Tadi Mr. Potter masih memimpin rapat divisi utama, tapi mungkin sudah selesai."
Sesampainya di departemen tujuan. Ginny, Flo, dan Helen keluar dari lift dan saling berpamitan. Helen masuk ke bagian hukum untuk mengurus laporan tugas luar negerinya sementara Ginny dan Flo menuju bagian divisi Auror, tepatnya ruangan Harry.
Flo menarik pinggiran pakaian Ginny sampai sang bibi melihat ke arahnya. "Iya, sayang?"
"Uncle Harry orang terkenal, ya? Banyak sekali yang menyapa kita tadi—"
"Semua orang yang bertemu harus saling sapa. Untuk menghargai satu sama lain. Jadi bukan berarti yang disapa adalah orang terkenal saja, Flo!" suara Harry muncul dari salah satu sudut ruangan sambil membawa satu tumpuk map dan gulungan perkamen di tangannya.
Flo mendelik senang melihat pamannya sudah ada di belakangnya. "Ow, kau sudah sampai rupanya," kata Harry sambil memeluk tubuh Flo.
"Sudah selesai rapatnya?" tanya Ginny. Harry kembali berdiri setelah merunduk menyamakan tinggi Flo. Ia mengecup bibir istrinya lantas menjawab, "sudah. Dan sekarang siap berangkat." Ucar Harry.
"Oke, kalau begitu aku langsung pulang saja. Flo, baik-baik dengan Uncle, ya!"
Namun Flo berubah muram saat sang bibi ternyata tak ikut bersama mereka. "Kenapa tak ikut bersama kita, Aunty?" tanya Flo sedih.
"Loh, kan Mummy masih dirumah—"
"Nah, benar juga! Kau meninggalkan Sarah sendirian di rumahnya?" potong Harry terdengar panik. Ia tidak sempat memikirkan keadaan Sarah jika Flo ia ajak keluar sementara Dudley pasti masih bekerja.
Tangan Ginny mengelus pelan dada suaminya sembari tersenyum. "Jangan panik, Mr. Potter. Aku bahkan sudah memikirkannya sebelum aku menjemput Flo. Aku meminta Hermione untuk ikut ke rumah Dudley. Ya, untuk sementara waktu menjaga Sarah agar tak sendirian. Kasihan dia sudah merasakan kontraksi."
Harry begitu kagum dengan istrinya itu. Di saat ia melupakan sesuatu yang juga penting, disitulah Ginny sering menjadi penolongnya. Harry sangat beruntung memiliki istri seperti Ginny. "Kau sungguh luar biasa, Ginny!" bisik Harry.
"Aku sudah sering mendengar rayuan itu, Mr. Potter," Ginny menyeringai geli.
"Hey, itu bukan rayuan, Mrs. Potter. Tapi pujian, ahh lagi pula aku sudah lama tidak memujimu seperti itu setiap malam seperti dulu. Tapi.. ya, aku akan bersabar satu minggu lagi. Satu minggu selesai, kan?" Bisik Harry dengan nada menggoda.
Ginny mengecup kepala Flo kemudian beralih mengecup bibir Harry. "Aduh sabar, lah! Paling tidak setelah masa suburku. Kita sudah sepakat tiga anak cukup. Iya, kan? Bye, semua!"
Flo melambaikan tangannya bersemangat ke arah Ginny sementara Harry mendesah pasrah mengiringi istrinya pergi kembali masuk ke dalam lift.
- TBC -
#
Bagaimana? Sorry ini masih awal, jadi ikuti terus kisahnya. Ada konflik yang sudah Anne rancang nanti untuk fic ini. Anne tunggu reviewnya!
Thanks,
Anne xoxo
