Euterpe

Gintama - Sorachi Hideaki. Dibuat untuk menyalurkan kegemaran semata dan bukan untuk mencari keuntungan pribadi. A/N : ensemble, straight multipair (Gintoki/Tsukuyo, Hijikata/Mitsuba, Sougo/Kagura, Katsura/Ikumatsu, Tatsuma/Mutsu, Kankou/Kouka, Kondo/Otae.) Terima kasih dan selamat membaca.

i.

Gintoki (pernah) merindukan penggalan rembulan.

Ketika peperangan demi peperangan yang membakar seluruh mimpi-mimpinya dalam waktu yang seolah membeku tidak beranjak menyentuhnya—ada memoar-memoar yang berserak dalam benak serupa guguran harapan, meluruh dan kembali meninggalkan secercah air mata di tepi pelupuk matanya, bercampur dengan percik-percik samar darah dan cucuran keringat.

Seluruh memorinya berakhir abadi dalam ingatannya (suatu saat ia pernah mencoba menerimanya, dan yang dirasakannya hanya sakitsakitsakit), berakhir dengan usaha menceraikan memorinya dalam ingatan. Dibiarkannya seluruhnya lesap satu persatu untuk kemudian hancur tak bersisa, serupa monokromnya langit malam tanpa binar kemukus atau kilau rembulan.

Ada masa lalu yang menyambangi ruang kecil dalam dirinya—berdiam diri, yang kemudian hancur berkeping-keping, meninggalkan reruntuhan ingatan hitam putih yang setahunya tidak pernah berpendar dan memberikannya polesan warna. Shouyou-sensei—jari kelingking, senyum tipis, tepukan lembut pada kepala. Tawa yang menjelma tangis. Persetan. Lelucon waktu beberapa kali mempermainkannya dalam konspirasi yang tak pernah dipahaminya, dan yang tersisa adalah pelarian diri.

Untuk segala ingatan masa lalu yang pernah dilaluinya; Gintoki hanya tahu dua hal—melupakan atau dilupakan. Cara paling sederhana untuk meninggalkan busuknya riuh dunia, melarikan diri dari jeratan waktu, melupakan kenyataan, dan mengingkari takdir. Pernah sekali waktu Gintoki merenungkan kehidupannya melalui senjakala yang disaksikannya dari tepi medan pertempuran yang terasa begitu melankolis, berkawan mayat-mayat yang bergelimpangan di atas permukaan tanah, berpadu dengan aroma darah yang diciumnya dari permukaan tajam pedang yang dihunusnya.

Mengapa jalan hidup manusia bisa teramat pelik?

Mengapa manusia bisa amat bergantung pada garis hidupnya, namun di sisi lainnya, secara bersamaan manusia bisa mengutuk hidupnya sendiri, membenci hidupnya dengan segenap hati?

Gintoki menghabiskan seluruh waktu yang dimilikinya selama hidupnya (berlari, menghunus pedang, berperang, terluka) untuk terus bertahan dalam arus kehidupan seraya bertanya mengapamengapamengapa—walau semesta tidak akan (pernah) bisa menjawab pertanyaannya meski bibirnya masih menyuarakan mengapamengapamengapa yang terus-menerus bergaung di antara sunyinya dunia.

(Walau waktu tidak akan pernah berpihak padanya.)

Tidak, karena itu Gintoki mencoba mengerti.

(Tidak ada seseorang yang bisa memahaminya.)

[Mungkin seseorang perlu mengajarinya tentang manusia. Mungkin.]

ii.

Gintoki (pernah) membenci gelapnya malam, suatu hari.

Di antara malam-malam yang terasa begitu dingin, Gintoki memimpikan banyak hal dalam tidurnya—yang berganti menjadi darah, darah, kematian—kemudian mendapati kenyataan bahwa buai bunga tidurnya melayu di antara nyala api yang beranjak untuk membakar jiwanya—menghanguskan pikirannya, termasuk kebahagiaan yang tersisa menjadi memori kelam; untuk kemudian berganti pada ilusi dalam lelapnya—gelap yang infiniti menariknya secara paksa untuk terjatuh, menjebaknya dalam mimpi yang menyesatkan.

Malam telah mengambil banyak hal dari hidupnya—Shouyou-sensei, kebahagiaan—dan Gintoki tidak mau mendapati seluruhnya bertambah seiring linimasa berjalan. Suatu malam dalam peperangan yang dilewatinya, Gintoki mendapati bulan telah menghilang, langit kehilangan cahayanya, matanya berpendar, goresan pedangnya meninggalkan bekas kemerahan yang perlahan menguarkan rasa sakit—darah, darah

Gintoki terbangun dengan alur napas memburu, peluh di segala sisi wajah, dan pandangannya mengarah pada bingkai jendela dan mendapati bulan dalam jarak tatapnya. Untuk saat itu saja Gintoki merasa lega.

(Sejak saat itu, Gintoki tidak membenci malam lagi.)

iii.

Gintoki bertemu dengannya di antara lesatan kilat kunai, kepalan tinju serupa laju badai, juga tatapan bola mata keunguan tajam serupa belati (yang mampu mengoyaknya sekali pandang),

"Tsukuyo."

(Rembulan malam itu teramat bulat. Cantik.)

iv.

"Manusia itu tolol."

Perkataan itu terlantun oleh bibir tipisnya di antara keramaian Yoshiwara saat bulan terdiam di singgasananya, ketika para kupu-kupu malam berlalu lalang di antara mereka—berbekal kedip-kedip mata menggoda dan seringai nakal di wajah pria-pria separuh baya berkawan sake dalam cangkirnya yang menyisakan kenikmatan semata. Lembaran uang tergeletak percuma tanpa tersentuh. Iringan musik dan selendang tipis milik wanita-wanita genit melambai—ketika Gintoki tengah mendongakkan kepala ke arah langit tanpa berkata apa-apa dan gadis itu mengembuskan asap rokoknya yang melayang-layang di antara eksistensi udara. Ditatapnya Gintoki lurus-lurus seraya menautkan kedua alisnya, menyilangkan kedua lengannya seraya mengempas punggung di sandaran kursi yang didudukinya.

"... Mereka sudah tolol dari awal," nada suaranya berat, "Melakukan banyak hal untuk menghancurkan diri mereka sendiri tanpa berpikir panjang. Menjadi bidak untuk permainan yang tidak mereka pahami. Peperangan, pertikaian—kaupikir nyawa manusia hanya mainan, ha? Berapa banyak yang harus mati demi ideologi seseorang, hm? Seseorang harus mengajarkan bagaimana cara memanusiakan manusia, bukan?"

"Memang," Tsukuyo memainkan jemarinya dalam pangkuan, tatapannya beradu dengan mata Gintoki. "Pernahkah kau berpikir bahwa mereka melakukannya hanya demi memuaskan ego mereka sendiri?"

"Hah, ego. Konyol," Gintoki memutar mata seraya mengulas tawa ringan, menertawai kenyataan. "Bukankah kau juga telah menjadi bagian dari manusia sejak lama? Kau juga bisa melakukan hal yang sama tololnya, kalau kau mau, dan kau bisa membunuh dirimu sendiri setelahnya."

"Memang, tapi aku tidak mau."

Bibirnya terasa kelu.

"Mengapa?"

Tatapan Tsukuyo memudar. "Aku ingin menjadi bulan dan berdiam diri di atas langit saja. Dengan begitu, aku bisa menghindari seluruhnya—peperangan, rasa sakit, atau air mata."

Retoris memang, Gintoki tahu.

"Kau tidak akan bisa."

v.

"Kautahu, dulu ada seseorang yang jauh lebih tolol dari para manusia lainnya. Yang tidak pernah mencoba untuk mengerti makna hidup, sehingga kenyataan harus membantingnya, mengempaskannya ke ujung dunia."

Alis Tsukuyo tertaut.

"Ia tidak pernah mencoba ... untuk mengerti?"

"Bagaimana jika seseorang itu tidak memiliki pilihan lain dan mengharuskannya untuk menyerah?"

Tsukuyo mengatupkan matanya. "Kurasa ia tidak tolol, Gintoki. Manusiawi, bukan? Kautahu, banyak hal yang perlu dikesampingkan untuk bisa—"

"Suatu hari ia membiarkan rembulan menghilang dari langit malam. Dihunusnya pedangnya, dipotongnya permukaan langit berbulan tersebut dengan teramat bodoh sehingga bagian-bagian dari rembulan tersebut terburai dan menyisakan gelap setelahnya." Tatapannya memudar. "Ada saat-saat ketika ia akan merindukan rembulannya, meski ia selalu tahu bahwa rembulannya tidak akan pernah kembali."

"Ia hanya perlu memaafkan dirinya sendiri."

"Jangan bercanda. Terlebih, ia memilih untuk menyerah. Konyol, memang."

"Jadi, maksudmu, ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri, begitu?"

Bisu tertabung untuk beberapa saat, sampai—

"Kalau begitu," suara serak Tsukuyo bergema dalam sunyinya ruang-ruang yang mengurung mereka, "Ia hanya perlu menemukan rembulannya yang baru. Yang tidak akan pernah meninggalkan malam untuk selamanya."

Mata Gintoki membesar.

"Rembulan seperti apapun ... tidak akan pernah menyamainya."

vi.

Konotasinya adalah, Tsukuyo adalah rembulan yang kesepian. Yang melindungi matahari, yang tanpa disadarinya menuntun langkahnya dalam gelap, mengajarkannya agar tidak melewati batas. Sorot mata keunguan itu menyiratkan banyak hal yang lebih dari Gintoki kira dan bekas luka di permukaan wajahnya menjelaskan banyak hal dalam sekali pandang, bahwa beban yang ditanggungnya selama hidupnya sama beratnya dengan Gintoki—ketika gadis itu mendapati kematian Jiraia di depan matanya sendiri (gadis itu telah membunuh gurunya dengan kedua tangannya sendiri, membunuh, membunuh—) dan air mata di ujung pelupuk matanya nyaris terjatuh—sampai luka yang perlu diceritakan merebak tanpa mampu tertahan olehnya,

"Gintoki."

Gintoki menatapnya dari bawah dan tidak melihat bekas luka di wajahnya. Hanya ada hampa dalam tatapannya dan ia memilih membisu.

"Hm."

Dadanya terasa nyeri. Sakit sekali.

"Untuk apa sebenarnya kita berperang?" Tatapan gadis itu menyipit, jeri. "Untuk memenangkan sesuatu yang tidak pernah kita inginkan? Demi idealisme manusia? Atau—"

Gintoki mengulas senyum tipis, membelakangi rembulan hingga gadis itu hanya bisa tenggelam dalam bayang-bayangnya.

"Untuk melindungi hal-hal yang selayaknya dilindungi, dan hal itu tidak akan pernah berubah."

vii.

Malam itu ceruk sabit rembulan mengisi potongan langit kelam dan ujung bibir Tsukuyo tertarik sedikit.

"Aku bersyukur telah bertemu denganmu, Gintoki."

(Tsukuyo adalah rembulannya yang lain dan Gintoki akan kembali hidup suatu saat nanti.)

end.