Tittle: You're my pet_side story ; "Our Child's diary"
Characters:
Hungary_M ( Elizabeta ) – Austria_P ( Roderich ) – Russia_M ( Ivan ) – German_M ( Ludwig ) – Prussia_SP ( Gilbert ) – Italia_M/SP ( Feliciano ) – Japan_P ( Kiku ) – France_M ( Francis ) – America_M ( Alfred ) – England_P ( Arthur ) – Switzerland ( Vash Zwingli ) –Liechtenstein ( Lili ).
Rat : M ( and more…)
Genre : Angst – Hurt/ Comfort – Romance ( bigwarning: MPREG / PPREG – male!pregnant / pet!pregnant)
#kalau tidak suka dengan rat M+ dan MPreg/PPreg, langsung CLOSE! ^_^
Desc: Himaruya Hidekazu
A/N thankz:
Thanks sebelumnya untuk yang sudah meng-review / mengkomen / add me as ur fav author – fav stories di cerita sebelumnya. Atas permintaan, akan aku usahakan melanjutkan dan maaf kalau sampai ketelatan update ( berhubung mulai sibuk ).
Untuk yang sudah mengikuti cerita 'You're my pet' sampai tamat, akan lebih mengerti situasi dan kondisi yang sebelumnya. Namun jika baru membaca dari sini-pun tidak akan masalah ^_^ karena alur disini akan sedikit berbeda dan hubungan antar tokoh akan tetap di angkat kembali.
A/N :
^_^ menggunakan nama dari character masing-masing . M ( master ) dan P ( pet ) + SP ( special pet ).
PoV : Roderich ( Austria )
-ooostart par1ooo-
Tinggal bersama dengan seseorang yang dikasihi dan menjalankan keseharian dengan penuh keceriaan menjadi suatu kenangan tersendiri bagi setiap orang. Aku yang sebelumnya tinggal dengan penuh penderitaan, sakit baik tubuh maupun mental, sulit untuk melupakan segala kenangan pahit tersebut dalam waktu singkat. Mimpi buruk yang sudah terkumpul banyak, menjadi luka besar yang tidak mudah untuk mengobatinya.
Sejak Gilbert melepaskanku dari masa lalu yang kelam, perlahan-lahan kehidupanku mulai berubah. Tidak ada lagi yang memarahiku tanpa sebab, memaksaku melakukan sesuatu yang tidak wajar ataupun membiarkanku tenggelam didalam kesendirianku. Dia selalu ada disisiku dan membebaskanku untuk melakukan segala sesuatunya yang aku suka. Walaupun demikian, aku tidak pernah lupa menjaga sikap dengan dirinya.
Setelah makan siang, aku membersihkan 'rumah' yang menjadi milikku dan Gilbert. Sebuah apartemen kecil yang terdapat dua buah ruangan kecil yang merupakan kamar tidur dan ruang membaca. Ruang tamu, ruang makan dan dapur menjadi satu ruangan yang cukup untuk kami berdua. Sedangkan untuk kamar mandi sendiri, terdapat didalam kamar tidur kami. Ya, tempat tinggal yang sangat kecil untuk seseorang seperti Ivan, Francis, Ludwig, ataupun Elizabeta. Namun bagi kami berdua, tempat tinggal ini menjadi tempat yang paling hangat dan menyenangkan.
Dalam waktu 1 jam, aku selesai merapikan semuanya. Kuletakan peralatanku didalam kamar mandi lalu berjalan menuju ruang membaca. Disana terdapat sebuah piano berukuran sedang, berwarna coklat yang menempel pada sisi tembok. Piano ini diberikan Ludwig setelah kami membeli apartemen ini. Sebenarnya ini hadiah dari ayah mereka untuk Gilbert. Seiringnya waktu, Gilbert merasa bosan dan akhirnya tidak pernah dimainkan kembali.
Kubuka penutupnya dan kulipat kain pelindungnya. Kumainkan beberapa lagu yang pernah aku pelajari selama aku masih berada diakademik. Beruntung, jari tanganku dapat bergerak cepat mengikuti irama lagu yang terbayang didalam imajinasiku. Ada beberapa bagian yang tidak dapat aku mainkan dengan baik, tapi itu bukanlah suatu masalah yang besar. Dua tahun aku tidak pernah menyentuh piano lagi, tentu mempengaruhi daya ingat pada jari-jariku.
Kututup kedua mataku mengikuti irama lagu yang kumainkan. Angin sore yang memasuki ruangan melalui jendela didepan piano ini, membuatku semakin terbuai dengan nada-nada yang kumainkan. Sungguh kebahagiaan tersendiri yang tidak dapat kujelaskan dengan kata-kata.
Di tengahku bermain, tiba-tiba saja kurasakan tangan seseorang menutup kedua mataku. Spontan tubuhku menegang dan bergetar ketakutan. Kuhentikan permainanku dan mencoba untuk menenangkan diriku.
"Si-siapa…?," ucapku dengan nada bergetar. Tidak ada jawaban dari sang pemilik tangan ini. "Si-siapa? Ada perlu apa?."
Tanpa peringatan, kedua tangan tersebut melingkar di pinggangku dan kepalanya bersandar pada bahuku. Tercium aroma tubuhnya yang khas dan terdengar suara 'kesesesese…' di telingaku. Akhirnya aku mengetahui siapakah pemilik kedua tangan tersebut.
"Gilbert!," seruku dengan nada sedikit kesal.
"Kesesese…. Kenapa? Kamu takut, ya? Hahahaha… Maaf, aku hanya bercanda…"Aku hanya terdiam sambil memalingkan wajahku padanya.
Kesal, namun aku tidak bisa marah dengannya.
Gilbert mengecup pipi kananku, kubalikan tubuhku dan bibir kami saling bertemu. Sebuah ciuman 'selamat datang' yang terlambat kuberikan. Tapi aku tidak perlu khawatir, karena dia sendiri yang akan memintanya padaku. Setelah beberapa saat berlalu, Gilbert melepaskan ciumannya dan diam menatapku.
"Ada apa?."
Tidak ada sepatah kata dan hanya sebuah senyuman darinya. Perlahan dia berjalan meninggalkanku dan dari gerak tubuhnya, sepertinya dia memintaku untuk mengikutinya dari belakang. Gilbert membuka jendela ruang tamu yang terhubung dengan teras lalu duduk diam dengan posisi menghadap keluar. Takut dia akan marah, aku duduk disampingnya dan kembali bertanya padanya.
"Kesesese, Roderich… tidak terasa sudah setengah tahun,ya… sungguh awesome…"
Aku terdiam menatapnya dengan penuh kebingungan. Gilbert kembali tersenyum dan menarikku kedalam pelukannya. Kusandarkan kepalaku pada bahu kanannya dan membiarkan tangannya mengusap bahu tanganku yang melingkar padaku. Tangan kirinya meraih tangan kiriku dan dia selipkan jari-jarinya padaku.
"Ada apa, Gil? Apa kamu ada masalah?," tanyaku sambil menaikan kepalaku untuk menatapnya.
Gilbert menggeleng.
"Tidak. Semuanya berjalan lancar, Roddy…" Roddy adalah nama kecilku darinya. "Hari ini Yao mendapatkan pasien baru dan dia itu sepertimu. Umurnya masih kecil namun tubuh dan jiwanya sungguh mengenaskan. Arthur yang secara kebetulan bertemu dengannya di lorong-lorong, langsung membawanya untuk segera diperiksa. Jiwanya yang sudah terluka, tidak dapat menjawab seluruh pertanyaan sederhana. Akhirnya mereka meminta tolong padaku dan Kiku untuk membantunya mendapatkan informasi mengenai majikannya yang kejam itu…"
"…ternyata masih banyak…," ucapku lemah.
"Stt… Jangan kamu pikirkan, Roderich. Maaf jika kejadian yang tidak awesome ini kuceritakan padamu."
"Tidak apa-apa, Gil… aku ikut merasa kasihan dengan anak itu dan aku mengerti sekali bagaimana perasaannya yang terluka. Sungguh sulit sekali untuk disembuhkan…,"
"Roderich…"
Gilbert kembali memelukku dengan erat sambil menatap langit yang mulai berubah warna menjadi hitam dengan cahaya-cahaya kecil dipermukaannya. Kutatap wajah Gilbert yang terlihat sedih dan mengecupnya. Kucoba menghiburnya dengan memberikan tubuhku untuknya. Kubalikan tubuhku untuk saling berhadapan dengannya, melingkarkan tanganku pada bahunya dan membiarkan dia menghirup aroma tubuhku. Jika ini bisa membuatnya lebih tenang, aku tidak akan marah ataupun menolak.
Tangan hangatnya dia lingkarkan didalam kaus biruku. Tanpa perlawanan, akupun memegang wajahnya dan membiarkan dia menguasai mulutku. Perlahan-lahan pertahanan tubuhku melemah seiring jari tangannya yang menyentuh bagian tubuh sensitifku dibalik kaus celanaku. Aku yang sudah tidak kuat dengan sensasi ini, hanya bisa menyandarkan kepalaku pada bahunya dengan kedua tanganku yang melingkar pada tubuhnya. Ditengah sensasi ini, kulitkupun merasakan hawa dinginnya malam ketika Gilbert mulai melepaskan kaus celanaku. Dalam waktu singkat, kurasakan sesuatu yang mengalir deras dari dalam tubuhku membasahi pakaian dalamku.
"Gil…bert…," desahku yang masih bersandar pada bahu kirinya.
"Maaf sudah membuat pakaianmu menjadi kotor, kesesese…," ucapnya sambil melepaskan kain penutupku sebatas lututku. "Tapi ini awesome!"
Tanpa kata, Gilbert mendekatkan wajahnya dan kurasakan lidahnya yang kembali menyentuh tubuhku. Telapak tangan kananku menutup mulut, sedangkan tangan kiriku menjadi penahan tubuhku. Tubuhku kembali gemetar seiring gerakan lidahnya yang semakin cepat dan salah satu jari tangannya menembus pertahanan tubuhku. Genggamanku semakin erat dan desahanku semakin tidak tertahankan. Kali ini cairanku yang membasahi wajah dan tubuh Gilbert, membuatku merasa takut. Secara tidak sadar, tubuhku menghindarinya dan menatapnya dengan penuh ketakutan.
"G-gilbert… ma-maafkan aku…," panikku dan terburu-buru mengambil celanaku yang masih bersih untuk membersihkan wajahnya. Rasa panik dan takut membuatku terisak.
"Hey…," Gilbert menarik tanganku lalu menciumku. "Apa yang kamu takutkan, Roddy? Aku yang AWESOME ini tidak marah padamu, kesesese…" Gilbert kembali mengecupku dari sudut mataku, pipiku lalu bibirku. Aku yang terisak hanya bisa mengangguk pelan dan diam menunduk. Sungguh aku merasa tidak pantas berhadapan dengannya.
Setelah tubuhku cukup siap, Gilbert mengiringku untuk berbaring diatas kayu dingin ini dan diapun memposisikan dirinya diatasku. Bibir kami kembali bertemu seiring dia menembus pertahanan tubuhku dengan tubuhnya. Ketika mulutku terbuka, Gilbert kembali menciumku dalam-dalam. Kedua tanganku ditahan olehnya dan memaksaku untuk memanggil namanya karena aku sudah tidak kuat untuk menahannya tanpa menutup dengan telapak tanganku. Desahanku semakin menjadi-jadi saat Gilbert menghirup aroma tubuhku pada leher dan dadaku. Selain itu kecepatan pada tubuhnya semakin bertambah, sehingga dalam sesaat akupun kembali pada batas ketahanan tubuhku.
"Gil…bert…," ucapku perlahan sambil menatap wajahnya yang sudah terbawa pada suasana ini. Kulihat Gilbert yang tersenyum padaku dan mengusap keringat pada keningku.
"Roddy…"
Gilbert kembali menciumku dan tubuhnyapun memasuki tubuhku sampai batas pertahananku. Setiap hentakan tubuhnya mengenai bagian yang membuat pandanganku menghilang. Nafas dan detak jantungku yang semakin tidak teratur membuat tubuhku semakin bergetar hebat. Kaki maupun ekorku menegang hebat. Kedua tanganku mencengkeram keras pada lengan tangannya yang berada disisi bahuku dan tidak lama kemudian tubuhku merasakan adanya cairan panas yang memasuki tubuhku dalam jumlah banyak. Kutersenyum padanya dan bibir kami bertemu untuk mengekspresikan kebahagiaan ini.
-oooo-
Beberapa hari kemudian, Gilbert berpamitan padaku untuk suatu pekerjaan yang harus dia lakukan ditempat kerjanya. Mendapatkan banyak pasien diwaktu singkat, membuatnya harus menghabiskan banyak waktu untuk memberikan perhatian dan perawatan secara berkala. Aku mengerti benar bagaimana dan seperti apa pekerjaannya itu. Untuk pertama kalinya dia meninggalkanku sendirian diapartemen ini. Tugasnya yang semakin berat berikut dengan perjalan pulangnya, membuatnya tidak mempunyai waktu untuk beristirahat. Oleh karena itu, dengan berat hati aku harus mengambil keputusan untuk mengizinkannya. Sebenarnya hal seperti ini bukanlah suatu keputusan yang bisa aku ambil, karena dialah 'majikan'ku. Tetapi Gilbert tidak pernah membahasnya dan melihatku sama seperti dirinya.
"Maafkan aku, Roderich. Setelah selesai, dengan kecepatan yang awesome ini, aku akan segera pulang dan menemanimu seharian," ucapnya sebelum berpamitan padaku.
Aku tertawa kecil dan mengecup pipinya. "Tidak apa-apa, Gil… Ini hanya satu malam dan besok pagi kau-pun sudah kembali ke apartemen ini. Aku bisa menjaga diriku sendiri, Gilbert…"
"Kesesese… jika ada masalah, jangan ragu untuk menghubungiku yang awesome ini, ya! Atau kamu bisa menghubungi Ludwig ataupun Feliciano. Hmmm… mungkin lebih baik kalau kamu tinggal bersama dengan mereka sa-"
Akupun menciumnya untuk menghentikan seluruh rasa khawatirnya. Memang berat untuk berpisah dengannya walau hanya satu malam, tapi aku tidak boleh egois. Kebaikan dan perhatiannya sudah menolong diriku lepas dari rantai yang mengikatku. Kini gilirannya untuk membagi kebaikannya itu pada kaumku yang lebih membutuhkan kehadirannya.
"Ro-roderich…," wajah Gilbert memerah.
"Aku tidak akan apa-apa. Tidak usah khawatir, ya." Senyumku dan berusaha untuk menghilangkan rasa khawatirnya.
"Ya. Kalau begitu, aku pergi dulu."
Aku mengangguk. "Selamat jalan, Gil…"
Gilbert mengangguk lalu berjalan keluar dan menutup pintu apartemen ini. Senyum diwajahku perlahan digantikan dengan isak tangis yang mengisi keheningan diruangan ini. Sebenarnya aku masih merasa takut untuk ditinggal sendirian seperti ini. Selain itu, perasaanku mengatakan bahwa akan ada sesuatu hal buruk terjadi.
Untuk menghilangkan rasa khawatirku dipagi ini, aku berjalan menuju dapur untuk membuat kue coklat kesukaanku. Kusiapkan seluruh bahan yang dibutuhkan lalu segera membuatnya. Dalam waktu satu jam, kue coklatku telah siap untuk memasuki tahap akhir. Kumasukan kue coklatku kedalam panggangan lalu mengatur waktunya. Untuk menunggu sampai kueku siap, kusiapkan cangkir beserta teh kesukaanku dan Gilbert. Ditengah aku menyiapkan tehku, terdengar suara bel apartemen ini. Kukeringkan tanganku sejenak lalu berlari kecil untuk melihat siapakah yang datang berkunjung hari ini.
"Paket untuk tuan Gilbert," seru seseorang dibalik pintu.
"Ya. Tunggu…" ucapku sambil membukakan rantai kuncinya. Rasa terkejutku tidak bisa aku tutupi ketika aku mendapatkan seseorang yang tidak asing dihadapanku saat ini. Seseorang yang sudah lama tidak aku temui dan akupun mengenalnya dengan pasti.
"Ro-roderich? Sedang apa kamu disini?"
Sudah lama kami tidak berjumpa, namun gaya dan nada berbicaranya tidak berubah sama sekali. Tubuhku sedikit terhentak mendengar nada suaranya yang membentak itu.
"Aku memang tinggal disini, Vash," jelasku secara singkat. "…dan sekarang Gilbert adalah majikanku."
"Oh?," Vash memalingkan wajahnya sambil memberikan sebuah kotak kepadaku. "Ini ada paket dari seseorang yang bernama Fritz Beilschmidt."
Aku menerima kotak kecil itu dan menatapnya sesaat. "Vash, bagaimana kalau kita masuk sejenak? Aku baru saja membuat kue coklat dan menyiapkan teh."Seperti biasa, Vash memalingkan wajahnya dan mengangguk pelan.
Sejak aku mengenalnya di akademis, dia adalah salah satu manusia normal yang tidak menganggapku berbeda dengan yang lainnya. Tidak jarang dia membantuku dan melindungiku dari mereka yang selalu mengejekku. Namun karena perbedaan kelas yang begitu banyak dan keterbatasanku untuk masuk, membuatku jarang bertemu dengannya. Selain itu, dia juga mempunyai peliharaan yang begitu manis dan sangat dekat dengannya. Seorang anak perempuan yang dia temukan dipinggir jalan yang tidak jauh dari rumahnya. Akupun mengetahuinya saat dia meminta saran dan pendapat mengenai apa saja yang harus dipersiapkan untuk 'kaum' sepertiku ini.
Kuajak dia untuk duduk diruang tengah sambil menungguku menyiapkan teh. Dalam waktu 10 menit, kue coklatku sudah siap lalu akupun berjalan mendekatinya dengan sebuah nampan ditanganku. Harum kue coklat dan teh ini membuatku semakin tidak sabar untuk menyantapnya.
"Jadi…," Vash mulai angkat bicara sambil melihatku meletakan piring dan cangkir dihadapannya. "…sudah berapa lama kamu tinggal disini?"
"Sekitar 3 bulan. Sebelumnya aku sempat tinggal bersama dengan adiknya…" Vash mengangguk lalu meneguk minuman yang kusediakan. "Oh ya, bagaimana dengan kabarmu dan Lili? Bagaimana dia sekarang?." Lili adalah nama peliharaannya.
"Aku dan dia baik-baik saja. Aku sempat khawatir dengan keadaannya dalam beberapa hari lalu, tetapi itu semua bisa aku atasi dan…," Vash menatapku. "…apa yang kamu lakukan selama ini? Lebih dari satu tahun kamu tidak memberikan kabar kepadaku? Aku mendengar kalau kamu sempat dilarang keluar sama sekali oleh Ivan dan bagaimana sekarang kamu bisa bersama dengan 'dia'? Kalian itu berbeda!"
Aku tersenyum dan tertawa pelan. Sejak dulu Vash tidak menyukai 'kaum' seperti Gilbert karena ayahnya yang sempat hampir terbunuh untuk suatu masalah yang tidak jelas kasusnya. Lebih tepatnya penyerangan secara acak oleh 'kaum' Gilbert yang tidak menyukai manusia. Beruntung ayahnya sempat ditolong oleh seseorang yang secara kebetulan melintas ditempat kejadiaan tersebut, dan sejak saat itu Vash membenci 'kaum' bertelinga anjing ini.
"Cerita yang sangat panjang dan akupun tidak tahu harus aku mulai dari mana…" Kuteguk minumanku dan menatapnya yang duduk berseberangan denganku. "…dan itu semua adalah mimpi buruk…," tanpa kusadari air mata kembali keluar dari sudut mataku.
"Roderich…"
Kutekuk kedua lututku dan mendekatkannya didepan dadaku. Kusandarkan kepalaku dan kulingkarkan tanganku pada kakiku. Aku sudah terbiasa bercerita ataupun menangis didepan Vash, namun ketika bayangan Ivan dan Francis kembali dipikiranku, tubuhku kembali bergetar dan nafasku semakin tidak beraturan.
"Kamu tidak apa-apa?," tanyanya khawatir sambil meletakan tangannya pada bahuku.
Aku menggeleng. "Aku tidak apa-apa…," jawabku singkat. "Vash, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu…" Vash bergumam sebagai ganti jawaban. "Apa kamu tahu cara untuk melupakan mimpi buruk?"
Vash menatapku dengan penuh kebingungan, duduk disebelahku. "Boleh aku tahu, apakah mimpimu itu terus terulang dengan mimpi yang sama? Atau bagaimana?"
Aku terdiam sejenak. "Mimpi burukku itu sebenarnya aku dapatkan sejak Ivan dan Francis menjadi 'majikanku'. Hari-hariku menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan kehidupanku sebelum aku tinggal bersama Elizabeta. Aku ingin melupakan itu, Vash. Aku tidak ingin mengingat mimpi buruk yang selalu membuatku ketakutan! Selain itu, aku tidak ingin menjadi beban bagi orang lain, Vash…"
Vash yang berada disebelahku melingkarkan tangannya dan membiarkan aku bersandar pada bahunya. "Aku bingung. Bagaimana caranya aku bisa melupakan itu?." Tanpa kata, aku langsung meluruskan punggungku dan menatapnya dengan serius. "Kumohon, bantu aku dan beritaku aku… Bagaimana aku bisa melupakan mimpi ini? Bagaimana cara agar mimpi ini tidak datang lagi padaku, Vash. Kumohon… Beritahu aku…," tanpa kusadari aku mulai terisak.
Vash menggeleng dan menarikku kedalam pelukannya. "Aku bisa saja membantumu, tapi itu balik lagi kepadamu. Jika kamu ingin melupakan mimpi burukmu, kamu harus yakin bahwa mimpi itu sebenarnya tidak pernah ada. Yakin bahwa itu semua bukanlah suatu kenyataan yang kamu lihat. Itu hanyalah sebuah simpanan sesaat dari rasa kesal yang sudah tertimbun lama…."
"Benarkah?"
Vash mengangguk. "Jika kamu yakin bahwa mimpi itu hanyalah sebuah teka teki, jalanilah kehidupanmu seperti biasa. Jangan membuat mimpi burukmu itu menjadi suatu beban pikiran disetiap aktivitasmu. Lupakanlah… Bukankah itu yang selalu diajarkan kepada 'kaum' kalian untuk tetap bertahan di dunia ini?"
Aku mengangguk pelan sebagai ganti persetujuanku dengan pernyataannya. Kurasakan pelukannya semakin erat dan akupun membalasnya dengan melingkarkan tanganku pada tubuhnya. Sungguh aku merasa beruntung mempunyai seorang teman bernama Vash.
Selain pintar dan berprestasi, Vash juga mempunyai sikap dewasa dan kehangatan tersendiri. Berkat dia, aku tidak sendirian di dalam kelas ataupun pembagian kelompok kerja. Selain itu, hubunganku dengan dia sudah seperti saudara dekat. Baginya, aku mempunyai tingkatan yang sama dengan adiknya, Lili. Namun itu tidak menjadi suatu masalah yang harus diperdebatkan. Berkat dirinya, aku dapat merasakan kehangatan kasih dan perhatian dari seorang keluarga terdekat. Tidak perduli bagaimana dan seperti apa mereka bersama. Selama ada kerukunan dan kedamaian, suasanapun menjadi lebih hangat dan menyenangkan.
Tanpa disadari hari semakin siang dan Vash harus segera berpamitan untuk melanjutkan aktivitasnya. Setelah menutup pintu dan meletakan paket milik Gilbert dikamar kami, akupun kembali duduk diruang tengah untuk menonton beberapa acara. Berkali-kali aku mengganti program acara, dan tidak ada satupun yang membuatku tertarik ataupun menghilangkan rasa kebosananku. Akhirnya aku putuskan untuk berbelanja, membeli beberapa bahan makanan yang sekiranya dibutuhkan untuk membuat makanan kesukaan Gilbert. Aku ingin menyajikan sesuatu untuknya ketika dia pulang nanti.
Selesai mengganti pakaian dan mempersiapkan dompet beserta telepon genggamku, akupun siap untuk berangkat. Langkahku terhenti seiring kulihat rantai kalung yang biasa aku gunakan ketika aku masih tinggal bersama Elizabeta, Ivan, maupun Francis. Aku tidak membuangnya karena rantai ini pemberian Elizabeta yang dapat kusimpan sampai sekarang. Selain itu, aku tidak pernah keluar sendirian sejak Gilbert menjadi majikanku. Ini menjadi pertama kalinya aku melangkahkan kakiku untuk berbelanja tanpa kehadirannya disisiku. Rasa ragu memenuhi pikiranku dan membuatku mengeluarkan telepon genggamku, lalu bersiap untuk menghubungi Feliciano ataupun Kiku. Tapi niat itu aku urungkan karena aku tidak ingin mengganggu keseharian mereka. Akhirnya kumasukan telepon genggamku dan melanjutkan langkahku menuju swalayan terdekat.
Jarak antara swalayan dan apartemen hanya memakan waktu 15 menit. Setelah sampai di swalayan, dengan santai kulihat beberapa macam sayuran ataupun bahan lainnya yang kubutuhkan. Tetapi perasaanku mengatakan bahwa ada seseorang yang memperhatikanku. Aku semakin yakin dengan perasaanku ketika aku berhenti untuk memilih sayuran dan terdengar beberapa pembicaraan orang-orang sekitar.
"Hey, lihat. Wajah dan tubuhnya benar-benar bagus! Benar-benar terawat dan bersih!, " bisik seorang manusia bersama dengan temannya. Siapa mereka, aku tidak mengenalnya ataupun melihatnya karena posisiku yang membelakangi mereka.
"Benar sekali! Tapi kamu yakin kalau dia dirawat atau dia kabur dari majikannya?," bisik seorang yang lainnya.
"Hmm?," temannya diam sejenak. "Sepertinya kamu benar. Lihat saja, dia tidak memakai kalung apapun pada lehernya. Atau dia dibuang begitu saja?," lanjutnya.
"Entahlah…Lalu apa-"
Tanpa membuang waktu, aku segera berjalan menjauhi mereka untuk mencari cermin ataupun besi apapun yang dapat menghilangkan rasa khawatirku. Seletah aku berjalan beberapa langkah, tubuhku menegang ketika melihat pantulan tubuhku pada besi putih yang menjadi lemari pendingin. Tidak ada kalung apapun yang tergantung pada leherku, bahkan kalung pengenal sekalipun. Selama ini aku selalu berjalan bersama dengan Gilbert, sehingga aku tidak membutuhkan dan merasa yakin kalau dia akan selalu melindungiku. Selain itu, dia juga tidak pernah memaksaku untuk memakainya.
Setelah memeriksa barang belanjaanku, aku segera berlari menuju kasir untuk membayar belanjaanku dan kembali ke apartemenku. Aku hanya bisa diam menutupi rasa ketakutanku dari padangan para manusia yang menatapku tajam.
'Jadi inilah alasan mengapa mereka semua menatapku penuh curiga…'
Kukeluarkan beberapa lembar untuk membayar, lalu akupun bergegas untuk segera kembali. Baru saja aku melangkah beberapa langkah dari pintu keluar swalayan, tiba-tiba saja ada 2 orang laki-laki manusia yang berdiri dihadapanku. Tubuh mereka tidak terlalu besar dan tinggi seperti Ivan, namun tatapan mereka membuatku merasa ketakutan. Tanpa kata, aku berjalan mundur untuk menghindari mereka, tetapi aku terlambat karena salah satu dari mereka segera menangkap lengan tanganku dan menarikku ke sudut bangunan yang cukup gelap dan jauh dari perhatian sekitar.
"Si-siapa kalian?" seruku dengan penuh ketakutan. Kurasakan ekorku begetar dan telingaku menunduk.
"Siapa kami, ini bukan menjadi masalah bagimu…," pria yang berambut biru itu mendekatiku dan mengunci gerakanku dengan meletakan kedua tangannya diantara kepalaku. "Sepertinya kamu tersesat. Bagaimana kalau kamu ikut dengan kami?"
"Tidak! Aku tidak tersesat dan sekarang aku mau pulang!," seruku dan akupun mencoba untuk melepaskan diriku.
Tiba-tiba saja pria itu menarik tanganku yang membuat kantung belanjaanku terlepas lalu dia mendekatkan wajahnya padaku. Kupalingkan wajahku dan dia melanjutkan menghirup aroma tubuhku dari leherku. Tubuhku semakin bergetar hebat dan rasa takutku semakin memenuhi pikiranku. Kucoba sebisaku untuk melepaskan tanganku dari genggamannya, namun usahaku sia-sia. Walau tubuhnya tidak terlalu besar, namun tenaga kami cukup berbeda.
"Jangan melawan jika tidak mau kami kasari," bentak temannya yang bertubuh lebih tinggi dari kami berdua dan mempunyai rambut berwarna kecoklatan. Tubuhku menegang mendengar bentakannya dan tanpa kusadari airmata hampir keluar dari sudut mataku. "Bawa saja dia ketempat kita," sambungnya sambil mengambil kantung belanjaanku.
"Ya. Kau benar," balasnya sambil menatapku tajam.
Melawan? Tentu saja. Kucoba sebisaku untuk tetap melawan dan berteriak. Usahaku sia-sia akibat telapak tangan laki-laki berambut biru itu membungkam mulutku dan melingkarkan tangannya pada tubuhku. Aku terus memberontak sampai akhirnya tubuhku terlepas dari pelukannya, tetapi aku lupa dengan temannya yang berada didekat kami. Akupun terjatuh akibat tersengkat oleh kaki temannya itu dan sebuah pukulan mengenai leher belakangku. Membuat pandangan dan kesadaranku semakin menghilang.
"Le…lepaskan…," cobaku untuk tetap bertahan dan bangun untuk menghindari mereka.
Kulihat mereka hanya tertawa dan salah satu dari mereka menarik ekorku, yang membuat tubuhku semakin menegang. Seiring gerakanku yang terus menghindar, tarikannya pada ekorku semakin keras dan membuatku cukup berteriak lemah. Akhirnya tubuhku menggigil dan pertahanan tubuhku semakin melemah.
"…a…a-aku…mo-mohon…le…lepask…"
Tanpa memperdulikan ucapanku, laki-laki itu membawaku dengan meletakanku pada bahunya dengan menggenggam ekor dan melingkarkannya pada tangannya. Aku hanya bisa diam seperti seorang anak kecil yang menggigil ketakutan tanpa perlawanan sama sekali. Tidak lama kemudian pandanganku semakin mengabur dan kedua mataku semakin berat untuk dibuka.
'Gilbert…kumohon… tolong aku… tolong aku… tolong aku!'
Ucapku dalam hati sebelum akhirnya pandanganku berubah secara keseluruhan menjadi cahaya putih.
-ooendpart 1oo—
R n R , please…?
