Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya. Penulis tidak mendapatkan keuntungan materiil apapun dari fanfiksi ini. Standard warning applied. South Italy/Liechtenstein; AU.
Entri untuk #SecretValentine2018
before the morning light
.
Di pagi hari, di ceruk fajar pertengahan Februari yang beku dan kelabu pucat, Liesel tersentak bangun dengan jari-jari menggenggam erat selimutnya. Belum ada sinar oranye keemasan yang menerobos masuk lewat kisi jendela, langit di luar sana masih hampir sama gelapnya dengan malam hari. Tapi segala hal di sekelilingnya utuh, baik-baik saja, nyata—yang berarti Liesel tak perlu mengingat lagi hujan api, serpih debu dan tulang dan sisa-sisa kota, serta cairan daging yang kerap kali mampir tiap kali ia memejamkan mata.
Terutama malam tadi—bertahun-tahun sejak saat di mana langit menurunkan neraka tepat di depan mata; ribuan kembang api yang meratakan kota dan mengantarkan penghuninya kembali ke tanah.
Liesel meregangkan badan dan menyadari bahwa ia satu-satunya yang menguasai kasur. Baik Lovino maupun kucing mereka pasti sudah bangun lebih dulu. Memasang jubah tidurnya dan menyampirkan selimut di bahunya, ia menuruni tangga dengan langkah terhuyung. Ubin di kakinya terasa sedingin es, dan ia tak bisa menemukan sandal rumahnya. Lovino benar-benar harus berhenti menggunakan barang-barangnya.
Di dapur, ia menemukan Lovino yang tengah mengaduk adonan di atas kursi kayu, tongkatnya bersandar di meja. Radio menyenandungkan lagu berbahasa Inggris yang tak Liesel kenal, Lovino mengikuti dengan suaranya yang berat dan rendah. Di antara pijar lampu yang remang dan bara api perapian, ia adalah kehangatan yang Liesel butuhkan untuk memulai hari.
Liesel menyandarkan kepalanya di bahu Lovino, membisikkan selamat pagi yang nyaris tak terdengar.
Lovino mengacak rambutnya sayang dengan tangan penuh tepung. Tapi karena sebentar lagi ia sendiri pun akan bertabur tepung dan sirup, Liesel membiarkannya saja. Ia berdiam di sana untuk beberapa saat.
"Ada apa?" Lovino akhirnya bertanya.
Neraka itu mampir lagi ke mimpiku, Liesel ingin berkata. Tapi ia menggigit lidahnya dan mencukupkan begini saja, "Aku bangun dan kau tidak ada di sampingku. Lalu kau mencuri sendalku... lagi."
Mendengarnya Lovino terkekeh, "Tidak tega membangunkanmu. Kau mendengkur seperti kucing."
"Memang seperti kucing," Ujarnya lagi saat Liesel menggesekkan wajahnya di pundak Lovino. Lovino terasa benar-benar hangat dan nyaman, poin plus pada aroma menyenangkannya yang tercium seperti toko kue—karena ia (mereka) memang pemilik toko kue. Yang Liesel ingin lakukan dengannya adalah berbaring di kasur seharian bersama kucing mereka dan buku-buku dongeng, hanya bangkit ketika merasa lapar. Tapi tidak pada hari di mana pikirannya enggan pergi dari hujan api dan bagaimana waktu yang begitu cepat berlalu tak juga menyembuhkan luka maupun menghilangkan naluri manusia untuk menghancurkan satu sama lain; dan terutama, tidak pula pada salah satu hari paling sibuk di tiap tahunnya... hari kasih sayang. Hari yang penuh ironi.
Lovino pun tahu ini, dan Liesel tak ingin mengingatkannya lagi.
"Belikan sendal untuk hadiah Valentine-ku?"
"Tidak ada hadiah untuk pencuri." Liesel memukulnya main-main.
"Kalau begitu, kita harus memotong jatah cokelat Feliciano hari ini. Karena si tolol itu yang menghilangkan sendalku lebih dulu."
Liesel dengan senang hati memuntir bibir Lovino hingga empunya menjerit. Entah siapa yang mengajarkan kosa kata itu pada Lovino kecil, tapi sepertinya Lovino jatuh cinta lebih dulu pada kata-kata itu sebelum ia jatuh cinta pada Liesel, yang terjadinya saat mereka berdua baru setinggi pinggang orang dewasa.
Dari luar sana, percakapan Feliciano dengan petani yang mengantar sayur dan buah-buahan untuk mereka terdengar jelas. Tawa melengking disertai nada suara yang terlalu antusias itu mungkin akan membangunkan tetangga sebentar lagi; umpatan bercampur protes yang memancing kemarahan Lovino dan mengasamkan suasana hati semua orang. Tapi pada detik ini, waktu berjalan lambat dan nyaman, nyaris mendayu; segala hal yang kau inginkan di hari kasih sayang. Radio mengganti lagu dengan sesuatu yang lebih lembut, seolah mengingatkannya kembali untuk menelan momen ini, kenyataan ini.
Tangan kiri Lovino yang diukir bekas-bekas luka bakar meraih jari-jari Liesel dan menciuminya satu per satu. Liesel tak bisa menyembunyikan rona wajah, sementara Lovino hanya tersenyum—cerah, cerah sekali rupanya meski carut-marut yang sama menghiasi sisi kirinya, merebut setengah pengelihatannya.
"Doa untukmu hari ini." Ujarnya. "Semoga hari ini pun kau berbahagia, semoga apapun yang menghantuimu malam tadi, bisa kaukalahkan pagi ini—lihat," Lovino menyibak tirai jendelaengan tongkatnya. "Sebentar lagi mataharinya terbit. Kota akan segera bangun. Hantu-hantunya pulang."
Liesel tersenyum mendengarnya.
"Dan buruh-buruh yang jam kerjanya kelewat pagi akan datang dengan gerutuan mereka. Di musim seperti ini... kasihan sekali. Lalu sama seperti dua minggu terakhir ini—pasangan dan keluarga. Aku suka menonton mereka." Liesel menggambar lingkaran di perut Lovino.
"Juga sekumpulan nyonya-nyonya penggosip yang senang sekali bertanya kapan kita akan punya momongan." Lovino menyambung. "Sekali lagi aku mendengar kata obat kuat, akan kuracuni wafel mereka."
"T-tapi anak-anak mereka benar-benar menggemaskan!"
"Hmph. Selama bocah-bocah itu tidak tumbuh dewasa menjadi sekumpulan nenek sihir."
"Lovino, kau yang berusia lima tahun jauh lebih mengerikan..."
"Tapi sejak masih memakai popok pun, aku punya kau yang seperti malaikat."
"Hei!" Liesel mencubit perutnya, "Kau tidak bisa menyebutku malaikat, sementara aku baru saja memanggilmu mengerikan."
Lovino terkekeh, kembali pada adonannya. "Tapi itu benar."
"Lovino,"
"Hm?"
"Aku akan berusaha."
Liesel tak tahu apakah hari ini ia akan baik-baik saja, apakah segala kesibukan akan menelan pikiran-pikiran buruk, ataukah malam nanti ia akan kembali mengulang memori itu—lagi, lagi, lagi tanpa kehilangan rasa hancur yang menjalar hingga ke ujung-ujung keberadaannya, pada kenangan akan (rumahku, kotaku) yang luluh lantak di hadapannya, dengan Lovino yang hanya tinggal setengah hidup menunggu malaikat mautnya tiba (hingga kini belum tiba; syukurlah, syurkurlah). Beberapa hal memang akan selalu membekas, tak pernah pergi, dan menjadi hantu yang bercokol di hati banyak orang. Tapi untuk hari ini, Liesel akan mengusir mereka jauh-jauh. Sejauh-jauhnya. Sebisanya ia.
"Mm-hm." Lovino mengangguk. "Aku tahu kau perempuan yang paling mengagumkan."
"Dan lagi," Lanjutnya, "Hantu-hantu itu, kita bagi bersama, kan? Lukamu, lukaku—eh, maksudku, kau tak perlu menderita sendirian. Karena ada aku. Tapi kuharap, nanti, kau tak perlu menderita lagi. Sama sekali. Lagipula, hari-hari kita sekarang rasanya menyenangkan, kan?"
"Ya." Liesel mengangguk. "Sekarang adalah yang terbaik."
Sekarang adalah berkah, dan ia akan menikmatinya sebaik-baiknya.
end
a/n:
i) Referensi sejarah: pengeboman Dresden oleh pasukan sekutu pada tanggal 13-15 Februari 1945. Di cerita ini, Liechtenstein (Liesel) adalah orang Jerman.
ii) Maafkan atas segala kekurangan saya dan fanfiksi ini, maaf kalau tidak sesuai seperti yang diinginkan. Terutama slight angst-nya :"")))
