I'm Single
Cast:
Park Jimin
Min Yoongi
Etc.
Warning: absurd. BL. Typos.
Take your own risk!
.
.
.
.
.
Technically, I'm single.
But my heart is taken by someone I can't have.
.
.
.
.
.
Min Yoongi.
Seorang pengarang novel terkenal, seorang pencipta lagu misterius sekaligus seorang rapper underground. Ayahnya seorang dosen universitas ternama di Daegu, ibunya seorang perawat yang sudah hampir pensiun. Hidupnya selalu ditinggal –dikurung, tidak mengenal dunia luar. Tidak memiliki teman dan cenderung pendiam. Warna hidupnnya hanya hitam dan putih.
Dengan berbagai alasan tentang kebebasan hidupnya, ia kabur dari rumahnya di Daegu, menjadi buronan kedua orang tuanya. Yoongi mencoba menggali kembali hidupnya di Seoul. Dan ia mendapatkannya dengan mempertaruhkan nama anonim pada gelapnya dunia belakang. Mengeluarkan segala bakat, emosi dan ekspresi yang sudah sangat lama ia pendam. Yoongi sukses tanpa diketahui orang lain, misterius.
Ketika tiba di Seoul untuk yang pertama kali, sangat sulit untuk mencari pekerjaan yang pantas. Menjadi penjaga kasir, melayani pembeli restoran, bahkan menjadi buruh cuci piring. Beberapa bulan ia hidup seadanya –terlantar. Pada minggu pertama bulan Oktober tahun itu, Yoongi berhasil membeli sebuah apartemen di pinggir kota.
Mendapatkan tempat tinggal belum cukup untuk hidupnya, ia mulai menulis lirik dan menjualnya ke beberapa perusahaan rekaman kecil. Lagu itu membawa sukses besar, Yoongi direkrut untuk bekerja di salah satu perusahaan rekaman sebagai pencipta lagu. Yoongi menyamarkan nama aslinya menjadi Suga, semacam inisial.
Yoongi mengeluarkan segala emosi dengan tulisan, ia menceritakan kisah hidupnya yang suram dengan seorang tokoh baru. Membuat tokoh-tokoh tambahan hingga mengarang akhir cerita hidupnya dalam sebuah buku –novel klasik lebih tepatnya. Perusahaan cetak menerima untung begitu besar, Yoongi kembali direkrut namun ia menolaknya. Beralasan ingin menjadi freelance dan menulis novel bukan bakatnya.
Selain melanjutkan karir musiknya sebagai pencipta lagu dengan nama Suga, ia mengasah bakat lain dalam dirinya. Ia sering bersembunyi dari orang tuanya untuk menonton ajang battle rap atau semacamnya. Yoongi merasa jiwanya lahir untuk menjadi seorang rapper. Yoongi mencintai rap. Ia mencoba bergabung dengan sebuah klub rapper dan mempelajari berbagai hal di sana. Mendapat teman untuk yang pertama kali, meledakkan seluruh emosinya bersama musik beat yang teratur, mendapatkan sandaran ketika hidupnya penuh masalah. Mendapatkan kebebasan.
Tidak ada yang tau wajah penulis maupun pencipta lagu bernama Suga, kecuali teman-teman satu klub rap nya. Perusahaan dimana Yoongi bernaung menyembunyikan identitas Yoongi dengan rapat. Kehidupan Yoongi pun tetap layaknya orang biasa. Setiap pagi pergi membeli kopi dan sarapan di café dekat apartemennya, duduk dengan wajah mengantuk di bangku ujung jendela café, mengamati orang yang lalu-lalang mempersiapkan pekerjaannya masing-masing. Kadang Yoongi tidak menyangka hidupnya akan senormal ini –mengingat bagaimana sikap kedua orang tuanya.
Yoongi senang.
Yoongi bebas.
Yoongi bahagia.
Omong kosong. Park Jimin masuk ke kehidupan Yoongi lalu mengacaukan segalanya.
"Kau lama sekali, Yoongi-ah," keluh seorang namja berperawakan tinggi dengan rambut platina serta mata sipitnya.
"Satu menit lagi kau tidak datang, aku akan meninggalkanmu." Lanjut namja itu sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah jam 8 malam dan Yoongi masih membiarkannya menunggu di depan halte bis seperti orang bodoh.
"Kim Namjoon," Namja yang berambut platina itu menoleh ke arah suara yang memanggilnya.
Min Yoongi datang dengan wajah pucat setengah mengantuk. Namjoon langsung bisa menebak kalau Yoongi baru saja bangun tidur. Segemar apa sih sahabatnya ini dengan yang namanya tidur. Baiklah, Namjoon tau Yoongi memang sering begadang untuk menyelesaikan lirik lagu perusahaan. Betapa lelahnya anak ini tapi ia masih memaksakan diri. Kadang Yoongi akan menelpon Namjoon untuk sekedar mencari inspirasi demi lirik lagunya.
"Satu jam lebih aku menunggumu, Min Yoongi." Ujar Namjoon kesal karena menunggu terlalu lama. "Maaf, aku lupa memasang alarmku tadi." Ucap Yoongi merasa bersalah sembari mengusap tangannya yang dingin. "Jika kau sudah tidak mau menungguku, kau bisa pergi ke base lebih dulu."
Namjoon terkekeh setengah geli, "Aku tidak setega itu, Tuan Putri." Balas Namjoon lalu mengusak surai mint Yoongi, lembut. "Aish, menjijikkan. Berhenti memanggil seperti itu atau kuinjak kakimu sampai depan base." Ancam Yoongi yang terdengar lucu di telinga Namjoon. "Kau terlalu lucu jika seperti itu, Yoongi-yah." Balas Namjoon lalu berbalik memunggungi Yoongi. Yoongi masih bergeming, setia di tepatnya berdiri. Namjoon yang mulai berjalan menjauh kembali menengokkan kepalanya, "Mau mati kedinginan disitu, Min Yoongi?"
Yoongi semakin melipat wajahnya. "Kau memang sangat menyebalkan, Namjoon-ah." Ujar Yoongi sambil berlari ke arah Namjoon dan berjalan sejajar dengannya. Namjoon hanya membalasnya dengan tawa kecil.
Yoongi memang seperti ini. Kesan pertamanya ketika ia bertemu dengan Yoongi adalah dingin, kaku, tidak bersahabat yang sayangnya memiliki dagu runcing, hidung kecil, mata sipit yang manis dan kulit pucat yang membuatnya memiliki aura hugable. Namun setelah mengenal Yoongi lebih jauh, Namjoon menyadari sosok Yoongi yang sebenarnya. Ia sama seperti bocah kecil yang membutuhkan kasih sayang orang tuanya. Yoongi menceritakan semua masalah keluarganya kepada Namjoon dan teman-teman lain satu klub rappernya. Dan sejak saat itu, Namjoon berjanji untuk melindungi Yoongi dan menyayanginya seperti keluarganya sendiri.
Yoongi menulis lirik rap nya dengan malas. Entah mengapa hari ini ia merasa sedang tidak mood untuk membuat lirik. Rasanya ingin tidur sehari penuh tanpa gangguan, atau mungkin minum coklat panas bersama teman-temannya di base. Kemarin malam mereka menginap bersama di base dan saling bercerita satu sama lain. Yoongi melirik perutnya, makin gendut saja. Yoongi mendengus kesal. Bagaimana ia tidak gendut kalau diajak begadang dan makan ramyeon tengah malam? Belum lagi Yoongi yang memang jarang berolahraga karena sibuk menyelesaikan beat dan lirik lagu untuk perusahaan.
TING TONG!
Yoongi melihat sekilas ke pintu apartemennya, lalu berjalan untuk membukanya. Yoongi mengedipkan matanya bingung. Tidak ada siapapun di depan pintunya. Yoongi bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia membeku di tempat sembari memikirkan dugaan-dugaan konyol seperti film-film horror yang pernah ia tonton. Bagaimana jika ada sesuatu di belakangnya saat ini, bagaimana jika ia diganggu setiap malam, bagaimana jika sesuatu itu dendam kepadanya, bagaimana jika ia dibunuh lalu dirasuki, bagaimana, bagaimana dan bagaimana semua berputar-putar di kepala Yoongi. Beberapa menit ia terdiam, sebuah teriakan seseorang mengagetkannya setengah mati –Yoongi ikut berteriak hingga terjungkal ke belakang.
"HAPPY BIRTHDAY MIN YOONGI!"
Namjoon dan Hoseok –salah satu sahabat Yoongi juga di klub rap, muncul dari samping pintu apartemen Yoongi sambil membawa kue dan beberapa balon. Hampir saja Yoongi mengumpat karena terlalu terkejut. "Kenapa kau sangat berlebihan sih, hyung? Kami hanya memberimu kejutan dan kau melototi kami seperti itu," omel Hoseok yang begitu berisik. "Kau pikir aku tidak terkejut, bodoh?!" balas Yoongi lalu menjitak kepala Hoseok dan Namjoon bergantian.
"AW– Hyung! Bisakah kau memelankan jitakan mautmu itu," protes Hoseok sembari mengelus kepalanya dengan sayang. Yoongi mencibir setengah tersenyum melihat kedua sahabatnya ini.
"Darimana kalian tau hari ini adalah ulang tahunku?" Hoseok melirik Namjoon yang hanya mengendikkan bahu, "Itu tidak penting, princess." Ucap Namjoon, menggoda Yoongi. "Kim Namjoon! Panggilan itu sangat menji–"
CEKLEK!
" –jikkan," Yonggi berhenti sebentar dan kembali terkejut menyadari pintu apartemen tetangganya terbuka setengah. Setahu Yoongi, apartemen itu kosong dan masih dijual. Dalam seumur hidupnya, Yoongi tidak pernah merasa horror berlipat dalam satu hari saja. Hoseok yang tepat membelakangi pintu apartemen tetangga Yoongi, bereaksi dengan jeritan yang cukup keras untuk membangunkan satu lantai gedung itu.
"Berisik sekali."
Sebuah suara asing terdengar dari balik pintu kayu itu. Sedikit tinggi, namun jelas suara laki-laki. Nadanya penuh protes dan perintah untuk tidak mengganggu. Yoongi mengernyit heran ketika pintu apartemen itu kembali tertutup dengan debuman keras. "Yoongi-yah," Panggilan Namjoon menyadarkan Yoongi yang hanyut dalam prasangkanya. "Bukankah apartemen itu kosong?" lanjut Namjoon bingung. Yoongi menghela napasnya, "Tidak tau. Nanti akan kupastikan, tenang saja." Yoongi tersenyum diakhir kalimatnya lalu mempersilahkan Hoseok dan Namjoon masuk ke apartemen kesayangannya itu.
Sedikit soju dan hanwoo malam ini untuk pesta ulang tahunnya.
Oh, ya. Dan tentu saja bersama sahabat-sahabatnya.
Jimin mendesah lelah dan menaruh koper serta barang-barangnya di lantai. Ia berjalan mengitari ruangan itu, menemukan sofa yang tak jauh dari dapur lalu mendudukinya. Jimin memijat pelipisnya, pening. Terlalu banyak yang akan berubah dari hidupnya mulai hari ini.
Park Jimin adalah seorang anak dari pasangan dokter di tempat kelahirannya, Busan. Orang tua Jimin mengekang segala yang ia punya, menimbun semua impiannya dengan ambisi egois yang begitu kejam. Kedua orang tua Jimin menginginkannya menjadi seorang dokter –tentu saja untuk meneruskan pekerjaan mereka. Ia tidak dibiarkan untuk memilih jalan kehidupannya sendiri, masa depannya sudah jelas dan tak akan pernah berubah. Awalnya Jimin berpikir seperti itu. Namun, satu bulan yang lalu, orang tua Jimin meninggalkannya seorang diri.
[Flashback]
Hari Selasa sore bulan lalu, hujan deras mengguyur kota Busan. Jimin pulang dengan basah kuyub dari kampusnya. Tidak ada orang di rumah, hanya Momo –anjing peliharaan keluarganya, yang menyambut kepulangan Jimin seperti biasa. Ayah dan Ibu Jimin akan pulang nanti malam –tengah malam. Selesai mandi, Jimin merebahkan diri di sofa lalu menyalakan TV.
Kemudian mencari ramyun instan di lemari untuk makan malam. Jimin merebus mie instan itu lalu menumpahkan bumbu di atasnya. Beberapa menit, ramyun itu mulai mengembang dan Jimin kembali mengaduk agar bumbunya rata.
Dan saat itulah telepon rumahnya berbunyi. Jimin mengerang karena waktu makannya yang sudah dekat harus tertunda lagi. Ia mendekati telepon itu, melihatnya dengan kesal lalu meraih gagangnya dan menempelkannya tepat di samping telinga. Kemudian suara wanita panik dan gemerisik hujan menyapa indranya.
"A-apakah benar ini kediaman keluarga Park?!" ucap wanita itu setengah berteriak dan terkesan tergesa-gesa. Jimin mengernyit bingung lalu mengiyakan perkataan wanita dalam telepon.
"Siapa pun anda, se-sebaiknya anda cepat ke sini. Kami menemukan Tuan dan Nyonya Park tidak sadarkan diri dengan kepala berdarah."
[Flashback end]
Dan setelah itu, Jimin menjadi seorang diri. Ia berubah semakin murung, lesu seakan tidak memiliki semangat hidup. Harus apa dirinya? Meminta bantuan saudaranya? Semua usahanya akan percuma jika menyangkutkan saudara-saudaranya. Mereka terlalu naif untuk membantu seseorang. Setelah satu bulan berpikir, Jimin mengambil keputusan untuk pergi ke Seoul dan mencari pekerjaan. Berbekal harta peninggalan orang tuanya, ia berangkat ke Seoul lalu menyewa sebuah apartemen untuk tinggal.
Jimin memiliki beberapa hobi dan salah satunya adalah dance. Saat ia masih duduk di bangku SMA, sesekali ia kabur dari rumah untuk melakukan street dance di jalan dekat stasiun bawah tanah. Lumayan untuk menambah uang sakunya. Namun hal ini tidak berjalan lama, ayah dan ibunya akhirnya mengetahui apa yang ia lakukan. Mereka melarang dan memberi hukuman kepada Jimin karena telah melakukan hal yang, menurut mereka, liar dan tidak terpelajar. Mulai saat itu, Jimin mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menjadi seorang dancer terkenal.
Jimin berencana untuk mencari pekerjaan. Tentu saja pekerjaan yang tidak memerlukan otak. Alasan utamanya adalah ia memutus kuliahnya setelah orang tuanya meninggal. Jujur saja, ia tidak ingin menjadi seorang dokter. Dokter apapun itu ia sangat tidak ingin. Mungkin saja ini saatnya ia menunjukkan bahwa dance adalah bukan kelakuan liar dan ia bisa mencari uang halal lewat bakatnya itu.
Jimin tersentak dari lamunannya saat mendengar suara teriakan keras dari depan pintu apartemennya. Jimin mendengus kesal. Ia lelah dan mengapa orang-orang malah berisik seolah tidak membiarkan dirinya istirahat barang sebentar saja. Siapa pun itu, Jimin bersumpah akan mendoakannya serak sepanjang hari.
Jimin menghampiri pintu apartemennya, kemudian membuka seperempat pintu itu.
"Berisik sekali." Ucapnya kesal.
Sebelum ada jawaban yang masuk ke pendengaran Jimin, ia memilih untuk menutup pintu apartemennya dengan sedikit membantingnya.
Tidak bisakah ia istirahat sebentar lagi?
Jimin bangun dengan kepala pening. Rasanya seperti ada yang berdentum tak jelas di dalam kepalanya. Ia melihat sekilas cahaya matahari yang masuk menyinari kakinya di balik selimut putih yang ia pakai semalam. Kemudian ia memijat pangkal hidungnya, menyingkap selimut lalu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Hari ini ia berencana untuk mencari pekerjaan. Entah pekerjaan apa yang nanti akan ia dapatkan, yang terpenting sekarang ia bisa mencari uang. Jimin sempat berpikir untuk melamar pekerjaan di bar, karena selama hidupnya, pekerjaan ini yang akan menghasilkan uang yang terbilang sangat mencukupi untuk dirinya sendiri. Namun, ia mengurungkan niatnya itu.
Jimin menyusuri jalan dan mencari poster pelamaran pekerjaan. Ia mengambil beberapa poster, kemudian mencoba melamar di tempat-tempat yang tertera pada poster itu. Hampir semua tempat menolaknya untuk menjadi pegawai. Ia tidak mengerti, apa ia terlalu tampan untuk menjadi pegawai mereka? Jimin menggeleng keras, alasan itu sangat tidak masuk akal.
Dan berakhirlah ia disini, menjadi sebuah pegawai café kecil di pertengahan Myeongdong yang sangat ramai. Café ini terbilang cukup ramai dan nyaman. Interior serba putih dan meja kayu dengan warna mahoni muda, beberapa bentuk ukiran abstrak pada dinding café ini cukup membuat Jimin terpukau saat pertama kali memasukinya. Dan walaupun ini adalah café, tempat ini hanya menjual makanan-makanan khas Korea tanpa satupun menu makanan barat. Beberapa cake terpajang rapi di sebelah meja kasir dengan embun pada kaca mesin pendingin agar coklat dan krimnya tidak mencair.
"Kau bisa mulai bekerja di sini besok pagi," Kim Seokjin –sang pemilik café, tersenyum hangat kepada Jimin yang mengangguk antusias. "Oh–, dan apa kau tidak masalah jika aku memberimu shift pagi dan malam? Kurasa mereka mulai menyukaimu," ujar Seokjin kemudian terkekeh melihat segerombolan siswi berseragam menatap Jimin lamat-lamat dengan tatapan memuja dari bangku mereka duduk sedari tadi. Jimin ikut terkekeh malu dengan perkataan Seokjin tadi. Kemudian ia mengusap tengkuknya dan tersenyum canggung karena merasa agak terganggu dengan tatapan gadis-gadis itu. Beberapa siswi di meja itu memekik pelan dan yang lain sudah hampir hilang kesadaran.
"Apalagi alasan siswi-siswi itu kemari kalau bukan melihat seorang pegawai tampan?" ucap Seokjin yang tersenyum geli menatap reaksi siswi-siswi itu.
"Apakah aku harus mempekerjakanmu setiap jam agar banyak pengunjung yang datang?" canda Seokjin yang membuat Jimin menggeleng cepat. "Café ini sangat nyaman, jadi kurasa pengunjung datang kemari karenanya." Argumen Jimin.
"Iya, aku hanya bercanda, Jimin-ah." Seokjin terkekeh melihat Jimin yang menanggapi candaannya dengan seserius itu. Kemudian Seokjin berdiri dari bangku yang di dudukinya, diikuti Jimin yang tersenyum senang karena keramahan atasannya ini.
"Terima kasih banyak, Kim Seokjin-ssi." Ucap Jimin yang hampir membungkuk namun tertahan oleh ucapan Seokjin, "Hyung. Jangan terlalu formal denganku, aku tidak nyaman." Kemudian ia tersenyum hangat seperti senyum seorang ibu pada anaknya. "Baiklah. Terima kasih banyak, hyung!" Jimin membungkuk dalam lalu berbalik menuju pintu masuk café itu.
Tuhan memang adil. Semuanya terasa begitu ringan dan tanpa masalah.
Dan Jimin akan terus berharap semuanya baik-baik saja.
Yoongi berdiri tepat di hadapan sebuah pintu coklat dengan papan kayu berukir "204". Kamar itu kosong. Yoongi yakin itu, karena sedari tadi ia memencet bel juga tidak ada tanda-tanda seseorang akan membukakannya pintu. Namun tempo hari, seseorang menempatinya kalau tidak salah. Ya, kalau Yoongi tidak salah. Seorang laki-laki yang merasa terganggu karena berisiknya suara Hoseok dan Namjoon dengan kejutan ulang tahun Yoongi.
Yoongi merasa bulu kuduknya meremang, takut akan terjadi macam-macam.
Jangan-jangan waktu itu adalah sesuatu yang lain? Tidak, tidak.
Yoongi menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa memang benar apartemen di depannya ini sudah berpenghuni. Namun, mungkin saja sang tetangga terlalu sibuk dengan urusannya, atau pekerjaannya, atau apalah, sehingga ia belum sempat bertemu Yoongi. Walaupun tidak yakin dengan pikiran positifnya sendiri –yang mencoba dipositifkan maksudnya, Yoongi akhirnya menyerah dan membalikkan badan ke hadapan pintu apartemennya. Kemudian ia memasukkan passcode pada sisi kanan pintu itu. Pintu itu terbuka lalu Yoongi menyelipkan badannya masuk ke dalam apartemennya.
Tiga menit berlalu dan Jimin terlihat berjalan santai di koridor penuh pintu itu. Ia berhenti tepat di hadapan pintu apartemennya, memasukkan passcode apartemennya lalu masuk ke dalam tanpa suara. Dan ketika pintu itu belum tertutup sepenuhnya, pintu apartemen Yoongi terbuka dan memunculkan wajah pucat Yoongi yang menatap pintu apartemen tetangga depannya itu dengan perasaan lega.
Setidaknya tetangganya bukan halusinasi nya semata.
"Tiga vanilla milktea, dua porsi bibimbab dan satu porsi tteokbeoki hangat. Silahkan menikmati." Kemudian Jimin menaruh pesanan-pesanan tersebut ke meja bernomor dua belas dan tersenyum ramah kepada tiga orang siswi yang duduk di meja itu.
"Oppa," panggil salah seorang siswi yang memiliki rambut panjang berwarna dark brown. Jimin menolehkan kepalanya kepada siswi itu, "Ya? Ada yang mau dipesan lagi?" tanya Jimin, bersiap mengeluarkan catatan dan bolpoin.
"A-ani," balas siswi itu terbata karena Jimin terus menerus menatap ke arahnya. Siapa yang tidak gugup ditatap lembut oleh seorang namja tampan? Jimin mengangkat alisnya, menunggu lanjutan dari kalimat siswi itu.
"A-apakah besok malam oppa bekerja di sini lagi?" tanyanya malu-malu sambil menunduk.
Jimin tersenyum geli mendengar pertanyaan gadis itu, "Aku akan bekerja di sini setiap malam." Ujarnya.
Lalu mata siswi dan kedua temannya yang lain langsung berkilat senang. "Kalau begitu, bolehkan kami datang lagi besok?" tanya siswi lain –yang duduk berhadapan dengan siswi berambut dark brown tadi, dengan sangat antusias disertai tatapan memohon dari kedua temannya.
Jimin terkekeh kecil –yang hampir membuat ketiga siswi berseragam itu pingsan. "Tentu saja. Datanglah lagi kemari." Jimin tersenyum hangat kepada mereka. Jimin menunduk sekilas lalu berjalan menuju kasir.
"Wow. Kau memang sangat populer, Park Jimin."
Jimin mengangkat kepalanya dan menatap teman sesama pegawainya ini dengan malas. "Kau juga sangat populer, Kim Taehyung-ssi." Kemudian Taehyung tertawa kecil dan menyikut lengan kanan Jimin main-main. "Jangan merendah seperti itu, kawan." Ujar Taehyung dengan nada jahil. Jimin hanya mendengus mendengar perkataan Taehyung barusan.
"Jimin-ah!" panggilan Seokjin membuat Jimin mencari arah panggilan itu berasal. Seokjin sedang duduk di meja terujung pada café itu. Dan ia tidak sendiri, ada seorang laki-laki yang mungkin seumuran dengan Jimin. Jimin berjalan menghampiri Seokjin dan lelaki asing itu.
"Ada apa, hyung?" Jimin bertanya bingung lalu menatap sekilas lelaki asing di hadapan Seokjin.
"Ah, ini adalah adik sepupuku, Jung Hoseok. Ia ingin memesan sesuatu." Balasan Seokjin cukup memperjelas identitas lelaki asing itu–yang ternyata bernama Jung Hoseok. Jimin tersenyum ramah kepada Hoseok, "Namaku Park Jimin, pegawai baru di sini. Senang berkenalan dengan saudara Seokjin-hyung." Ucap Jimin kemudian membungkukkan badannya. "Ada yang ingin anda pesan?" tanya Jimin, mengeluarkan catatan dan bolpoinnya. Seokjin yang melihat Jimin sudah melayani Hoseok bangkit dari kursi yang ia duduki dan berjalan ke dapur untuk memastikan semua baik-baik saja.
Hoseok melihat menu sebentar kemudian tersenyum dengan menunjukkan giginya yang rapi, "Satu porsi tteokbeoki dan soondae, lalu satu lemon tea hangat." Jimin mencacat pesanan Hoseok dengan cekatan. "Ada tambahan lagi?" tanya Jimin. "Tidak ada," jawab Hoseok cepat dan Jimin pun membungkukkan badan lalu membalikkan badannya.
"Tunggu sebentar," panggil Hoseok kepada Jimin. "Apakah kau –ehm, pernah tinggal di Busan?" tanya Hoseok ragu-ragu. Jimin sedikit kaget mendengarnya, karena kenyataan nya ia memang baru saja pindah dari Busan beberapa minggu yang lalu. "Ya, aku adalah orang Busan." Jawab Jimin dengan nada dan tatapan penuh tanya dari mana sepupu Seokjin-hyung ini tau ia berasal dari Busan.
"Ahaha, tenyata benar." Tawa Hoseok membuat Jimin semakin mengernyit bingung. "Aku bersekolah di Busan saat masuk sekolah menengah atas," jelas Hoseok. "Aku selalu melewati gerbang stasiun bawah tanah setiap akan pulang ke rumah, maupun pergi ke sekolah," lanjut Hoseok lagi sambil menatap Jimin yang berdiri kaku di samping mejanya. "Kau mau duduk sebentar?" tawar Hoseok yang terlihat masih ingin melanjutkan ceritanya. Akhirnya, Jimin menuruti permintaan itu, mendudukkan dirinya di kursi kosong, tepat di hadapan Hoseok –kursi yang sebelumnya di tempati Seokjin.
Hoseok terdiam sebentar lalu melanjutkan, "Aku sering sekali melihat beberapa orang melakukan street dance di dekat sana pada jam-jam pagi. Kebetulan aku bergabung dengan grup perkumpulan dancer dengan berbagai genre saat aku masih di Busan. Dan ketika melihat penampilan mereka, mataku tertuju pada seorang dancer yang terlihat sangat mahir. Gerakannya luwes, tegas dan memiliki dasar. Beberapa hari aku memperhatikannya. Lalu aku memutuskan akan berkenalan dan mengajaknya masuk ke grup perkumpulan dancer itu. Tapi saat aku kembali ke tempat itu, orang yang kucari tidak muncul. Dan kupikir ia sedang tidak enak badan, atau sedang ada urusan lain." Hoseok menarik nafasnya panjang dan kembali melanjutkan,
"Keesokkan harinya, aku mencarinya dan ia tidak ada –lagi. Lalu aku bertanya kepada salah satu dancer setelah mereka menyelesaikan penampilan mereka. Mereka bilang, orang yang kucari itu sudah mengundurkan diri. Dan mereka bilang orang itu bernama Park Jimin." Hoseok berhenti dan menatap mata Jimin yang terlihat kaget dengan semua pernyataan Hoseok. Kemudian Hoseok tertawa riang. "Aku sangat tidak menyangka kita akan bertemu dengan keadaan seperti ini," ujar Hoseok.
"Aku tidak pernah tau ada yang memperhatikanku seperti itu saat aku melakukan street dance dulu," ucap Jimin heran lalu ikut tertawa bersama Hoseok –walaupun sebenarnya ia tidak begitu mengerti mengapa Hoseok tertawa.
"Oh, ngomong-ngomong, bisakah kau serahkan pesananku ke dapur? Aku ingin merasakan masakan Seokjin-hyung." Ucap Hoseok tiba-tiba, lalu Jimin tersentak karena baru ingat belum menyerahkan pesanan Hoseok ke dapur. Jimin segera berlari ke arah dapur dan memberikan kertas pesanan Hoseok.
"Kau sudah cukup akrab dengan Hoseok ternyata." Ujar Seokjin ketika Jimin mengantarkan kertas pesanan Hoseok ke dapur. Jimin hanya tertawa kecil, kemudian terpotong oleh Seokjin, "Temani saja dia dulu, siapa tau kalian bisa menjadi teman baik." Jimin bergumam baiklah dan berbalik, melepaskan apron nya yang berwarna putih dan berlari menghampiri Hoseok yang masih dengan setia menunggu pesanannya datang.
Hoseok melihat Jimin yang mendatanginya lalu duduk di bangku depan Hoseok. "Ah, apakah Seokjin-hyung mengijinkanmu membolos kerja untuk menemaniku mengobrol?" ucap Hoseok jahil.
"Enak saja," Bibir Jimin menekuk ke bawah dengan kesan lucu –dan tentu saja masih tampan. "Aku tidak membolos, asal kau tau." Hoseok terkekeh mendengar jawaban Jimin.
"Oh, ya. Apa kau masih tertarik dengan hal-hal berbau dance dan semacamnya?" tanya Hoseok membuka topik.
"Tentu saja, aku sangat senang menari." Jawab Jimin cepat dan antusias. Hoseok kemudian menawarkan Jimin untuk ikut bersamanya besok siang ke tempat kerja Hoseok. Informasi saja, Hoseok adalah seorang guru tari –selain kegiatannya menjadi rapper underground. Ia bekerja di sebuah perusahaan musik tempat para trainee dilatih. Dan rencananya, ia akan membawa Jimin ke tempatnya bekerja besok siang –modus ingin merekrut Jimin sebagai pelatih sebenarnya.
"Baiklah. Besok siang di depan halte itu, kan?" tanya Jimin memastikan tempat pertemuan mereka besok. Hoseok hanya mengangguk senang kemudian pesanan yang ia tunggu datang.
Jimin mendesah pelan. Ternyata bekerja pagi sampai malam di sebuah café cukup melelahkan. Kakinya pegal sekali karena terus berjalan kesana kemari. Ditambah ia harus berjalan sampai gedung apartemennya demi menghemat pengeluaran bulan ini.
Saat akan memasuki lobby gedung, Jimin menabrak seseorang dan orang itu jatuh terjungkal ke belakang. Jimin segera membantu orang itu berdiri. Sekilas Jimin melihat namja itu memiliki surai hijau mint, kulit putih terkesan pucat dan mata sipit yang berkantung. Pemuda itu sangat kurus dan memiliki tinggi yang hampir sama dengannya.
Namja itu terlihat terburu-buru pergi ke suatu tempat. Ia membungkuk kepada Jimin cepat dan kembali berlari pergi menuju stasiun bawah tanah. Jimin hanya mengernyit bingung. Kelakuan namja itu benar-benar aneh. Apa ia sedang di kejar seseorang?
Jimin menunduk dan baru saja sadar ada selembar kertas yang tergeletak di samping kakinya. Ia mengambil kertas itu dan membaca. Lirik lagu? Pemuda itu seorang penulis lagu? Pantas saja mata pemuda kecil itu berkantung. Mungkin ia membuat lirik sampai pagi. Saat ini Jimin bingung harus bagaimana. Ia ingin mengembalikan kertas ini kepada pemiliknya, namun ia tidak tau siapa dia, ia tinggal di lantai berapa dan kemana ia pergi. Maka, Jimin memutuskan untuk menyimpan kertas itu sampai ia bertemu kembali dengan pemuda tadi.
Jimin tidak bisa berpikir lebih, otaknya terlalu lelah karena tubuhnya pun lelah. Ia hanya ingin beristirahat di tempat tidurnya yang nyaman. Jimin melipat kertas itu dan memasukkannya ke saku jaket besarnya. Ia berjalan memasuki lift dan menuju aparatemennya.
tbc.
a/n: hai semuaa. Lagi pengen buat ff minyoon, mereka terlalu lucu:')
how is it? Gimana pendapat kalian tentang ff ini? Enaknya lanjut atau enggak ya? Plis aku butuh bantuan kalian dengan pendapat kalian semuaa.
Menerima semua kritik dan saran~
Last, Review please? Thankss.
28/5/2016
Jokersii.
