"Luffy! Cepat angkat telurnya! Kau mau membuatnya gosong hah?!" Bibi Luffy yang sedang mencuci tangan di wastafel dapur meneriakinya.
"Ma..maaf!" Dengan cepat Luffy menghampiri kompor. Mengangkat penggorengan dan memindahkan telurnya ke 5 piring berbeda. Dimana masing-masing piring terdapat steak dan kentang goreng.
"Luffy! Kau sudah selesai menyemir sepatuku?!" Saudara tertua Luffy, Ace, menghampirinya yang sibuk menata meja makan.
"Se..sebentar!" Luffy berlari mengambil semir sepatu.
"Luffy….! Dimana kau letakkan seragamku?!" Law, adik Ace berteriak jengkel dari kejauhan.
"U..uhm..di..di lemari pengering dekat mesin cuci!" Tangan Luffy yang sibuk menyemir sepatu terpeleset sejenak.
"Mana kopinya?! Anak sialan?!" Paman Luffy menggerutu di dapur.
"A..aku buatkan sekarang!" Luffy berlari ke dapur, membuat kopi dengan tergesa-gesa sementara Pamannya memelototinya dari kursinya di meja makan.
"Luffy" Sabo, anak paling bungsu di keluarga itu menghampiri Luffy.
"Y..ya Sabo?-Oow!" Luffy menumpahkan air panas ke tangannya sendiri.
"Maaf!" Sabo tampak menyesal telah mengalihkan konsentrasi Luffy.
"Tidak..tidak apa-apa!" Luffy tersenyum sambil mengernyit "Ada apa?" Tanyanya.
"Kau kemarin pinjam buku ku kan? Aku butuh itu hari ini"
"O..oh, itu. Masih di kamarku. Aku akan membawakannya untukmu"
"Baiklah, terimakasih" Sabo tersenyum.
"Ah, harusnya aku yang berterimakasih!" Luffy tersenyum canggung.
"Mana kopiku?! Kenapa lama sekali?!" Paman Luffy menggebrak meja dengan kesal.
"M..maaf, i..ini dia kopinya Paman" Dengan hati-hati Luffy menyajikan kopi Pamannya. Ketika Luffy hendak pergi, Pamannya menendang kakinya dengan cukup kuat. Luffy hampir saja jatuh karenanya. Luffy mendesis kesakitan.
"Dasar anak Jadah! Selalu saja lambat dalam melakukan segalanya!" Pamannya menyinggung Luffy tepat di depannya.
"Maaf Paman" Luffy berdiri tegang di sisi Pamannya dengan perasaan bersalah. Ia tak seharusnya ngobrol lama-lama dengan Sabo tadi.
Pamannya masih saja menatapnya dengan dingin saat Luffy duduk di kursi paling ujung untuk makan pagi. Di atas piringnya sudah tergeletak sepotong roti lapis dengan krim kacang yang ia selalu buat di pagi hari saat membuatkan makanan untuk keluarga di rumah ini. Menu makan paginya tak pernah berubah selain roti isi krim varian rasa atau sebuah apel. Tapi ia tak protes selama ia bisa maka.
Semua orang di rumah itu sudah duduk dan makan di meja makan yang sama dengan Luffy. Mereka makan dengan tenang sampai Law melempar garpu dan pisaunya, menimbulkan suara dentingan yang keras. Semua mata tertuju padanya.
"Aku hanya makan telur setengah matang. Kenapa kau selalu saja lupa?" Law bertutur dengan tenang namun ekpresinya menunjukkan kekesalan yang teramat sangat pada Luffy. Bagi Luffy, Law adalah Saudara yang paling ia takuti. Karena Law selalu meledak-ledak dan marah jika ia tidak menyukai sesuatu. Tidak seperti Ace yang tak banyak bicara dan Sabo yang penyabar.
"Memang anak bodoh. Ia selalu saja melakukan hal menyebalkan" Kata Bibi Luffy yang duduk di depan Pamannya. Luffy mendelik khawatir.
Ace tampak tak perduli dengan suasana tegang yang dialami Luffy. Ia terus memakan makanannya dengan cepat. Sementara Sabo menatap antara Luffy yang duduk di sisinya dan Law yang ada di depannya dengan cemas.
"Namanya juga anak haram. Makanya ia bodoh sekali!" Paman Luffy menambahi dengan kata-kata yang menagada-ngada. Luffy tersentak mendengar perkataan Pamannya. Tak perduli berapa kali ia mendengar kata-kata itu, tetap saja rasanya menyakitkan.
"M..maaf Law, lain kali aku-"
*BRAKK*
Dengan kasar Law bangkit dari kursi makan. Ia mengambil tas sekolah yang ia letakkan di anak tangga dan berjalan ke luar rumah. Luffy yang belum sempat menyelesaikan kata-katanya tertunduk malu. Berusaha menyembunyikan wajahnya dari semua orang yang menatapnya. Ia merasa tepat seperti yang Pamannya katakan, ia merasa sangat bodoh.
"Sabo, ayo kita berangkat" Ace berdiri, menarik tangan Sabo dengan sedikit memaksa.
"Tapi, aku belum selesai makan"
"Kita bisa beli di kantin"
Kepergian Ace dan Sabo menyisakan suasana hening yang mencekam di dapur itu. Hanya tersisa Luffy, Pamannya dan Bibinya yang masih menatapnya culas.
"Ya ampun. Berkat kau, semua anakku merasa tak betah di rumah ini!" Bibinya berkata sambil menatap nanar pada Luffy. Kemudian ia pergi dari ruangan itu. Luffy hanya bisa melihat rambut Hitam pekat indah yang berwarna sama seperti rambut kedua anaknya. Melambai di punggung Bibinya.
"Awas saja kalau kau membuat masalah lagi!" Pamannya memelototi Luffy, membetulkan dasi birunya dan meninggalkan Luffy seorang diri.
'Akhirnya, aku membuat masalah lagi' pikir Luffy. Ia menghembuskan nafas panjang, mengambil sandwichnya dan bergegas ke kamarnya yang merupakan sebuah garasi yang dijadikan gudang. Sebuah ruangan yang tak cukup layak untuk ditinggali. Luffy selalu tidur di antara tumpukan barang-barang tak terpakai yang menghimpitnya. Ia tidur menggunakan seprai usang, sebuah bantal, dan selimut tipis yang diberikan Bibinya sejak ia berumur 5 tahun. Terkadang ia harus memakai jaketnya agar terhindar dari dingin. Selimut tipis itu tak cukup membantu di musim dingin. Sekarang ia berumur 16 tahun. Sudah 11 tahun ia tinggal di rumah ini.
Terburu-buru Luffy memakai seragam sekolah bekas Law ketika masih kelas 1 SMA. Mereka bersekolah di sekolah yang sama. Ace kelas 3, Law kelas 2, Sabo dan Luffy di kelas 1. Tetapi mereka jarang berangkat sekolah bersama karena Luffy selalu berangkat paling siang setelah mengurusi semua kebutuhan keluarga ini di pagi hari. Bahkan gurunya sekalipun sudah akrab dengan keterlambatan Luffy. Luffy sudah langganan menerima hukuman bersih-bersih sekolah. Dan setiap kali ditanya alasannya, Luffy hanya bilang bahwa ia bangun kesiangan atau ketinggalan bis. Padahal nyatanya ia selalu bangun jam 5 pagi dan tak pernah naik bis. Ia mengatakan itu karena perintah Pamannya. Ia tak mau Pamannya marah dan menghukumnya, jadi ia menurutinya saja.
Luffy berlari menuju sekolah dan tersandung beberapa kali karena kakinya yang terasa sakit setelah ditendang Pamannya tadi. Mungkin akan muncul memar di sana. Meskipun ia tau ia akan telat, ia tetap bergegas agar hukumannya tak semakin berat. Dan agar gurunya tak menasihatinya semakin lama.
Jam istirahat pertama Luffy menukar buku Matematikanya dengan buku Sejarah di loker. Tepat ketika ia menutup pintu lokernya, ia mendapati Sabo berdiri di depannya.
"Mana buku nya?" Tanya Sabo. Mata hitamnya menatap mata cokelat gelap Luffy.
"Tunggu sebentar" Luffy mengobrak-abrik tumpukan buku yang baru saja ia letakkan di loker. Kemudian wajahnya menjadi kaku.
"Oh, tidak..tidak.." Luffy tetap saja mencari-cari buku Sabo di dalam lokernya. Ia mulai panik. Sabo pun menyadari ketidakberesan itu.
"S..Sabo…" Luffy manatap Sabo dengan ekspresi bersalah "Aku…lupa memasukannya dalam tas" Lanjutnya. Seketika ekspresi Sabo yang selalu tenang menjadi marah.
"Apa?! Aku kan sudah mengingatkanmu tadi pagi!" Sabo menyentak.
"..Maaf, aku buru-buru sekali tadi" Luffy menundukkan pandangannya dari tatapan Sabo yang menusuk "B..bagaimana jika aku meminjamkannya ke seseorang?"
*Ting Tong*
Bel pelajaran jam selanjutnya berbunyi. Menimbulkan keheningan tak nyaman diantara mereka. Percuma saja Luffy mencari seseorang untuk dipinjami buku, karena mereka kehabisan waktu.
"Kau.. selalu saja. Meminta maaf tapi tidak dengan membenarkan sikapmu. Berkatmu aku akan mendapatkan nilai jelek di semester ini semenjak guru Bahasa inggrisku bukanlah orang yang toleran! Aku bersumpah takkan meminjamkanmu buku lagi!" Dengan perkataan yang juga menusuk, Sabo meninggalkan Luffy dalam jurang rasa bersalah. Untuk ke sekian kalinya Luffy membuat Sabo yang penyabar marah padanya. Kata-kata Sabo selalu ampuh membuat Luffy merasa paling bersalah daripada ketika ia melakukan kesalahan pada orang lainnya. Itu karena Sabo selalu memperlakukannya dengan baik. Hanya Sabo di keluarga itu yang tak memerintahnya seperti seorang pembantu rumah tangga. Ia merasa sangat menyesal. Bagaimana bisa ia lupa membawa buku sepenting itu?! Kecerobohannya selalu saja mendahuluinya.
Luffy dengan lemasnya melangkah pulang. Ia melihat Ace dan Sabo berjalan pulang bersama di depannya. Biasanya ia selalu bergabung karena Sabo selalu memanggilnya untuk pulang bersama. Tapi kali ini, Luffy berjalan lebih lambat agar tidak berpapasan dengan mereka. Ia masih merasa tidak enak pada Sabo. Bahkan dari jauh pun ia bisa melihat Sabo tampak murung. Pasti guru Bahasa Inggris Sabo benar-benar memarahinya. Itu semua berkat kebodohan Luffy yang luar biasa.
Sambil melamun Luffy memakan roti isi sarapannya. Pelan-pelan ia mengunyah. Menikmati rasa manis, gurih dan lembut selai kacangnya. Ia butuh energi sebelum menjadi Cinderella lagi di rumah. Ya, terkadang Luffy berpikir ia adalah Cinderella versi laki-laki setelah ia menonton kisah Cinderella dari televisi. Karena ia selalu jadi pesuruh dan bahkan tak tahu dimana ibu dan ayahnya berada, percis seperti Cinderella. Sayangnya, Luffy tak menonton film itu sampai habis. Ia hanya menonton bagian ketika Cinderella menjadi pembantu dan disiksa oleh ibu tiri dan kedua sudara tirinya. Jadi ia mengira Cinderella menjadi pesuruh selama-lamanya. Tak ada ibu peri. Tak ada pesta. Tak ada akhir yang bahagia. Itu saja.
Sesampainya di halaman rumah, Luffy berjalan perlahan ke dalam rumah. Tepat setelah menutup pintu Ia mendapati Pamannya duduk di kursi baca. Menyilangkan kedua tangannya sambil menatap Luffy dingin. Ketakutan sedikit demi sedikit menjalari pikiran Luffy.
"P..paman? Ada apa?" Tanpa disuruh Luffy mendekati Pamannya. Ia tahu ada yang salah dari sikap Pamannya.
"Kau tau tanaman kaktusku? Baru saja aku hendak menyiramnya dan aku mendapati pot nya sudah terbalik! Kau biasanya memberi makan burung beo milik istriku di dekat tanamanku itu bukan?!" Pamannya langsung menuduh Luffy.
"B..bukan aku. Aku bahkan tidak pernah menyentuhnya" Kata Luffy tetapi pamannya tak terlihat pecaya "Aku bersumpah melihatnya masih baik-baik saja tadi pagi!"
*PLAKK*
Wajah Luffy berpaling ke sebelah kiri karena tamparan Pamannya. Pipi pucat Luffy memerah. Terasa menyengat karena Pamannya menamparnya dengan cukup keras.
"Beraninya kau menaikkan nada bicaramu! Kau kubesarkan selama ini tapi bertindak kurang ajar! Benar-benar anak sialan!" Pamannya menamparnya lagi dua kali lipat lebih bertenaga daripada sebelumnya. Luffy terjerembab ke lantai. Tamparan itu meninggalkan goresan bekas cincin di pipi nya.
"Inilah sebabnya orang tuamu bunuh diri! Mereka tidak tahan punya anak kurang ajar sepertimu! Bahkan melihat wajamu saja mereka sudah kesal! Kau tak pantas diberi kasihan!" Luffy memejamkan matanya, berusaha tidak bersuara meskipun kedua pipinya terasa sakit. Ia berusaha tak mempercayai kata-kata Pamannya barusan.
"Kau tak dapat jatah makan malam ini!" Pamannya menarik tangan Luffy hingga ia berdiri "Bersihkan halaman belakang, semua jendela rumah, cuci piring, pel lantai, bersihkan kolam renang, beri makan hewan-hewan di rumah ini dan cabuti rumput di depan rumah!" Cepat-cepat Luffy pergi ke kamarnya yang ada di dekat tangga.
Ia mengganti baju seragamnya dengan kaos hitam berlengan pendek dan bergegas pergi ke dapur untuk membuat makanan dan mencuci piring. Lalu melakukan semua tugas rumahan yang setiap hari selalu ia kerjakan dan sewaktu-waktu bertambah sambil menahan rasa sakit bekas hukuman Pamannya.
'Bagaimana bisa Cinderella tahan dan sabar diperlakukan kasar oleh ibu tirinya?' Luffy bertanya pada dirinya sendiri.
Ia baru sadar malam hari sudah tiba ketika selesai melakukan semua tugasnya. Perutnya mulai berbunyi dan terasa sakit seperti diremas dari dalam. Dan baru ingat jika ia tak dapat jatah makan malam.
Kelaparan adalah hal yang paling menyiksa bagi Luffy, meskipun ia sering merasakannya sejak umur 9 tahun. Paman atau Bibinya hanya memberinya makan maksimal 2 kali sehari. Jika ia melakukan kesalahan dalam pekerjaannya maka jatahnya dikurangi. Paling parah Luffy pernah tak makan 5 hari 4 malam sehingga ia harus mencuri dari kantin sekolahannya. Sampai sekarang Luffy memiliki badan yang cukup kecil dibandingkan anak-anak seusianya. Sabo yang seumuran dengan Luffy saja tampak lebih tinggi dan berisi dibandingkan dengannya. Rupanya hukuman itu menyebabkan malnutrisi pada Luffy. Rambut cokelatnya menjadi kemerahan karenanya. Dan lingkar tangannya tampak seperti kulit dan daging saja. Ia kelihatan begitu rapuh. Tetapi ia punya daya tahan tubuh yang bagus. Jarang sekali ia terkena sakit dan bersyukur karenanya.
"Luffy! Cepat kedapur!" baru saja beberapa detik ia melepas penat di dekat kolam renang, Bibinya sudah memanggilnya lagi "Luffy! Cepat!" Bibinya memekik seperti unta. Luffy pun memaksakan tubuhnya yang lelah untuk bergerak lagi.
"Ada apa Bibi?" Luffy menghampiri Bibinya yang menatapnya kesal.
"Kau tidak tuli kan?! Kenapa lama sekali?!" Luffy menurunkan pandangannya dari tatapan marah Bibinya.
"..Maaf"
"Lihat, meja makan ini. Kau bisa lihat kan?" Luffy langsung melihat meja makan yang berantakan bekas makan malam. Rupanya mereka sudah selesai makan.
"Kau harusnya membersihkannya! Kau kemana saja?!" Nampaknya Bibinya sedang begitu kesal hari itu.
"M..maaf, akan kubersihkan sekarang"
Tiba-tiba Bibinya mengambil sebuah gelas yang masih terisi jus jeruk dan menumpahkannya ke lantai dapur yang sudah Luffy bersihkan siang itu.
"Lantainya masih belum bersih. Kau harus pel ulang agar kami tidak terpeleset" dengan itu Bibinya berlalu meninggalkan Luffy. Luffy menghembuskan nafas panjang melihat cairan oranye yang memenuhi lantai dapur. Baru saja Luffy berpikir akan mengerjakan PR dari sekolahnya, tapi Bibinya malah menambah pekerjaannya. Malam ini sepertinya Luffy harus begadang sambil menahan lapar agar bisa mengumpulkan tugas sekolahnya besok.
Dengan raut wajah sedih Luffy memindahkan peralatan makan yang ada di meja makan ke wastafel. Mencucinya sedikit demi sedikit dengan sabar. Sejenak Luffy melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 21.20 lalu kembali membilas perkakas makan. Setelah selesai, ia membersihkan meja makan. Lalu mengepel lantai dapur.
Ketika Luffy selesai, jam menunjukkan pukul 22.47. Bergegas Luffy pergi ke kamarnya dan mengeluarkan PR nya. Pandangannya teralihkan oleh buku Bahasa inggris Sabo. Perasaan bersalah kembali menghantuinya. Ia berencana mengembalikannya pada Sabo besok pagi saja karena pasti Sabo sudah tidur.
Menit demi menit berlalu, Luffy masih mengerjakan tugasnya dengan lambat. Ia tak begitu mengingat apa yang gurunya ajarkan hari Rabu lalu karena ia ketiduran saat itu. Ia melihat jam bekernya yang menunjukkan pukul 01.56 dan memutuskan untuk tidur saja. Tetapi ia tetap terjaga selama beberapa jam karena perutnya keroncongan lagi. Tak tahu pukul berapa, ia terlelap karena kelelahan yang teramat sangat.
Luffy dibangunkan dengan suara jam bekernya. Ia langsung mematikan alarmnya, melipat selimutnya dan bergegas melakukan rutinitas paginya. Setelah semuanya duduk di kursi makan, Luffy menghampiri Bibinya.
"..Bibi, rotinya habis.." Kata Luffy enggan.
"Lalu?" Bibinya bahkan tak menoleh padanya
"Apa ada yang bisa kumakan?"
"Tidak ada" Bibinya memakan sarapannya, tampak tak begitu peduli dengan Luffy.
Luffy ingin bertanya lagi, tetapi ia tak mau membuat Bibinya terganggu. Jadi ia meninggalkan ruangan itu dan mandi. Ketika ia selesai memakai seragam, semuanya sudah tak ada di meja makan. Dengan cepat ia membersihkan bekas makan lalu berjalan kaki menuju sekolah.
Ketika ia mendapat hukuman mengepel koridor, kepalanya mulai terasa pusing. Ia harus beristirahat berulang kali agar tidak jatuh pingsan. Setelah bel jam kedua dimulai ia baru menyelesaikannya. Buru-buru ia menuju kelasnya untuk mengikuti pelajaran. Tetapi ketika pelajaran dimulai ia malah tertidur lelap. Sabo yang kebetulan sekelas dengannya memperhatikan Luffy dari bangkunya.
Luffy baru terbangun ketika jam istirahat tiba. Kelas itu sudah kosong. Luffy mendengus kesal karena tertidur lagi di jam pelajaran. Tak aneh jika nilai-nilai di rapornya selalu jelek. Setiap akhir semester Paman dan Bibinya pasti mencibirnya habis-habisan. Mereka pasti membanding-bandingkan anak-anak mereka dengan Luffy. Sesungguhnya Bibi dan Pamannya terlibat secara tidak langsung dalam kasus jeleknya nilai Luffy. Mereka membuat Luffy bekerja ini-itu sampai ia kelelahan, kurang tidur dan kesulitan mencari waktu untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Ditambah lagi kelaparan yang dialami Luffy. Tetapi mereka tak menyadarinya. Atau lebih tepatnya tak memperdulikannya. Yang mereka tahu, Luffy adalah pesuruh yang mendekati budak di rumah mereka. Jadi mereka bisa menyuruh Luffy melakukan apapun agar mereka tidak capek.
Luffy melamun saat berjalan keluar kelas. Pundaknya menggendong tas ransel. Tangan kanannya memegang buku Bahasa inggris Sabo. Ia harus mengembalikannya pada Sabo secepatnya. Ketika ia turun dari tangga, Law berpapasan dengannya. Law langsung membuang pandangannya seolah tak mengenal Luffy.
"Law!" Ekspresi Law mengeras saat Luffy memanggilnya.
"Apa kau melihat Sabo?"
Law membalik tubuhnya, tatapannya menyatakan kekesalannya. Rahangnya mengatup kuat sampai Luffy bisa melihatnya. Ia lupa perjanjiannya dengan Law. Yaitu untuk bertindak tidak kenal padanya. Luffy tak tahu alasannya kenapa. Ia menduga Law malu jika teman-temannya melihatnya berbicara dengan seseorang seperti Luffy. Seseorang yang lusuh dan terkucilkan.
"M..maaf-" Law memotong perkataan Luffy dengan mendorongnya. Ia pergi tanpa memperdulikan Luffy yang jatuh terduduk. Luffy dapat merasakan pinggangnya terasa sakit saat bokongnya menghantam lantai. Mungkin ia mengalami encok? Ia pikir encok hanya terjadi pada kakek-kakek saja.
'Aku selalu saja berakhir di lantai' Pikirnya. Tangannya meraih pegangan tangga, menopang tubuhnya agar ia bisa berdiri.
Sambil kesakitan Luffy mencari Sabo lagi. Dan ia tersenyum saat menemukannya di koridor loker. Ia menghampiri Sabo dan menyodorkan bukunya.
"Sabo, Maaf kemarin-" kalimat Luffy terputus oleh Sabo yang langsung merebut bukunya dan berjalan meninggalkannya. Luffy tahu Sabo pasti masih marah padanya. Ia mulai berpikir semua orang memang langsung merasa kesal saat menatap wajahnya. Entah apa yang salah pada wajahnya sampai-sampai sebuah kelas yang tadinya ramai pun langsung muram ketika ia melangkah ke dalamnya. Seolah-olah Luffy merupakan perusak suasana.
Luffy berdiri di pintu kantin. Perutnya semakin keroncongan ketika ia mencium aroma kaldu. Kantin sudah terlalu sepi jika ia hendak mencuri. Ia dengan mudahnya akan ketahuan. Tetapi air liurnya semakin berlimpah di mulutnya dan ia merasa kian pusing.
"Kau lapar?" Luffy langsung menoleh dan mendapati Ace di sisinya.
"…A..aku?" Luffy bertanya balik.
"Ya. Aku bertanya padamu bodoh"
"..Oh.." Luffy terdiam canggung. Ace mendengus lelah dan menyodorkan uang pada Luffy.
"Cepat, belikan aku 2 mie cup" Perintahnya. Luffy mengangguk dan mengambil uangnya dari Ace. Tak berapa lama kemudian Luffy kembali. Ace hanya mengambil 1 mie cup saja. Ia tahu Luffy tak sarapan dan ia mengasihaninya diam-diam.
"Ambil saja yang itu. Dan kembaliannya kau simpan" Ia mengatakan tepat ketika Luffy hendak berbicara. Luffy sekali lagi memandang Ace dengan tatapan 'Apa aku tak salah dengar?'
"T..terimakasih Ace"
Luffy duduk di meja kantin bersama Ace. Tentu saja Ace yang mengajaknya karena Luffy tak mungkin berani menguntil Ace. Ia takut Ace seperti Law. Ia hanya tak mau menjadi menyebalkan lagi. Dengan lahap Luffy memakan mie itu. Ace melihat tangan Luffy gemetaran saat memegang garpu plastik.
"Kapan terakhir kali kau makan?" Tanya Ace
"Kemarin" Luffy menjawab di sela-sela kunyahannya.
"Kemarin malam?"
"Um..Siang" Kali ini Ace yang gantian menatap Luffy dengan tatapan 'Apa aku tak salah dengar?'
Ace berhenti bertanya pada Luffy dan membiarkannya makan dengan nikmat. Meskipun sekilas, ia melihat kebahagiaan terpancar di wajah Luffy. Ia tak pernah tahu jika Luffy jarang sekali makan. Karena selama ini ia tak terlalu peduli. Tapi setelah Sabo terus-terusan membicarakan Luffy seolah-olah orang tua mereka bertindak jahat padanya. Ia lama-lama jadi penasaran sendiri. Selama ini yang ia tahu, Ayah dan ibunya selalu memarahi Luffy karena Luffy selalu saja ceroboh. Mungkin Sabo hanya berlebihan.
"Kenapa pipimu?" Tanya Ace. Luffy langsung menutupi pipinya dengan telapak tangannya. Ia lupa jika kemarin Pamannya menamparnya.
"Kemarin malam, aku menabrak pintu kamarku" Luffy menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum gugup.
"Dan siku mu kenapa?" Ace menunjuk dengan telunjuknya.
"..Oh! ini..setelah menabrak pintu kamar aku terjatuh" Luffy bahkan tak sadar sikunya memar. Mungkin muncul karena ia terguling setelah ditampar Pamannya kemarin.
"Kau benar-benar ceroboh ya" Ace tersenyum jenaka.
"Yah..begitulah" Luffy tertawa gugup. Ace menyadari kegugupannya dan memincingkan matanya.
Ace dan Luffy berpisah di koridor yang memisahkan kelas mereka. Baru kali ini Luffy menghabiskan banyak menit bersama Ace dan sempat-sempatnya mengobrol. Sejak ia berumur 10 tahun, ia jarang sekali mengobrol dengan Ace. Padahal dulu ia, Sabo dan Ace sering bermain bersama. Ace selalu membelanya ketika Law mengganggunya. Tapi ia tahu waktu terus berjalan. Dan seseorang pasti berubah dalam waktu selama itu.
Luffy pulang dan baru saja membuka pintu rumah ketika tiba-tiba Pamannya memukul wajahnya. Untuk ketiga kalinya Luffy terjerembab ke lantai. Erangan kesakitan terdengar dari mulut Luffy. Luffy menatap Pamannya dengan ekspresi takut bercampur kesakitan.
"Kau mencuri kan?!" Tanpa penjelasan Pamannya langsung menuduhnya.
"Mencuri..apa?" Suara Luffy begitu lirih karena menahan sakit.
*BUKK!*
Pamannya menendang perut Luffy dengan geram.
"Uang!" Pamannya menendang perut Luffy lagi "Jangan mentang-mentang kami tak memberimu makan dan kau mencuri dari istriku!" dengan lebih kencang Pamannya menendang lagi. Luffy membuka mulutnya tetapi hanya untuk menarik nafas. Ia terlalu kesakitan untuk berbicara.
Tanpa permisi Pamannya merogoh saku celana Luffy dan ia menemukan uang yang cukup besar jumlahnya. Membuatnya semakin yakin Luffy sudah mencuri. Padahal uang itu baru saja diberi Ace siang tadi. Kebetulan yang sialan. Kini ekspresi Pamannya berubah semakin mengerikan ketika menatap Luffy yang terbaring tak berdaya di lantai.
"Anak sialan!" Pamannya pergi ke kamarnya dan ia kembali dengan menenteng pemukul Baseball. Luffy menatapnya dengan ngeri. Ia ingin menjelaskan asal uang di kantung celananya, tetapi bibirnya terlanjur gemetaran. Jika pun ia membela diri, Pamannya hanya akan semakin marah. Apapun yang ia lakukan, apapun itu! Semuanya akan berakhir sama.
*BUKKK*
Luffy mengerang ketika pemukul Baseball menghantam sisi tubuhnya.
*BUKKK*
Mulutnya memuntahkan darah segar.
*BUKKK*
Luffy kehilangan kesadarannya.
Ketika tak mendengar erangan Luffy lagi, pria tua itu berhenti mengayunkan pemukul Baseballnya. Dadanya naik turun karena amarah dan nafas yang tak terkontrol. Sudah cukup lama ia tidak memukuli Luffy sampai membabi buta begitu. Dan baginya itu hanya semacam olahraga saja. Ia selalu merasa kekesalannya terluapkan setelah memarahi dan menghajar Luffy. Istrinya masih bekerja di rumah sakit dan ketiga anaknya baru saja meminta izin pergi ke game center. Ini kesempatan emas untuknya meluapkan kekesalannya pada Luffy. Meskipun pada nyatanya uang istrinya memang hilang. 'Siapa lagi jika bukan anak sialan ini yang mencurinya?' Ia selalu berpikir begitu saat sesuatu di rumah itu hilang.
Ia mencengkram kerah belakang Luffy dan menyeretnya ke kamar kumuh Luffy. Ia meletakkan Luffy dalam posisi menyamping, melebarkan selimut tipis yang terletak di sisi matras ke setengah tubuh Luffy seolah-olah Luffy sedang tidur. Ia kembali ke ruang tamu, membersihkan bekas darah Luffy sehingga tak akan ada seorangpun menyadari telah terjadi kekerasan disana.
Pukul 17.00 ketiga anaknya pulang. Mereka kelihatan begitu segar dan senang. Sabo tak berhenti berbicara pada Ace sementara Law tersenyum memperhatikan mereka. Mereka baru berhenti setelah melihat Ayah mereka yang menyuruh mereka duduk di sofa dan memulai basa-basi antara Ayah dan anak.
"Dimana Luffy? Aku mau menyuruhnya beli Mc Donald" Law bertanya setelah menengok kesana kemari.
"Oh, ia bilang ia tak enak badan. Jadi kubiarkan ia istirahat di kamarnya" Kata si Ayah. Sabo terdiam saat mendengar Ayahnya.
"Tak enak badan? Kurasa ia baik-baik saja di sekolah tadi" Ujar Ace yakin.
"Paling-paling ia pura-pura sakit. Aku akan membangunkannya" Law berkata acuh tak acuh. Tetapi Ayahnya langsung menghentikannya.
"Jangan begitu Anakku. Ia kelihatan begitu pucat saat pulang tadi. Kurasa ia benar-benar sakit"
"Hah? Kau mudah sekali bersimpati Ayah?" Sindir Law. Ayahnya hanya mendesah pasrah.
"Bagaimana jika aku buatkan Pie?" Sabo menyarankan.
"Baiklah" Law pun menyerah semenjak ia tahu masakan Sabo selalu enak. Sementara Ace masih memikirkan kata-kata Ayahnya dan ingatan ketika Luffy tertawa gugup di kantin tadi. Entah mengapa ia merasa ada yang ganjil.
