Take Care of Him
Chapter 1
.
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Genre : Romance, Drama
Rated : T
Warning :
AU!, Typo(s), gaje
.
Present~
.
.
Penghangat ruangan menyala pada pukul 5 sore tepat saat si tuan rumah yang baru saja pulang kerja merebahkan diri di sofa.
"Melelahkan sekali bekerja seperti ini!" Hinata Hyuuga, dosen muda itu menyamankan diri di sofanya, berharap nanti malam ia sudah bangun dengan keadaan segar bugar untuk memasak makan malam.
Panggilannya Hinata, usianya 28 tahun ini. Ia baru saja lolos seleksi menjadi dosen di universitas favorit di ibukota. Bangga memang, tapi apa jadinya bila harus berangkat pagi pulang petang tiap hari?
'Ting tong'
"Astaga, aku lelah, sungguh!"
Dengan realitas yang menyambar rasa kantuknya, Hinata berjalan gontai menuju pintu yang diketuk berulang-ulang. Tamu di depan pintu nampak tidak sabaran sekali. Saat membuka pintu sambil garuk-garuk punggung, Hinata menyipitkan mata mencoba mencari-cari dimana keberadaan tamunya. Namun tak ada.
Bagus, kantuk membuat Hinata berhalusinasi.
"Anu, kak, di sini!" Seseorang yang terduga tamunya berjinjit beberapa kali.
Oh, anak kecil. Pantas tidak kelihatan. Tapi kenapa ada anak-anak berkeliaran seorang diri di koridor apartemen? Jangan-jangan anak hilang!
"Kakak, kau melamun?" Anak laki-laki itu menggoyangkan tubuh Hinata berkali-kali.
"Ka-kau siapa? Darimana asalmu?"
"Shikadai, aku dari apartemen nomor 502." Anak bernama Shikadai itu beberapa kali melirik ke dalam apartemen.
Setahu Hinata, apartemen nomor 502 itu persis di samping apartemennya. Semenjak tinggal di sini, ia belum pernah melihat ada yang keluar masuk apartemen itu, jadi ia kira ia tak punya tetangga. Tapi, tunggu, kenapa wajah Shikadai nampak familiar? Seperti Hinata pernah melihat wajah seperti itu versi dewasa, tapi siapa ya?
"Lalu kenapa kau mengetuk pintu apartemenku? Kau mau masuk?" Shikadai lantas tersenyum cerah dan mengangguk.
"Sebenarnya aku bosan sekali tinggal di apartemen sendirian, pamanku selalu pulang jam tujuh malam."
"Masuklah, tapi begitu pamanmu pulang, kau juga harus kembali."
"Yay! Terima kasih kakak!" Shikadai dengan langkah riang masuk, seolah ia sudah kenal baik dengan wanita yang usianya terpaut jauh di atasnya.
"Kakak," Shikadai memanggilnya.
"Kakak?" Ulang Hinata tak mengerti.
"Bukankah usia kita beda jauh? Kenapa kau tidak memanggilku bibi saja? Aku tidak masalah dipanggil bibi walaupun masih muda begini, kok."
"Tidak ah, aku baru mau memanggilmu bibi nanti setelah kau dan pamanku berkencan."
Hinata membelalak. "Berkencan- apa maksudmu?"
"Ups~ aku hampir saja membocorkan rahasia pamanku." Shikadai bertingkah seolah baru keceplosan sesuatu.
"Apa yang kau maksud dengan kencan?" Hinata bertanya lagi, Shikadai hanya menggeleng lucu.
"Ngomong-ngomong, berapa umurmu?" Hinata mengalihkan topik, mengesampingkan ucapan anak itu yang agak ngawur tadi.
"Dua belas tahun, kakak berapa? Oh iya, pasti dua puluh delapan kan? Pamanku bilang usia kakak satu tahun lebih muda dari paman, paman kan tahun ini usianya dua puluh sembilan." Shikadai kini cekikikan sendiri.
"Ngomong-ngomong, pamanku seorang dosen juga kak." Hinata menatap bocah di depannya yang terus bicara dengan pandangan tak mengerti.
Kalau saja memang anak nakal itu berusaha menjodohkannya dengan sang paman yang entah siapa, dia oke oke saja. Tapi dari caranya bicara, Shikadai seolah sedang menceritakan seseorang yang telah Hinata kenal sebelumnya.
"Memangnya pamanmu itu seperti apa? Boleh aku lihat fotonya?"
"Yah, aku tidak menyimpan fotonya. Tapi kakak tenang saja, dia mengenalmu kok, dan dia bilang kau juga mengenalnya."
Hinata membelalakkan mata, mulai menerka-nerka siapa lelaki itu? Apakah mantan pacarnya?
"Benar kan? Aku pasti akan memanggilmu bibi sebentar lagi. Hahaha -ah geli kak!" Hinata dengan sengaja menggelitiki pinggang anak itu agar segera berhenti tentang pembicaraan bibi- bibian.
"Jangan bicara macam-macam kalau kau tidak punya bukti."
Shikadai masih tertawa terbahak-bahak digelitiki, sementara itu bel apartemen tiba-tiba saja berbunyi.
"Itu pasti pamanku, aku sudah mengiriminya pesan untuk menjemputku, hehehe." Si anak 12 tahun itu langsung berhenti tertawa.
Hinata dengan segera bangkit untuk membuka pintu.
Sret~
Pintu terbuka, menampakkan seorang lelaki dengan kemeja putih dan celana panjang hitam, jas hitam tersampir di lengannya. Wajah yang sungguh sangat mirip dengan seseorang di masa lalu.
Astaga, orang ini!
Hinata menutup pintunya untuk menjerit heboh sebentar dan membuka pintu kembali. Shikadai yang masih lemas pasca digelitiki menatapnya aneh.
"Oh, hai, ada perlu apa?" Hinata sebisa mungkin bersikap biasa saja, berpura-pura tak mengenali eksistensi di hadapannya, ada hal menyakitkan sekaligus memalukan di masa lalu yang harusnya tak mampu membuatnya bertemu orang ini lagi.
Hinata menyebutnya percakapan paling absurd sepanjang masa.
"Aku menjemput anak yang main ke rumahmu." Si lelaki tersenyum ramah.
"Paman!" Kepala si anak kecil menyembul keluar dari balik pinggang Hinata.
"Shikadai, kau ini kenapa tiba-tiba main tanpa ijin dulu ke paman? Kalau kau hilang, paman juga yang kena marah orang tuamu." Si lelaki berkacak pinggang, hampir menarik telinga keponakannya.
"Tapi aku kenal dengan kak Hinata, dia kan calon paca-" Belum habis Shikadai bicara, sang paman sudah lebih dahulu membungkam mulutnya.
"Maafkan keponakanku, dia memang nakal." Senyum canggung disunggingkan lelaki itu.
"Ah, tidak apa, dia anak baik kok, sudahlah kau tidak perlu memarahinya." Si lelaki tersenyum ramah lagi.
"Maaf sudah merepotkanmu, Hinata."
Deg
Deg
Deg
Hati Hinata mencelos mendengar lelaki itu menyebut namanya.
Sabaku Gaara. Ya, lelaki itu. Idolanya semasa kuliah, kini masuk ke hidupnya dengan wajah yang semakin tampan.
.
.
~Flashback on~
.
.
Hari itu tepat 9 tahun lalu, Hinata tanpa sengaja mendapati lelaki tinggi berkulit putih yang tengah duduk bersama dua lelaki dan satu perempuan di depan sebuah kelas. Sepertinya lelaki itu tengah bertugas sebagai panitia seminar atau apalah itu. Pandangan Hinata tak lepas bahkan saat lelaki itu tidak satu kalipun balik menatapnya. Sejak saat itu Hinata sadar, dirinya telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Hari-harinya berangsur bahagia saat Gaara selalu bisa ia lihat setiap hari, teman-temannya pun ia kisahkan tentang si pangeran berkuda putih yang memikat hatinya itu. Hinata bahkan rela menghabiskan waktu istirahatnya untuk duduk-duduk disekitar kelas Gaara, menunggu lelaki itu selesai dengan sesi perkuliahan dan Hinata bisa pergi setelahnya.
Ia tak pernah peduli dengan beberapa gadis yang dekat dengan Gaara meski itu pacar Gaara sekalipun, lelaki tampan pasti banyak yang suka. Yang Hinata tahu, perasaannya pada Gaara semakin tumbuh setiap harinya. Tanpa sadar, Gaara juga menjadi motivasinya. Nilai ujiannya selalu tinggi.
Sehebat inikah efek dari jatuh cinta?
Tiga tahun ia habiskan untuk terus menjadi pengagum rahasia, ia menikmati cinta dalam diamnya. Hanya saja... Sepertinya si lelaki tinggi itu telah menyadari keberadaannya, terlihat dari manik matanya yang bergerak gelisah tiap kali mereka berpapasan. Hinata jadi sedikit takut, apalagi saat beberapa teman menjadi sering menyenggolnya, ia takut Gaara menyadari perasaannya dan perlahan menjauhinya. Lucu, kenalpun tidak.
"Hinata, kau benar-benar akan meninggalkan kami? Kenapa kau tidak bilang sudah ikut seleksi beasiswa luar negeri, hah? Kami kan bisa ikut denganmu." Seorang gadis bersurai pirang bernama Ino terisak pelan disamping Hinata yang sedang makan siang di kantin.
"Husst, semua orang melihat kita." Satu lagi yang bernama Sakura menyikut pelan perut si gadis pirang.
"Kalian mau makan atau tidak?" Hinata menggaruk tengkuk, bingung hendak bicara apa.
Dua sahabatnya itu kini patuh makan bersama, diiringi percakapan rahasia yang mereka rundingkan.
"Kau yakin sudah siap dengan resikonya kalau kau pergi sekarang?" Sakura memulai sesi perundingan.
"Tentu, aku memang sudah sejak lama ingin kuliah ke Australia."
"Hinata, kau benar-benar sudah gila mencintai seseorang diam-diam selama tiga setengah tahun, dan sekarang kau akan meninggalkannya begitu saja?" Sakura bicara lagi, memprovokasi Hinata untuk segera bertindak.
Hinata memang sudah semester tujuh, omong-omong, dan masih menyimpan perasaan untuk orang yang sama selama tiga tahun lebih bukanlah perkara mudah. Ingin menyampaikan pun ia takut akan ditolak. Lagipula, tidak ada yang terlalu menarik darinya untuk sampai berani bertindak terlalu jauh, ia tidak tenar sama sekali hingga punya kepercaya dirian tinggi untuk diterima.
"Menurutku Hinata hebat bisa mencintai orang yang sama selama itu, tiga setengah tahun bukan waktu yang singkat loh." Ino menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya.
"Aku tidak hebat, buktinya aku malah pacaran dengan orang lain."
Mengunyah makanan terakhir yang tersisa dipiring, Hinata kemudian menggigit bibir bawahnya.
"Tidak apa, kami tahu kau hanya tidak ingin menyakiti hati orang lain lagi. Tapi sejujurnya, akan lebih baik bila kau mencoba, karena setidaknya perasaanmu tersampaikan. Kami tidak ingin kau menyesal nantinya, Hinata. Kau bayangkan saja, dua tahun lagi saat kau kembali, dia mungkin sudah tidak ada di kota ini lagi, dia sudah dapat pekerjaan dan punya dunia baru. Apa kau mau begitu saja dilupakan olehnya?" Sakura menasihati.
Hinata memang membenarkan ucapan Sakura, tapi bagaimana bila ia menyatakan cinta, ada hati lain yang terluka? Tapi bukankah setelah menyatakan cinta ia langsung pergi? Itu artinya dia tidak mengharapkan jawaban apa-apa dari Gaara. Sepertinya nasihat Sakura boleh juga dicoba.
"Aku gabung ya?" Seorang pemuda tinggi menginterupsi kegiatan bisik-bisik tiga gadis tadi, mengeruhkan situasi.
"Duduk disebelah sini, Kiba." Ino berseru.
Itu Kiba, lelaki yang jadi pacar Hinata sekarang, mereka berkenalan di kelas sastra Jepang dua bulan lalu, dan ya.. Kiba menyatakan perasaannya dan Hinata menerima.
Manis kan?
Andai saja perasaannya tulus untuk Kiba, mungkin kisah cintanya bisa benar-benar disebut manis.
.
.
.
"Cepat, jangan buang kesempatan!" Sakura mendorong Hinata yang tengah membawa setangkai mawar merah sebagai lambang cinta.
Sebentar lagi Hinata akan menyatakan perasaan pada pemuda yang belum pernah ia ajak bicara sama sekali. Sejauh yang ia lihat, Gaara tengah mengerjakan sesuatu dengan teman-temannya, menumpuk bunga di dalam kelas entah untuk apa, yang ia tahu sedang ada banyak orang mulai sidang untuk tugas akhir mereka.
Hinata tegang diluar kelas, menunggu sang pangeran berjalan kearahnya.
Namun nihil, Gaara justru masih serius mengerjakan ini dan itu.
"Maaf, kau mencari siapa?" Suara seorang lelaki agak gempal yang ia kira satu jurusan dengan Gaara menyapanya.
"Ah, itu... aku ingin bertemu Gaara." Si lelaki bertubuh agak gempal itu memberi reaksi positif dengan senyuman ramah.
"Aku panggilkan dulu ya?" Ia masuk ke dalam kelas masih sambil tersenyum kearahnya.
"Kau yang mencariku?" Seseorang yang ditunggu muncul, seraya menggenggam sebuket bunga warna warni.
Hinata hampir saja terjengkang ke belakang saking kagetnya kini ia berhadapan langsung dengan Gaara. Apa yang harus ia lakukan? Bukankah aneh jadinya bila tiba-tiba langsung bilang cinta, padahal bicara saja baru kali ini.
"Ini untukmu." Hinata menyodorkan setangkai mawarnya, isi kepalanya tiba-tiba kosong.
Gaara nampak mengerutkan dahi.
"Itu, kau sedang mengumpulkan bunga kan? Aku bermaksud menyumbang mawarku." Hinata nyengir saat Gaara menerima bunga merah itu tanpa ragu.
Dua gadis dibalik pohon yang tengah mengawasi Hinata menepuk jidat mereka masing-masing, menepuk jidat mereka.
"Kalau begitu aku pergi dulu-" Hinata telah berbalik, hampir saja pergi. Tapi...
"Itu saja?" Si lelaki nampak menarik lengan si perempuan.
Kini keduanya bertatapan lagi.
Hinata kembali nyengir.
"Itu, bagaimana kalau kau juga memberiku satu bunga milikmu, aku rasa itu bisa jadi kenang-kenangan untukku sebelum pergi ke luar negeri nanti." Ucapan Hinata semakin melenceng jauh dari rencana.
Sementara itu Gaara justru tersenyum ramah. "Bicara pelan-pelan saja."
Hinata meneguk ludah paksa. "Aku dapat beasiswa kuliah ke Australia selama dua tahun, dan mungkin saat kembali nanti aku tidak bisa bertemu denganmu lagi di sini. Aku hanya ingin bilang padamu bahwa sebenarnya aku..."
Gaara menanti dengan mata yang menyipit.
"Aku..." Tiba-tiba Hinata mendapati pacarnya berjalan diantara teman-teman tingginya yang lain, akan sangat mungkin bila Hinata terlihat dari jarak sedekat ini.
"Ga-Gaara, aku pergi dulu!" Hinata melesat begitu saja, berlari sembarang arah yang penting tak akan terlihat pacarnya untuk sehari ini saja.
"Tu-tunggu," Suara Gaara tertelan keramaian universitas, ia memandangi bunga mawar dalam genggaman. Padahal gadis tadi sempat meminta bunga, tapi buru-buru pergi. Pikirnya.
Sementara itu di lain tempat, Kiba melihat pacarnya berlari tunggang langgang seperti dikejar anjing galak.
"Eh Kiba, itu pacarmu kenapa?" Satu pemuda berkacamata sampai melongok kearah dimana Hinata berbelok, lenyap dari pandangan.
Kiba menggelengkan kepala, dia juga ingin sekali bertanya.
"Nanti dia pasti cerita padaku."
.
.
~Flashback off~
.
.
TBC
A/N : Halo~ astagah, nongol lagi nongol lagi. :/
Sambil nyicil bahan skripsi, aku pengen spam ff. Ga ada kerjaan itu nyebelin. Bikin makin sakit kepalaku.
Oh iya, salah satu scene di ff ini pernah aku alami di dunia nyata. Hehehe. XD
Kadang, yang namanya suka itu kan nggak bisa disalahin. Memangnya kita ngerencanain buat suka sama seseorang? Enggak kan? Cinta itu terjadi begitu saja, itulah kenapa cinta juga butuh dinyatakan. Menurutku begitu.
Udah deh, gitu aja. Sekarang pembaca ff ku sepi ya, pada kemana? :/ Oh, mungkin ffku masih dibawah ekspektasi. :(
RnR, please? :(
