Descriptions:

Choi Minho and Choi Seungcheol are brothers that related by same father's blood but from different mother. The elder, Choi Minho, is the official heir and now he's a CEO of their family company, replace the latest lord position who passed away last year. Seungcheol was holding his anger on Minho for some reasons;

1. He simply hate the aristocrat look his brother had since born

2. His right for being a CEO that he even never get the chance to and,

3. The last thing he can never forgive his brother for this entire life is... As long as Minho is still alive, 22 years old guy he loved named Lee Taemin who raised a small Japanese cuisine reastaurant 3 blocks across his school building would be out of his reach forever.

So like a spoiled child, Seungcheol was joining a street punk around this city and troubles his brother as much as 19 years old boy could do. He rebels his brother by against every rules Minho made and never listen to what the eldest told him.

One day, Lee Jeonghan (Taemin's younger brother) saw the Choi youngest son Seungcheol being kidnaped by some stranger men.

What would the CEO Minho do to escape his lil brother? To release his brother who been kidnaped along with Seungcheol, Taemin had to dealing with Minho and find the way to survive their brothers together. But how Lee Taemin could bear his hatred at Minho after knowing if its that man fault who causing his dear little brother involved in such a big trouble that even threatened his life?

.

.

.

Jika Choi Minho hidup dalam buku dongeng pengantar tidur, maka halaman pengenalan karakter dirinya lah yang akan jadi favorit para gadis yang membaca cerita itu. Dengan judul manis yang tersemat kata Pangeran didalamnya, Minho adalah sosok karakter utama yang sempurna. Namun mau tak mau, segala sesuatu yang dianggap sempurna akan selalu dikaitkan dengan fiksi, karangan sastra, bahkan hampir seperti mitos dan tahayul yang tersebar di masyarakat. Karena walaupun Minho memiliki penggambaran sosok tampan, kaya dan pintar seperti dalam drama televisi, namun pria itu sendiri tak pernah membenarkan jika ada orang yang menyebutnya sebagai manusia tanpa cacat.

Minho, di usianya yang ke 24, sudah mampu menduduki kursi yang baru bisa dinikmati oleh ayahnya di usia 40 tahun. 10.000 karyawan menggantungkan nasib dibawah kertas yang memuat tanda tangannya. Bisnis surat kabar ternama lokal yang dirintis oleh kakeknya hampir seabad lalu itu masih mengibarkan bendera kejayaan di tanah Korea Selatan, mengabarkan informasi yang terjadi diseluruh pelosok negeri setiap 24 jam dan siap edar tiap pukul 6 pagi.

Menjadi seseorang yang berdiri dibalik nama besar media cetak yang merekam berbagai peristiwa di dalam negeri membuat Minho mengenali berbagai resiko yang harus dihadapinya bahkan sebelum mengemban tugas sebagai pejabat tertinggi di perusahaan ini. Setiap hari, selalu ada hal kontroversial yang dipublikasi oleh harian Seoul Times. Landasan fakta yang kuat membuat Seoul Times dipercaya oleh hampir 100% masyarakat Korea Selatan. Karena tak semua fakta yang diungkap berbuah manis, ada-ada saja pihak yang merasa dirugikan oleh Seoul Times karena kontroversi yang diungkapnya ke khalayak dan itu membuat Seoul Times menjadi musuh bagi sebagian minority profesi namun menjadi sahabat bagi masyarakat awam.

Seperti satu dari sekian banyak "surat kaleng" yang Minho temukan didepan pagar rumahnya hampir setiap pagi, mereka adalah sebagian kecil contoh yang menggambarkan betapa banyak orang bahkan organisasi yang mengibarkan bendera perang pada Seoul Times.

Setelah memungut gulungan koran yang terjatuh didekat pot, Minho menendang beberapa tumpukan paket dan surat yang tergeletak didepan pagar layaknya dedauanan kering yang tak memiliki arti. Baginya, ia tidak memiliki waktu untuk menanggapi setiap ancaman kosong dan tekanan dari pihak-pihak yang membenci Seoul Times. Pukul 6 pagi adalah saat-saat berharganya yang sengaja ia luangkan untuk minum kopi sambil meneliti isi surat kabar terbitan Seoul Times, hasil kerja keras ia dan ribuan karyawannya 1 hari lalu.

Suara dentingan khas antara kaki cangkir dan piring dibawahnya tak menghalangi pendengaran Minho dari langkah cepat Seungcheol yang menuruni tangga dan melewati punggung kursi Minho dengan acuh menuju pintu depan.

"Stop skip your mathematic class and just lay your ass quitely during music and vocal class activity. I'm not running this company to pay the extra amount for all of mess you'd made and spent it to make those teachers shut their mouth and forgive your misbehaves."

Perkataan Minho ditutup dengan suara lembar koran yang ia balik menuju halaman berikutnya.

"Fuck you. Like I care."

Seungcheol menaikkan sebelah alisnya, menjawab dengan nada merendahkan. Setelah membenarkan posisi tali tasnya ia melanjutkan langkah tanpa menggubris sedikitpun setiap perkataan Minho, kakak kandung sekaligus satu-satunya anggota keluarga yang ia punya dirumah ini.

Minho menutup korannya selepas suara tancapan gas dari halaman depan terdengar semakin samar dari tempatnya duduk saat ini. Ia selalu menganggap setiap umpatan yang keluar dari bibir adiknya sebagai angin lalu, sebagaimana Seungcheol menanggapi setiap nasihat dan larangan darinya seperti ampas permen karet yang diludahkan ke tanah. Ini terlihat seperti sebuah siklus abadi dalam hidup keduanya. Saat satu orang berbicara, maka yang lainnya tak akan pernah mendengarkan. Minho tidak pernah tahu sampai kapan semuanya akan tetap berlangsung seperti ini. Namun ia tahu, apapun yang dilakukannya takkan pernah bisa menghentikan kebencian Seungcheol yang tumbuh dan berkembang semakin besar setiap harinya, kecuali...

Kecuali jika ia bisa merelakan Seungcheol menyatakan cintanya pada seseorang yang sudah menjadi tunangannya sejak 3 bulan lalu.

.

.

.

Minho sedang memilah-milah lembaran proposal yang berisi topik pemberitaan yang akan menjadi headline esok pagi untuk harian Seoul Times. Ia menghentikan gerakannya yang tengah memutar pena ditangan kanan saat suara sekretarisnya menginterupsi, dan melangkah masuk ketika Minho memberikan izinnya.

Wanita dengan office suit itu datang bersama kotak makan berbungkus serbet yang amat familiar dimata Minho.

"Kiriman dari Nanao Puchiko restaurant, Tuan."

Selepas mengulum bibirnya sekilas, Minho mempersilahkan sekretarisnya menaruh kotak makan itu di meja tempatnya biasa menerima tamu.

"Permisi, Tuan."

Pintunya pun tertutup dan ruangan besar bergaya modern minimalis itu kembali menyisakan Minho seorang diri. Pria itu meninggalkan mejanya yang bertuliskan papan nama "Director" menuju sofa disudut kanan ruangan.

Minho menatap kotak makan berbungkus kain biru muda itu, yang seketika menghasutnya untuk menarik segaris senyum kecil karena teringat akan wajah sang pembuat makan siang ala bento untuknya.

Tersadar dari lamunan indahnya, Minho merogoh kantung jasnya dan menekan tombol pangglian cepat diangka 1.

"Apa makan siangnya sudah sampai?"

Suara lembut seseorang yang menyambut panggilannya saat itu langsung melempar perntanyaan tanpa basa-basi.

"Sudah kubilang tidak perlu mengantarnya kekantor. Kalau begini aku tidak punya alasan untuk keluar menemuimu."

Suara "geez" kecil menjadi balasan untuk kalimat Minho yang terkesan menggombal walau nadanya serius.

"Kita bisa bertemu akhir pekan. Selama hari sekolah, Seungcheol akan terus kemari untuk makan siang. Kuharap kau tidak pernah melupakan itu."

Minho tidak pernah lupa. Bahkan ia sudah bosan mendengar kalimat Taemin yang bagai sebuah template sms yang terus dikirim untuk mengingatkannya.

Minho menghela nafas singkat untuk menyudahi perdebatan yang lebih panjang lagi dalam kepalanya saat ini. Sebelum menyudahi telfon, ia meminta Taemin untuk mampir ke hotel tempat mereka biasa bertemu malam ini. Lee Taemin, pemuda sederhana yang telah menjadi tunangannya itu sempat meninggalkan jeda sejenak sebelum akhirnya mengiyakan permintaan Minho.

"Sampai bertemu nanti malam, Mine."

"Sampai bertemu, Dear."

Sapaan "dear" sebagai penutup hubungan line telfon diantara mereka sempat membuat Minho tersenyum lebih lebar dari biasanya, sebelum akhirnya membuka kotak makan itu dan menikmati makan siangnya seorang diri.

.

.

.

Seungcheol melangkahkan kakinya menyusuri koridor menuju kelas saat alrloji ditangannya menunjukkan pukul 9, waktu krusial dimana jam pelajaran pertama seharusnya sudah berlangsung sejak tadi. Suara wanita setengah baya yang mengajar ilmu sosial dikelasnya refleks menghentikan penjelasannya saat suara pintu terbuka, menampilkan siluet Seungcheol yang berjalan santai menuju bangkunya. Suasana kelas seketika sunyi, dan hampir setiap pasang mata melirik ke arah Seungcheol walau tak begitu berani untuk meneliti secara mendetail ke arah sosoknya.

"Lee Jeonghan,"

"Ya, Sonsae-nim."

Jeonghan, pemuda yang sedari tadi sempat memaku pandangannya ke arah Seungcheol seketika menoleh ke arah gurunya yang terduduk sambil mengatur nafas dan mengelus dada. Kedatangan Seungcheol yang bagaikan Holow dalam serial Harry Potter mungkin membuat Shin Sonsae kehilangan daya dan kata-kata.

"Bisa kau ke pergi ruang konseling dan panggilkan Jung Sonsae kemari? Mereka harus melihat apa yang sudah diperbuat oleh anak ini di kelasku."

"B-baik, Sonsae-nim."

Meski gugup dan penuh keragu-raguan, Jeonghan akhirnya bangkit dari kursinya untuk memenuhi permintaan Shin Sonsae. Namun belum sampai langkahnya menuju pintu kelas, suara rendah dan berat milik seseorang yang sangat familiar ditelinganya seketika menghentikan Jeonghan dan membuatnya terpaku.

"Duduklah, Lee Jeonghan. Kembali ke bangkumu jika kau tidak ingin kakakmu tahu tentang..."

"Maafkan aku, Shin Sonsae-nim! Aku tidak bisa."

Jeonghan, siswa yang dicap teladan oleh guru-guru disekolahnya tanpa diduga menunduk 90 derajat didepan Shin Sonsae, benar-benar merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi permintaannya dan lebih memilih mendengarkan perintah Choi Seungcheol. Surai blonde-nya yang panjang jatuh menutupi wajahnya yang benar-benar terlihat menyesal. Jeonghan tidak berani menegakkan kepalanya sampai pada akhirnya Shin Sonsae berhenti dari astma mendadaknya dan keluar dari kelas dengan heels yang menghentak.

Jeonghan seketika merosot, terduduk lemas didepan dan disaksikan oleh teman-teman sekelasnya yang mulai meniupkan berbagai bisikan yang semakin terdengar bising.

"Ikut aku."

Suara desas desus semakin ramai terdengar kala Seungcheol menarik tangan Jeonghan dengan paksa dan membawa pemuda bersurai panjang itu meninggalkan kelas mereka.

"Stop it, you fucking crying baby Yoon Jeonghan."

Seungcheol menghempaskan tangan Jeonghan yang semula berada dalam genggamannya saat mereka sudah tiba diatap terbuka sebuah gudang dibelakang sekolah.

"Haruskah aku tetap memanggilmu Lee Joenghan, you lil slut?"

"Don't call me slut... P-Please, just don't..."

Jeonghan menunduk menerima tatapan intimidasi dari Seungcheol yang saat itu menyudutkannya ke tembok. Jeonghan menggigil merasakan tangan dingin Seungcheol mencengkram pipinya, memaksa dirinya untuk membalas tatapan mata pria itu.

"Kau... Apa yang akan kakakmu lakukan jika dia tahu kalau kau bukan anak kandung dari keluarga Lee? Apa yang akan Lee Taemin katakan jika dia juga tahu kalau kau menjual murah tubuhmu pada pemuda populer disekolah hanya untuk lembaran won?"

"Please don't tell him, please..."

Jeonghan menggeleng dan memohon dalam tangisnya, berharap Seungcheol memberinya ampunan dan melepaskannya kali ini. Jeonghan tidak mau jadi seperti ini jika bukan tanpa alasan. Keadaan memaksanya menjadi seseorang yang bukan kakaknya bahkan dirinya sendiri inginkan.

"Kau adalah manusia paling konyol dan paling menjijikan yang pernah kukenal. Menjual diri karena tidak ingin merepotkan kakakmu? Sampai kapan kau akan terus mengkhianati orang sebaik dia, keparat?!"

Jeonghan tetap saja menangis mengharapkan iba dari Seungcheol. Ia tahu betul alasan mengapa Seungcheol begitu membencinya, memandang rendah dirinya, bahkan mengutuknya berkali-kali. Ini memang salahnya. Ia melakukan semua dosa ini dibelakang kakak tercintanya, Lee Taemin. Lee Taemin yang dicintai Seungcheol, Lee Taemin yang menjadi cinta pertama bagi teman sekelasnya ini.

"Tolong maafkan aku... Setidaknya bantu aku sebagai teman masa kecilmu..."

Jeonghan menunduk menggenggam seragam Seungcheol erat.

"Teman masa kecil? Hah, lupakan. Lee Jeonghan sudah tidak ada lagi didunia ini. Yang ada hanyalah Yoon Jeonghan, pemuda menjijikkan yang menjajakan paras dan tubuhnya untuk memuaskan nafsu sesaat anak-anak kaya raya di sekolah ini."

Seungcheol melepaskan pegangan erat Jeonghan pada kemejanya hingga tubuh pemuda ringkih itu tersentak. Seungcheol berjalan meninggalkan Jeonghan diatap itu, menikmati tangisan pilunya seorang diri tiap kali teringat akan semua dosa-dosanya pada Lee Taemin, satu-satunya anggota keluarga yang ia miliki didunia ini.

.

.

.

"Saat aku pergi, Jeonghan belum juga sampai dirumah. Telfonnya juga mati. Aku jadi tidak tenang memikirkannya."

Taemin mengungkapkan keluhannya saat Minho memergokinya terus saja melamun memandang keluar jendela kamar hotel. Pemuda tinggi itu masih memeluk tubuhnya dari belakang, memberi Taemin sebuah kecupan kecil dipucuk kepalanya untuk menenangkan.

"Jeonghan bukan anak kecil lagi. Dia pasti bisa menjaga dirinya. Lagipula, kurasa ada Seungcheol yang bersamanya saat ini. Karena Bibi Jang bilang Seungcheol juga belum tiba dirumah saat ini."

"Apa kau yakin?"

Taemin mendongakkan kepalanya untuk melihat kejujuran dalam wajah Minho. Dan ia menemukannya.

"Kuharap Seungcheol memang sedang bersamanya saat ini."

Taemin berbalik dan memeluk pinggang Minho, merasakan tangan pria itu membalut seluruh tubuhnya dengan hangat dan erat sambil mengelus lembut surai brunettenya yang panjang.

"Sudah jam 9. Kau mau tidur?"

Tanya Minho, masih menimang-nimang tubuh mereka dalam pelukan satu sama lain. Pria itu kemudian merasakan Taemin menggeleng didepan dada bidangnya.

"Lalu?"

"Kita lakukan hal lain sebelum tidur."

"Misalnya?"

Minho diam-diam tersenyum dalam kebodohannya yang dibuat-dibuat.

"Kau tahu apa."

"Aku tahu apa?"

"Berhenti menjadi pura-pura bodoh atau aku akan berubah pikiran."

Minho mengaduh kecil saat merasakan cubitan Taemin melayang ke pinggangnya.

"Let's make a baby~"

Minho mengangkat tubuh Taemin menuju ranjang dengan gerakan mengayun dan berputar.

"Hyah! Tunggu sampai kita menikah!"

Tanpa mengindahkan teriakan Taemin, Minho mencubit gemas hidung mancung kekasih yang berbaring dibawahnya sambil tertawa. Ia memulai peraduan malam panjang ini dengan sebuah kecupan lembut.

End of chapter 1

A/N: My Gawwdd... It takes so long for me before finally comeback and build the courage to writing again. Aahhhh I'm desperately embarassed... My writing is sucks now *sobs*

Okay, I did really want to know what are you gusy actually thinking about this first chapter. Is it worth to continue? Or just so so?

Please just being honest with yourself for commenting whether its good or bad, I mean my fanfic litterally. Thanks, I hope this is worth reading at least *^*)/

PS. tbh my real pen name is PDA and actually I've been posted this story on my personal fb acc Puspa Dewi Aldiano, fyi. Have a great day :)