A Gundam Seed Fanfiction
I Know You With Me
Disclaimer: I don't own Gundam Seed or Gundam Seed Destiny…. But I own this story hahaha… (^o^)V
Rate: T
yah...itu karena saya nggak ngert rate yang cocok yang apa...hhe
Cuaca pagi hari ini tidak begitu baik. Langit pagi hari sudah dipenuhi oleh awan berwarna keabu-abuan, samar-samar dan sangat tipis, warna biru pucat tampak mengeluarkan segenap kekuatannya untuk bisa menampakkan dirinya. Seolah-olah tidak memperbolehkan si biru untuk menyapa dunia, si abu-abu bergerak perlahan dan semakin mempersempit ruang bebas yang dimiliki oleh si biru. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00, namun sang Surya masih enggan bangun dan menemani umat manusia dalam melakukan aktifitasnya hari ini. Sinarnya tampak tipis, hanya sekedar terang, sebuah tanda bahwa masih ada hari baru. Melihat keadaan pagi yang tampak redup ini, mungkin hujan akan kembali turun seperti hari kemarin. Meski hawa dingin terasa menusuk, orang yang berlalu-lalang di depan kompleks pemakaman bertembok putih ini terhitung cukup banyak.
Dari kejauhan, kita bisa melihat dua cewek yang berjalan berdampingan menuju kompleks pemakaman. Mereka menundukkan wajahnya dan tidak berbicara satu sama lain. Salah satu dari mereka menoleh, tersenyum pada seorang gadis kecil yang berpapasan dengan mereka. Cewek berbaju hijau tanpa lengan dengan rambut kuning itu bergerak mempercepat langkah dan sedikit menoleh ke belakang, sekedar memberi isyarat agar temannya ikut mempercepat langkah, sama seperti dirinya. Cewek berbaju pink-biru muda ini hanya tersenyum manis melihat wajah temannya yang tampak kesal setelah dia berhenti sejenak, sekedar bertegur sapa dengan gadis kecil tersebut. Detik demi detik berlalu dan kedua cewek itu mulai memasuki kompleks pemakaman.
Tanah di pemakaman yang masih agak basah menyambut kedatangan kedua cewek berkulit putih itu dengan bau yang khas. Si baju hijau menyipitkan matanya sambil menoleh ke kanan, tampaknya ia menangkap sesuatu. Sedangkan yang berbaju pink-biru muda lebih tertarik pada sebuah genangan air yang berada tidak jauh dari kaki kirinya. Dia berhenti berjalan dan menatap genangan itu. Puas dengan sesuatu yang berhasil ditangkap oleh mata emasnya, si baju hijau melanjutkan langkahnya. Baru berjalan 3 langkah, ia kembali berhenti, tampaknya dia sadar bahwa orang yang menemani perjalanannya masih berdiri diam di tempat. Ia menoleh, menatap temannya dengan tatapan heran sambil menggeleng pasrah saat menyadari sesuatu yang berhasil menarik perhatian cewek itu. Sedetik kemudian, dia menggumamkan sesuatu dengan volume suara yang bisa di dengar oleh temannya dan kembali berjalan.
Mereka berjalan ke arah nisan berwarna abu-abu yang terletak di tengah-tengah kompleks pemakaman. Di sekeliling nisan itu, terdapat bunga-bunga yang berdasarkan penampilannya, baru saja ditaburkan ke atas nisan tersebut. Keduanya berdiri berdampingan di sebelah kanan nisan tersebut. Mereka menundukkan kepala, menatap kosong dan sayu pada ukiran nama yang ada di nisan tersebut.
"Cagalli…," cewek berbaju pink-biru muda tadi membuka mulutnya tanpa mengalihkan pandangannya dari nisan tersebut, "maukah kau katakan sekarang? Athrun dan Kira tidak mau buka mulut, kata mereka… aku harus bertanya langsung padamu…"
"yah..," cewek berambut kuning itu menengadah, menatap langit abu-abu yang terbentang luas di atas mereka, "mau mulai dari mana, Lacus?" tanyanya
"terserah kau saja.. aku akan mendengarkan"
Cewek yang dipanggil dengan nama Lacus itu tampak tidak peduli dengan awal cerita Cagalli. Mungkin karena pada akhirnya inti cerita itu sama? Hanya akan menjelaskan sesuatu yang ingin ia ketahui. Cagalli sendiri tetap berdiri tak bergeming sambil tetap menengadah, menatap sekumpulan benda berwarna putih keabu-abuan yang tampak lebut itu. Mungkin dia berandai-andai , memikirkan sesuatu… apakah dia bisa memakan benda ini? Hmb… mungkin juga… seulas senyum palsu terukir di wajahnya. Cagalli berdeham pelan sambil menundukkan kepalanya, menatap nisan yang ada di depannya tersebut.
"Kau tahu'kan? Bahwa kedua orang tua kita pergi ke Copernicus selama 2 bulan?" katanya pelan sambil sedikit menoleh, memastikan apakah Lacus mengerti dari mana ia akan mulai bercerita.
"ehem," Lacus hanya berdeham menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Cagalli
"kebetulan, hari itu aku sedang berada di Washington, iseng saja… kami memilih menginap di penginapan yang sederhana, sesekali boleh lah…," Cagalli sedikit mengangkat bibirnya, "malam itu, terjadi kebakaran besar di penginapan, sedangkan Athrun masih berada di White House," Cagalli kembali mengangkat wajahnya sambil mulai memasukkan kedua tangannya di saku celana putih yang dia kenakan, "tak ada satupun dari antara kami yang tahu nomor teleponmu dan juga Kira di PLANT, kalian baru saja menikah 2 minggu sebelumnya. Ataupun Paman dan Ayah…"
"itu alasan kenapa kalian tidak memberitahu aku dan Kira?" sambung Lacus, seakan mengerti arah pembicaraan Cagalli
Cagalli hanya menyunggingkan senyum palsu tipisnya, dia menundukkan kepala dan kembali menatap ukiran nama seseorang yang ada di nisan abu-abu tersebut. Beberapa detik berlalu, namun dia tetap asik melakukan aktivitas yang baru saja dia lakukan. Menatap sebuah nisan abu-abu yang tampak masih baru dengan tatapan sayu yang mungkin, bisa dibilang lebih ke arah tatapan bersalah. Pelan, Cagalli mulai mengeluarkan tangan kanan dari sakunya dan mulai membuka mulut.
"waktu itu, pukul 12 malam," Cagalli sedikit mengangkat wajahnya, "kami terlambat bangun, sama sekali tidak sadar kalau api sudah membakar habis separuh penginapan yang kami tempati...," lagi-lagi cewek ini menunduk, tampaknya tanah yang ia pijak menjadi objek yang menarik bagi kedua matanya, "aku bangun dan berusaha menyelamatkan diri bersama dengannya, sambil meneriakkan kata-kata minta tolong pada Athrun dari telepon. Yah, setidaknya agar dia cepat datang dan menjemput kami. Tiba-tiba saja tiang penyangga atap rumah jatuh…" Cagalli sedikit menggerak-gerakkan kaki kirinya, sehingga tanah yang ia pijak menunjukkan garis setengah lingkaran, "dia menimpa kaki kiriku, dan aku dapat luka bakar, hhe," ucapnya sambil tertawa hambar.
Lacus sedikit menoleh, dan menyunggingkan senyum bangga pada sahabat sekaligus saudara ipar yang berada di sebelahnya ini. Namun, seperti yang sudah-sudah, Cagalli menghentikan ceritanya dan terus saja menatap ke tanah yang berwarna coklat kehitaman. Entah karena alasan apa, cewek dengan tinggi 164cm itu bergerak perlahan, melangkahkan kedua kakinya dan mulai berjongkok di sebelah kiri nisan itu sambil mengusapnya. Lacus hanya berdiri tenang sambil mengikuti arah gerakan Cagalli, yang kini asik membersihkan debu-debu tipis yang menempel di nisan abu-abu tersebut.
Lacus menghembuskan nafas panjang dan mulai mengayunkan sebelah tangannya, tampak ingin mengusap sebaris nama yang terukir indah di tengah atas nisan itu. Namun, tampaknya sesuatu menghalangi niatya, dia tersenyum kecut dan memutuskan untuk kembali menarik tangannya.
"dia melihatku yang tak bisa bergerak, dan berjongkok di sisiku," Cagalli masih saja asik 'bermain' dengan nisan di hadapan mereka itu, "tak berapa lama, aku melihat langit-langit kembali runtuh…
