Disclaimer: Magi belongs to Shinobu Ohtaka. I take nothing except pleasure from this fic.
Note: canon based on chapter 265. Segala kesamaan kalimat, ide, dan plot hanya kebetulan semata. Terima kasih dan selamat membaca.
.:Ambivalent:.
an AliMor fanfiction
Dan Morgiana baru tahu, bahwa pengalaman tidak bisa selamanya jadi guru
Degup jantung Morgiana, cucuran peluh yang menetes dari dahinya, dan kekakuan sendi yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya—tidak sebanding dengan bau mengerikan asap dupa yang bergumul menyambutnya.
Satu interjeksi: Alibaba!
Dia lemas. Seluruh tenaga habis lenyap, menguap entah ke mana bersama keberaniannya saat mendekati peti berukir dan berpelitur indah, tempat Alibaba Saluja mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.
Begitu Morgiana maju, rekannya hanya memandang pilu. Disela oleh isak tangis yang tidak ingin gadis itu dengar, kepada mata tertutup jasad pria yang tidak ingin dia percaya.
Maka, dengan segenap kecepatan, Morgiana berderap bak kesetanan.
Konyol. Berlari secepat apapun, Alibaba tidak akan menyambutnya dengan gelimang senyum khasnya. Morgiana lupa—atau sengaja tidak dengar—waktu Toto berkata terbata bahwa, "Alibaba sudah ...", jadi diguncangnya tubuh itu tak sabar.
Dingin.
Kaku.
Mata sewarna senja itu tidak mau membuka meski Morgiana menyebut namanya dengan kelu. Berulang, berulang, menyatu dengan untaian doa semu.
Tak puas, diseruduknya dada bidang pemuda itu. Berharap, entah bagaimana, jantunya mengkhianati pejaman erat sang mata, dan tetap berdetak selaras dengan jantung Morgiana yang memburu.
Senyap.
Bisu.
Dan Morgiana baru tahu, bahwa pengalaman tidak bisa selamanya jadi guru.
Bahwa penderitaan, kerak kehidupan budaknya tidak cukup untuk menyejajari perasaan baru ini. Bahwa segala kesedihan dan kekecewaannya yang digabung tidak akan bisa menyamai rasanya melihat Alibaba mati.
Bahwa, segenap ceruk dan kemaruk pikirannya tidak sanggup menghalangi kenyataan kalau dia mencintainya. Alibaba. Selama ini, sepanjang ini, sebesar ini ...
Sampai-sampai perasaan itu terlalu istimewa untuk dimengerti dirinya yang lamban—yang baru sadar ketika sang subjek tidak akan pernah kembali lagi.
Hei, bangun. Tidakkah kau berjanji untuk tetap di sampingku, apapun yang terjadi? Lupakah bahwa kau akan menungguku memahami perasaan aneh ini? Bangun, Alibaba. Bangun, bangun, bangun, bangun, bangun ...
Dia mengangkat kepalanya. Gemetar. Bergetar. Nanar. Matanya panas, tapi setitik pun tidak ada air yang keluar. Hanya kabut dan rasa kantuk. Hanya wajah damai dan namanya yang dari tadi menghantui otaknya.
Alibaba.
Alibaba,
Alibaba ...
Morgiana hilang arah.
Sebab kompas hidupnya tengah ditangisi pelayat tanpa jeda.
.
END
