Shigami Eyes

Cast :

- Sehun

- Kai (Jongin)

- Oh Gwangsuk (Feeldog Bigstar)

- Lee Youngjun (Baram Bigstar)

Cast akan bertambah sesuai chapter.

Genre: Supernatural, fantasy, brothership, family, romance.

Rate: T

Yaoi, Official pair. OOC!

Warning! FF aneh, ga jelas!

.

.

.

Jepang, Fukuoka.

Minggu pagi…

"Sehun, kau lihat itu?" seorang bocah lima tahun, bertanya pada saudara kembarnya sambil menunjuk cermin, dan dijawab dengan kerutan dahi oleh anak yang ditanyai. "Lihat apa?" tanyanya balik, tidak mengerti. Lalu Kai – anak yang bertanya pertama tadi – berbalik menghadapkan wajahnya dengan saudara kembarnya.

"Itu, kau tidak melihatnya?" Lagi Kai bertanya seraya menunjuk atas kepala Sehun. Dan untuk kedua kalinya di pagi hari itu, Sehun mengerutkan dahinya. "Apa maksudmu Kai?" dan Kai masih menunjuk atas kepala Sehun. "Itu! Ada sebuah nama disitu, juga angka-angka itu, berwarna merah!" Kai mengatakan itu dengan nada girangnya, seakan hal yang dilihatnya itu bukanlah keanehan. Sehun menggeleng, menghadap cermin untuk memastikan apa yang dikatakan Kai, namun hasilnya tetap sama, ia tidak melihat apapun, yang ia lihat hanya pantulan dirinya, Kai disampingnya, dan benda-benda di sekitarnya.

"Aku tidak melhat apapun Kai, sungguh. Apa kau sedang ber-khayal? Berhentilah menanyakan hal itu lagi." jawaban Sehun membuat Kai murung dan melengkungkan bibirnya ke bawah. Ini bukan kali pertama Kai menanyakan hal itu pada Sehun saat mereka sedang bercermin bersama sehabis mandi. "Aku tidak meng-khayal. Itu nyata! Angka-angka itu terus berkurang dan kadang juga bertambah dengan sendirinya."

Sehun mengambil napas. "Sudahlah, ayo sarapan dan pergi ke gereja, ibu sudah menunggu di ruang makan." Kai hanya bisa menuruti perkataan kakaknya itu.

2 tahun kemudian…

Kamis sore…

"Sehun, apa kau sungguh tidak melihatnya?" Kai bertanya lagi – entah kali ini yang keberapa kalinya – pada Sehun. "Tidak Kai, berhentilah menanyakan hal itu." Sebuah kereta melintas dihadapan mereka, setelah kereta itu melintas, saudara kembar itu pun menyeberang dan berjalan lurus – menuju rumah.

"Aku tidak bisa berhenti menanyakannya padamu. Aku bahkan tidak tahu apa arti nama dan angka-angka itu." Sehun diam. Ia berfikir. Tidak mungkin Kai meng-khayalkan hal yang sama selama ini. Ini sudah lebih dari 2 tahun, dan Kai masih – selalu – menanyakan hal yang sama padanya. Jadi kesimpulan Sehun, yang Kai lihat itu adalah nyata. Sehun mencoba mempercayai kesimpulan yang ditariknya sendri, meskipun tidak masuk akal. Kai menatap Sehun dengan tatapan berharap, agar Sehun mau menjelaskan sesuatu padanya atas apa yang ia lihat di atas kepala setiap orang yang ditemuinya – angka-angka berwarna merah itu.

Kai juga bingung. Ia merasa menjadi orang yang aneh. Ia bertanya-tanya sendiri kenapa hanya dirinya yang bisa melihat nama dan angka-angka itu, dan kenapa Sehun tidak bisa melihatnya?

Sehun berhenti berjalan sejenak, mengambil napas. "Baiklah, jadi kau melihat nama dan angka-angka itu di atas kepalaku?" Kai menatap sehun. "Ya. Aku juga melihatnya di atas kepala ibu, tapi angka-angka di atas kepala ibu itu…"

"Baik baik, aku tahu. Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Apa kau melihatnya juga saat kau bercermin?" Sehun langsung memotong perkataan Kai saat ia tahu apa yang akan Kai katakan. Sehun tidak mau Kai mengingat kejadian 2 tahun lalu pada saat Kai mengatakan suatu hal pada ibu mereka

"Ya, aku melihatnya di atas kepalaku sendiri. Angka diatas kepalamu dan kepalaku itu sama, hanya saja nama yang ada di atas kepalamu dan kepalaku itu berbeda." Kai menjelaskan dengan senyuman riangnya saat mengatakan hal itu. Kai selalu tersenyum saat ia tahu bahwa dirinya memiliki kesamaan dengan saudara kembarnya itu.

"Benarkah? Bisa kau beritahu aku berapa angkanya?" Kai menggeleng. "Tidak Sehun, aku tidak bisa memberitahukannya." Mata Sehun menyipit. "Tidak bisa?" Kai hanya mengangguk, ekspresi wajahnya sedikit berubah. "Tapi kenapa? Bisa kau beri tahu aku apa alasanmu?" Dan lagi-lagi Kai menggeleng. "Pokoknya tidak bisa, ini belum saatnya."

Sehun bingung. Ia tidak mengerti.

"Saat apa?" Kai menunduk. "Entahlah, seseorang seperti mengatakan padaku tentang hal ini."

"Siapa yang mengatakannya padamu?"

"Aku juga tak tahu. Aku merasakan firasat."

"Firasat apa? Apa hal yang buruk akan terjadi?"

"Ya, sesuatu mungkin akan terjadi, tapi akau tak tahu itu buruk atau tidak."

Mereka masih berbicara dengan berdiri, yang kebetulan mereka tadi berhenti tepat di depan sebuah toko roti. Di depan toko roti itu ada seseorang berumur sekitar 40 atau 50-an sedang memakan roti isi dengan koran ditangannya. Kai menatap orang itu, kemudian menatap ke atas kepalanya. Angka-angka itu. Juga sebuah nama. Kai tidak tahu itu nama siapa, karna saat ia bercermin, nama yang dilihatnya di atas kepalanya bukanlah namanya. Nama asli Kai adalah Kim Jongin. Dan tidak ada nama Kim Jongin di atas kepalanya. Juga di atas kepala Sehun. Kai tidak menemukan nama Sehun di atas kepala Sehun. Tapi nama orang lain. Kai bingung dengan itu.

Kai terus menatap orang itu, hingga tak lama kemudian Kai melihat orang itu seperti sesak nafas tiba-tiba, dan jatuh dari kursinya. Beberapa orang yang ada disana berlari menuju pria yang tegeletak itu. Kai dan Sehun juga berlari, ingin tahu apa yang terjadi. Lalu seseorang – yang sepertinya seorang dokter yang baru pulang dari klinik atau rumah sakit yang kebetulan lewat – mengecek keadaan pria tak berdaya itu dan mengatakan pria itu sudah mati. Entah karena apa.

Setelah itu datanglah mobil ambulan, mengangkat mayat itu kedalam mobil, dan membawanya ke rumah sakit. Setelah mobil ambulan pergi, kerumunan orang mulai bubar, termasuk Sehun dan Kai yang mulai berjalan menjauh, melanjutkan perjalanan mereka menuju rumah. Dan seketika itu juga, Kai, bocah berusia 7 tahun itu, menyadari sesuatu. Tentang angka-angka itu.

Sehun melangkah duluan. "Ayo Kai kita pulang. Ini sudah sore, ibu akan marah kalau kita tidak menutup jendela di rumah." Kai mengikuti langkah Sehun.

Ketika mereka sampai di rumah, ibu mereka belum pulang dari bekerja. Kai memasuki pintu duluan, disusul dengan Sehun. Mereka masuk kekamar bersama, Kai mendudukkan diri di pinggir kasur dan berucap, "Semoga ibu pulang cepat hari ini." Lalu Sehun menoleh. "Kenapa kau ingin ibu pulang cepat?"

"Tidak, hanya saja aku ingin melihat ibu memasak makan malam untuk kita." Ujar Kai mengakui keinginannya. Sehun pun mengernyit. "Kau aneh Kai. Cepatlah mandi, aku akan menelpon ibu kalau begitu." Kai pun tersenyum sumringah dan berlari ke kamar mandi. Sehun keluar kamar untuk menelpon ibu mereka dengan telepon yang ada di meja ruang tamu.

Selesai menelpon, Sehun kembali ke kamar dan masuk ke kamar mandi untuk mandi bersama Kai. Ketika ia membuka pintu kamar mandi, Kai sedang keramas, langsung bertanya."Kau sudah menelpon ibu?" Sehun mengangguk, lalu menanggalkan seluruh pakaiannya dan langsung membasahi dirinya dengan se-gayung air. "Ibu bilang ia akan pulang sebentar lagi." Kai meloncat-locat kegirangan. "Benarkah?" Sehun mengangguk dan tersenyum tipis melihat adik kembarnya yang sedang gembira mendengar kabar ibu mereka akan datang sebentar lagi.

Sehun mengambil shampo, menuangkannya ke telapak tangannya dan mengolesinya ke rambut hingga berbusa. Kemudian mengalihkant tangannya dari kepalanya sendiri dan meletakkan tangannya di atas kepala Kai. Kai tertawa, lalu melakukan hal yang sama seperti Sehun.

Bahkan saat mandi bersama pun, Kai masih bisa melihat angka-angka berwarna merah. Benarkah yang dilihatnya itu?

Mereka masih saling memegang kepala satu sama lain. Kemudian membilas kepala mereka. Lalu menyabuni tubuh telanjang mereka, saling menggosok punggung.

Selesai mandi, mereka memakai piyama dengan motif yang sama – Anime Naruto. Sehun dengan gambar Sasuke di piyamanya, dan Kai dengan gambar Naruto. Si kembar itu melakukan rutinitas mereka setiap hari, mandi bersama, mengenakan piyama dengan motif sama, dan sekarang mereka sedang menyisir rambut bersama di depan cermin.

Ketika pintu depan rumah terbuka, enampilkan sosok berumur sekitar 40-an, Sehun dan Kai langsung berlari keluar kamar mereka, mendatangi ibu mereka di depan pintu. Sehun sampai lebih dulu di depan ibu mereka, langsung mengambil alih sekantong pelastik berisi sayuran dan bahan-bahan lain. Ibu mereka habis belanja di supermarket.

"Ibu, kau sudah pulang?" Sehun bertanya dengan senyum kebarnya, hanya dijawab dengan anggukan dan senyuman lembur oleh ibu mereka. Kai menyusul di belakang Sehun. Ketika sudah dekat, Kai ingin memeluk ibunya – ibu mereka – tapi ia mengurungkan niatnya itu. Lagi dan lagi, Kai harus melihat angka-angka di atas kepala ibunya. Ekspresinya berubah sedikit murung seketika itu. Ini belum saatnya, Kai membatin. Tapi takdir tidak bisa diubah.

Sehun pergi ke dapur, meletakkan sekantong pelastik yang dibawa pulang ibu mereka untuk makan malam. Kai dan Ibu mereka masih di depan pintu. "Ibu, aku merindukanmu." Kai langsung berhambur memeluk perut ibunya – tingginya hanya sebatas pinggang ibunya. "Kita bertemu pagi tadi Kai." Wanita itu berjongkok, menumpukan lutuknya di lantai dan memeluk Kai yang lebih mungil darinya. Terkekeh melihat sifat manja Kai, lalu mengelus rambutnya.

"Sudah pelukannya? Ibu harus mandi dan memasak makan malam untuk kalian." Kai merenggangkan pelukannya, mengecup pipi ibunya sebentar, dan berlari ke kamar mereka – melewati Sehun yang ada di belakang mereka tadi. Sehun menatap Kai bingung. Kenapa Kai harus berlari seperti itu?

Sehun mendekati ibunya yang masih berjongkok di lantai, lalu memeluknya di pipi kanan – karena Kai selalu mencium di pipi kiri ibu mereka. Sehun melepas pelukannya. "Cepatlah mandi bu, aku sudah mulai lapar." Wanita itu tersenyum mendengar penuturan putranya yang manis – menurutnya, kemudian berdiri, dan pergi ke kamar mandi, setelah sebelumnya mengambil handuk di jemuran yang ada di samping pintu kamar mandi.

Sehun ke kamar, ingin melihat Kai. Iya membuka pintu kamar dan melihat Kai yang berdiri di depan jendela yang berseberangan dengan pintu masuk kamar, sehingga Kai membelakangi Sehun. "Kai, kenapa kau berlari setelah memeluk ibu tadi?" Sehun bertanya. Kai berbalik. "Sehun…" Kai menggantungkan kata-katanya, membuat Sehun penasaran. "Ada apa? Ceritakan padaku." Kai menghela napasnya. Ekspresinya benar-benar murung sekarang. "Ibu, ibu akan pergi…" Sehun jelas bingung, alisnya berkerut. "Pergi kemana maksudmu? Ke pasar? Atau ke tempat kerjanya? Atau ke tempat lain? Tapi ibu sedang mandi tadi, ia akan memasakkan makan malam untuk kita."

Kai menggeleng keras. "Tidak Sehun. Buka itu maksudku."

"Lalu apa?"

"Kau ingat orang yang mati di pinggir jalan tadi?" Sehun mengangguk. "Aku melihat angka-angka itu di atas kepala orang itu, sebelum dia jatuh dari tempat duduknya, ia sedang memakan roti sambil membaca koran. Kau tau? Angka yang ada di atas kepalanya itu pendek sekali, aku terus menatapnya sampai akhirnya orang itu jatuh entah karena apa, dan akhirnya, angkanya habis."

Sehun masih bingung. Ia tidak menemukan keterkaitan antara cerita Kai barusan dengan ibu mereka. "Aku melihat angka-angka di atas kepala ibu…" Sehun langsung tersentak seketika. Ia mengerti maksud Kai sekarang. Cepat-cepat ia menyadarkan dirinya untuk bertindak sesuatu. "Ayo cepat keluar, kita temui ibu." Sehun keluar kamar duluan, disusuk Kai dibelakangnya. Mereka sampai di depan pintu kamar mandi. Sehun mngetuk pintu kamar mandi itu. "Ibu, kau masih di dalam?" Sehun sedikit berteriak. Lalu terdengar sahutan dari dalam kamar mandi. "Ya sayang, ada apa?"

"Cepatlah sedikit bu, kami sudah lapar." Kali ini Kai yang menjawab. Sehun menatap Kai. Ekspresi adik kembarnya itu masih murung. "Berikan senyummu untuk ibu nanti." Sehun berucap pelan pada Kai dan hanya di balas dengan anggukan.

Tak lama kemudian, seorang wanita keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Kai langsung ceria saat itu, meskipun hatunya berkebalikan dengan ekspresinya sekarang. "Ibu cepatlah memasak, kami sudah lapar." Sehun mengangguk, mengiyakan pernyataan Kai bahwa mereka sudah lapar. Wanita itu tersenyum lembut melihat kedua putranya. "Baiklah, tunggu sebentar, ibu akan memasak. Kalian bisa menonton tv dulu, atau bermain." Lgi, wanita itu tersenyum.

Kemudian Sehun dan Kai pergi ke ruang tengah, mereka mengambil sebuah box cukup besar yang terdapat di bawah meja nakas di samping televisi yang berisi kumpulan mainan anak-anak. Sehun menarik box itu keluar, Kai langsung mengambil beberapa jenis robot, sedangkan Sehun mengambil beberapa mobil-mobilan, menyusunnya di lantai beralas karpet bulu yang lembut dan menjalankannya sambil mengeluarkan suara 'ngengg ngeeengg'.

Kai juga mulai menyusun robot robotannya. Kali ini ia pasti akan membuat seolah-olah sedang terjadi perang. Ia menyusun beberapa tokoh pahlawan seperti Superman, Batman, Spiderman, dan Ultraman di barisan depan, dan di belakannya juga bersusun prajurit tentara lengkap dengan senjata api dan topi perangnya. Tentu saja semuanya terbuat dari pelastik. Kemudian Kai juga menyusun robot-robot – entah itu robot apa namanya – di seberang tokoh-tokoh pahlawan dan tentara tadi yang sudah di susunnya, dan tentu saja dengan prajurit tentara lengkap dengan senjata api dan topi perangnya.

Sehun masih sibuk menjalankan mobil-mobilannya. Menabrakkan mobil-mobilan sedan ke truk besar, memutarbaikkannya seakan-akan terjadi kecelakaan saat itu. Kemudian mengambil mobil ambulan sambil menurukan suara ambulan.

Kai memulai perang yang dibuatnya sendiri. Memajukan Batman, menabrakkannya dengan salah satu robot, tapi robot itu tak jatuh karena ukurannya lebih besar. "Ayo serang!" Kai berseru. Sejenak melupakan satu fakta yang akan terjadi atas ibu mereka. Iseng, Sehun menabrakkan mobil-mobilannya ke prajurit perang Kai, hingga semuanya jadi jatuh. Dan Kai langsung protes melihat Sehun.

"Sehun, kau membuat prajuritku kehilangan separuh tenaganya, bisa-bisa mereka kalah berperang nanti!" Protesan Kai, tidak digubris Sehun. Sehun tetap menabrakkan mobil-mobilannya hingga semua robot-robotan Kai jatuh. Kai tidak mau kalah, ia mengambil salah sati robot dengan ukuran terbesar yang ia miliki saat itu, kemudian menabrakkannya ke mobil-mobilan Sehun. "Mati kau robot!" Seru Sehun saat Kai melawannya.

Mereka masih asik saling menambrakkan mobil-mobilan dan robot-robotan hingga suara ibu mereka membuat mereka bergegas ke dapur menyusul ibu mereka untuk makan malam bersama. Sehun dan Kai duduk di kursi mereka seperti biasa. Kai selalu duduk di hadapan ibu mereka, dan Sehun di sebelah kanan Kai.

"Ayo makan yang banyak, agar kalian cepat besar." Wanita itu berucap pada kedua anak kembarnya dengan senyuman sepert biasa. Terlihat seperti malaikat di mata Sehun. Kai menatap ibu mereka dengan tatapan sendu, tapi ibu mereka tidak menyadari itu. Mereka terlihat ceria seperti biasa. Meski kini kecemasan menyelimuti hati Kai dan Sehun.

Seperti biasa, mereka – Sehun dan Kai – dan wanita – ibu Sehun dan Kai – selalu berdoa sebelum mereka makan. Sehun mulai makan dengan tenang, meskipun pikirannya tidak disitu, ia memikirkan apa yang akan ia dan Kai lakukan kalau ibu mereka sudah pergi nanti. Sebenarnya Sehun tidak terlalu yakin dengan ucapan Kai. Bukannya Sehun tidak percaya dengan Kai, hanya saja apa yang Kai katakan itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang anak 7 tahun bisa melihat sisa umur seorang manusia? Itu= sungguh diluar akal Sehun. Tapi Sehun tidak bisa membantah perkataan Kai karena Kai membuktikan ucapannya – dengan tidak sengaja melihat orang yang mati di pinggir jalan sore tadi. Sehun tidak punya pilihan selain mempercayai ucapan Kai, karena, sekali pun Kai tidak pernah berbohong padanya juga pada ibunya. Ibu mereka mengajarkan kejujuran.

Sehun masih makan dengan tenang meskipun pikirannya tidak. Sehun masih bisa mengendalikan gelagat tubuhnya agar tidak ketahuan bahwa ia sedang resah sekarang. Tapi lain dengan Kai. Kai makan dengann tidak tenang. Sesekali Kai melihat wajah ibunya dengan takut-takut, lebih tepatnya melihat ke atas kepala ibunya. Sehun menyadari itu tak bisa berbuat apa-apa. Menegur Kai hanya membuat ibu mereka menyadari ekspresi Kai lebiih cepat, jadi Sehun memilih diam dan melanjutkan makannya dengan tenang.

Kai masih seperti itu. Hingga ibu mereka menoleh pada Kai. "Kai ada apa denganmu?" Raut wajah wanita itu berubah khawatir. "Tidak apa, bu." Kai menunduk, mencoba menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tak terkontrol sekarang, meskipun sudah ketahuan oleh ibunya. "Kau sakit?" Wanita itu bertanya, member perhatian pada anaknya. Hanya dibalas gelengan lemah oleh Kai.

Kai takut melihat wajah ibunya. Karena ketika ia melihat wajah ibunya, saat itu juga ia akan melihat angka-angka di atas kepala ibunya itu. Sebenarnya Kai panic, hanya saja ia tidak tahu apa yang harus dilakukanya.

"Baiklah. Makanlah yang banyak Kai, Sehun tidak akan mencuri makananmu." Wanita itu terkekeh sendiri. Kai hanya mengangguk dan melanjutkan makannya. Masih dengan perasahan tidak enak di hatinya.

Makan malam selesai. Wanita itu – ibu Kai dan Sehun – membereskan sisa-sisa makanan dan mencuci piring di westafel dapur. Kai dan Sehun masih di kursi masing-masing menatap ibu mereka yang sedang memcuci piring. Sangat enggan untuk berdiri dari situ. "Kalian tidak bermain? Atau menonton televisi?" Wanita itu bertanya mendapati kedua anaknya tidak seperti biasanya. Kai dan Sehun menggeleng. "Bukankah kartunnya sudah mulai sekarang?" wanita itu bertanya lagi. Sehun membuka mulut."Sebentar saja, bu, kami masih kenyang."

"Baiklah kalau begitu." Wanita itu hanya tersenyum lembut. Khas seorang ibu.

"Kai, Sehun, ibu pergi keluar sebentar. Jangan kemana-mana." Anak kembar itu menatap ibu mereka. "Pergi kemana?" Kai bertanya. "Ibu mengurus sesuatu untuk kalian. Jangan nakal, ya." Wanita itu mencium pipi anak kembarnya dan berpamitan di pintu depan.

Mereka terpaku. Hanya terdiam di depan pintu memandangi kepergian ibu mereka dengan raut datar, tapi hati mereka luar biasa tak tenang.

"Apa yang harus kita lakukan?" Sehun membuka suara, setelah menutup pintu dan mereka masuk ke rumah. "Tidak ada. Hanya menunggu semuanya terjadi begitu saja." Kai menjawab dengan nada suara yang datar,Sehun mematung. "Apa kita tidak bisa mencegah atau menunda kejadian ini?"

Kai menghela napas, menatap ke atas. "Tidak bisa Sehun, itu sudah takdir ibu. Kita hanya bisa pasrah sekarang."

Sehun masuk ke kamar. Kai masih terdian di ruang tamu. "Apa sungguh tak ada hal yang bisa kulakukan agar ibuku kembali?" tanyanya lirih, entah pada siapa. Lalu Kai mendongakkan kepalanya, berharap mendapat jawaban yang diinginkannya.

'Itu takdir ibumu. Aku tak bisa membantu, maaf.'

.

.

.

To be Continued

Mind to riview?^^

Sorry for Typo(s)

lanjut atau hapus? ayo riview!^^