Ace of Diamond / ダイヤのA

Belong's to

Terajima Yuuji

.

Keputusan (c) Keiko Kazuya

.

.

.


Malam hari diakhir musim semi. Rinai hujan mulai mengguyur kota metropolitan, Tokyo. Suhu malam hari sangat rendah. Udara dingin terasa menusuk tulang. Kazuya melangkah terburu. Menghindari derai hujan yang siap membasahinya. Kedua tangannya ia simpan disaku mantel berwarna coklat tua. Berbegas menuju rumah sakit dan pusat rehabilitasi dipinggiran kota Tokyo.

Perasaannya sedang tidak baik. Berkecamuk membentuk gelombang yang akan menggulung apapun yang ada disekitarnya. Sore tadi, Kazuya baru saja sampai digerbang utama asrama Seidou. Disambut hangat oleh Nori dan Shirasu. Tidak ada yang aneh. Mereka berbincang seperti biasa. Hanya saja ada yang janggal. Firasat buruk yang berkeliaran dalam pikiran Kazuya tak mau hilang. Justru semakin bertambah kuat tat kala ia memasuki ruang meeting tim Seidou. Puncaknya ketika Kuramochi membeberkan kabar yang berhasil memantik amarah Kazuya. Membenarkan firasat buruk yang sedari tadi menghantuinya.

'Sawamura dirawat di rumah sakit.'

Satu kalimat lugas yang mampu mengoyak batinnya. Kazuya tahu, firasatnya tak pernah meleset. Dengan segera ia memutuskan menemui Eijun.

Pintu bercat putih itu terbuka perlahan. Sosok pemuda berkacamata dengan surai coklat pudar berdiri angkuh diambang pintu. Mimik wajahnya tenang. Berbanding terbalik dengan sorot mata setajam lasernya. Tatapan tajam penuh amarah. Miyuki Kazuya angry mode on.

Eijun menelan ludah susah payah. Manik ambernya tak berdaya ketika harus bersitatap dengan manik huzelnut Kazuya. Keringat dingin mulai membasahi wajah pucatnya.

Kami-sama, oni datang. Batin Eijun miris. Perasaannya sudah tidak enak sejak beberapa saat yang lalu. Dan kedatangan sosok Kappunyalah yang menjadi penyebab utama.

"M-matte yo¸Mi-miyuki Kazuya!" Eijun terbata-bata. Kegugupannya semakin menjalar ketika Kazuya mulai melangkah mendekatinya. Kedua tangan Eijun mulai ia julurkan didepan dada. Menciptakan tembok defensif. "Aku bisa jelaskan."

"Apa pembelaanmu, Sawamura Eijun?" Kazuya menarik kursi yang berada dibawah ranjang. Mendudukkan diri diatasnya. Kaki kanan ia silangkkan diatas kaki kiri. Bersedekap tangan, netra hazelnutnya menatap Eijun tenang. Entah hilang kemana sorot penuh amarah manik dibalik lensa kacamata itu beberapa detik yang lalu.

"Aku tidak sengaja, Kappu. Gomennasai." Kali ini Eijun benar-benar tenggelam. Tak berdaya. Tatapan Kazuya mampu melumpuhkan organnya. Bahkan perasaannya membeku. Lidahnya mulai kelu. Ia tak mampu lagi untuk mendebat. Lebih baik mengalah—diam—atau terus mendebat dengan konsenkuensi menyulut semakin dalam emosi Kapten timnya itu. Tidak ada lagi yang perlu didebatkan, toh ini semua murni kecerobohannya. Seketika penyesalan menyelubungi tubuh Eijun. Segala hal yang terjadi tempo hari berputar dalam pikiran bak kaset rusak. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Menunduk pasrah. Menantikan penghakiman apa yang akan dijatuhkan oleh Kazuya.

"Apa karena Okumura yang memaksamu?"

"Bukannnn. Okumura boy tidak pernah memaksaku. Dia selalu memperhatikan kondisiku sebagai pitcher. Hanya saja.."

"Hanya saja?"

"Hanya saja aku berpikir untuk memberikanmu kejutan setelah kau kembali."

"Kejutan?"

"Hemm.. Bukan hanya aku, tapi juga yang lain. Kami ingin memenangkan seluruh pertandingan uji coba sebagai hadiah untukmu selama kau bertugas dan harus meninggalkan tim."

"Aku tidak butuh itu."

"Tapi—"

"Tapi apa Sawamura?" Jeda sejenak. "Apa itu cara kalian membuktikan diri? Bahwa tanpa Miyuki Kazuya kalian tetap bisa memenangkan satu atau bahkan seluruh pertandingan? Apa kau tahu sekarang, hah? Apa kau tahu dampaknya bagi tim, hm? Bagaimana tim harus membayar kecerobohan yang kau perbuat? Dokter bahkan menyatakan bahwa terjadi dislokasi pada pergelangan tangan kirimu. Butuh waktu kurang lebih dua minggu hanya untuk penyembuhan. Tidak termasuk recovery. " kazuya menarik nafas dalam. "Sekarang aku tanya, bagaimana kau akan bertanggung jawab atas kekacauan ini, Sawamura? Jangan pernah katakan, 'masih ada pitcher lain yang bisa dimainkan'."

"Sudah selesai?" Eijun mendongakkan kepala. Ia kini berani menatap Kazuya. Merasa jengah atas dugaan-dugaan tak beralasan yang dilontarkan lawan bicaranya. Menarik nafas perlahan. Mengatur respirasinya. Berusaha menahan diri untuk tidak melayangkan tinju diwajah tampan Kazuya. "Pertama, 'hadiah untukmu' hanyalah kamuflase. Jangan besar kepala dulu, Miyuki-senpai. Bukankah seharusnya kau sudah paham betul, maniak bisbol? Kemenangan adalah salah satu hal penting bagi tim apapun salah satunya tim kita. Tim bisbol Seido. Kemenangan yang ditorehkan oleh tim akan membawa dampak positif. Menaikkan semangat pemainnya. Dan tentu saja kami memiliki motivasi tinggi untuk memenangkan setiap pertandingannya. Kedua, kami tidak pernah berpikir untuk membuktikan diri mampu berjaya tanpamu. Kau boleh besar kepala untuk yang ini karena semua orang sungguh sudah mengakui kehebatanmu. Kau salah satu pemain—catcher—terhebat yang pernah Seidou miliki. Jadi kami tidak punya waktu untuk membuktikan hal kekanakan seperti itu."

Manik Kazuya melotot. Terkejut mendapati Sawamura Eijun mampu berucap hal-hal yang bijak.

"Terakhir, aku minta maaf atas kecerobohanku. Aku tidak akan mengelak lagi. Aku hanya berharap kau akan percaya padaku. Aku akan segera pulih, Kappu. Aku akan berjuang!"

"Darimana kau dapat jawaban seperti itu? Apa Kuramochi yang memberitahumu? Kanemaru? Atau jangan-jangan, Kominato?"

"Ini." Eijun memperlihatkan telapak tangan kanannya pada Kazuya. Kemudian tersenyum lima jari tanpa dosa.

"TEME!" Kazuya speechless. Hanya satu kata itu yang mampu diucap. Ia tak mampu berpikir jernih saat melihat rentetan kalimat yang tertulis acak diatas telapak tangan kanan Eijun. Sungguh berat ketika harus berhadapan dengan Sawamura Eijun. Ia harus rela menampung amunisi kesabaran berlebih jika tidak ingin gila terlalu dini.

"Ini idenya Okumura boy."

"Tidak peduli."

"Hee.. katakan padaku! Bagaimana pendapatmu, Kapten? Aku terlihat kerenkan saat mengatakannya?"

"Tidak sama sekali."

"Ayolah, Kapten! Kau tidak ingin memujiku?"

"Jangan harap."

Dua belah pipi Kazuya bersemu. Tak tahan menatap makhluk menyebalkan sekaligus menggemaskan baginya. Kazuya berbalik, memunggungi Eijun. Mengalihkan pandangan. Pintu dengan warna putih menjadi pusat atensi manik matanya.

"Ne, Miyuki-senpai? Apa kau masih marah padaku?"

"Aku tidak marah, Sawamura."

"Lalu kenapa kau membuang muka begitu?"

"Melihatmu akan berdampak buruk bagi penglihatanku."

"Apa maksudmu?"

"Rabunku akan bertambah."

"Jangan menipu! Tatap mataku sekali saja, Kazuya."

"..."

"Ka-zu-ya?" Eijun kembali bersuara. Menekan tiap suku kata dari nama Kazuya. Panggilnya main-main—menarik kembali perhatian lawan bicaranya.

"Kazuyakazuyakazuyakazuyakazuyakazuyakazuyakazu—hmmp."

Kazuya refleks berbalik. Membungkap mulut Eijun dengan telapak tangan kanannya. Alisnya berkerut dalam. Sawamura, apa maksudnya ini? Apa kau sungguh ingin membangunkan singa yang tengah hibernasi? Apa kau tidak tahu aku sudah mati-matian menahan diri untuk tidak bertindak gegabah terhadapmu, hah?

"Tutup mulutmu itu, Bakamura. Aku akan benar-benar marah jika kau terus begitu."

"Nah begini lebih baik." Kedua tangannya ia letakkan dibahu kokoh Kazuya. Menatapnya lembut dengan seutas senyum disudut bibir ranumnya. "Tatap mataku, Kazuya."

"Kau ini." Mendengus kecil. Kazuya merengkuh tubuh Eijun. Mendekapnya dalam pelukan hangat. "Apa kau bertambah bodoh selama kutinggal, hm?" Menepuk lembut punggung tegap Eijun. "Pelatih sangat mengkhawatirkanmu, Eijun." Lanjutnya lagi. Nada suara Kazuya sangat lembut.

"Hmm, hanya pelatih? Kau tidak?" Ujar Eijun menggoda lawan bicaranya. Bibir mungilnya mengerucut lucu. Kedua belah pipi gembil Eijun bulat menggembung.

"Aku tidak punya alasan untuk mengkhawatirkanmu."

"Sudah kuduga, kekasihku ini memang tidak perhatian."

"Ingatkan padaku, kapan aku memintamu menjadi kekasihku?"

"Baiklah, aku ralat. Calon kekasih."

"Aku menolak."

"Aku memaksa."

"Kau keras kepala sekali, Eijun." Tangan kanan Kazuya mencubit ujung hidung pemuda brunette yang masih setia dalam rengkuhannya. Mereka bertahan dalam posisi itu selama beberapa menit. Kazuya selalu menikmati kehangatan yang diberikan Eijun. Perasaan nyaman yang akan ia terima ketika memeluk pitcher tengil itu. Kazuya sangat menyukai momen ini. Momen dimana mereka mampu berbagi rasa, menciptakan kenyamanan dalam kehangatan sebuah pelukan. Ia bersumpah akan selalu senang hati berbagi pelukan dengan Sawamura Eijun, sampai kapanpun.

"Hei, bisakah kau lepas pelukanmu?"

"Kenapa?"

"Aku tidak ingin tertangkap basah atas kecerobohanmu."

"Lima menit lagi."—Kuharap jam di dinding itu mati. Aku masih ingin memelukmu lebih lama lagi.

"Kenapa begitu?"

"Perawat akan memeriksa kondisimu lima menit lagi."

"Baiklah."

"Eijun?"

"Hm?"

"Aku akan memikirkan hukumanmu."

"Atas dasar apa kau menghukumku?"

"Jangan keras kepala, Eijun. Kau jelas sudah paham apa maksudku."

"Tapi aku tidak sepenuhnya bersalah, Kazuya."

"Kau mengabaikan pesanku, Eijun. Itu sudah menjadi kesalahan fatal yang kau lakukan, ditambah dengan cedera yang seharusnya bisa kau hindari."

"Aku sudah minta maaf soal itu. Kau tidak perlu mengungkitnya lagi."

"Jangan mengungkitnya? Hei, kau pikir ini masalah sepele?"

"Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Astaga, ada denganmu? Kau terlihat seperti singa betina sekarang."

"Lalu apa yang kau pikirkan? Cederamu itu merugikan tim, Eijun!"

"Astaga, dengarkan aku. Kazuya, percayalah rekan satu timmu. Tim terdiri dari beberapa pemain, kan? Pitcher dalam tim juga tidak hanya aku. Sekarang tugasmu hanyalah percaya padaku. Aku berjanji akan segera kembali."

"Kali ini aku marah, Eijun."

"Berhentilah bersikap kekanakan, Miyuki Kazuya."

"Aku tidak bersikap kekanakan. Jaga sikapmu itu, aku lebih tua darimu asal kau tahu." Kazuya refleks menodongkan jari telunjuknya. Menunjuk tepat dua sentimeter didepan tulang hidung Eijun.

"Jangan menunjuk orang seperti itu, Bakazuya! Kalau kau merasa dewasa, bersikaplah seperti orang dewasa, huh!"

"Sudahlah. Berdebat dengan kepala batu sepertimu tidak akan menuai hasil apapun. Aku akan menjagamu malam ini. Sekarang tidurlah." Menepuk pelan pucuk kepala si brunette. "Oyasumi, Eijun." Membantu membaringkan Eijun. Membalut tubuhnya dengan selimut. Mengabaikan raut wajah heran Eijun. Berlalu menuju sofa diseberang ranjang tidur Eijun.

Ada apa dengannya? Aneh sekali. Dasar bengkok!, gerutu Eijun dalam hati. Manik ambernya menatap sang Kapten yang telah membaringkan diri di sofa seberang ranjangnya.

Malam itu berlalu dengan Eijun yang masih memandang Kazuya yang mulai terlelap. Selama beberapa saat, sepasang netra amber Eijun tak berkedip. Mengamati tiap jengkal tubuh yang sudah terbuai mimpi. Memastikan adakah yang aneh pada pemuda berkacamata itu. Namun nihil. Eijun tak menemukan keanehan apapun dalam tubuh Kazuya. Mungkin otaknya yang mulai aus, batin Eijun meremehkan. Seringai kecil muncul diujung bibir tipisnya.

Tidak ada diantara Eijun maupun Kazuya yang bisa menebak jalannya takdir. Tanpa mereka sadari, perhatian-perhatian kecil yang saling mereka berikan membekaskan rasa yang dalam. Perasaan ingin memiliki melebihi batasan senpai-kouhai maupun battery yang terus tumbuh dalam hati mereka. Mengantarkan mereka pada ombak takdir yang siap menggulung keduanya.


.

.

.


Tujuh tahun sudah berlalu. Musim telah berganti. Dinginnya udara menyambut pagi hari yang tenang di awal bulan Desember. Sosok pemuda berparas tampan duduk manis diatas bangku panjang sebuah taman di sudut kota Nagano. Kedua telapak tangannya saling beradu gesekan. Menggosoknya pelan. Menciptakan percik-percik kehangatan untuk mengusir hawa dingin yang mulai mengusik tulang. Ngilu.

Kazuya—pemuda berparas tampan—beberapa kali melirik jarum jam yang melingkar dipergelangan tangan kanannya. Sudah pukul delapan lewat sepuluh menit. Berarti ia sudah menunggu selama sepuluh menit, namun sosok yang ditunggu belum menampakkan batang hidungnya. Perasaan khawatir mulai menghinggapi Kazuya. Tidak biasanya sosok yang ia tunggu, Sawamura Eijun datang terlambat. Ia mulai tak mampu mengontrol otaknya untuk mencegah keluarnya pemikiran negatif. Prasangka buruk mulai keluar masuk dalam benaknya.

Selama beberapa sekon, Kazuya memilih diam. Menenangkan pikirannya dalam keheningan. Manik hazelnutnya menatap lurus ke arah depan. Tiga detik berikutnya, tangan kanan sudah merogoh saku mantel tebalnya. Mengotak-atik ponsel pintar yang sudah dalam genggaman.

Calling..

Eijun

[Nomor yang anda tuju sedang berada diluar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.]

Kazuya masih berkutat dengan gawai pintarnya. Menelepon Eijun beberapa kali. Mengiriminya pesan singkat, namun masih tidak ada jawaban. Pesan singkatnya tidak terkirim. Sudah hampir delapan menit ia habiskan untuk menghubungi Eijun. Menarik nafas dalam, lalu dihembuskan perlahan. Kepulan uap putih menguar dari belah bibir Kazuya. Udara dingin mulai membekukan karbondioksida dari proses respirasinya.

Bukankah Eijun selalu menepati janjinya? Lalu apa yang aku khawatirkan? Yakinlah bocah tengil itu pasti datang, Kazuya. Mendengus geli. Ia kembali meletakkan ponselnya ke dalam saku mantel. Menegakkan punggung tegapnya. Tangan Kazuya lihai merapatkan syal pada leher jenjangnya.

"Ka-zu-ya."

Kazuya terkesiap. Kepalanya celingukan. Mencari sosok pemilik suara yang memanggilnya. Sekali lagi, kosong. Tak ada siapapun. Menghela nafas berat, Kazuya kembali melanjutkan aktifitasnya. Menghalau dingin pada leher jenjangnya dengan syal.

"Ka-zu-ya."

Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Kazuya terkekeh geli. "Ilusiku terlalu berlebihan." Ia benar-benar tak habis pikir, betapa telah melekat sosok Eijun dalam pikirannya. Bahkan dalam keadaan terserang kebekuan, ia masih mampu mendengar suara Eijun dalam khayalannya.

"Ka-zu-ya."

Kazuya mencebik kesal. Kerutan samar mulai muncul didahinya. Hampir saja sumpah serapah keluar dari belah bibir ranum ketika Kazuya merasakan sesuatu yang mengganjal. Ada getaran dalam saku mantel tebal dark grey yang membalut badan atletisnya. Kazuya mengambil ponsel dari dalam saku. Menatap heran ponsel warna hitamnya. Kedua alis sewarna coklat Kazuya menukik tajam.

Satu detik, tak ada respon. Dua detik, kerutan semakin dalam menghujani dahinya. Tiga detik, sekelebat suara Eijun kemarin malam terngiang dalam ingatannya. Detik berikutnya, Kazuya mengerang frustasi. Menjambak surai coklat pudarnya asal. Mengabaikan panggilan masuk dalam ponselnya. Ia teringat percakapannya semalam bersama Eijun.

'Kazuya, gunakan pesan suaraku sebagai ganti nada deringmu. Okay?'

'Baiklah.'

Cih, bodohnya aku. Tidak kusangka aku akan begitu saja mengiyakan permintaan bodohnya itu. Yabai, jiwaku betul-betul sudah diinvansi Sawamura Eijun. Kazuya ingin sekali mengumpat didepan Eijun sekarang juga. Jika ia tak ingat bahwa sosok tersangka utama belum muncul dihadapannya. Mendesah lelah, ia menatap nomor yang tertera pada layar ponselnya.

26-155-XXXX

Siapa lagi?, batin Kazuya jengah. Bersama satu helaan nafas, Kazuya menerima panggilan telepon.

[Moshi-mosh—]

[KAZUYA, LAMA SEKALI MENJAWABNYA! KAU DIMANA SAAT INI?]

[Di tam—]

[TUNGGU SEBENTAR! DUA PULUH METER LAGI AKU SAMPAI! JAA NE!]

Sambungan terputus..

Ba-ka-mu-ra, Kazuya menggeram marah. Wajahnya kini sudah merah padam. Bertahan beberapa detik. Kemudan mulai kembali tenang. Tidak ingin terlalu larut dalam amarah. Setelah beberapa sekon berlalu, Kazuya memutuskan mengikuti ritual agung yang biasa Eijun praktekkan untuk menenangkan diri.

Tarik.. hembus.. tarik.. hembus..

Kazuya melakukannya beberapa kali. Mencoba kembali menetralkan pernafasannya. Setelah dirasa cukup, ia mulai menyendarkan punggungnya pada sandaran bangku. Kepalanya ikut disandarkan dengan posisi mendongak. Kelopak matanya menyembunyikan sepasang netra hazelnut Kazuya. Terpejam.

"Kazuya!" Suara Eijun terdengar lantang. Menarik kembali atensi Kazuya. Sepasang kelereng hazelnut membelalak lebar. Menangkap sosok Eijun yang tengah mencondongkan kepalanya tepat sepuluh senti didepan wajah Kazuya. Kazuya bahkan mampu merasakan deru halus nafas lawan bicaranya yang tengah tersenyum—lima jari—tanpa dosa. Netra hazelnut melotot saat dirasa wajah Eijun semakin mendekat. Tanpa tersadar, ia telah menahan nafas beberapa sekon lamanya.

Kazuya butuh lima detik untuk menarik kesadarannya. Sekon berikutnya, otak jenius Kazuya mendapatkan ide menajubkan. Sebongkah seringai muncul disudut bibirnya. Netra amber Eijun bersirobok langsung dengan lensa dibalik kacamata Kazuya. Eijun meneguk ludahnya susah payah. Merasakan bahaya yang akan ditimbulkan Kaptennya itu. Melihat Kazuya dengan seringai selebar itu bukanlah pertanda baik. Namun naas, Eijun belum sempat menghindar ketika merasakan lengan kokoh Kazuya yang sedari tadi menganggur, menarik tubuhnya tanpa permisi. Membaliknya paksa sehingga posisi Eijun berada dipangkuan Kazuya. Dengan secepat kilat, lengan Kazuya sudah berpindah dileher Eijun. Prosesi pemitingan ala Kazuya.

"Ittai yo, Kazuya!" Teriak Eijun mengerang kesakitan. Tangannya mulai memberontak. Berusaha melepaskan pitingan lengan Kazuya dilehernya. "Lepaskan, Bakazuya!" Eijun kembali memberontak. Kebrutalannya menyebabkan ngilu dilengan Kazuya. Namun ia tak gentar atas reaksi Eijun. Lengannya masih setia mengamit leher pemuda berkulit tan.

"Hei, sadarlah Kazuya! Otot besimu hampir membunuhku!"

"Ini hukuman karena Sawamura Eijun sudah berhasil membuat Miyuki Kazuya kesal setengah mati."

"Maafkan aku, Kazuya." Suara Eijun terdengar lebih pelan. "Setidaknya jangan biarkan aku mati membeku disini, Bakazuya!" Sambungnya tenang sembari menolehkan kepala, mencari tatap manik hazelnut Kazuya. "Carilah tempat yaang hangat untuk membunuhku." Eijun menatapnya dengan puppy eyes andalannya. Ia tahu betul, Kazuya akan kalah telak.

Kazuya terdiam beberapa detik. Ia paham Eijun tengah menggunakan kelemahannya untuk memberikan serangan balik—terhindar dari pitingan Kazuya. Manik hazelnutnya memicing tajam barang sesaat. Kembali menimang ucapan Eijun. Merasakan hawa dingin yang semakin menusuk tulang, Kazuya menyetujui sepenggal kalimat yang terlontar dari belah bibir mungil Eijun. Kazuya sengaja menghembuskan nafas pelan dicuping telinga Eijun. "Bersiaplah menerima hukuman sesungguhnya." Bisiknya sedekat mungkin dengan kulit telinga Eijun. Masih ingin memberikan si—berisik—Eijun hukuman. Kazuya menggigit pipi bagian dalamnya. Meredam tawa yang siap meledak. Netra dibalik kacamatanya menangkap rona merah yang mennjalar sampai telinga Eijun. Kemudian secepat mungkin membebaskan leher Eijun dari lengan kokohnya. Eijun sempat menggeliat tak nyaman digelitik oleh deru nafas Kazuya. Lalu bangkit berdiri ketika merasakan lehernya telah bebas dari pitingan. Berbalik badan, menatap sengit ke arah Kazuya. Kazuya sendiri hanya tersenyum culas. Mengabaikan raut kesal diwajah lawan bicaranya.

"Becks coffe shop." Kazuya bangkit berdiri, kemudian berlalu. Tak menghiraukan sorot kebingungan yang berpendar dari netra amber Eijun.

Eijun mengerjapkan matanya tiga kali. Masih mencerna ucapan yang terlontar dari mulut lawan bicaranya. Sebelum akhirnya otak minimalisnya mampu memberikan jawaban. Becks coffe shop merupakan kedai kopi yang terkenal di Nagano. Letaknya kurang lebih sepuluh menit berjalan kaki dari lokasi mereka sekarang. "Oi, kau tau tempat itu?"

"Hei, tunggu aku Bakazuya!" Ia beringsut mengejar Kazuya yang sudah berada hampir sepuluh langkah didepannya.


.

.

.


Kazuya memilih meja yang dekat dengan jendela, favoritnya. Eijun duduk manis diseberang Kazuya. Menghidu aroma cappuccino pesanannya. Dihadapannya, suara denting sendok yang beradu dengan cangkir espresso Kazuya mengalun. Memecah keheningan diantara keduanya. Detik jarum jam sudah berputar, hampir seperempat jam mereka duduk berhadapan dalam diam. Berada dalam satu irama, sama-sama tidak ingin memulai perbincangan.

Eijun masih sibuk menghidu cappuccinonya meski sesekali melirik ke arah Kazuya. Kazuya sendiri lebih tertarik menatap pemandangan yang tersaji dibalik bingkai jendela. Dengan bertopang dagu, sepasang netra hazelnutnya sibuk mengabsen tiap jengkal panorama yang terpampang didepan matanya.

"Apa hari ini kau sedang melakukan aksi mogok bicara, Eijun?" Kazuya bersuara. Tanynya sarkastik. Ia tidak tahan menghadapi Sawamura Eijun yang hampir tak pernah diam kini berada dalam kebisuan.

Dan pemuda berkacamata yang memecahkan keheningan.

Kazuya menatap Eijun lekat. Pemuda brunette dihadapannya masih sibuk menyesap minumannya. Keheingan masih berlanjut beberapa detik. Eijun masih bungkam. Kazuya berdeham, meminta atensi Eijun.

Sosok yang lebih muda mendesah lelah. Cangkir cappuccino sudah ia bubuhkan diatas meja. Perhatiannya teralih pada catcher jenius kesayangannya. Manik ambernya balik menatap Kazuya yang sedari tadi sudah mengunci pandangannya. "Bukan begitu bodoh." Hanya tiga kata itu yang mampu terlontar dari mulut Eijun.

Kazuya mendengus kasar. "Lalu kenapa kau datang terlambat?" Ia kembali bertanya. Menatap Eijun penuh selidik. Satu alisnya menukik tipis.

"Kaa-san mengambil ponselku ketika aku tidur." Eijun menimpali. Mulai aksi story tellingnya. "Beliau mengurungku setelah mendengar percakapan kita ditelepon tadi malam." Kini kedua tangan Eijun berpindah. Disilangkan untuk menyangga tengkuknya. Kepala terangkat keatas. Membuang pandang pada langit-langit kafe. Punggungnya sudah bersandar nyaman diatas kursi.

"Apa yang kau lakukan hingga bisa mencapai taman?"

"Aku kabur lewat langit-langit kamar yang menuju kebun belakang rumah."

"Bagaimana keadaan rumah saat kau kabur?"

"Aku tidak tahu. Sepertinya Kaa-san di ruang tamu."

"Gomen, kondisi mentalnya?"

"Suaranya bergetar, parau. Terlihat sangat terpukul atas perilaku putra tunggalnya."

"Bagaimana caramu menghubungiku?"

"Telepon umum disudut jalan dekat taman." Eijun mendengus kasar. Netra ambernya menatap nyalang sosok mantan Kaptennya. "Cukup Kazuya! Aku bukan tersangka tunggal." Lanjutnya bersungut-sungut.

"Apa kau yakin dengan keputusanmu, bocah tengil?"

"Kita sudah menyepakatinya sejak tadi malam."

"Kau tidak takut jika aku menghianatimu?"

"Apa mulutmu dididik untuk mengeluarkan kata-kata berbisa, Bakazuya?"

"Tidak perlu khawatir. Kau sudah terbiasa dengan racun dari mulutku, Eijun."

"Aku akan binasa jika kau terus begitu."

"Kau pandai bermain peran sekarang."

"Kau masternya."

"Eijun.."

"..."

"Salju pertamanya sudah turun!" Kazuya berbicara tanpa menoleh. Tak menyadari bahwa ucapannya tak mendapatkan respon dari lawan bicaranya. Sepasang lensa dibalik kacamata masih dibuai oleh ribuan kepingan salju yang mulai turun. Netranya menangkap beberapa kepingan salju berbentuk dendrit menempel pada bening kaca jendela.

Manik hazelnut membulat sempurna. Terkejut melihat pemandangan dibalik jendela. Bukan lagi kepingan salju yang mempesona tetapi sosok pemuda dengan gestur tubuh bahagia. Sawamura Eijun tengah berdiri membelakangi Kazuya. Kepalanya mendongak ke arah langit. Menikmati guyuran keping-keping salju putih, bersih. Beberapa titik putih sudah bergumul diatas kupluk bewarna cream milik Eijun. Kazuya mengulum senyum. Bergegas menyusul Eijun didepan kafe.

Kazuya berdiri satu langkah disamping Eijun. Berbisik pelan ditelinga Eijun.

"Apa harapanmu?"

Eijun berjingkat. Terkejut menyadari keberadaan Kazuya disampingnya. Ia sontak mengambil jarak. Bergeser satu langkah ke samping kiri. Semburat merah mulai menodai kulit wajahnya. Ia buru-buru membuang pandangannya ke langit. Enggan menatap Kazuya yang kini mulai menyeringai. Senyum licik khas Kazuya. Eijun sangat membenci seringai itu. Seringai penuh kemenangan milik Miyuki Kazuya. Meskipun entah kenapa, seringai itupula yang selalu dirindukannya.

"Apa harapanmu?" Kazuya kembali mengulang pertanyaannya. Kini seluruh atensinya beralih pada langit yang mulai memuntahkan kepingan putih nan lembut. Salju nampaknya mulai lebat mengguyur kota Nagano.

"Rahasia." Jawab Eijun singkat. Manik ambernya masih menikmati rinai salju. Kazuya hanya mengulum senyum simpul mendengar respon lawan bicaranya. Apapun yang diharapkan Eijun, ia percaya bahwa itu adalah hal yang terbaik.

Kazuya menepuk pelan pucuk kepala Eijun. Mengusir kepingan salju yang hinggap dikupluk wollnya. Mengunci pandangan pada manik amber pitcher berisik kesayangannya. Sembari berkata lirih tanpa memudarkan seutas senyum tulus yang khusus ia berikan hanya pada pemuda brunette yang lebih muda darinya itu. Kedua lengannya beralih mengenggam kedua telapak tangan Eijun.

"It's show time."

Eijun masih bergeming. Sepasang netranya masih terpaku pada pemuda berkacamata. Mengulur waktu untuk menyatukan keping-keping keberaniannya. Menarik nafas dalam. Hembuskan perlahan. Eijun melakukannya beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk penuh tekad. Membalas genggaman tangan Kazuya. Mereka berdua berjalan beriringan tanpa melepaskan genggaman tangan. Dengan kemantapan hati, bergegas menapaki masa depannya. Menyisakkan kenangan yang ditinggalkan dan akan terus membekas bagi siapapun yang mengenal mereka.


Nagano, 7 Desember 2020


[Untuk Kaa-san..]

Teruntuk Kaa-san, perempuan kebanggaanku.

Terima kasih telah menjadi perempuan pertama dan satu-satunya yang dengan senang hati menerima perasaanku.

Perempuan yang tak pernah luntur memberiku cinta dan kasih sayang.

Perempuan penuh kesabaran dalam menghadapi segala macam sifat dalam diriku.

Perempuan yang tak pernah menyerah untuk membuatku mengerti arti kehidupan. Aku mengagumimu melebihi siapapun, Kaa-san.

Terima kasih karena dengan besarnya hatimu, kau penuhi kebutuhanku. Menyambung hidupku dengan penuh keikhlasan. Mengajariku tentang kebaikan dan kemuliaan. Terima kasih telah memberiku bekal untuk mengarungi kehidupan. Mengantarku pada gerbang masa depan yang ternyata jauh lebih kejam.

Kaa-san, terima kasih sudah menjadi ibu yang tangguh untukku.

Terima kasih yang telah dan akan selalu menjadi malaikat pelindungku.

Kaa-san, kali ini berikan kesempatan bagi putramu ini untuk menyampaikan permintaan maaf dari lubuk hatinya yang paling dalam. Terlepas dari apapun keputusan yang akan Kaa-san ambil nanti, memaafkan ataupun mengabaikan.

Dengan segala hormat, Aku Sawamura Eijun mengucapkan beribu maaf atas semua kesalahan yang telah aku perbuat selama hidupku.

Kaa-san, bukan inginku untuk menjadi berbeda. Bahkan Kaa-san sendiri yang menjadi saksi perjuanganku untuk sembuh. Tapi nihil, selama lima tahun tidak ada kemajuan sedikitpun dalam terapiku.

Aku sudah berjuang sekuat tenaga untuk berdamai dengan diriku sendiri, Kaa-san. Tapi tidak berhasil. Hampir setiap orang yang kutemui menganggapku berbeda. Menganggapku sebagai aib. Mengucilkanku. Tanpa mereka sadari, perbuatannya telah melukai jiwaku.

Kaa-san maafkan atas keputusan egois yang telah kuambil. Aku hanya ingin berbagi kebahagiaan dengan 'dia' yang sama denganku. Orang yang telah dibedakanoleh orang lain sama sepertiku. Aku hanya ingin membuat diriku bermanfaat untuk orang lain disisa hidupku. Membagi suka maupun duka bersama 'dia', yang telah kupilih. Kami tidak akan pergi jauh. Kaa-san masih akan terus berjumpa denganku, selama kita masih tinggal diatas bumi milik Kami-sama.

Kaa-san, kini kumohon dengan kelapangan hatimu untuk melepaskan putra sewata wayangmu. Biarkan aku menerima keadaanku yang dianggap berbeda ini. Aku berjanji untuk selalu menjaga diri baik-baik. Tidak akan pernah mengulangi kejadian-kejadian mengerikan yang disebabkan oleh keputusan sesaat ketika masa-sama labil remajaku. Aku tidak akan membahayakan nyawaku lagi, Kaa-san.

Aku telah menumukan seseorang yang akan selalu kuperjuangkan selama sisa umurku.

Maafkan atas keputusanku, Kaa-san.

Terima kasih sudah melahirkan dan membesarkanku.

Tetaplah menjadi perempuan tangguh bagi Tou-san dan Jii-chan.

Eijun sangat menyayangi Kaa-san, Tou-san maupun Jii-chan.

Doa Eijun tidak akan pernah terputus untuk kalian.

Hontou ni arigatou gozaimashita.

Putramu,

Eijun.


-FIN-


Kei : Haloo

Minna-san..

Keiko nulis apaaa? Niatnya cuma mau buat cerita yang ringan ajaa sebagai pemanasan sebelum lanjut Miracle Chain, tapi malah jadinya seperti ini uu :( Oh yaa ada bonus dikit dibawah hihiii

Gomennasai.. :"

Terima kasih untuk reader-sama yang sudah bersedia membaca fic acak-acakan ini. Selalu dinantikan reviewnya, bila ingin tambah fav and follow dengan senang hati Keiko terima ^^

Keiko tunggu jejak-jejak penyemangat dari kaliannnnn.. ^^

Arigatou :D


OMAKE


.

.

Kazuya berdiri dihadapan Eijun. Kini mereka tengah menikmati hembusan angin musim dingin di rooftop Seidou. Kepingan salju belum turun dari langit metropolitan, Tokyo.

Netra hazelnut Kazuya menyorot gemerlap lampu yang berpendar dalam kegelapan malam. Kedua tangan sudah ia simpan rapi dalam saku mantel tebalnya. Melindungi diri dari sengatann hawa dingin. Meski belum turun salju, suhu udara di Tokyo pada malam hari cukup untuk membekukan syaraf.

"Kau akan membawaku kemana, Kazuya?" Suara Eijun memecah keheningan. Kazuya melirik sekilas, tersenyum miring.

"Kemanapun Eijun mau."

"Netherlands?"

"Dini hari nanti kita berangkat."

"Yosh.. yosh.. yosh.. Miyuki Kazuya memang terbaik!"

Kemudian mereka berbagi tawa bersama. Saling berpelukan menghabiskan sisa malam. Mengenang memori manis maupun pahit yang mereka rasakan selama di Seidou. Tempat pertemuan pertama mereka. mungkin malam ini adalah terakhir kali mereka mengunjungi Seidou pun Jepang.


[Sayonara..]