Hetalia Axis Power : Hidekazu Himaruya
Suki Kirai : Vocaloid – Rin and Len Kagamine
Suki, da? : Kaizen Katsumoto
Warning : AU, OOC (maybe), Typo, bahasa yang agak aneh (maybe), romace gagal, friendship (entahlah), mengandung unsur BL, Judul kurang nyambung sama isi cerita, seperti biasa cerita melenceng dari ide awal.
Ingat, yang punya trauma atau benci dengan Yaoi dan BL diharapkan segera klik icon back, bagi yang mau melanjutkan membaca Fict ini dimohon untuk membaca di tempat yang memiliki cukup penerangan dan jaga jarak mata Anda dari layar HP, PC, maupun Laptop. Akhir kata, Happy Reading~ ^w^/
- RusPrus -
Lorong Hetalia Gakuen, Senin pagi seperti biasa, kecuali suara teriakan luar biasa dari seorang pemuda berhelai platinum blonde yang gemulai ditiup segarnya udara pagi. Aroma wangi shampo a la Russia menyebar di seluruh lorong yang baru saja dia lewati.
Beruntung belum banyak siswa berdatangan sehingga tak ada protesan terdengar atau suara bisik-bisik menanggapi perilaku aneh bin ajaib pemuda yang dikenal angker dan selalu penyendiri tersebut.
"Gilbert-kun! Gilbert-kun!"
Teriakannya menggema diikuti suara langkah kaki besarnya. Tangan jenjang porselen menarik salah satu pintu kelas. Iris violet menjelajah isi kelas, berhenti tepat pada seorang pemuda albino yang sedang sibuk membersihkan papan tulis.
"Gilbert-kun!"
Pemuda tadi kembali mengulang panggilan. Gilbert berhenti membersihkan papan tulis, beralih memandang sosok tak asing baginya, tanpa tahu orang itu nyaris menjebol pintu kelasnya.
Wajah datar – masih mengantuk, "Ada apa?" tanya Gilbert.
Pemuda asal Russia itu hanya tersenyum lalu menggeleng singkat. Langkahnya kembali dipicu memasuki ruang kelas. Dia memilih duduk di salah satu kursi kosong yang sebelahnya sudah diisi oleh tas milik Gilbert.
"Aku akan menunggumu~!" ucapnya riang.
Gilbert mengedikkan bahu cuek, kemudian melanjutkan aktivitasnya membersihkan kelas. Jika dihitung, ini sudah tiga minggu sejak keduanya menjadi teman - dan entah mengapa setelah kejadian itu, sikap penyendiri pemuda itu berubah drastis.
Ivan - nama pemuda yang sedang duduk memandangi Gilbert. Dia terlihat lebih ceria dibanding sebelumnya, terutama jika sudah berada di sekitar Gilbert. Ia menempel bagai perangko pada amplop surat di sisi Gilbert.
Gilbert kesal, ia membencinya - tunggu! Benci? Lalu kenapa tiga minggu lalu dia mengajak Ivan berteman? Itu artinya Gilbert tidak benar-benar membencinya? Tidak. Gilbert serius membencinya, tapi dia juga tidak bisa membencinya. Lalu?
Gilbert menyukainya?
.
.
.
Selesai membersihkan kelasnya, Gilbert memilih duduk di kursi kosong di samping kiri Ivan ; tempat duduknya. Tangannya meraih buku pelajaran dari dalam tas, menaruhnya di dalam laci.
Diam-diam, Ivan terus mengekori gerak-geriknya menggunakan ujung violet bulatnya. Gilbert menghela napas singkat, merasa agak risih terus diperhatikan. Dia berheti.
"Kau tidak kembali ke kelasmu?"
Menyangga kepala dengan punggung tangan kiri, iris merahnya berkilat tajam lurus menuju violet sayu di hadapannya.
Ivan menarik telunjuk kanan, mengetuk-etuk pipi kanannya - seolah berusaha berpikir keras. Melihatnya membuat Gilbert mengangkat sebelah alis - penasaran menunggu jawaban.
"Tidak." Ivan tersenyum, Gilbert merengut.
"Kenapa?"
Ivan kembali berpikir, kali ini sambil memejamkan kedua matanya.
"Da, karena ini masih terlalu pagi ehe~"
"..."
Terdiam. Gilbert menyerah.
"Gil, bagaimana kalau kita pergi ke kantin? Tadi pagi Aku belum sempat sarapan." terang pemuda bersyal sedih - kalau boleh dikuak, sebenarnya itu salahnya sendiri yang memaksa berangkat pagi hanya untuk bisa bersama teman pertamanya sedikit lebih lama.
"Boleh. Aku juga belum sarapan karena piket pagi ini."
Sang albino mengiyakan sembari berdiri, diikuti pemuda tinggi. Mereka berdua berjalan menuju kantin sekolah beriringan. Keadaan sekolah masih sepi saat itu, jam di tangan pucat Gilbert baru menunjuk angka enam pagi, sedangkan kelas dimulai pada pukul tujuh tepat.
Gilbert berjalan, di sampingnya Ivan mengikutinya sambil bersenandung kecil. Udara pagi masih segar menerpa indra penciuman keduanya - ditambah Hetalia Gakuen memang dikenal sekolah cukup rindang. Banyak pepohonan dan bunga-bunga ditanam di area sekolahan.
Bunyi decitan sepatu terdengar beriringan ketika sebuah langkah normal berpadu dengan lompatan kecil – Ivan berjalan riang, helaian platinum blonde halusnya bergoyang seirama dengan langkah kakinya. Lain hal dengan Gilbert yang berjalan menyeret kakinya tanpa semangat - belum sarapan sepertinya mempengaruhi kondisi fisiknya. Tak ada obrolan, hanya ada suara langkah kaki berpadu kicauan burung, ditambah kicauan perut Gilbert yang kurang bisa ditahan empunya.
"Ivan?"
Gilbert memang paling tak tahan dengan suasana diam-diaman.
"Mm?"
Ivan menoleh cepat ke samping.
"Kau sudah mendapat tugas Math?"
Ivan mengangguk, "Tugasnya lumayan banyak, tapi kurasa tidak ada yang sulit, makanya sudah kukerjakan."
Sebuah senyum terukir di wajah porselen sang pemakai syal tipis.
"Eh? Sudah? Kau bisa mengerjakan semuanya sendirian?"
Ivan sekali lagi mengangguk. "Kemarin sudah kukerjakan semuanya."
"E-eh?"
Gilbert makin terkejut. Tugas itu 'kan baru diberikan kemarin di kelasnya. Wajahnya kini jadi cemberut.
"Kenapa?"
Penasaran. Ivan bertanya bingung.
"Aku tidak mengerti Math." jawabnya kesal.
"Da. Sudah terlihat dari wajahmu kok." Ivan tersenyum.
"Ap-apa? Ada apa dengan wajahku yang awesome?" Gilbert buru-buru meraba wajahnya.
Tangan porselen menarik dagu Gilbert. Bola mata violet menginvasi wajah pucat pemuda albino yang kian lama warna merah menjalari kulitnya. Jarak wajah mereka semakin dekat, tangan Ivan menarik kepalanya untuk mengeliminasi jarak wajah keduanya – dan –
"Ehem,"
Sebuah deheman ringan terdengar dari belakang Gilbert. Keduanya sama-sama menoleh ke asal suara. Seorang pemuda blonde cepak rapih menatap Ivan dan Gilbert menggunakan safir jernihnya. Di sampingnya seorang pemuda lain tersenyum ramah.
"Vee~ pagi Gilbert, Ivan~!" sapa pemuda beriris coklat madu riang.
"Oh, ah, pagi Feli, West!" balas Gilbert gugup. Ivan hanya menanggapi menggunakan senyuman.
Ludwig - adik Gilbert memandang Ivan tajam.
"Ne, ne, Ludwig, ayo kita segera ke ruang klub! Kiku sudah menunggu~" pinta pemuda penyuka pasta itu sambil menarik-narik lengan Ludwig.
Mau tak mau Ludwig pasrah diseret paksa oleh Feliciano. Keduanya pamit. Setelah mereka tidak terlihat lagi, Gilbert menghela napas lega.
"Adikmu terlihat tak ramah, da?"
Gilbert mendesah, teringat kembali memori beberapa hari yang lalu setelah dia memutuskan untuk berteman dengan Ivan. Ludwig langsung memarahinya habis-habisan, walaupun Gilbert sudah menjelaskan pembelaan untuk Ivan, tetap saja adiknya tak setuju bila Gilbert berteman dengan murid seberbahaya Ivan.
Pemuda asal Russia itu sudah sering terseret kasus perkelahian dan beberapa kali keluar-masuk ruang bimbingan karena kasus khusus. Sebagai petugas ketertiban, Ludwig tahu betul apa saja kasus yang menyeret seorang Ivan, oleh karenanya dia bersikeras melarang kakaknya berteman dengan pemuda itu. Sementara Gilbert punya alasan tersendiri kenapa dia ingin mengajak Ivan berteman.
.
.
.
Kantin sekolah masih sepi, hanya ada beberapa siswa di sana. Terlihat pemilik kantin sibuk menyiapkan makanan. Beberapa potongan roti nyaris terjatuh dari nampan yang dipegangnya karena ulah beberapa murid jahil.
Gilbert dan Ivan memasuki kantin.
"Kau ingin makan apa?" tanya Gilbert singkat.
"Roti dan susu mungkin,"
Mengerti. Gilbert menyuruh temannya mencari tempat duduk kosong, sementara dia mengambil makanan.
Ivan berjalan mencari tempat duduk, tanpa sengaja berpapasan dengan Francis dan Antonio yang juga berada di kantin saat itu. Tak perlu dijelaskan lagi, mereka berdua adalah sohib terdekat Gilbert. Ketiganya sangat kompak, bahkan mereka mendapat julukan Bad Touch Trio (BTT) di Hetalia Gakuen karena sering berbuat onar, bedanya dengan Ivan, ketiga sahabat itu jarang masuk ruang Bimbingan.
Ivan sendiri baru berteman dengan Gilbert tiga minggu lalu, sebelumnya dia selalu sendirian, dia belum pernah menyapa orang lain, kecuali beberapa orang yang memang sering menjadi korban kenakalannya hingga dia masuk ruang Bimbingan. Dia juga belum pernah menyapa Francis dan Antonio, dan Ivan memang tak berminat untuk menyapa mere –
"Ivan? Mau kemana Kau?"
Seorang pemuda pirang sebahu agak ikal tiba-tiba menyapanya. Ivan menoleh ke arah Francis yang baru saja dia lewati. Dia bingung harus menjawab bagaimana. Diam. Dari awal dia tak berkeinginan untuk menyapa, tapi sekarang malah dia yang disapa. Ivan terlalu lama menyendiri hingga lupa cara berbicara akrab, kecuali dengan Gilbert yang memang selalu sok akrab dengan orang lain.
"Kalau Kau mencari tempat duduk, Kau bisa duduk bersama kami." lanjut Francis tersenyum.
"Yup! Masih ada dua kursi kosong di sini." tambah Antonio tak kalah mengeluarkan cengiran jenakanya.
Diam. Lebih tepat disebut bengong. Ivan sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Kakinya seperti dilem pada lantai, otaknya kosong - entah harusnya diisi bunga karena senang atau aura suram, karena sebenarnya dia ingin duduk berdua saja dengan Gilbert.
"Sedang apa Kau? Cepat duduk!"
Sebuah suara familiar akhirnya menyadarkan Ivan. Pemuda platinum blonde itu menoleh ke belakang, mendapati Gilbert di sana, berdiri membawa dua nampan makanan – masing-masing berisi roti dan susu.
"Yo! Bonjour, Gilbo! Tumben sudah masuk kantin, ah! Jam berapa sekarang?" Francis tertawa lebar, melihat kedatangan teman albinonya.
"Kau tidak sedang demam 'kan?" canda Antonio. Gilbert manyun.
Dia menaruh nampan makanannya di atas meja, lalu duduk di salah satu kursi kosong yang ditawarkan Francis beberapa menit lalu. Ivan mengekor duduk di samping Gilbert dan Antonio.
Di atas meja bulat tampak beberapa buku berserakan. Melihat begitu banyak buku berserakan membuat Gilbert menautkan alis.
"Buku-buku apa ini?" tanyanya pada Francis dan Antonio yang asik mencomoti roti milik Gilbert, " - dan berhenti mencuri rotiku!" teriaknya sembari mengamankan beberapa roti yang belum terjamah tangan jahil kedua sahabatnya.
Francis menjilat jari bekas krim roti, "Itu tugas IPA kami." terangnya.
"Yup! Dan beberapa koleksi komik Kiku yang kami pinjam kemarin," lanjut Antonio sembari menyeruput susu kotak milik Gilbert.
"Komik Kiku? Itu pasti komik tak aman," komentar Gilbert singkat sembari memakan sarapannya.
Ivan hanya tersenyun melihat percakapan ketiga sahabat itu. Tangannya mengambil roti miliknya kemudian memakannya. Dia tak tertarik ikut serta dalam perbincangan mereka, dia lebih senang menyen-
" - hei, Ivan! Kau sudah menyelesaikan tugas IPAmu 'kan?"
Gilbert memotong lamunannya, Ivan langsung mengguk cepat, agak gugup. Pemuda albino terlihat bangga, memamerkannya pada kedua sahabatnya.
"Lihat, Ivan sudah selesai, tak seperti kalian yang lambat megerjakan tugas begitu, kesesese!"
Kedua sahabatnya saling pandang kesal.
"Gilbo, 'kan Ivan yang tugasnya udah kelar, kenapa Kau yang bangga begitu?"
Antonio terkekeh geli. Diikuti anggukan kompak dari Francis. Gilbert mendengus.
Beberapa saat meja mereka diisi oleh candaan ketiga sahabat itu, Ivan hanya diam memperhatikan, sebelum akhirnya Gilbert menyenggol bahunya. Sang Russia menatapnya bingung seolah bertanya : 'ada-apa?'.
Bukannya menjawab, Gilbert malah menoleh ke dua sahabatnya, seperti membuat kode yang terlalu 'aneh' untuk dimengerti oleh Ivan. Pemuda iris violet itu makin bingung.
Penasaran, dia pun langsung bertanya, "Ada apa?" tanyanya sembari menatap Gilbert – Francis – dan Antonio bergantian.
"Bu-bukan apa-apa!"
Francis terlihat gugup.
Twitch
Sebuah perempatan mungil bertengger di atas kepala salju Gilbert. Diikuti suara umpatan pemuda asal Germany kesal.
"Sialan Kau Francis! Kalian bilang tadi ingin minta diajari Ivan! Kenapa sekarang bilang 'bukan apa-apa', hah? – "
– sepotong roti sukses masuk ke dalam mulut Gilbert. Pelakunya pemilik syal tipis yang duduk di sampingnya sendiri. Ivan tersenyum sembari melihatnya mengunyah roti. Selesai.
"IVA – ump!"
Kembali teriakannya tersumbat oleh telunjuk Ivan, Gilbert menangkis tangan pemuda itu dari bibirnya. Kesal.
"Maaf, tapi aku tidak mengajari privat pada orang lain selain Gilbert." ujarnya tersenyum. Ia melangkahkan kaki menjauhi meja, meninggalkan BTT.
Begitu agak jauh.
"Wah, makannya cepat sekali," celetuk Antonio meremas kotak susu di tangannya, kemudian melemparkan sampah itu ke tempatnya.
Seketika Gilbert dan Francis melirik nampan makanan milik Ivan. Kosong. Hanya tinggal kotak susu kosong dan bungkus roti. Keduanya merasa horor di tempat.
"Yah, tapi tak kusangka, orang seperti Ivan tidak mau berbagi ilmu dengan kita." ujar Francis menatap Antonio di sebelahnya dengan pandangan kecewa.
" – dan dia lebih memilih 'hanya' mengajari Gilbert. Aneh." tambah Antonio merapikan komik dan menatanya di tas yang sudah dia siapkan.
Gilbert mengangkat bahu, berpikir sejenak, kemudian tersenyum penuh makna.
"Aha~ aku tahu! Pasti karena Aku terlalu awesome! Kesesese!" tawa khas sang albino pun meledak.
Kedua sahabatnya mentapnya bosan. "Mustahil." ujar mereka koor kompak.
"Akh! Apa maksud kalian?"
Gilbert memprotes, namun kedua sahabatnya malah sibuk merapikan barang mereka. Antonio sibuk memasukkan komik, sedang Francis sibuk menata buku-buku pelajaran.
"Maafkan kami, Gilbo! Sekarang udah hampir masuk, duluan, ya!"
Antonio pamit diikuti Francis di belakangnya, yah, kelas mereka memang berbeda dengan Gilbert, paling mereka akan meminjam pekerjaan teman sekelas mereka.
Diam-diam Gilbert tersenyum mengingat kata-kata Ivan tadi. Dia hanya mengajari khusus untuk Gilbert? Apa Gilbert spesial? Tentu saja, dia awesome.
'Kurasa aku menyukainya.'
"Huh?"
Gilbert memiringkan kepalanya. Apa tadi dia berpikir kalau dia menyukai Ivan? Kesesese! Paling hanya perasaannya saja. Mana mungkin dia berpikir begitu.
.
.
.
Esok harinya. Hari ini seperti hari-hari biasa, Gilbert berjalan lurus menuju kelasnya, di belakangnya seorang siswa bersyal tipis mengekorinya. Gilbert berubah pikiran, dia akan pergi ke kantin terlebih dahulu. Di belakangnya pemuda berurai platinum blonde masih mengikutinya. Sebelum sampai kantin, dia bertemu seorang siswa lain asal Austria sedang kepayahan mengangkat kotak sampah dari dalam kelas menuju ke arahnya, buru-buru Gilbert menarik lengan siswa di belakangnya untuk bersembunyi.
"Gilbert-kun?"
"Ssst, diam Ivan! Kali ini akan kukerjai dia." bisik sang albino terkekeh jahil.
Ivan kenal siswa yang mengangkat kotak sampah itu – Roderich. Dia kurang tahu mengenainya, yang dia ketahui hanya sebatas Gilbert membencinya karena menyebalkan dan suka bermain piano, banyak membuat siswa lain terpesona, terutama kaum hawa. Gilbert sering menceritakannya, namun Ivan sendiri kurang minat.
Kali ini, seperti biasa, dia akan mengerjain Roderich.
"Aku akan mentackle kakinya, jadi tempat sampah itu akan jatuh dan bam! Ini pasti jadi menarik." Gilbert membisikkan rencananya.
Baru Gilbert akan menjegalkan kakinya agar Roderich terjatuh, tangan jenjang menarik pinggangnya mundur. Ivan menggenggam tangannya, berlari menjauhi tempat itu menuju ke tempat yang agak sepi.
"Lho? Apa yang kau lakukan! Aku baru saja mau menjatuhkan aristokrat itu, tahu!" Gilbert memprotes.
Albino itu menarik tangannya agar terlepas dari cengkraman Ivan. Mereka berhenti berlari, pemilik platinum blonde terdiam.
"Ivan? Kau temanku 'kan? Harusnya Kau mendukungku!" bentaknya kesal.
Ivan menggeleng pelan, iris violet itu menatapnya sedih. Membuat Gilbert gugup, dia melangkah mundur, namun kembali tangan Ivan menarik pinggangnya agar tubuh mereka mendekat.
"I-ivan?" tanyanya agak bingung.
Merah darahnya melirik arah lain, menyadari bahwa mereka berada di lorong sekolah yang lumayan sepi dari siswa lain - dekat ruang UKS. Gilbert menelan ludah.
"O-oi, Kau bercanda 'kan? Kita teman, jangan menyakiti sesama - "
Ucapan pemuda albino diinterupsi oleh bibir lembut yang berada di keningnya - Ivan menciumnya. Gilbert merasa makin horor, wajahnya memerah tanpa dia sadari. Kembali, ciuman seduktif itu terulang, turun menempel di hidungnya. Gilbert merasa wajahnya terbakar, dia terlalu syok untuk menggerakkan tubuhnya yang kini beku. Ivan kembali menurunkan bibirnya menuju bibir pucat sang albino. Merah dan ungu sekarang saling melebur dalam tatapan diam. jarak bibir mereka semakin dekat - dekat - dekat...
"Ehem!"
Sebuah deheman agak keras menginterupsi keduanya. Pemuda blonde pemilik safir jernih itu baru saja keluar dari ruang UKS.
"Nii- san, apa yang Kau lakukan di sini bersama... Ivan?" tanyanya curiga.
"Err... Kami... Err..."
Gilbert menggaruk kepalanya yang tak gatal – berusaha mencari alasan masuk akal.
" – kami sedang mencari tempat sepi untuk melakukan kis – "
" – WAAAKH! Lihat sudah jam berapa sekarang? Sebentar lagi kelas di mulai! Ayo kita pergi, West!" potong Gilbert meninggikan volume suaranya.
Membuat Ivan dan Ludwig – nama pemuda blonde itu sama-sama mengerutkan kening atas sikap anehnya.
"Kenapa Kau mengajakku, Nii-san? Aku 'kan adik kelasmu. Harusnya Kau mengajak Ivan."
Ludwig membenarkan letak kacamatanya yang agak melorot.
"Fufu~ tak apa, kalian bisa pergi bersama, Aku ingat kalau punya urusan lain."
Ivan menyela, pemuda itu melepas pegangan tangan di pinggang Gilbert, kemudian berlalu meninggalkan duo kakak - adik itu. Gilbert menghela napas lega. Sangat lega sampai –
"Kalian berciuman?" tanya Ludwig dengan nada serius.
Mata Gilbert membulat, menatap sang adik tak percaya, dia pasti salah dengar. Setelah ini dia harus membersihkan telinganya.
"Oi, Nii-san? Kau masih mendengarku?"
Tampak Ludwig mengayunkan telapak tangannya di depan wajah Gilbert yang sepertinya bengong.
"Ah? West? Ada apa?" tanya si albino seolah amnesia.
Ludwig menghela napas, "Tadi Aku bertanya, apa kalian berciuman?" ulangnya bersabar.
"Ukh? Ci-ciuman? Siapa yang ciuman? Orang se-awesome diriku mana mungkin berciuman dengan Ivan? Kesesese!"
Dia berkata jujur, mereka benar-benar tidak berciuman, setidaknya karena mendapat gangguan dari Ludwig. Ivan hanya mengecup kening dan hidungnya. Apakah mengecup termasuk berciuman? Gilbert tertawa hambar, wajahnya memerah bagai kepiting rebus.
"Kau tidak bisa berbohong, Nii-san... Wajahmu merah."
"Ukh?"
Gilbert buru-buru menutupi wajahnya yang terasa panas.
"Aku harap Kau tidak menunjukkan wajah itu di depannya." ucap Ludwig bernada serius.
Gilbert menyingkirkan tangan di wajahnya, menatap sang adik penuh minat.
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
Ludwig menyuruhnya mendekat untuk membisikkan sesuatu, Gilbert mendekatkan telinganya.
"Kudengar dia 'penyuka sesama jenis'." bisiknya membuat Gilbert menahan napas tegang.
"A-apa?" tanyanya merasa kurang yakin.
"Seperti yang kukatakan tadi, Nii-san. Aku yakin telingamu itu masih berfungsi, itu sebabnya di awal Aku memperingatkanmu."
"Ahaha, West, Kau pasti bergurau." tawanya garing.
"Ya. Aku bergurau, dan cukup gila jika menjadikan Ivan sebagai bahan gurauanku, Nii-san." nada bicaranya tak berubah.
Gilbert menelan kembali ucapannya. Kalau begitu Ivan...
Gilbert ingin mengacak rambutnya frustasi, namun diinterupsi oleh dering bel masuk kelas. Kedua kakak-adik itu berpisah karena memang kelas mereka berlawanan arah. Gilbert kelas tiga, sementara Ludwig kelas satu.
Dalam perjalanan menuju kelasnya, Gilbert bingung, cemas, dan kesal. Otaknya berkecamuk memikirkan perkataan adiknya tadi. Jika benar begitu adanya, dan Ivan menaruh minat padanya, bisa bahaya! Ini gawat! Darurat! EMERJEN – !
– BRUUKK
Terlalu sibuk dengan hipotesis konyol, Gilbert sampai tak sadar kalau dia sedang berjalan di lorong sekolah, menabrak seseorang pula. Gilbert memegangi hidunya yang agak sakit, hendak dia meminta maaf, tapi langsung dikejutkan oleh pemuda beriris violet di hadapannya – Ivan? Gilbert menelan ludahnya gugup.
"Gilbert-kun? Kau tak apa-apa? Ada yang sakit?"
Ivan mendekat, hendak tangannya terjulur hendak membantu, namun buru-buru Gilbert menepisnya. Violet itu tampak kaget. Gilbert menggelengkan kepala cepat.
"Ti-tidak! Tidak ada yang sakit, kok! Mana mungkin tabrakan seperti ini menyakitiku yang awesome! Kesesese!"
Gilbert menepuk dadanya penuh percaya diri. Membuat Ivan sedikit tersenyum ke arahnya.
Deg.
Jantung Gilbert seolah berdegup sedetik lebih cepat.
"Apa yang Kau lakukan di sini? Bukannya kelasmu ke arah – "
Ivan buru-buru menutup mulut Gilbert dengan kedua tangannya. Berbisik pelan. "Aku mau bolos."
"EH?"
Gilbert menyingkirkan kedua tangan lebar dari mulutnya.
"Sttt!" sekali lagi Ivan menutup mulut ember pemuda albino di depannya – kesal.
Sekarang mereka tepat berada di depan sebuah kelas, papan di depan kelas tersebut tertera dengan jelas '3-C'. Kalau Gilbert tak salah ingat, itu adalah kelas Francis dan Antonio.
Gilbert mengangguk, paham jika tidak boleh membuat suara keras saat ini. Perlahan, namun pasti, tangan Ivan menyingkir dari mulut Gilbert.
"Tapi kenapa Kau mau membolos? Maksudku, Kau kan pintar. Kenapa bolos?" tanya pemuda albino yang tak tahu bahwa Ivan pernah mendapat skors karena membolos lebih dari seminggu – yah, itu kejadian lama.
"Hanya malas – "
" – APA?" –
– BRAAKK
Pintu kelas di depan mereka bergeser terbuka. Menampilkan seorang sensei berjanggut lebat – Adnan-sensei cara para murid memanggilnya. Pria asal Turkey itu berdiri kokoh di depan pintu – menatap Gilbert dan Ivan bergantian dengan tatapan tajam. Keduanya bergidik ngeri bersamaan – seolah mendapatkan pelecehan.
"Kalian bedua! Apa yang kalian lakukan di tempat seperti ini! Sekarang sudah waktunya – "
Belum selesai sang sensei memberi kotbah dadakan, kedua murid berandal itu sudah kabur meninggalkan TKP. Ivan berlari, sementara di belakangnya Gilbert menikuti.
"Um~ bukannya itu Gilbo dan Ivan?"
Dari dalam kelas Francis mencolek bahu Antonio yang duduk di sampingnya.
"Eh? Mana?"
Pemuda kulit tan menghentikan aktivitas membaca komik dewasa dan menengok ke luar kelas.
"Kau terlambat, Toni."
Francis menjawab agak kesal, namun kembali fokus ketika Adnan-sensei memasuki kelas mereka sembari mengoceh tanpa henti. Seketika kedua anggota BTT itu menyumpahi rekan albino mereka agar tertimpa kesialan.
.
.
.
Tangan porselen lebar mendorong pintu terakhir yang mereka lalui – BRAKK
Hembusan angin panas menerpa helaian platinum blonde halus. Pemuda asal Russia itu melangkahkan kaki di atas atap sekolah. Di belakangnya seorang albino mengikutinya, napasnya tersengal-sengal setelah diajak mengelilingi beberapa ruang kelas di lorong sekolah – menaiki tangga – dan akhirnya sampai di sini.
Gilbert menjatuhkan diri. Terduduk sembari menyandarkan punggung di dinding terdekat. Keringat mengucur menuruni pelepisnya, bahunya naik-turun mengambil napas. Di sampingnya Ivan ikut menjatuhkan diri dengan keadaan tak jauh beda dari Gilbert.
Beberapa saat tak ada suara dari kedua pemuda itu, mereka lebih sibuk mengambil oksigen sembari beristirahat.
"Nyaris saja,"
Gilbert membuka suara disela engahan. Dia tersenyum mengingat kejadian aneh yang baru saja dia lalui, biasanya jika dia ingin bolos tinggal bolos saja, tak perlu harus berlarian seperti dikerjar setan.
"Iya. Padahal ini bukan pertama kalinya Aku bolos." Ivan menimpal.
"Apalagi Aku. Aku tak ada niat bolos, tapi gara-gara Kau Aku jadi ikut bolos!"
Ivan terdiam. Dia sendiri juga tak menyangka akan bertemu Gilbert saat akan pergi membolos. Tapi dia bersyukur juga, "Maaf." hanya itu yang keluar dari bibir tipisnya.
Gilbert mendengus, "Kesesese! Tak apa! Anggap saja Kau sedang beruntung bisa membolos dengan orang awesome sepertiku."
Pemuda itu mengeluarkan cengiran lebarnya, membuat Ivan mendesah pasrah – bosan atas kelakuan narsisnya yang sudah menjamur.
"Lagipula Kau sudah sering mengajariku mengerjakan tugas, jadi ini sebagai balasannya."
"Thanks, Gilbert-kun."
Albino itu terdiam, wajahnya memerah saat melihat Ivan tersenyum ke arahnya.
Deg.
Entah mengapa jantung Gilbert berdetak sedetik lebih cepat.
"Gil…"
Gilbert membeku. Dia merasa pernah mengalami kejadian seperti ini beberapa menit sebelumnya. Dan pandangannya terasa semakin memburuk saat iris merahnya mendapati tubuh Ivan mendekatinya. Gilbert tak dapat mundur karena di belakangnya ada dinding – ia memejamkan mata.
"Iv – mmm – ? "
Gilbert merasa bibirnya terkunci, sebuah bibir lain menyentuh bibirnya. Perlahan matanya terbuka – sepasang lavender menatapnya dekat. Terkejut, dia berusaha menyingkirkan pemuda platinum blonde dari hadapannya. Ivan menahan kedua tangannya di dinding agar tak memberontak.
Perlahan lidah basah menerpa bibirnya, meminta akses untuk memasuki mulutnya yang masih terkunci. Gilbert membuka mulutnya tanpa sengaja, membuat lidah liat menjelajah bebas di dalam mulutnya. Mengeksplor apa saja yang dia miliki di dalam sana,
Ivan mendominasi mulutnya. Kali ini pemuda Russia tak akan membiarkan kesempatan emasnya lolos begitu saja setelah mendapat gangguan beberapa kali oleh si bungsu Beilschmidt. Sekarang Gilbert sepenuhnya miliknya. Tangan pucat yang tadinya memberontak kini tak melakukan perlawanan. Gilbert memejamkan matanya, wajahnya memerah dengan napas yang makin melemah. Melihatnya, membuat Ivan melepas ciumannya. Benang saliva tercipta ketika tautan bibir mereka terlepas.
Gilbert buru-buru mengambil napas - dia kembali terengah.
"YA tebya iyublyu, Gilbert-kun…"
.
.
.
TBC
- RusPrus -
A/N : Publish juga! Terinspirasi dari lagu Vocaloid berjudul 'Suki Kirai' yang dinyanyikan Len dan Rin Kagamine. Pembalasan dendam karena kemaren saat 18 Januari project untuk ultah Prussia gagal total :'v
Ya, amplop, dan gue baru tau hari RusPrus itu 6/2, berarti gue telat juga. Ya udah publish sekarang aja, tadinya mau dibikin satu chapter tamat, tapi kepanjangan. Ya udah, tunggu chapter selanjutnya aja yak! #desh
Special thanks untuk :
Teman-teman RolePlay Hetalia, dll (gak gue sebutin karena terlalu banyak),
Para Reader dan Reviewer, serta
Para RusPrus shipper dimana pun Anda berada! Kalian AWESOME! Kesesese! XDD
