Bulan lalu, di kelas ada murid baru. Seorang pemuda, namanya Dazai Osamu. Menurut Chuuya, pemuda itu pendiam dan suram. Pemuda itu tidak pernah ikut kelas olahraga, juga ia itu selalu sendirian—berbeda dengan Chuuya yang urakan dan hobi ngumpul dengan teman-teman sekelasnya, tipe cewek yang jarang bisa kau temukan di sekolah, sebenarnya. Chuuya tidak tahu alasan kenapa Dazai selalu sendirian, hingga...

~o~

Tokidoki

By Vira D Ace

Bungou Stray Dogs by Asagiri Kafka and Harukawa Sango

Terinspirasi dari manga oneshoot berjudul sama karya Naoshi Komi-sensei

Rating: T

Pairing: Dazai x fem!Chuuya

Genre: drama

Warn: gaje, OOC (maybe), typo yg tak sengaja terketik, ada gender bender sedikit :'v, school!AU, dll

DLDR?

~o~

Chuuya meleguh. Kakinya melangkah ke arah UKS. Pelajaran sejarah dari Fukuzawa-sensei menurutnya membosankan, dan akhirnya gadis tomboy itu memilih untuk bolos saja ke UKS—toh, biasanya petugas UKS memakluminya, jadi tidak apa-apa, kan?

"Sensei, aku tidak enak badan, jadi bolehkah aku—"

"Eh?"

Gerakan tangan Chuuya yang membuka pintu UKS mendadak terhenti begitu mendengar suara asing. Terlihat di hadapannya, seorang pemuda bersurai coklat sedang berganti baju di dalam. Manik Chuuya terbelak, sementara pemuda itu masih terpaku.

"A-aku tidak lihat apa-apa kok!" seru Chuuya cepat sambil menjauhkan wajahnya dan menutup mata. Astaga, walau ia tomboy dan suka bergaul dengan laki-laki, tapi Chuuya tetap tidak terbiasa melihat laki-laki bertelanjang dada!

Namun Chuuya membuka sedikit tangannya dari mata. Gadis itu sedikit menahan napas ketika melihat sesuatu terpasang di dada kiri pemuda itu.

"Itu kan..."

"Hm? A-ada apa?"

"K-kenapa kau mendekat?!"

Plak!

~o~

"Maaf sudah menamparmu tadi..." Chuuya menunduk, "padahal aku yang membuka pintunya..."

Dazai hanya tersenyum kaku. "I-itu tadi salahku juga kok—malah ganti baju di UKS, bukannya toilet cowok..."

Chuuya diam sebentar. "Ah, anu..." panggilnya pelan, "itu tadi, yang di dadamu..."

Dazai melirik. "Kau pernah dengar soal 'penyakit detak waktu'?" tanya pemuda itu balik.

Chuuya diam sebentar. "Pernah," ucapnya, "kalau nggak salah, ada seorang penyanyi yang meninggal karena penyakit itu."

"Iya, itu."

"Lalu?"

"Secara teori, ini bisa disebut sebagai serangan jantung ringan karena adanya kelainan pada detak jantung. Ada sebuah kelainan otot yang tidak bisa diklasifikasikan. Penyakit ini menyerang satu dari satu juta orang, penyakit langka yang belum diketahui penyebabnya," ujar Dazai pelan, "katanya detak jantung setiap orang sudah ditentukan. Namun untuk orang yang terlahir dengan penyakit ini..."

Dazai mengambil ponsel dari sakunya, lalu mengutak-atiknya sedikit dan menyerahkan pada Chuuya. "Coba arahkan ini padaku," pintanya.

"Um..." Chuuya mengarahkan ponsel milik Dazai ke arah pemuda itu. Sejenak ada loading, sebelum akhirnya muncul sebuah data dan grafik garis khas detakan jantung. Sejenak gadis itu terkesiap.

[Dazai Osamu, 221.124.617 bts]

Jumlahnya semakin berkurang tiap detiknya. Chuuya terdiam.

"...itulah jumlah detak jantungku yang tersisa," sambung Dazai pelan, "mungkin menurutmu itu jumlah yang banyak, namun jantungku akan berhenti sekitar 6-7 tahun lagi. Pacemaker di dadaku menghitung jumlah detak jantungku yang tersisa, lalu menyalurkan hasilnya ke aplikasi itu—aku bisa mengeceknya selama tahu Idnya. Sebenarnya aku ingin pacemaker yang ditanam, namun harganya terlalu mahal."

Dazai menatap Chuuya. "Itulah kenapa aku dilarang olahraga atau berbuat heboh. Setiap kegiatan yang bisa membuat jantungku deg-degan itu bisa mengurangi umurku lebih cepat."

Sambil mendengarkan cerita Dazai, Chuuya memikirkan sesuatu. Ternyata, Dazai yang selama ini dikenalnya sebagai pemuda pendiam itu ternyata bisa banyak bicara.

"E-etto, kenapa kau menceritakannya kepadaku?" tanya Chuuya bingung.

"Soalnya kalau aku cerita yang sebenarnya, Chuuya pasti tidak akan membocorkannya pada yang lain," Dazai tersenyum tipis, lantas kembali menatap ke bawah, "di sekolah lamaku, aku merasa tidak nyaman karena orang-orang sudah menyebar gosip tentangku."

Chuuya menatap Dazai. "Kau... ternyata kesusahan, ya..."

"Nggak juga," Dazai menggeleng, "selain penyakit ini, semua biasa saja, kok."

Sejenak ada hening.

"Sebenarnya aku ingin jadi seperti yang lain," ucap Dazai tiba-tiba, "aku ingin mengobrol akrab dengan yang lain. Umurku tersisa beberapa tahun lagi. Padahal aku ingin melakukan hal yang membuatku bisa deg-degan tanpa memperdulikan umurku."

Dazai berdiri. "Ah, lupakan hal tadi," ucapnya, "aku sudah lama tidak mengobrol dengan yang lain, jadinya kebablasan. Tolong rahasiakan ini ya, Nakahara-san?"

Dazai beranjak pergi. Chuuya menatap punggung pemuda itu lekat-lekat, lalu berdiri. "D-dazai!"

Dazai berbalik. "Ya?"

"K-kalau begitu, aku akan membuatmu bersenang-senang sampai kau deg-degan! Musim panas ini, ayo kita lakukan!"

Dazai terdiam.

~o~

"Uwaaah, sugoii!"

Dazai memperhatikan pantai luas yang ada di hadapannya. Chuuya di belakangnya hanya tersenyum tipis.

"Nakahara-san, lihat, ini luas sekali, kan?" Dazai bertanya dengan antusias.

"Panggil Chuuya saja," ucap Chuuya santai, "Apa ini pertama kalinya kau ke pantai, Dazai?"

"Ya!"

"Astaga..." Chuuya membatin, agak kasihan sebenarnya. Namun ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakan Dazai—entah kenapa gadis itu sangat ingin melakukannya.

Namun, bagaimanapun pemuda itu tetap khawatir dengan kondisi Dazai.

"Dazai," panggil Chuuya pelan.

Dazai menoleh. "Ya?"

"Apa menurutmu, ini bagus untuk tubuhmu...?" tanya Chuuya pelan, "a-aku nggak tahu bagaimana cara mengatakannya. Tapi... apa kamu tidak mengkhawatirkan umurmu?"

Si surai coklat diam sebentar. "Ini tidak apa-apa, kok," ucapnya sambil tersenyum, "aku juga sempat berpikir untuk melakukan ini. Lagipula... kau orang pertama yang justru ingin membuatku deg-degan setelah mendengar ceritaku."

Dazai tersenyum riang. Chuuya, entah kenapa merasa dadanya menghangat.

"Dazai, kalau kau ingin melakukan hal semacam ini, panggil saja aku," ucap Chuuya sambil tersenyum tipis.

Dazai mengangguk, senang sekali rasanya. Chuuya terkekeh.

"Oiya, kau bisa berenang?"

"E-enggak..."

"Mau kuajari?"

"Sungguh?!"

~o~

"Kau tidak takut?" Chuuya melirik Dazai yang duduk di sampingnya.

Kereta roller coaster semakin menanjak. Dazai menggeleng.

"Ini akan seru!" ucapnya sambil tersenyum riang, "astaga, aku bisa merasakan umurku berkurang sekarang~! Sangat berkurang~!"

"Jangan buat lelucon dengan wajah senang seperti itu napa?!"

Kereta sampai di puncak. Selang beberapa detik, kereta itu meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi.

~o~

Dazai tertunduk, mengatur napasnya setelah turun dari roller coaster tadi. Chuuya yang berdiri di sampingnya hanya geleng-geleng kepala.

"Kau tidak apa-apa?" tanya gadis itu sambil menyodorkan minum.

Dazai bangkit. "Itu tadi seru sekali!" serunya, "ayo coba lagi, nee Chuuya?!"

"Eh?!"

Yang pertama membuat Chuuya kaget pada Dazai adalah sifatnya yang jauh berbeda dari apa yang ia lihat di sekolah. Di sekolah, pemuda itu tampak tertutup dan suram. Namun di sini, pemuda itu ternyata sangat suka bicara dan bergerak. Ia suka bercanda, ataupun tertawa karena hal yang tidak penting.

"Eh, kau belum pernah makan es krim?" Chuuya menatap Dazai kaget begitu mereka sudah di kedai es krim—setelah naik roller coaster dua kali, jujur saja Chuuya sedikit pusing sekarang.

Dazai menggeleng. "Katanya hal dingin nggak bagus buatku—orang tuaku sudah melarangnya sejak kecil sih..." ujarnya.

Chuuya menghela napas. "Sebentar, ya?"

Lalu gadis itu melangkah pergi. Tak lama kemudian, gadis itu kembali dengan 2 cone es krim di tangannya.

"Nih," ucapnya sambil memberikan salah satunya pada Dazai, "coba rasakan. Enak, lho."

"Um..." Dazai mencoba menjilat es tersebut sedikit. Manik pemuda itu sedikit berkilat ketika lidahnya menyentuh permukaan es krim itu. "Enak!"

Chuuya terkekeh. "Tuh kan, apa kubilang," kekehnya.

Dazai melahap es krimnya dengan semangat. Chuuya hanya memperhatikannya sambil tersenyum tipis.

Mereka berdua menghampiri banyak tempat yang dapat membuat jantung deg-degan—baik karena senang ataupun takut—hari itu. Wahana rumah hantu, pertunjukan lumba-lumba, arena bowling, dan lainnya. Pokoknya hari itu, mereka benar-benar senang.

~o~

"Aku senang sekali hari ini~ Nee, Chuuya, ayo ke sana lagi! Kolam renang atau pantai juga bagus!"

"Kita bisa ke sana lagi lain kali. Sekarang pegangan ya, aku nggak bisa jaga keseimbangan kalau kau bergerak terus!" Chuuya berusaha menjaga keseimbangan sepeda yang sedang dikayuhnya. Dazai yang ada di boncengannya hanya tertawa.

Ya, Chuuya yang mengendarai sepedanya. Dazai tidak bisa menaiki sepeda karena orang tuanya melarangnya, jadi hanya Chuuya yang bisa.

Entah kenapa, saat itu juga Chuuya memikirkan sesuatu. Orang-orang yang terlahir normal bisa berolahraga ataupun melakukan hal lain tanpa memperdulikan umur mereka akan berkurang. Namun orang-orang seperti Dazai...

"Nee, Dazai," panggil Chuuya pelan.

"Hmm?"

"Kalau setiap hari kita seperti ini... apa orang tuamu tidak mengkhawatirkanmu?"

"Oh, itu..." Dazai tersenyum tipis, "orang tuaku mengerti situasinya, jadi mereka memperbolehkanku untuk melakukan apapun sesukaku. Mereka bilang mereka bahagia ketika melihatku bahagia—walau, yah... aku sempat melihat wajah sedih mereka..."

Chuuya menghela napas. "Begitu, ya..."

Sejenak mereka saling diam. Chuuya fokus pada jalanan, sementara Dazai... entah apa yang ada di pikirannya.

"Chuuya..."

"Hm?"

Dazai diam sebentar. "E-enggak jadi, deh..."

Chuuya tersenyum geli. "Oiya, omong-omong, ada kembang api besar di lapangan besok. Kau mau ikut menontonnya?"

"Mau!"

~o~

"Oiya, Dazai, apa kau bisa main gitar?"

Chuuya menanyakannya suatu hari, ketika ia dan Dazai sedang jalan-jalan di dekat rumah Dazai, pada hari terakhir liburan musim panas.

Dazai melirik. "Bisa, sih..." ucapnya, "kadang aku sekalian membuat nadanya sendiri—sekalian nulis lirik lagu..."

"Wah~" Chuuya berdecak kagum, "boleh liat, nggak? Aku juga lagi mencari anggota baru untuk band—mungkin kamu cocok."

"Eh? T-tapi aku—"

"Ayolah, Dazai~"

Dazai meneguk ludah. "Baiklah... Ayo ke rumahku."

~o~

Chuuya menahan napas ketika Dazai memainkan gitarnya sambil bernyanyi. Lagu yang bersemangat, dan membuat sebuah debaran aneh muncul di dada gadis bersurai jingga itu.

"Tunggu, Dazai!" potong Chuuya cepat.

"Ya?" Dazai memiringkan kepala. Tangannya sejenak berhenti memainkan gitar yang ada di genggamannya.

"Besok, ikut aku ke ruang musik, ya?!"

"E-eh?!"

~o~

"Ini Akutagawa, dia pemain keyboard. Kalau ini Atsushi, dia pemain bass—dan dia temanku sejak kecil. Lalu yang ini Tachihara, dia pemain drum," Chuuya memperkenalkan satu-persatu teman-teman satu bandnya, "anggotanya ada 4, termasuk aku. Band kami nggak terlalu terkenal, tapi... aku mohon bermainlah di depan mereka, Dazai!"

"E-eh, m-maksudmu?!"

"Ayolah~ Boleh, ya?! Kumohon, sekali saja."

"B-baiklah..." sekilas Dazai tersenyum, "aku hanya perlu menyanyi, kan? Okay!"

"Sankyu!"

Dazai menghela napas. Sejenak, pemuda itu menatap teman satu band Chuuya dengan tatapan agak grogi, sebelum akhirnya kembali pada gitarnya. Pemuda itu mulai memainkan gitarnya, lalu bernyanyi.

2 menit berlalu. Teman-teman Chuuya terpukau.

"Astaga, itu bagus sekali!" seru Tachihara.

"Sugoii!" seru Atsushi.

"Kan?" Chuuya mengerling.

"Nee, Dazai, akan ada festival budaya Oktober nanti. Maukah kau menjadi penyanyi kami?" pinta Tachihara.

"Sou, sou!" Atsushi ikut berkomentar. Bisa dilihat kalau gadis bersurai keperakan itu yang paling terpukau melihat penampilan Dazai barusan.

"I-itu..." Dazai diam sebentar.

Ini kesempatan sekali seumur hidup untuknya. Dazai ingin merasakan bagaimana rasanya tampil di atas panggung sambil mendengarkan jantungnya kembali deg-degan. Maka, pemuda itu mengangguk pelan.

"Ya, aku mau."

"Yosh!"

Chuuya melirik Dazai. Yang diperhatikan balas melirik si gadis sambil tersenyum riang.

Ah, debaran itu lagi...Debaran yang entah kenapa membuat dada Chuuya terasa hangat seketika.

~o~

Lalu latihan untuk festival di mulai. Mereka mulai mengarang lagu, menentukan liriknya, dan mempraktekannya kepada alat musik masing-masing. Atas seizin Dazai, Chuuya menceritakan soal yang terjadi pada pemuda itu pada teman-teman satu bandnya. Mereka tidak terlihat keberatan, malah sangat mendukung Dazai. Hal itu membuat Dazai menjadi rileks ketika latihan.

"Anginnya sejuk, ya..."

"Hm..."

Chuuya dan Dazai berjalan beriringan menuju rumah masing-masing—rumah mereka searah, setidaknya sampai pertigaan di depan nanti.

"Aku bahagia karena bisa ketemu Chuuya," Dazai tersenyum, "gara-gara itu, aku jadi bisa akrab dengan yang lain."

Chuuya hanya tersenyumm tipis.

"Chuuya, makasih, lho," ucap Dazai tiba-tiba, "makasih banget."

"Itu tak masalah," Chuuya terkekeh, "oiya, akhir-akhir ini kita nggak ada melakukan hal yang bikin deg-degan, ya? Mau lakukan lagi?"

Dazai terdiam. Tak lama kemudian, pemuda itu memegang tangan Chuuya sambil tersenyum tipis. "Ini... lebih membuatku deg-degan dari apapun," ucapnya.

"E-eh..."

"Sudah, ya?" genggaman itu dilepas, "Ibu bilang aku harus pulang cepat hari ini, jadi aku pulang dulu. Bye-bye!"

Lalu Dazai berlari pergi, meninggalkan Chuuya yang wajahnya sudah sewarna dengan kepiting rebus.

~o~

Akhirnya, festival yang ditunggu-tunggu tiba juga...

"Uwaah, aku deg-degan..." Dazai meremas tangannya sendiri, gugup setengah mati.

"Kau mengurangi nyawamu dengan sia-sia kalau begini lho..." Chuuya spechless di pojokan.

Gadis itu sedang duduk di pojokan belakang panggung, berusaha menenangkan diri, ketika Atsushi tiba-tiba menghampirinya.

"Chuuya, jangan memaksakan diri, lho," ujar gadis bersurai keperakan itu pelan. Wajah gadis itu terlihat khawatir ketika ia menatap si surai jingga.

Chuuya tersenyum. "Tenang saja," ucapnya.

"U-uwah!"

Chuuya sontak menoleh, lantas beranjak ke asal suara. Atsushi mengekor dari belakang.

"Kenapa, Dazai?" tanya Chuuya begitu melihat Dazai memandang ke bawah lewat jendela.

Dazai menoleh. "P-pick gitarku..." ucapnya, "jatuh..."

"Lho, kok bisa?" tahu-tahu Tachihara dan Akutagawa sudah ada di dekat mereka.

"Tertiup angin..."

"Kita sudah harus siap-siap lho..." ujar Akutagawa pelan.

"Mau pakai pick pengganti nggak?" tawar Atsushi.

"T-tapi itu pick yang paling sering kupakai..." Dazai menunduk.

Chuuya diam sebentar. "A-akan kucarikan!" serunya sambil mulai berlari pergo, "tunggu, ya?!"

"T-tunggu, Chuuya?!"

~o~

"Kalau jendelanya di sana..." Chuuya memperhatikan sejenak jendela yang tadi disandari Dazai dari bawah, "berarti jatuhnya di sekitar sini..."

Gadis itu mulai menunduk dan mencari-cari pick milik Dazai. Cuaca sedang panas, dan ia sedang dikejar waktu, hingga ia merasa lebih cepat lelah ketimbang biasanya.

"Ah!" Chuuya berseru ketika tangannya menyentuh sesuatu yang dingin.

Itu pick milik Dazai. Chuuya tersenyum.

"Chuuya!"

Chuuya menoleh. "Ah, Atsushi..."

"K-kau..." Atsushi menatap Chuuya khawatir.

Chuuya tersenyum sendu. "Ya, aku tahu..." ucapnya sambil menyerahkan pick milik Dazai pada sahabatnya, "oiya, bisa kau serahkan ini padanya?"

~o~

"Wah, benar, yang ini!" Dazai tersenyum senang setelah Atsushi memberikan pick gitar itu. "Makasih!"

"Hmm..." Atsushi hanya mengangguk kaku.

"Oh iya..." Dazai diam sebentar, "Chuuya ke mana, Nakajima-san?"

"Oh, itu..." Atsushi menunduk, "d-dia tidak akan datang..."

"Hm?" kening Dazai mengernyit, "dia di toilet? Padahal kita sudah mau mulai, kan?"

"Bukan itu..."

"Ng?"

"Chuuya..."

~o~

Chuuya menyandarkan tubuhnya di teralis atap. Angin yang berhembus ia biarkan memainkan surai jingganya. Tanpa sadar gadis itu menghela napas.

"Chuuya!"

Chuuya menoleh. Dilihatnya Dazai sedang mengarahkan ponselnya ke arah Chuuya. Manik Dazai membulat ketika melihat data yang tertera di sana.

[Nakahara Chuuya, 1.264 bts]

Sama seperti milik Dazai kemarin, angka yang tertera dalam data milik Chuuya juga berkurang seiring berjalannya waktu. Namun yang ini...

Angkanya rendah, sangat rendah...

"Kenapa..." Dazai menatap Chuuya. Pemuda itu menahan dirinya agar bulir bening itu tidak meluncur di depan sang gadis.

Chuuya tersenyum sendu. "Begitu..." gumamnya, "Atsushi memberi tahumu, ya? Waktuku tinggal... 15 menit lagi..."

Dazai hanya bisa terpaku, tak mampu mengatakan apapun.

"Waktu pertama kali diberi tahu kalau aku punya penyakit detak waktu, orang tuaku langsung mengabari kerabatnya, mahal-mahal memasangkan pacemaker ke dalam tubuhku..." ujar Chuuya pelan, "mereka memperbolehkanku melakukan apapun yang kusuka..."

"Kenapa..."

"Sudah kubilang, kan, aku pasti akan membuatmu deg-degan," Chuuya berusaha tersenyum riang, "waktu kudengar kau punya penyakit yang sama denganku, ternyata apa yang kau pikirkan juga... sama sepertiku... Aku tidak ingin mati begitu saja tanpa tahu bagaimana rasanya deg-degan. Karena itu aku bergabung dengan band, karena mereka menyenangkan. Makanya... aku mendukungmu... Makasih, Dazai..."

Dazai masih menatap Chuuya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.

"Tadinya aku juga mau ikut tampil sih, tapi kurasa aku berlari terlalu banyak..." Chuuya tersenyum sendu, "maaf ya, aku nggak bisa berdiri di stage bersamamu."

Dazai menunduk. "Bodoh..." gumamnya. Pemuda itu melangkah maju, dan perlahan merengkuh tubuh Chuuya. Pemuda itu terisak kecil. "Aku ada di dekatmu. Aku akan selalu di sampingmu..."

Sejenak, Chuuya terdiam, sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Nee, Dazai..." ucapnya, "kita udah latihan tiap hari. Kamu juga pasti menantikan ini, kan?"

Isakan Dazai makin keras.

"Jangan nangis, donk..." Chuuya tertawa kecil, "kau tau, nggak? Bernyanyi di hadapan orang-orang itu bisa membuatmu deg-degan, lho. Karena itu... perdengarkanlah suaramu!"

~o~

"Penampilan selanjutnya, dari band Stray Dogs! Untuk band Stray Dogs dipersilahkan untuk..."

Atsushi menoleh. Dazai sudah kembali, tanpa Chuuya di sisinya.

"Sudah?" tanya Atsushi pelan.

Dazai tidak menjawab.

Atsushi menghela napas. "Begitu..." gumamnya. Dazai dapat mendengar kalau suara gadis itu terdengar gemetar.

Tachihara dan Akutagawa hanya memperhatikan. Walau tak berekspresi, namun Dazai tahu keduanya juga menyimpan duka yang sama.

"Baiklah, ayo mulai..."

Keempatnya melangkah ke arah stage. Dazai maju paling depan, seraya memegang gitarnya dan mengambil napas. Ada aba-aba dari Tachihara, sebelum musik di mainkan dan Dazai mulai bernyanyi.

~o~

"Ah, bagus sekali..." Chuuya duduk bersandar di teralis seraya memandang langit, "sudah kuduga, memang indah..."

Nakahara Chuuya, meninggal di usia 17 tahun, tepat setelah band Stray Dogs selesai bermain. Wajah meninggalnya... seperti orang bodoh, namun ia tersenyum.

Sementara Dazai Osamu, setelah lulus SMA, ia debut sebagai penyanyi sekaligus penulis lagu. Suaranya menjadi topik panas di berbagai kalangan dan menjadi pusat perhatian. Dia mengumumkan sendiri soal penyakitnya. Pesan kuat itu memberikan keberanian untuk semua orang. Selama masa aktifnya, dia selalu bernyanyi dengan semangat. Konser live terakhirnya dipenuhi oleh 40 ribu orang, dan pada akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya.

Dazai Osamu meninggal di usia 21 tahun. Wajahnya ketika meninggal menunjukkan kepuasan yang amat sangat, dan ia meninggal dengan senyum di wajahnya, persis seperti Chuuya 3 tahun sebelumnya.

~END~

SAYA BAPER PAS BACA MANGA ASLINYA HUWEEEEEEE :"UU /digeplak

Manga aslinya judulnya juga Tokidoki, karya Naoshi Komi-sensei, yang juga adalah mangakanya Nisekoi. Aaah, asli baper n nangis aku pas ngeliat endingnya. Plot twist banget, ga nyangka kalo—ah sudahlah, ntar spoiler :'v /readers: ini ffmu juga spoiler coeg!

Ini mungkin bakalan jadi karya terakhir sebelum harus hiatus lama (seenggaknya ampe UNBK selesai, senin dah simulasi nih :'v). Eh, atau semi-hiatus? Kan aku suka nyuri waktu buat nulis, hehe :v /jangan tiru ini, pokoknya jangan!

Akhir kata, makasih udah baca. Maaf kalo kurang ngefeel, lebih jelasnya boleh baca di manga aslinya :v (ini cuman hasil dari author yg kelewat baper pas baca manganya :'v)

Jaa ne!

-Vira D Ace-