Disclaimer: Punyanya Aunt JK. Rowling tuh. Andai aja punya gue...beneran deh ntar ada Drarry-nya dikit-dikit eh banyak juga gapapa kali ya. Au ah hehe, sebenernya sih gue bingung nentuin main pairingnya ntar tapi terserah aja cuman ya gitu gue suka ngobrak-ngabrik cerita orang hehe tapi kan seenganya gue tetep menghargai canon gitu B) Oh how crazy Im~ #abaikan-guys
Rating: Ehem-ehem-ehem...T aja kali ya kayaknya cocok gitu. Kalo M...eh gue belom siap deh *hening*—*lempar bom*—*tepar*
Genre: Family, Romance, Adventure, Friendship, Humor(?)
Pairing: Draco Malfoy – Harry Potter
DUN LIKE DUN READ! GET IT, RITE?
YOU CAN CLICK 'BACK' BUTTON IF YOU UNDERSTAND—ITS MEAN YOU DUN LIKE TO READ
Warnings: Boys love (Well, I just loved to call it wif 'yaoi'. Hmm, thats Japanese...its mean—you-know-what-I-mean haha), MPREG, OOC (ga semua sih beberapa aja), OC (mungkin ada tambahan...mungkin wkwk), typo(s)... (mungkin?), Fantasi author bermain dominan dan dapat menyebabkan kegalauan serta keinginan untuk membuat author tersiksa jika ada scene yang tidak cocok dengan keinginan readers. Oke abaikan yang terakhir. Author sedang dalam masa galauness tingkat dewa gara-gara ketemu kakak kelas yang gantengnya minta ampun. Oke bener-bener abaikan yang terakhir.
NB: Ada settingnya Hogwarts waktu Harry dkk di tahun kelima. No Voldie Moldie—he was already died when Harry gets his lightning-scare, No Orde of Phoenix, No Dolores Umbrigde, tapi Harry tetep terkenal 8), Cedric ga pernah mati—well, dia jadi juara Turnamen Triwizard, Prof. Snape ga 'dingin' sama Harry—mereka akrab, James sama Lily Potter masih hidup.
Jangan tanya kenapa gue bikin fic baru bukannya malah ngelanjutin 2 fic gue laennya. Gue lanjutin kok, sambil nyuri-nyuri waktu gitu hehe. Salahin aja otak gue yang akhir-akhir ini punya banyak (baca: segudang) ide. Ailah kebanyakan yaoi sih. Beneran, gue jadi ngerasa kaya Fujoshi nih hehe8D.
Yeyeyeye ini fic pertama gue buat pair yaoi!
Enjoy yeah!
The Day After Tomorrow
Chapter 1:
Back to 'Yesterday'
Malfoy Manor, 2015
Mentari pagi bersenar dengan cerahnya. Sesekali ia membiaskan cahanya ke arah dedaunan dan rerumputan, membuat tumbuhan itu berpendar keemasan. Mentari itu mendampingi langitnya, yang kini bewarna biru muda murni dengan sentuhan putih pucat di beberapa titiknya. Awan-awan bergumul, membentuk sebuah ikatan dan kelompok tertentu bahkan berbagai bentuk. Di temani sepoi angin yang bergerak riang menempati segala ruang. Angin itu datang, mengajak tumbuhan, dedaunan beserta rumputnya menari bersama dalam suatu ritme dan gerakan yang sama. Pas dan sempurna. Sungguh keadaan pagi yang menyenangkan.
Namun sepertinya hal itu tak berlaku untuk sebuah rumah besar yang mencolok di tengah sebuah padang rumput yang luas. Interiornya klasik kuno, kental akan kesan Latin. Rumahnya megah terkesan mewah. Pagarnya menjulang ke atas dengan tinggi sekitar 6 meter dan lambang "M" di atas kedua sisi atas pagar tersebut.
Di luarnya terdapat sebuah taman kecil di sisi depan dan belakang bangunan rumah inti. Meski kedua taman tersebut kecil, namun tetap saja terlihat indah dan terawat. Banyak sekali terdapat tanaman dan pepohonan—baik yang mempunyai khasiat sebagai obat maupun hanya sebagai hiasan semata.
Di sisi tengah di halaman depan, terdapat sebuah air mancur besar yang indah dengan patung putri duyung di atasnya. Di sisi seluruh dinding halaman baik depan maupun belakang terdapat ukiran dan lukisan jaman dulu yang tergolong unik dan abstrak. Warna hijau dengan sentuhan sedikit warna merah mendominasi rumah itu. Rumah yang terkesan sebagai idaman para keluarga. Di sekitarnya terdapat hamparan padang rumput yang asri dengan hutan-hutan dan beberapa anak sungai. Rumah yang terlihat tenang dari luar. Tapi tidak di dalam.
Di dalam rumah itu, tepatnya di lantai kedua, terdapat dua orang anak yang berlarian. Seorang anak lelaki berlari di depan tampak sedang di kejar oleh seorang anak perempuan di belakangnya.
Tap Tap Tap
"Scorpie jangan lari! Akan ku kutuk kau!", seru seorang gadis kecil. Ia mengelilingi koridor di lantai 2 rumahnya dengan sedikit susah payah. Kaki-kaki mungilnya yang berbalut sandal tidur bermoncong beruang favoritnya itu berlarian mengejar seorang anak lelaki di depannya. Mata chrome-nya menyiratkan kejengkelan luar biasa. Piama putihnya membungkus tubuh mungil yang kini bercucuran keringat. Tangan kanannya memegang sebuah boneka beruang besar—yang juga membuat langkahnya sedikit melambat karena ia harus menyeret boneka besarnya itu dari lantai.
Nafasnya memburu karena beban bonekanya tapi hal itu sama sekali tak menyurutkan niat dan semangatnya untuk menangkap anak lelaki itu. Tentu saja untuk menuntut pertanggung jawaban atas apa yang terjadi pada Tuan Teddy miliknya. Padahal semalam, sebelum tidur, Tuan Teddy masih dalam keadaan 'sehat' tapi sekarang...bahkan wajah Tuan Teddy sekarang tergolong abnormal karena banyaknya coretan krayon dan cat lukis dimana-mana.
Lalu salah satu kaki Tuan Teddy bertuliskan "I'M A MONSTER!" dan di tangan kirinya terdapat gambar wajah konyol dengan lidah terjulur keluar dan mata yang juling. Ini sudah sangat keterlaluan, pikir gadis kecil itu. Lihat saja akan ku adukan pada Daddy dan Mommy nanti!
Tap Tap Tap
Seorang anak lelaki menuruni tangga rumahnya dengan tergesa-gesa. Sesekali mata emeraldnya melirik anak perempuan yang sedari tadi mengejarnya. Jubah yang menyelimuti piama tidurnya berkibar saat semilir angin menorobos lewat celah-celah jendela memasuki rumahnya. Rambut pirang platinanya yang berantakan mencuat kemana-mana karena ia belum sempat melakukan apa-apa sehabis dibangunkan secara paksa oleh anak perempuan yang mengejarnya.
Hanya karena kemarin malam anak lelaki itu bosan tak ada kerjaan lalu dengan iseng menjahili anak perempuan itu dan mencoreti boneka—ehm— Tuan Teddy anak perempuan itu menggunakan krayon yang baru dibelikan oleh Daddy-nya dan cat lukis milik Mommy-nya, anak perempuan itu marah besar. Dia bilang ini semua sudah melewati batas perundang-undangan kementrian boneka yang beberapa hari lalu baru dibuatnya.
Ah sungguh konyol, pikir anak lelaki itu. Dia kira aku anak perempuan sepertinya apa? Huh mana mungkin aku menuruti undang-undang aneh seperti itu!
"Scorpie, berhenti! Aku capek nih!", keluh sang anak perempuan saat dilihat anak lelaki yang dikejarnya berlari cepat menuruni tangga menuju lantai dasar. Tangan mungilnya mengelap bulir-bulir keringat yang ada di wajahnya.
"Tidak mau, Lils! Aku tau kau akan memukulku kalau aku berhenti nantinya. Dan maaf aku masih lebih jenius darimu.", jawab si anak lelaki sambil terus berlari. Tak dihiraukannya gadis kecil yang mengeluh itu, malah ia semakin mempercepat larinya.
Alis sang anak perempuan berkedut karena marah. Ia memajukan bibirnya lalu melipat tangannya di depan dada. Matanya memicing tajam. Bibirnya membentuk seringai sebal. Ia berhenti sebentar, menarik napas panjang lalu berteriak sekencang yang ia bisa, "SCORPIE!"
"TIDAK!"
"BERHENTI!"
"TAK MAU!", kini anak lelaki itu berlari lebih cepat agar dapat mencapai kenop pintu utama untuk pergi bersembunyi dari anak perempuan itu, setidaknya untuk sementara. Senyum jahil berkembang di sudut bibirnya. Aku BEBAS!, teriaknya dalam hati. Dengan cepat ditekannya kenop itu dan menariknya hingga pintu itu terbuka lebar. Ia hampir saja keluar dari rumah itu saat—
"Petrificus Totalus!", ucap sebuah suara kecil yang sukses membuat anak lelaki itu—Scorpie namanya, membeku—kaku tak bergerak tepat di samping pintu yang sebagaian telah terbuka. "Yeee aku berhasil membekukan Scorpie!", seru gadis kecil itu sambil melompat-lompat riang. Ia berlari menuruni tangga—seolah melupakan beban berat dari Tuan Teddy yang ada di dekapannya dan segera menuju tempat dimana Scorpie mematung.
Gadis kecil berumur lima tahun itu memegang sebuah tongkat sihir Holly—milik Mommy-nya di tangan kanannya yang tergeletak di atas meja kecil di pinggir koridor tadi. Untung ia bergerak cepat dan membuat Scorpie beku sebelum anak lelaki itu berhasil kabur darinya dan pergi ke hutan di belakang taman. Uhh gadis kecil itu tak mau tersesat untuk kedua kalinya seperti saat musim panas tahun lalu.
Tanpa gadis kecil itu sadari, anak lelaki di yang tadi ia bekukan sudah bisa terlepas dari mantra pembeku miliknya. Scorpie menyeriangi jahil. Sihir gadis kecil itu masih terlalu lemah baginya—tentu mengingat umurnya baru setengah dari umur Scorpie yang sudah menginjak usia 10 tahun. Jadi dengan mudah saat gadis itu menuruni tangga tadi Scorpiue berhasil mencari celah dan menggumamkan, "Finite Incatatem". Mantra penghenti efek dari mantra-mantra sebelumnya. Mantra kelas menengah ke atas (atau terdapat dalam kurikulum kelas 4 di Hogwarts) itu jelas ia pelajari dari buku yang ada di perpustakaan milik keluarga.
Ia juga sering mendengar Daddy-nya menggunakan mantra itu saat Mommy (dalam kasus yang sama seperti Lils, merapalnya saat marah dan sekarang Scorpie tahu darimana Lils mempelajari mantra itu. Pujilah insting pendengaran Lils yang sangat tajam) membekukan Daddy ketika sesekali mereka bertengkar—yeah walau hanya pertengkaran kecil yang tak berarti. Tapi setidaknya lihat saja kedua anak mereka sekarang ini, belajar dan mangamalkan mantra dari perkelahian kedua orang tuanya. Sungguh tak patut dicontoh.
Lils berkacak pinggang dan tersenyum mengejek di hadapan Scorpie—yang masih berakting seolah dalam keadaan membeku—lalu melipat kedua tangannya di depan dada dan menggembungkan pipinya tanda ia sedang kesal. Membuat pipinya yang lumayan tembem itu di warnai semburat pink kemerahan. "Kau kalah perang mantra dariku, Scorpius."
Scorpie hanya mendecak pelan sebagai jawaban. Lalu mengikuti Lils dengan sama-sama berkacak pinggang sekarang.
Mata chrome Lils membulat sempurna. Ia tak menyangka Scorpie bisa semudah itu melenyapkan efek pembeku dari mantra sihirnya. "Kau...bagaimana—?"
"Oh ayolah, Lilian, bahkan sudah jelas level sihirmu ada jauh dibawahku."
"Uhh, dasar! Tapi tetap saja kau harus bertanggung jawab!"
"Tidak! Itu kan hanya permainan! Tinggal hapus saja semua coretan itu dengan sihir. Mudah kan?"
"TIDAK! KAU HARUS BERTANGGUNG JAWAB!"
"TAK MAU!"
"PIRANG PUCAT!"
"HITAM PEKAT!"
"EMERALD!"
"CHROME!"
"SCORPIUS HYPERION DRACONIS MALFOY! LILIAN LUNA ARNETTE MALFOY! BERHENTI SEKARANG JUGA!", teriak sebuah suara baritone tegas yang menggelegar dan membuat bulu kuduk kedua anak itu meremang. Jelas ada nada kemarahan yang terkandung di dalamnya.
Mereka berbalik dan mendapati dua orang dewasa yang ada di atas tangga. Yang pertama seorang lelaki yang berambut pirang platina pendek dengan mata beriris chrome pekat yang berkilat tajam, persis seperti mata Lils saat gadis itu marah. Di usianya yang kini sudah menginjak kepala tiga, ketampanan dan kegagahannya masih bisa terlihat jelas. Bahkan kedewasaannya membuat auranya semakin terang dan mendominasi, membuatnya menjadi sosok yang disegani di dunia sihir terutama di Inggris Raya terlebih teman-teman terdekatnya.
Sosok itu masih mengenakan piama lengkap berwarna abu-abu bergaris-garis hijau yang di jahit menggunakan benang sutra. Di pojok atas piama itu bisa terlihat jelas lambang "M" yang bertengger manis dengan warna putih yang sedikit kelam. Tangan sosok itu telipat di depan dada bidangnya. Matanya menatap lurus, seakan mengintimidasi kedua bocah itu. Ia adalah Daddy dari kedua bocah itu.
Di sebelahnya terdapat seorang wanita—ehm—lelaki tapi yang memang jika dilihat dari sudut manapun adalah seorang wanita. Rambut hitam panjangnya terlihat berantakan. Mata emeraldnya tersembunyi dibalik kacamata bundar yang sedang di pakainya tapi tetap tak menutupi tatapan herannya.
Ia hanya menggeleng pelan, menyayangkan tingkah laku kedua bocah kecil yang ada di depan pintu utama itu. Sosok itu terlihat cantik, manis, imut—ah hanya satu kata, indah—ia indah dalam balutan sebuah gaun tidur panjang yang membungkus tubuh rampingnya, membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas dan terkesan seksi. Ia ciri wanita sempurna—meski terkadang banyak yang menyayangkan kenapa ia adalah seorang lelaki. Ia adalah Mommy dari kedua bocah itu.
Kembali ke kedua bocah tadi, mereka melirik satu-sama lain seakan saling menguatkan akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Scorpius, Lilian, kemari.", ujar Daddy mereka, Draco Malfoy yang masih belum menyudahi tatapan tajam yang ia kirimkan secara terang-terangan pada kedua bocah itu. Tapi kedua bocah itu tetap tak bergeming mendegar perintah Daddy mereka.
Keduanya masih terlalu takut untuk menghadapi kemarahan kedua orang tua mereka, terlebih lagi Daddy-nya sudah mulai memanggil dengan nama depan bukan nama sapaan kecil mereka. Tentu saja mereka semakin takut mengingat Daddy hanya akan memanggil nama depan jika ada hal penting yang akan dibicarakan (pembicaraan serius) dan dalam mode marah seperti ini.
Melihat kedua buah hatinya yang tak bergeming karena panggilan pria yang ada disebelahnya itu—dan wajah mereka yang terlihat ketakutan, membuat hati Harry Malfoy sebagai seorang ibu terenyuh. Dengan pelan diusapnya lengan sang suami, mencoba menenangkan Draco agar tidak memakai emosinya saat berbicara dengan Scorpie dan Lils.
"Tenang, Dray. Kita bicarakan ini baik-baik kan?", ujarnya lembut. Draco hanya bisa menghela nafas perlahan. Ia menoleh ke arah Harry yang ada di sampingnya, menatapnya hangat tanpa ada kilatan tajam seperti saat ia menatap anak-anaknya tadi. Melihat yang di lakukan Harry mau tak mau membuat Draco tersenyum lembut dan mengecup dahi 'istri'nya pelan. "Ya, aku tahu."
Harry balas tersenyum hangat. "Scorpie, Lils, kemarilah sayang. Daddy dan Mommy hanya ingin berbicara sebentar dengan kalian ya?", ajak Harry dengan suara lembut yang menenangkan, membuat kedua bocah itu sekejap melupakan rasa takutnya seolah mendapat energi positif dari Mommy mereka. Hanya anggukan kecil yang diberikan kedua anak itu kepada kedua orang tua mereka.
Setelah itu yang terdengar hanyalah langkah kaki—berjalan serempak dalam keheningan menuju ruang tengah. Ruangan yang biasa keluarga kecil Draco-Harry Malfoy gunakan untuk membicarakan masalah yang terjadi di lingkungan keluarga itu sendiri.
Back-to-'Yesterday'
"Ahhh capeeek~", gumam seorang gadis kecil sambil mengelap peluh yang membasahi wajahnya dengan tangan mungilnya. Kini rambut hitam panjangnya di kuncir ekor kuda, dengan pita biru navy yang tadi telah di ikatkan oleh Mommy-nya. Ia sudah tak lagi mengenakan piama, digantikan oleh sebuah dress baby blue mini selutut yang bercorak awan, membuatnya tampak sangat manis. Sesekali ia menepuk-nepukkan tangannya ke udara, mencoba menghilangkan debu yang mungkin saja menempel di tangan maupun bajunya itu
Terlebih lagi, ia baru saja mengangkat kardus-kardus yang meskipun terlihat kecil tetap saja terlihat berat. Apalagi ia dilarang oleh Daddy dan Mommy-nya meminta bantuan Kreacher—peri rumah mereka ataupun meminjam tongkat sihir orang tuanya. Bisa dibilang ini adalah hukuman bersih-bersih ala Muggle. Huh, Lils benar-benar tak habis pikir dengan keputusan ini. Tapi tetap saja ia harus menjalani ini semua padahal sudah jelas-jelas yang salah Scorpie. Kenapa ia juga harus ikut dihukum sih?
"Jangan melamun, Lilyskins! Kau ingin hukuman kita untuk membersihkan gudang suram ini cepat selesai kan? Kalau tidak berarti aku akan menyelesaikan bagianku lebih cepat. Quidditch tak bisa menunggu kita lebih lama lagi tau!", hardik Scorpie kesal.
Ia sudah mengganti jubah dan piama tidurnya dengan kaos hijau berlengan pendek yang senada dengan warna iris matanya. Kaos itu cocok dipadukan dengan sebuah celana panjang berwarna abu-abu kehitaman yang membuatnya tampak tampan dan keren. Rambut pirangnya terlihat berantakan meskipun sudah coba ia rapikan sejak tadi. Sudah menjadi rahasia umum jika tekstur rambutnya itu merupakan keturunan langsung dari Mommy-nya, berantakan dan halus pada saat yang sama.
Sudah sejak beberapa menit lalu adiknya—Lils hanya melamun seolah memikirkan—well, mungkin lebih baik terlihat seperti menyesali—sesuatu. Memang tadi Scorpie mendengar gadis kecil itu menggumam kata 'capek'. Eh, memang dia kira hanya dia saja yang capek? Meskipun Scorpie terlihat hiperaktif dan seolah mempunyai segudang energi (baik yang utama maupun cadangan) tapi tetap saja ia manusia—juga penyihir—biasa, wajar saja kan kalau ia juga merasa capek dan lelah?
Memang siapa yang sanggup membersihkan sebuah gudang berukuran lumayan besar, sekitar 6x6 meter dan penuh kardus-kardus serta beberapa barang bekas ditambah lagi atmosfir ruangan yang seolah ditelan debu? Ah ya yang jelas kakak beradik ini dihukum begitu oleh kedua orang tua mereka.
Scorpie masih ingat betul bagaimana Daddy-nya menceramahinya hampir satu jam penuh—kalau saja tidak dibujuk oleh Mommy. Mulai dari mengomentari kejahilan Scorpius yang sudah di luar batas dan membuat Lily marah (Oh ingin sekali rasanya Scorpie mengejek balik Daddy-nya saat itu juga. Memang Daddy kira kejahilanku ini menurun dari siapa? Tentu saja darimu, Dad! Jangan bilang 'tidak'. Mommy pernah menceritakan tentangmu saat di Hogwarts dulu), mengerjai Lils yang masih kecil dan polos (Scorpie ingin sekali membenturkan kepalanya di meja saat itu juga mendengar kata 'polos').
Merusak barang orang lain (berkali-kali Lils merengek manja untuk tidak menyebut Tuan Teddy-nya sebagai 'barang' biasa, Scorpie hanya bisa menggerutu), lalu keisengannya mewarnai Tuan Teddy milik Lils dengan krayon yang belum ada 24 jam di belikan Daddy-nya dan cat milik Mommy yang benar-benar habis setelah ia pakai (Mommy jadi ikut menceramahinya tanpa henti karena cat limited editionnya habis tak bersisapadahal tadi Mommy terlihat tenang dan tak terbawa suasana).
Menguping pembicaraan (baca: pertengkaran) kedua orang tuanya dan mempelajari mantra sedang dengan sembunyi-sembunyi (Scorpie bersumpah melihat melihat Mommy mengerling padanya—pertanda bangga—akan mantra bukan sistem mempelajarinya dan dibalas cengiran lebar dari Scorpie). Scorpie juga harus berusaha menahan keras agar tidak segera melempar Kutukan-Muntah-Beruntun saat melihat Lils tersenyum kemenangan setelah sesi penceramahan Scorpie selesai.
Ah ya tampaknya Dewi Fortuna lebih berpihak pada Scorpie. Puas memarahi Scorpie, Daddy dan Mommy-nya ikut memarahi Lils (membuat Scorpie tersenyum penuh kemenangan—balik) karena membuat keributan dan kegaduhan di pagi hari sehingga mengganggu kegiatan orang lain (Lils hanya bisa merengut sebal).
Lalu pada fakta Lils juga ikut menguping pertengkaran kedua orang tuanya dan memakai sistem yang sama dengan kakaknya untuk mempelajari mantra secara sembunyi-sembunyi (Lils membela diri dengan mengatakan 'adik yang baik meniru perbuatan baik kakaknya', membuat Scorpie menggerutu lagi), dan berakhir pada Mommy membersihkan 'keisengan' Scorpie dengan sihir. Daddy juga menyuruh Scorpie meminta maaf pada Lils (yang di tanggapi setengah hati oleh sang adik). Dan sentuhan terakhir dari kedua orang tuanya adalah...membersihkan gudang belakang yang sudah lama tak terjamah.
Dan di sinilah mereka sekarang, berkutat dengan barang-barang bekas yang menumpuk di gudang belakang rumah. Ada beberapa barang raksasa seperti lukisan, sofa, meja, sapu terbang, lemari yang berada di sudut-sudut ruangan. Jangan lupakan adanya makhluk hidup lain seperti serangga dan tikus, hampir mirip—ralat—mirip sekali dengan gudang-gudang yang ada di rumah Muggle—dari acara TV Muggle yang pernah kedua bocah itu tonton. Oh yeah jangan lupakan seberapa tebal debu yang menutupinya.
Setidaknya kedua orang tuanya sudah mengantisipasi memantrai kedua anak itu dengan mantra Anti-Debu sehingga membebaskan mereka dari ketakutan akan debu dan kotoran. Paranoid memang tapi itulah kenyataannya. Scorpie tahu jelas hal ini diturunkan langsung oleh sang Daddy.
"Scorpie?", panggil Lils—membuat Scorpie langsung menoleh ke arah Lils yang wajahnya terlihat...err—tegang? Tangan mungil adik perempuannya memegang sebuah pigora foto.
"Ya, ada apa?", jawabnya, mencoba menjaga nadanya terdengar sebiasa mungkin saat melihat Lils dalam keadaan yang seperti—tidak terlalu baik.
"Aku menemukan sesuatu. Sebuah foto Daddy dan...err—Mommy. Mau melihatnya?" Scorpie bisa mendengar dengan jelas ada nada ragu dan tidak yakin saat Lils mengatakan kata 'Mommy'. Ah entah kenapa Scorpie tahu saat ini akan datang juga. Ya, saat ia harus siap menjelaskan sesuatu yang baginya...ehm—absurd, mungkin?
"Boleh saja." Ia mengambil sebuah bingkai foto yang tadinya dipegang Lils. Pigura itu tak berdebu, terkesan bersih dan terawat, mengingat disimpan baik dan rapi dalam sebuah kardus yang juga berisi foto-foto sejenis. Foto-foto saat Daddy dan Mommy mereka bersekolah dulu dan saat sebelum mereka menikah. Berbeda dengan foto yang lain yang ditaruh rapi dalam beberapa album, hanya foto yang di pegang Scorpie yang ada di tempat lain, di sebuah pigora kecil dengan lambang "D&H" di pojok kanan atasnya. Di foto itu terlihat Daddy dan Mommy mereka saling berangkulan, tangan satu sama lain menggelayut di pundak keduanya beserta cengiran lebar terpasang manis di masing-masing wajah. Tampak akrab dan bersahabat.
Seolah jauh dari kesan rival yang sama ini terbangun di antara keduanya. Tampaknya foto itu di ambil saat mereka ada di tahun kelima. Mommy masih saja sama dengan yang sekarang, mata emerald teduhnya, senyum—cengiran hangatnya dan...rambut hitam pendeknya yang kini sudah memanjang. Daddy-nya terlihat tidak berubah dengan mata yang masih chrome pekat—seolah menarik siapapun kedalamnya, menjeratnya dalam pesona seorang Draco Malfoy—wajah tampan aristokrat, rambut pirang platina yang sangat rapi—well, hanya masalah cengiran saja, mungkin.
Yeah, Scorpie merasa agak aneh Daddy-nya nyengir selebar itu mengingat penuturan Uncle Ron, Aunt Mione, Uncle Blaise, Uncle Theo, Aunt Pansy, Aunt Daphne—semua teman atau orang terdekatnya dan hampir seluruh orang yang mengenal baik Daddy-nya bahwa sang Daddy adalah orang yang paling pandai menjaga emosi termasuk dalam hal senyuman—apalagi ini—cengiran—cengiran lebar. Sebegitu bahagiakah Daddy saat foto ini diambil? Ada apa memangnya?
"Mmm, Scorpie?", Lils mencoba mengalihkan perhatian Scorpie dari poto pigura ke arahnya, "Apa Mommy dulunya sepertimu...emm—kau tahu maksudku? Dia...laki-laki?", ketidak percayaan terdengar jelas dari nada terakhir perkataan Lils.
JDARR!
Rasanya ada yang menyambar tubuh Scorpie saat ini juga. Seolah ada petir tak kasat mata yang membuat tubuhnya membeku, terkena sengatan kecil lalu berbuah menjadi—arus listrik yang kuat. Nah, kan apa dia bilang? Saat ini pasti datang juga! Saat dimana ia harus menjelaskan sosok Mommy yang sebenarnya...seorang laki-laki.
Agak aneh memang seorang laki-laki seperti Mommy-nya bisa mengandung dan melahirkan seperti layaknya wanita pada umumnya. Tapi toh ia tak pernah mempermasalahkan itu. Memang ia pernah sekali menanyakan itu pada Mommy-nya, yang hanya di jawab seadanya oleh sang Mommy, "Mommy kalian ini istimewa, Scorpie. Kau tahu? Suatu saat, jika kau besar nanti kau pun akan mengerti, sayang."
Tentu saja jawaban implisit itu membuat anak jenius untuk ukuran Scorpie pun berpikir keras. Huh, banyak memang hal-hal di dunia ini yang tak bisa di paksakan untuk dimengerti di usia anak-anak sepertinya, jadi ia memilih diam dan menunggu tumbuh besar, setidaknya cukup besar sampai ia tahu apa maksud sebenarnya dari sang Mommy.
"Akan kujelaskan semuanya tapi hanya sedikit, karena memang hanya itu yang aku tau dan aku mengerti. Oke? Dan jangan menyela dulu sebelum aku selesai bicara. Paham?". Dilihatnya Lils mengangguk pelan, pertanda ia setuju dengan tawaran Scorpie. Scorpie mencoba mengambil nafas panjang, bersiap mengatakan sesuatu yang penting—menyangkut keberadaan keduanya.
"Ehm, begini, aku juga tidak tahu kenapa laki-laki bisa mengandung dan melahirkan seperti Mommy kita tapi beliau bilang itu semua karena dia 'istimewa'. Jangan tanya apa maksudnya karena aku pun tak mengerti. Tapi bagaimana pun juga dia Mommy kita, Lils. Orang yang melahirkan dan merawat kita sebagai seorang ibu pada umumnya. Jadi tetap anggap dia sebagai ibu meski beliau bukan wanita, mengerti?".
Entah kenapa ia bisa berpikir sebijak dan sedewasa itu, mungkin pengaruh keturunan Potter yang terkenal berkepala dingin dalam menghadapi suatu masalah? Yah setidaknya ia sudah lega rasanya mengatakan semua rahasia yang selama ini di simpannya dari Lils. Ia sudah menduga kalau-kalau Lils akan bertanya lagi karena masih tidak mengerti atau karena tidak puas, tapi nyatanya ia tercekat sendiri mendengar jawaban yang keluar dari mulut Lils sendiri.
"Sudah kuduga." ucapnya sembari mengelus dagunya seperti orang dewasa—terlihat memikirkan sesuatu yang tepat dengan hipotesanya sendiri.
"HAAAA!", persetan dengan image cool seorang keturunan Malfoy pada dirinya—toh Scorpie memang tak pernah bersikap seperti itu. Ia malah lebih terlihat hiperaktif dan ramah seperti sang Mommy. Jangan lupakan bagaimana reaksi kakek buyutnya, Abraxas Malfoy, jika masih hidup tentu saja melihat salah satu cicitnya—keturunan Malfoy bertingkah konyol dan menunjukkan emosinya secara gamblang.
Ah ya lupakan, jelas ia bisa terkena serangan jantung mendadak. Bagaimana ia tidak kaget dengan jawaban Lils? Mulanya kan dugaannya jawaban yang akan diberikan Lils kan bukan seperti ini. Lanjutnya, "Apa maksudmu? Uh-oh...jangan bilang kau sudah tau hal ini sebelumnya?"
"Tentu saja, Scorpius. Jangan lupa betapa jeniusnya gadis Malfoy yang satu ini." ucap anak perempuan—adiknya pencinta boneka Teddy itu yang sedang menatapnya dengan mata berbinar. Ia terdengar bangga akan dirinya sendiri—ehm—yeah sebut saja narsis.
"Eh? Bagaimana kau tahu? Maksudku—apa yang membuatmu menyadarinya?"
"Aku menyadari dari dadanya, Scorpie~"
Kontan saja muka Scorpie merah padam mendengar jawaban frontal adiknya itu. Kenapa adiknya bisa sesantai itu mengatakan hal yang—ehm—menjurus ke masalah kedewasaan? Oh Merlin, Scorpie saja masih belum berani mengatakan hal semacam itu seterus terang Lils! "Ha-hah? Mak-maksudmu...ka-kau mengamati-nya, Lils?"
"Tentu! Aku sedikit merasa aneh melihat dada Mommy terkesan bidang dan rata, kau tahu? (Scorpie mengangguk, menelan ludah) Makanya aku merasa sedikit aneh tapi ya ku abaikan saja. Lama-lama, aku menyadari...dada Mommy sangat berbeda dari dada Aunty Mione dan Aunty Pansy—oh—Aunt Daphne juga jadi—"
"Oke, Lils. You've been told me about that. Enough, okay?". Oh yeah dan Scorpie ingin rasanya mengutuk dirinya sendiri. Sejak kapan adiknya memperhatikan...dada—ehm—hal semacam itulah? Oke setidaknya Lils tidak lagi mengungkit masalah itu lagi. Cukup bagi Scorpie kaget akan cara penelitian dan hasil yang di dapatkan adik perempuannya itu, setidaknya ia tak mau lebih kaget lagi jika Lils melanjutkan perkataannya.
"Yup. Itu saja kok hipotesaku. Setidaknya benar kan?"
"Iya sih. Ah ayo lanjutkan! Aku sudah tidak sabar bermain Quidditch bersama Daddy dan Mommy!"
Lils mengangguk, menyetujui. Oh well, siapa yang bisa meragukan keturunan kedua Seeker paling hebat dan diperhitungkan semasa di Hogwarts dulu tidak akan bisa jauh dari olahraga yang sama seperti kedua orang tuanya? Tak ada, jelas.
Mereka melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Hampir separuh ruangan dari gudang itu bersih dan barang-barangnya sudah tertata rapi kembali. Mereka saling bahu-membahu agar pekerjaan keduanya cepat selesai. Seperti Scorpie yang mengangkat kardus dan sofa kapas kecil lalu Lils yang mengepel lantai atau saat Lils yang membersihkan lemari dengan kemoceng, Scorpie dengan sigap menyapu debu dari lemari yang dibersihkan Lils itu dengan sapu biasa lalu membuangnya ke tempat sampah—dan masih banyak lagi.
"Scorpie? Lihat! Sepertinya aku menemukan benda bagus!", seru Lils heboh membuat pekerjaan Scorpie yang sedang merapikan buku-buku di sebuah kardus terhenti. Di lihatnya Lils sedang memegang dua buah kalung berbentuk peti—yang tampak seperti peti harta karun di dunia Muggle—lengkap dengan kuncinya pada kalung yang lain.
Peti itu terkesan unik dengan bentuk yang mungil dan terkesan mewah. Ada garis-garis keemasan di seluruh sisinya. Pada sisi atas—penutup peti terdapat tulisan kecil-kecil yang berwarna silver sehingga terlihat mencolok dan mudah di baca.
"Yesterday, it gives you some experience.", kata Lils sambil mengerutkan keningnya. Jelas sekali ia terlihat bingung sendiri dengan apa yang dibacanya tapi ia tetap melanjutkan bacaannya. Kini matanya membaca sisi depan peti yang terdapat lubang kunci di tengahnya. Tulisan itu berbaris rapi tepat di atas lubang kunci.
"Today, it gives you an unforgattable moments.". Huh apa maksudnya itu? Ckckck, ia tak mengerti. Iris chrome pekatnya beralih ke sisi alas peti tersebut. Lagi-lagi terlihat ukiran tulisan di sana.
"Tomorrow, it'll be secret. Take yourself!". Cukup. Lils benar-benar tak mengerti dengan semua maksud perkataan ini? Ah yeah, berpikir, Lils!
Scorpie yang dari tadi terdiam, sebenarnya sedang memikirkan sesuatu. Ia merasa familiar dengan benda ini. Rasa-rasanya ia kenal sekali dan pernah mendegar kata-kata semacam itu di sebuah tempat dan di suatu saat. Mmm, dimana ya?
Melihat kakaknya yang sedang melamun, Lils menggerakkan tangannya, mengayunkannya ke samping kanan dan kiri tapi Scorpie sama sekali tak bergeming. Tentu saja Lils hanya bisa heran dan berdecak kesal. Akhirnya ia membiarkan kakaknya berpikir dan terjebak dalam memorinya sendiri. Sementara ia kembali mengamati peti kecil yang terpasang pada kalung beserta kunci di kalung yang lain.
Tiba-tiba ia merasa seolah ada yang menuntunnya. Tangannya bergerak meraih kunci yang terpasang di kalung di tangan kanannya, membuka lubang kunci di peti pada kalung di tangan yang satunya. Dengan sekali putar, peti kecil itu terbuka, menampakkan sebuah ruang kosong, dengan sebuah papan kecil yang terlihat seperti meja kecil. Di permukaannya terlihat angka-angka. Ada barisan empat angka pada setiap belahan meja yang berjumlah empat buah. Saat Lils memegangnya, ia tak sengaja memutar permukaan meja yang ternyata berlaku seperti scroll itu. Membuatnya sadar, bahwa empat bagian meja itu memang sebuah scroll.
Scorpie yang sudah terbangun dari lamunannya, melihat Lils yang membuka kotak itu ikut melongok ke dalamnya. Tatapannya tertuju pada empat buah scroll yang menunjukkan angka-angka. Lalu tatapannya berpindah pada sebuah gambar yang terlihat sedikit dari posisinya yang memang berseberangan dengan Lils. Disibakkannya penutup atas peti itu. Mata Scorpius perlahan membulat.
Ia bisa melihat ukiran lambang Hogwarts disana. Lambang setiap asrama di Hogwarts sesuai warna khas masing-masing. Slytherin, ular, hijau. Gryffindor, singa, merah. Hufflepuff, musang, kuning. Ravenclaw, elang, biru. Scorpie jelas merasa ada yang aneh disini. Apa mungkin ini barang milik Hogwarts? Tapi kenapa bisa ada disini? "Ah lihat, Lils, ada lambang Hogwarts disini.", ucapnya pada sang adik yang terlihat sedang asyik dengan pikirannya sendiri.
"Hah? Iya? —Oh iya! Hmm, bagaimana bisa? Apa ini milik Hogwarts, Scorpie?"
Gotcha! Memang pikiran kakak dan adik tidak akan terlalu jauh satu sama lain, mungkin. "Entah, Lils. Tapi, aku juga berpikiran begitu dan anehnya aku merasa familiar dengan benda ini."
Lils mendadak menatap kakaknya dengan penuh keingintahuan yang besar. "Bagaimana mungkin? Kau yakin? Apa kau bisa mengingatnya?", tanyanya dengan nada penuh harap.
Scorpie hanya bisa mengangkat bahu. Bingung.
Lils berjinjit mengalungkan kunci di kalung yang sempat ia gunakan untuk membuka peti itu di leher Scorpie. Sebelum sempat Scorpie protes, Lils sudah terlebih dulu mengalihkan pembicaraan yang sempat berhenti. "Sudah pakai saja. Aku pakai yang ini. Hmm, kalau begitu coba memutar scroll ini dulu ya, Scorpie. Aku ingin mencobanya.", rajuknya pada Scorpie. Lils sudah siap mengeluarkan jurus andalannya, superior puppy eyes—turunan dari sang Mommy—yang sudah jelas bisa meruntuhkan pertahanan atau tembok hati siapapun.
Matanya berkaca-kaca, wajahnya terlihat sendu, pipinya di selimuti semburat pink kemerahan yang manis, dan ia menggigit bibir bawahnya—menahan suaranya agar mirip seperti isakan tertahan. Oh yeah sempurna sudah. Jelas Scorpie—seperti biasanya saat mendapati ia terkena efek ini dari sang adik—terdiam, perlahan dan menghela napas panjang, mengangguk tak rela. Yah, ia selalu kalah dalam hal ini.
"Yey! Pertama-tama ayo kita mulai dengan empat angka. Mmm, kita coba dengan 1995!", jemari mungilnya memutar satu persatu scroll yang ada. Scorpie hanya diam, ia lebih memilih menonton dan menuruti permintaan adiknya. Salah-salah nanti ia betengkar lagi dengan Lils dan malah mendapat hukuman tambahan dari Daddy dan Mommy. Ah! Ia tak akan membiarkan hal itu terjadi!
Scorpie mengurutkan kening menyadari angka berapa yang di pilih adiknya saat memutar keempat scroll itu. 1995, eh? "Kenapa kau memilih angka itu sih? Terlihat seperti tahun malah."
"Aku juga tak begitu tahu. Insting yang menuntunku.", kata Lils. Ia nyengir lebar, "Oh ya, aku jadi penasaran bagaimana ya keadaan Daddy dan Mommy kita saat bersekolah di Hogwarts dulu?"
Belum sempat Scorpie menjawab, ia merasa dunia di sekitarnya seolah memudar. Tapi ia bisa merasakan jemari Lils mengait ke jemarinya. Ia balas mengait, erat, seolah takut terpisah. Ia kemudian terhisap, dalam sebuah lubang perak tak kasat mata. Menuntunnya dan Lils dalam sebuah dimensi aneh. Dimensi lain. Bukan dimensinya. Dimensi itu hening. Hanya ada keheningan total disana, seolah menandakan dimensi itu sunyi senyap tanpa ada suara sepelan apapun.
Ia merasa berputar, di jungkir balikan secara cepat dan tak teratur. Ia bisa merasakan jemari Lils makin mempererat kaitannya dan itu membuat Scorpie meringis. Ia mencoba berbicara pada Lils untuk mengendorkan kaitan tangan mereka tapi tak bisa. Suaranya seolah hilang tertelan. Akhirnya ia hanya bisa pasrah dan balik mempererat kaitan tangan mereka pula. Tiba-tiba saja ia melihat sebuah cahaya terang benderang di ujung dimensi itu. Seolah menjadi akhir—ujung dari dimensi sunyi ini. Ia mencoba menggerakkan tangannya—meraih cahaya itu tapi lagi-lagi ia tak bisa. Tangannya kaku, tak bisa bergerak sama sekali. Tubuhnya—semuanya terasa kaku dan mati rasa. Ia hanya bisa diam, menunggu takdirnya. Hanya satu yang ada di pikirannya: Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Perlahan ia mulai merasakan adanya tarikan kuat dari arah depan beserta dorongan keras dari arah belakang, membuat tubuhnya semakin terombang-ambing tak menentu. Perutnya tiba-tiba terasa melilit, rasanya mual dan membuatnya ingin muntah saja. Lama-lama sakit di perutnya semakin menjadi—seolah ingin melawan arus dimensi ini. Sedetik kemudian, anehnya badannya terasa ringan. Seolah ia sudah terbebas dari dimensi yang tadi mengekangnya. Bebas? —Bebaskah kami?
BRAAKKK!
Seketika ia merasa, tubuhnya terjatuh dari ketinggian tak terhingga, membuat tubuhnya dan sang adik tergolek lemas—terjembap di rerumputan yang dingin. Dan hal terakhir yang ia ingat: ada aura magis dan subtansi sihir yang banyak—tak terhitung, terlalu banyak—yang berasal di sebuah tempat...yang tidak jauh dari tempat mereka terjatuh sekarang ini.
Back-To-'Yesterday'
Hogwarts, 1995
"Baiklah, Mr. Potter, detensi selesai. Sekarang kau bisa segera makan malam dan menuju Aula Besar. Terima kasih atas bantuannya.", ujar Profesor Horace Slughorn sembari membersihkan tumpukan perkamen di ruangan sekaligus tempat praktek uji coba ramuannya itu. Jujur ia sedikit merasa aneh. Kenapa murid kesayangannya yang satu ini terlihat lebih diam dari biasanya?
Di hadapannya ada seorang remaja lelaki yang berwajah tampan—jika tak mau di bilang cantik—menekuk wajahnya sebal. Iris emerald yang tertutup kacamata bundar itu seolah menerawang ke kejadian di Kelas Ramuan tadi pagi yang menyebabkannya mendapat detensi dari guru ramuannya saat ini. Kejadian menyebalkan yang malah bukan di sebabkan olehnya—melainkan oleh musuh bebuyutannya. Dan masalahnya sekarang adalah: kalau yang salah adalah Slytherin licik itu, kenapa harus dia yang di hukum? Oh Merlin, ini sungguh tidak adil! "Hmm, Profesor Slughorn?"
Guru Ramuannya berbalik mengahadap remaja lelaki itu, mengangkat satu alisnya—tanda bingung akan apa yang terjadi pada muridnya ini. "Iya, Mr. Potter?"
Sekarang malah Harry Potter—nama remaja lelaki yang manis itu, The-Boy-Who-Saved—tampak salah tingkah dan ragu untuk mengatakan sesuatu yang sedari tadi mengganjal pikirannya. Ia menunduk, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Dari ekor matanya, ia bisa melihat Profesor Slughron itu menatapnya kian heran. Ayo Harry, kau pasti bisa! Ayo Gryffindor!, semangatnya pada dirinya sendiri. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
"Mmm, begini...err—kenapa hanya aku saya yang di hukum karena menumpahkan Ramuan Nyanyian Harpy Kematian itu, Profesor? Bukankah tadi anda melihat sendiri bahwa Draco Malfoy juga terlibat?". Ia mengepalkan tangannya erat, mengaitkan kedua buah tangannya menjadi satu—simbol bahwa ia benar-benar gugup. Sepertinya keberanian singa Gryffindor-nya telah menguap entah kemana. Well, salahkan saja Pangeran Slytherin yang licik itu, Draco Malfoy yang menggodanya sepanjang Kelas Ramuan tadi pagi dan sudah membuatnya tidak sengaja menumpahkan Ramuan Nyanyian Harpy Kematian milik Profesor Slughron bersama Draco tentunya. Tapi kenapa hanya dia—hanya Harry yang terkena detensi?
"Oh itu rupanya. Ku kira masalah apa, Mr. Potter." Profesor itu lantas tertawa renyah, seolah menganggap hal yang baru saja di katakan Harry adalah lelucon konyol yang garing. Dia kira masalah itu sepele? Jangan salahkan kalu sekarang kemarahan Harry sudah di ubun-ubun tertinggi. Tapi ia mencoba bersikap biasa saja. Apa jadinya kalau ia malah balik mengatai gurunya ini? Detensi tambahan, pengurangan poin asrama—dan entah hal buruk apa lagi yang akan terjadi.
"Ehem.", dehem Profesor Slughorn berusaha menetralkan suaranya sehabis tertawa tadi. "Yang kulihat justru dia mejaga keseimbanganmu agar tidak jatuh bersama Ramuan Nyanyian Harpy Kematian milikku, Mr. Potter. Bayangkan saja jika ia tak menolongmu, mungkin sekarang kau sedang terbaring tak berdaya di Hospital Wings sambil menyanyi seolah suaramu tercekik dan serak—mencekam yeah seperti para Harpy."
Mata beriris emerald itu membulat sempurna. HAH? MENOLONG? —MENJAGA KESEIMBANGAN...KATANYA? APA? Humoris, sungguh. Jelas-jelas tadi Malfoy pirang licik itu sengaja menabraknya dari belakang dan membuat tubuhnya menerjang meja Profesor Slughorn yang berada tepat di depannya dan membuat goncangan kecil sehingga sebuah botol kecil berisi ramuan langka milik gurunya pecah dan cairannya berceceran di lantai.
Uhh, memang harus ia akui Malfoy junior itu menahan tubuhnya agar tidak ikut jatuh dan terjungkal ke depan bersama cairan ramuan Nyanyian Harpy Kematian itu dengan melingkarkan lengan kekar dan kokohnya ke pinggang ramping Harry—menariknya dalam pelukan seorang Malfoy. Jangan lupa garis bawahi kata-kata tadi: ...dengan melingkarkan lengan kekar dan kokohnya ke pinggang ramping Harry—menariknya dalam pelukan seorang Malfoy. Harry merasa wajahnya sangat panas dan memerah saat berhadapan dengan dada bidang nan hangat milik Pangeran Slytherin itu.
Ia bahkan masih ingat saat ia melepaskan diri dari pelukan Malfoy junior itu, hampir seluruh murid yang ada di kelas itu membeku—terutama para gadis mulutnya mengatup dan membuka seperti ikan yang kehabisan udara di daratan—bahkan sahabatnya, Hermione—yang terkenal akan pengendalian dirinya yang luar biasa.
Begitu juga Profesor Slughorn yang terdiam sebentar seolah mencerna kejadian itu sebelum akhirnya ia mengurangi 50 poin dari Gryffindor karena insiden itu dan memberi detensi pada Harry untuk membantunya membuat Ramuan Nyanyian Harpy Kematian yang baru.
"Sudah mengerti, Mr. Potter?", tanya Profesor Slughorn memecahkan lamunan Harry. Entah kenapa ia merasa tadi sempat melihat semburat rona pink yang menyapu pipi tembem salah satu murid kesayangannya itu.
"Ya, saya mengerti. Emm, saya permisi dulu. Selamat malam, Profesor." ucap remaja lelaki itu sembari meninggalkan Profesor Ramuannya—Horace Slughorn yang menggelengkan kepalanya, bingung. Hhh, dasar anak muda, pikirnya.
Back-To-'Yesterday'
Sepanjang perjalanan menuju Aula Besar, Harry hanya bisa terdiam dan menggerutu berulang kali dalam hati. Bahkan ia tak menjawab sapaan-sapaan yang di tujukan padanya—terutama sapaan dari para penggemar beratnya baik laki-laki maupun perempuan.
Dengan berbekal wajah imut nan cantik, senyuman hangat yang manis, tubuh yang ramping dan seksi yang yah terkesan seperti anak gadis (meskipun jelas ia anak lelaki), otak encer, kekayaan yang menggunung dan tak ada habisnya, derajat keluarga yang terpandang dan terkenal sebagai penyihir termuda paling fenomenal di abad ini tentu saja membuat Harry Potter menjadi remaja istimewa yang tak hanya di sukai gadis remaja namun juga para anak lelaki—karena wajahnya yang sangat sempurna seperti malaikat—yang saking cantiknya bisa mengalahkan anak perempuan sungguhan.
Yah sebenarnya tidak heran juga para penggemarnya itu mengingat memang idola mereka jarang membalas sapaan mereka, paling hanya tersenyum kalau tidak menganggukan kepala atau yang paling beruntung jika Harry mengetahui namanya, akan di balas sapaan itu—tapi kali ini ada yang berbeda dari pemuda berwajah imut itu. Ia tampak...kesal dan mulai mengeluarkan aura berbahaya. Terbukti dengan ia sudah mulai menatap tajam siapa pun yang bersiul saat ia lewat atau hanya menatapnya lekat bahkan terang-terangan menggodanya.
Ia mempercepat langkahnya, mencoba menjauh dari koridor yang mulai ramai akan siswa yang akan menuju Aula Besar atau yang akan menuju kembali ke asramanya sesudah makan. Saat ia tiba di Aula Besar, ia di sambut dengan pemandangan yang indah. Lilin-lilin melayang memenuhi atap aula besar. Cahaya lilin yang remang-remang tapi indah membuat suasana semakin romantis dan menyenangkan.
Tak ayal membuat sebagaian pasangan terbuai untuk menikmatinya. Di setiap meja asrama, bendera dan panji-panji khas asrama masing-masing membuat warna dominan pada Aula Besar tersebut. Entah kenapa saat berada di Aula Besar saat keadannya sedang bad dan menyaksikan betapa erat persaudaraan antar asrama serta atmosfir persahabatan yang nyata membuat moodnya beranjak menuju yang terbaik. Yeah, ia suka keadaan seperti ini.
"Hei, Harry! Bagaimana detensimu? Kau baik-baik saja kan? Tadi kulihat mukamu tampak sedikit pucat." sapa Hermione Granger—Mione, sahabat perempuannya yang langsung membombardirnya dengan beberapa pertanyaan yang menyiratkan perhatian. Harry suka—sangat suka dengan perhatian ini.
Ah bukan berarti ia menyukai Hermione—iya, ia menyukainya tapi hanya sebagai teman dan kakak perempuan, tak lebih. Lahir sebagai putra tunggal membuatnya terkadang merasa kesepian. Dan itu membuat sosok Hermione menjadi figur kakak yang baik untuknya.
"I'm okay, Mione. Detensiku? Ah ya lupakan. Jangan ungkit itu lagi, membuatku gatal untuk tidak membunuh Si Pirang itu dengan tanganku sendiri.", jawab Harry pada gadis berambut coklat bergelombang itu dengan sakartis. Ia mulai menyendok cream soup tomato ke dalam mangkuknya dengan tambahan steak panggang dan menuangkan jus labu ke pialanya. Hermione hanya mengangguk kecil—pertanda mengerti dan melanjutkan makan sandwich tuna-nya yang sempat tertunda.
Mereka mulai makan dalam diam. Perasaan kesal Harry jadi kembali lagi setelah Hermione menanyakan masalah yang—ehm—sensitif baginya itu. Memang bukan salah Hermione sepenuhnya tapi kan tetap saja harusnya—Bagus Harry, kau bahkan menyalahkan orang lain yang tak tahu apa yang membuat sesuatu tampak salah di matamu tanpa menjelaskannya, batinnya dalam hati.
"He-i mwawte kwaww bwwahiik sahjaw khanh?", Harry langsung tertawa pelan melihat Ronald Weasley—Ron, sahabat lelakinya—sahabat dekatnya selain Hermione—yang mulutnya penuh dengan sandwich kacang. Tingkah konyol Ron seolah menjadi hiburan tersendiri bagi Harry. Terbukti sekarang ia mulai melupakan rasa kekesalannya tadi. Anehnya juga ia malah tak pernah merasa jijik dengan Ron yang seperti ini—berbicara tidak jelas dengan makanan yang masih berada dalam mulutnya. Wajar baginya—wajar bagi Harry untuk seorang Ron Weasley.
"Euuh, Ron! Telan dulu makananmu!", seru Hermione jijik melihat tingkah konyol kekasihnya itu.
Ron hanya bisa meringis pelan saat Hermione memukul lengannya karena berbicara saat makanan masih berada di dalam mulutnya. "Hei mate, kau baik saja kan?", tanya Ron yang sudah menelan makanannya.
"Tentu, Ron. I'm absolutely okay." Harry tersenyum cerah sebagai jawaban, membuat para penggemarnya yang berada dalam jarak dekat merasa terbang ke langit ke tujuh saat melihat senyuman idola mereka yang bak malaikat jatuh ke bumi itu. Bahkan Ron dan Hermione terdiam sesaat—bereaksi dan berpikiran sama saat mengira Harry seorang malaikat—sebelum membalasnya dengan cengiran lebar yang bersahabat.
Mendadak Aula Besar hening total saat Flich dan Profesor Snape memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa. Raut wajah Flich menunjukkan rasa bingung yang sangat, berbeda dengan Snape yang sudah memasang topeng stoic-nya dengan sangat baik, membuat emosinya tak terbaca sama sekali.
Mereka seperti membisikkan sesuatu pada Profesor Dumbledore sebelum akhirnya Profesor Dumbledore mengikuti mereka keluar Aula Besar dengan langkah yang sama tergesa-gesanya. Raut muka Kepala Sekolah itu sama seperti Flich, bingung namun juga khawatir pada saat yang sama. Sejenak, Aula Besar tetap hening dengan tiga orang yang menjadi pusat perhatian itu sampai ketiganya hilang di balik pintu Aula Besar.
"Lanjutkan makan malamnya, anak-anak! Setelah selesai segera kembali ke asrama masing-masing.", seru seorang wanita paruh baya menggunakan mantra pengeras suara, Sonorus—yang sedang memakai dress panjang berwarna merah marun dengan sentuhan emas pada kedua sisi lengannya, rambutnya di cepol satu ke belakang—Profesor McGonagall.
Seruannya membuat Aula Besar kembali ramai dan sejenak melupakan kejadian tadi meskipun ada beberapa anak yang terlihat penasaran akan apa yang terjadi. Mereka mulai berbisik-bisik tentang adanya kemungkinan-kemungkinan tertentu sampai membuat beberapa kesimpulan.
Harry juga termasuk salah satu dari mereka yang tertarik. Ia menatap kedua sahabatnya yang tampaknya juga berpikiran hal yang sama. "Jadi, apa menurut kalian yang terjadi?, katanya.
"Entahlah Harry tapi aku juga tak bisa memungkiri kalau aku juga penasaran. Mmm, apa ya kira-kira?", jawab Ron sambil berpose layaknya detektif.
"Ayolah kalian ini. Aku juga penasaran sih tapi lebih baik kita selidiki besok saja. Sekarang pasti semua orang yang tau apa masalah ini tutup mulut mereka. Ada baiknya kita menyelidiki saat semuanya tidak dalam keadaan penasaran seperti ini. Oke?"
Usul Hermione di balas anggukan setuju oleh kedua anak lelaki itu. Mereka kembali melanjutkan kegiatan makan yang sempat tertunda gara-gara kedatangan Flich dan Snape. Tapi sayangnya tak ada satu pun yang menyadari bahwa ada seseorang—sesosok remaja tampan berambut pirang pelatina yang sedari tadi menatap meja asrama Gryffindor dari meja asramanya sendiri, Slytherin, dengan tatapan intens.
Iris chrome pekatnya mengunci—memfokuskan matanya hanya pada seorang anak laki-laki berwajah manis nan imut di meja Gryffindor itu. Sejenak bisa di lihat ia tersenyum lembut, tapi dengan cepat ia menyeriangi. Sayang sekali, Harry tak tahu bahwa remaja lelaki itu memperhatikannya terus menerus.
Dan Harry juga tak tahu, ada sebuah kejutan istimewa yang menunggunya mulai hari ini.
.
.
.
To be Continued
Aaaaa akhirnya selesei juga hehe (meskipun masih TBC XD). Fic pertama buat pairing Drarry hehe
Minta review-nya ya readers!
Sebelumnya, thanks for reading (˛•̃ •̃)/\(•̃ •̃¸)
Oh ya sampe lupa mau ngucapin Happy Ied Fitri guys! Minal Aizin Wal Faidzin ya kalo gue punya salah baik yang sengaja (ehem—gue gatau) baik yang ga sengaja ʃƪ´▽`)
Eh ya mungkin gue bakal update agak lama soalnya lagi ngerjain "Topeng" sama "Randomly Feelings" sekalian #promosi hehe
Okay, review plis;3
