Part I:

Saat umurku 2 tahun, Ayah membawa Gakupo yang masih bayi ke rumah. Sejak itu, dia menjadi adik angkatku. Aku tak tahu siapa orang tua kandungnya, dan baik Ayah maupun Ibu tak mau memberitahuku. "Siapa orang tuanya tak penting. Belajarlah menyayangi dia apa adanya, Kaito," ucap Ibu setiap kali aku bertanya padanya. Seiring dia tumbuh, semakin tebal tembok yang membatasi dunia kami. Dia lebih baik dariku dalam banyak hal. Dia bahkan lebih tinggi dariku, nilainya pun lebih bagus. Lebih sopan, lebih mudah bergaul, lebih ramah, lebih manis. Dia manis.

Saat aku 18 tahun-dia 16-aku merebut pacarnya. Gadis itu tetangga jauh kami. Dia berbeda sekolah dengan anak sial itu, dan tentu saja, berbeda denganku. Aku sudah masuk universitas saat itu. "Kau bisa memilih gadis mana pun yang kau mau, tapi kenapa dia? Kenapa pacarku?" tanyanya marah, yang kujawab dengan kasar, "Siapa gadis yang kupacari itu urusanku! Jangan berani membentakku, kau bahkan bukan bagian dari keluarga ini!". Heh, kami bahkan hanya pacaran sebentar. Aku memutuskannya beberapa minggu kemudian.

Sekarang, dia kuliah di universitas yang sama denganku. Aku sering melihat dia dikerubungi banyak mahasiswi, ataupun mengobrol ngobrol teman-temannya. Sesuatu yang tak kupunya. Terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, apa sebenarnya yang mereka suka darinya? Apa kepandaian juga kecerdasannya? Sifatnya? Suara indahnya? Mungkinkah wajahnya? Posturnya yang tinggi dan tegap? Mata indahnya? Jadi jika aku merusak wajah manis dengan bulu mata panjang itu, akankah mereka menjauhinya? Jika kucongkel kedua mata jernih nan indah itu, yang melihat orang lain selain aku, akankah mereka melupakannya? Jika kucabut lidahnya hingga dia tak bisa lagi berbicara, akankah mereka meninggalkannya? Jika kulakukan semua itu, akankah dia menjadi sendiri? Tanpa orang lain, selain aku? Aku ingin menghancurkan tembok yang membatasi kami, aku ingin menyingkirkan semua orang yang dekat dengannya, aku ingin membuatnya hanya melihatku.

Aku ingin...aku ingin memilikinya. Baik hatinya, maupun tubuhnya. Aku ingin dia.

Anak itu, Gakupo, bukanlah adikku. Kami tak lahir dari darah yang sama, tak lahir dari orang tua yang sama, namun tetap saja. Kami berdua laki-laki. Aku begitu benci kenyataan itu. Bukan dia yang kubenci, namun kenyataan bahwa aku tak bisa memilikinya bahkan walau kami begitu dekat. Itu membunuhku dari dalam. Sejak dulu.