Warning: AU, psikopat. Don't like, don't read...
Pairing: SasoXfemDei, atas request dari adiknya Sasori -muntah darah-
Words: 1055
Disclaimer:
NARUTO © Masashi Kishimoto
Noir © sabaku no panda-kun
Hitam. Warna monoton, memang. Tapi juga sekaligus warna yang paling mendominasi hidupku. Hitam melambangkan kegelapan, kebencian, kejahatan, kesepian, dosa, juga… darah.
Kalian tahu? Warna hitam kemerahan yang tersiram sinar putih rembulan tampak begitu anggun dan memikat, semakin menggodaku untuk menghadirkannya lagi dan lagi.
-
Noir
©
sabaku no panda-kun
-
Sasori's POV
"Sasori, ayo kesini!" Sesosok tubuh mungil khas wanita melambaikan sebelah tangannya padaku dari pinggir sungai.
"Hn…" Aku beranjak malas dari bayangan hangat batang kayu kesayanganku. Sebenarnya aku masih ingin mengistirahatkan tubuh di bawah kerindangan pohon Willow ini, tapi tangannya selalu lebih cepat menarikku, membimbing tubuhku menerjang guguran daun kecoklatan, menembus setiap partikel oksigen yang dapat memuaskan keinginan paru-paruku jika saja ia tak mengayunkan kaki kecilnya cepat-cepat.
Meskipun kami tengah berlari, aku tak pernah merasa kakiku memijak lembutnya tanah yang terhampar di setiap jengkal daerah ini. Aku tidak tahu kenapa. Aku merasa nyaman kalau di dekatnya, berbeda dengan setiap perasaan yang kudapat dari orang lain yang pernah kutemui.
Kuarahkan mataku pada sosok dirinya. Rambut blonde panjangnya yang diikat tinggi sebagian di atas berkibar terhembus sang angin. Mata biru sapphire-nya selalu memantulkan refleksi kebahagiaan, penuh cahaya kehidupan. Jujur, aku tidak suka cerahnya warna-warna itu, tapi hanya dia lah yang bisa menghadirkan perasaan menggelitik ini di dalam tubuhku.
"Lihat ini, bagus kan?" Ia menyadarkanku dari lamunan sesaat, telunjuknya mengarah ke sekuntum Crysanthemum di tepi sungai yang seharusnya sudah tak dapat bertahan lagi di tengah musim meranggasnya pohon jati ini.
"Hn…" Aku menengadahkan kepala, menatap indahnya biru langit hasil karya-Nya yang sungguh elok dipandang, hasil karya-Nya yang selalu diburu banyak insan yang berupaya menciptakan keindahan mereka dalam helaian kanvas. Gumpalan keabuan merayap perlahan dan menutupi sang mentari, menyamarkan setiap cahaya dan kalor yang dibagikannya dengan adil untuk seluruh mahluk yang ada di muka bumi ini.
"Deidara, ayo pulang. Sebentar lagi hujan." Kali ini giliranku yang mengajaknya menembus tetesan bulir-bulir bening yang semakin lama semakin memadati tiap celah kosong di permukaan bumi. Di sudut mataku nampak bayangan dirinya yang tengah menggigil, menghisap hawa dingin dengan hanya helaian kain tipis pakaiannya.
Aku membawanya menuju suatu bangunan tua yang telah siap kapan saja untuk rata bersama dengan para pengurai mikroorganisme. Bangunan itu pula yang selama ini memenuhi fungsinya sebagai rumahku. Banyak benang-benang halus yang telah lama disulam oleh laba-laba di setiap sudutnya, kelupasan cat juga menjuntai, melambai-lambai jika ditiup angin.
"Sasori, ini rumah siapa?" Tanya Deidara dengan kepolosan yang semakin terpancar jelas dari kebeningan iris matanya yang menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya mengembangkan garis bibirku yang biasanya hanya berupa seulas garis datar dan mengajaknya masuk serta menggerakkan kaki menaiki undakan tangga berkarpet beludru yang entah kapan terakhir kali orangtuaku mencucinya.
"Ini… rumahku," Aku membuka pintu salah satu kamar yang bisa kau sebut sebagai kamarku, dan mencoba menggerakkan engsel yang tampaknya semakin berkarat di cuaca buruk seperti ini. Ia melangkah di belakang punggungku, napasnya semakin memburu akibat gemetaran tadi.
"Pakailah." Aku menyerahkan beberapa pakaian dan celanaku, memberinya sedikit kebebasan untuk memilih. Lalu aku melangkah keluar kamarku untuk mengistirahatkan tubuhku di ruang tengah.
"Arigatou, Sasori…" Samar-samar terdengar suara halusnya dari balik punggungku saat aku beranjak menuruni tangga. Lalu aku melangkah perlahan menuju sofa lembut di ruang tengah sambil mengusap kedua mataku yang sudah hampir tertutup itu.
"KYAAA…!" Aku terlompat bangun, terkejut mendengar teriakan yang menggema dan bergaung di telingaku. Itu suaranya, suara Deidara. Ada apa dengannya? Aku segera berlari cepat layaknya seekor raja hutan yang sedang memburu mangsa lezatnya. Nafasku memburu sebagai akibat dari percepatan gerakan kaki yang kubuat sendiri.
Samar-samar terhirup bau anyir. Kulihat ia berdiri di depan pintu suatu ruangan sambil menutup bibirnya dengan kedua tangan, matanya menyiratkan keterkejutan yang luar biasa. Pintu ruangan itu menganga dengan kunci yang gemerincing masih menempel di lubang kuncinya. Ruangan itu. Ruangan tempat tersimpannya…
"Sasori, i-itu… siapa?" Bruk. Deidara terjatuh sambil menunjuk ke arah ruangan yang memantulkan bayangan warna-warna favoritku, kakinya tak berhenti bergetar ketakutan. Aku tidak menjawab dan hanya melengkungkan torehan garis di bibirku, tanganku menggenggam sebilah benda berkilat.
xxx
"Sudah lama sekali sejak saat itu…" Kujilat lagi pisau yang berlumuran cairan kental kehitaman itu. Kulirik tubuh Deidara yang sudah tak bernyawa dan terbalur cairan yang sama dengan yang ada di kedua sisi pisauku. Wajah cantiknya sudah tak dapat terlihat jelas akibat luka-luka sayatan yang merobek kulit halusnya, begitu pula dengan lehernya yang entah sudah berapa kali kutinggalkan kissmark, lengan dan paha jenjangnya, juga tubuh gemulainya yang sudah beberapa kali kulihat tanpa helai lapisan apapun.
"Ini untuk tanda cintaku, selamanya…" Dengan sengaja aku membentuk sayatan berbentuk inisial namaku, di atas dadanya. Sementara sayatan lainnya kubuat acak, berjumlah 666 sayatan. Semua itu mengalirkan darah segar yang semakin menggoda bibirku untuk menjilatinya. Tapi kulawan nafsu itu untuk dapat bangkit dan mengangkat tubuh Deidara dengan bridal style, lalu melangkah perlahan menuju kamar tadi.
"Tousan, kaasan, kalian dapat teman baru." Lalu aku meletakkan mayat Deidara tepat di sebelah tubuh tousan dan kaasan yang sudah beberapa tahun terbujur kaku disini. Ya, sudah beberapa tahun sejak aku mulai terobsesi dengan warna kehitaman dan mengusir jauh-jauh nyawa yang sudah ditiupkan untuk kedua orangtuaku. Dan hari ini mungkin akan menjadi hari kembalinya warna kehitaman dalam hidupku, juga obsesi membunuh yang tak pernah bisa kutekan saat mengingat keindahan warna hitam.
"Aku sayang kalian, tousan, kaasan…" Aku memandangi setiap lekuk tubuh tousan dan kaasan yang terlihat mirip dengan Deidara karena sayatan berjumlah 666 itu juga terdapat di sekujur tubuh mereka secara acak. Bedanya, ukiran inisial namaku terletak di perut kaasan, dan di punggung tousan. Dan lagi, darah mereka sudah tidak segar dan mengering akibat berkontak dengan udara luar.
Kubuka tirai yang sudah setengah terbuka agar sinar rembulan dapat masuk dan menyinari ruangan ini. Ya, warna hitam kemerahan yang tersiram sinar putih rembulan memang selalu tampak begitu anggun dan memikat, semakin menggodaku untuk menghadirkannya lagi dan lagi.
OWARI
Uwah, akhirnya dipublish juga!
Udah sebulan ada di lappie papa, males juga ngambilnya soalnya ada virusnya! –dijambak papa-
Oya, fic ini saya letakkan di rate M bukan karena ada lemon, lime, atau sejenisnya. Gomen buat yang baca karena salah kira!
Gomen juga kalau ada mistype atau sejenisnya! 8D
Dan yang merasa request, wajib review loh! –death glare-
Arigatou gozaimasu…
March 15, 2009
14:50 WIB
Noir
©
sabaku no panda-kun
