Kyungsoo benci sekali di sini.

Kampusnya, rumahnya, tidak ada yang berjalan dengan baik. Segalanya berbeda dengan tempat tinggalnya yang lama. Tidak ada kebahagiaan, tidak ada senyum di wajahnya. Ia-setiap hari-seperti mayat hidup.

Hanya keluar dari kamarnya apabila waktu makan, mandi, dan berangkat ke kampus. Oh, dan lagi sinyal di sini jelek sekali sehingga ia tidak bisa sering-sering menghubungi Jongin.

Kyungsoo rasanya sudah mati rasa. Ia ingin kabur saja rasanya.

Tapi ia tidak mau mengecewakan kedua orangtuanya, juga tidak ingin paman dan bibinya merasa kecewa karena Kyungsoo tak nyaman di sini. Kyungsoo rasanya frustasi, ditambah si sialan yang selalu menyuruhnya keluar dari kamar dengan nada tidak ramahnya.

Tidak bisa apa hidupnya lebih sial lagi ?!

Dammit.

.

.

.

A Higher Place

Inspired by A Higher Place (Adam Levine song, Begin Again Soundtrack, 2014)

Warn : absurd.

crack pair & official pair

"What good's living where dreams come true if nobody smiles"

.

.

.

_Tiga bulan sebelumnya_

"Eomma harap kamu pikirkan ini baik-baik, sayang. Appamu sangat mengharapkanmu bekerja di bidang kesehatan. Setelah kamu lulus dari kampus ini, kamu akan langsung diterima bekerja di rumah sakit terkenal di sana. Eomma mohon, Kyungsoo."

Kyungsoo menatap brosur yang berserakan di meja ruang keluarga dengan serius. Ia membaca baik-baik setiap kalimat yang ada di sana. Setiap penjelasan mengenai fakultas, jurusan, denah kampus, biaya yang harus dibayar, dosen-dosen ternama dan masih banyak lagi hal lainnya ia teliti satu persatu. Matanya bergerak-gerak seiring dengan tulisan yang dibacanya, sedangkan ibunya di sofa yang berbeda hanya menatap putra semata wayangnya yang baru menginjak usia delapan belas tahun dengan penuh harap.

Selama beberapa menit, Kyungsoo menghela napas. Menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. Berpikir keras.

Ia sebenarnya mau-mau saja kuliah di sana. Lagipula pekerjaan di rumah sakit itu sangat menjanjikan. Kyungsoo pernah bercita-cita menjadi dokter sewaktu kecil. Tapi semakin dewasa, cita-citanya itu pupus mengingat untuk masuk fakultas kedokteran dibutuhkan kecerdasan tinggi dan kedisiplinan. Dari dulu nilai Kyungsoo tak pernah sempurna. Ia tak pernah juara kelas. Paling tinggi hanya juara empat-itupun kelas tiga sekolah dasar. Namun ayahnya yang kini berada di Jerman, sangat menginginkan Kyungsoo mengikuti jejaknya di bidang kesehatan. Beliau yang bekerja sebagai dokter bedah di sana sangat ingin anaknya-setidaknya-bekerja di rumah sakit di Korea. Tidak masalah tidak jadi dokter. Mungkin Kyungsoo bisa mengisi bagian administrasi atau bendahara di salah satu bagian tata usaha rumah sakit.

Namun, Kyungsoo lagi-lagi menghela napas keras. Tempat kuliah ternama ini letaknya di Seoul, jauh dari tempat tinggalnya yang sekarang di Busan. Itu berarti ia harus meninggalkan ibunya, teman-temannya dan kampusnya yang lama.

Berarti aku juga harus meninggalkan Jongin.

Kyungsoo merasa dadanya sesak hanya dengan memikirkannya. Ia bahkan belum sempat menyatakan perasaannya pada sahabatnya sejak kecil itu ! Oh, God.

"Kyungsoo," panggilan lembut dari ibunya membuat Kyungsoo tersadar.

"Bagaimana keputusanmu, nak ?"

.

.

Dua minggu lamanya Kyungsoo memikirkan matang-matang ini semua. Keputusannya semakin membulat ke satu sisi, tetap tinggal di sini. Ia tidak bisa hidup tanpa Jongin. Tidak. Membayangkan sehari saja tanpa sahabat kesayangannya itu rasanya sulit.

Kyungsoo beranjak dari kasur, berniat memberitahukan keputusannya pada ibunya.

Akan tetapi, yang ia temui di ruang tamunya adalah orang lain.

"Siapa kau ?" tanya Kyungsoo dengan mata memicing. Ia berdiri di ambang ruang tamunya, sama sekali tidak ada niat untuk menghampiri lelaki yang duduk di sofa dengan sebelah kaki diangkat dan menyesap kopi hangat buatan ibunya. Untuk ukuran seorang tamu gayanya benar-benar memuakkan. Kyungsoo rasanya ingin menumpahkan minuman ke wajahnya.

Orang itu malah terus saja menikmati kopinya.

"Yak, aku bicara padamu !"

Habis kesabaran, Kyungsoo menggertak orang itu.

Lelaki itu melirik Kyungsoo dengan ujung matanya, lalu mengibaskan poninya sekali -Kyungsoo menahan dirinya untuk tidak berlagak pura-pura muntah- dan berkata, "Aku disuruh menyeretmu ke Seoul."

"Apa ?"

Mata Kyungsoo membulat kaget. Ia bahkan belum bilang apapun pada ibunya. Orang ini pasti mengada-ada.

"Cepat bereskan barang-barangmu. Aku tak bisa lama-lama." Pria itu kembali bicara.

"Oh, menurutmu aku akan kuliah di Seoul ? No, thanks. Aku sudah nyaman dengan kehidupanku di sini," sahut Kyungsoo sebelum berbalik untuk mencari ibunya. "Eomma ! Eomma kenapa membiarkan orang gila masuk sih-Eommaaaa !" teriaknya menggema ke seisi rumah. Ia ke dapur, ibunya tidak ada. Bahkan dapurnya dalam keadaan gelap. Di kamar mandi tidak ada. Di halaman belakang tidak ada. Di tempat cuci tidak ada. Di kamarnya tidak ada, sampai Kyungsoo kembali ke ruang tamu juga ibunya tak ada. Kemana ibunya ?

"Hei, ibumu tadi pergi sesaat setelah aku datang. Katanya mau beli cemilan," pria di ruang tamu itu menjelaskan sambil menatap Kyungsoo yang mendudukkan diri di sebelahnya. Kyungsoo sibuk mengipasi dirinya sendiri, entah kenapa udara siang ini sangat panas. Padahal ia hanya pakai kaus putih tipis dan celana pendek.

"Huh ? Kenapa eomma repot-repot beli cemilan ?" gumam Kyungsoo pada dirinya sendiri. Keringat membanjiri lehernya. "Aissh, panas sekali !" ia hampir saja melepas kausnya kalau tidak ingat pemuda yang ada di sebelahnya.

Untunglah eommanya datang tak lama kemudian. Kyungsoo langsung menyerang ibunya dengan berbagai pertanyaan mengenai lelaki di sampingnya. Eommanya langsung menjelaskan kalau pemuda itu adalah Park Chanyeol, anak dari sahabat ayahnya yang tinggal di Seoul. Chanyeol datang ke sini untuk menjemput Kyungsoo, karena eommanya terlanjur bilang kalau Kyungsoo setuju untuk kuliah di Seoul.

"Eomma !" erang Kyungsoo tak suka.

"Kyungsoo, Chanyeol sudah datang jauh-jauh untuk menjemputmu. Jangan kecewakan ayahmu, sayang. Ayo, kemasi barang-barangmu."

Akhirnya, setelah bujukan ibunya selama hampir satu jam, Kyungsoo pun pasrah dan melangkah ke kamarnya untuk membereskan barang-barang yang akan dibawanya.

Ibunya membantu mengepak baju-baju Kyungsoo. Bahkan si Park Chanyeol ikut membantunya.

"Sebentar, eomma ambil boks lagi di gudang."

Eommanya berjalan keluar kamar, membuat Kyungsoo yang tengah meletakkan buku-bukunya di boks menghela napas keras. Ia langsung merebahkan kepala di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya yang tiba-tiba berubah menjadi wajah Jongin.

Jongin ...

Betapa Kyungsoo merindukan sahabatnya itu. Jongin sedang menghadiri seminar di suatu tempat-Kyungsoo lupa dimana. Ia tidak bisa dihubungi dari pagi, membuat Kyungsoo galau setengah mati karena tidak mendengar suara orang yang disukainya itu.

"Ibumu menyuruhmu beres-beres, bukannya tidur."

Suara berat nan angkuh itu membuat Kyungsoo mendelik tak suka. "Apa pedulimu ?" dengusnya. "Kalau bukan gara-gara kau, aku tidak harus pergi ke Seoul."

Park Chanyeol yang berdiri di ujung kamarnya sambil mengemasi printer milik Kyungsoo ke dalam sebuah dus menatap namja di atas kasur itu dengan tajam. "Oh, begitu caramu berterimakasih pada orang yang harus meninggalkan pekerjaannya demi menjemputmu ?"

"Aku tidak menyuruhmu menjemputku." Kyungsoo bangun dari posisi tidurnya. Ia kesal dengan perkataan Park Chanyeol yang benar-benar menyinggungnya. "Apa aku memohon-mohon padamu untuk minta dijemput ? Apa aku bilang aku menyetujui permintaan ibuku untuk kuliah di Seoul ? Kenapa kau menyalahkanku karena harus meninggalkan pekerjaanmu ? Kau sendiri yang datang ke sini, jadi itu bukan urusanku kan ?"

Chanyeol mendengus, menutup dus dengan agak kasar. Akan tetapi dus itu tidak mau menurut. Bagian atasnya kembali terbuka, membuat Chanyeol kembali menutupnya dengan kasar.

"Yak, kau mau printerku rusak ?!"

"Itu bukan urusanku kan ?"

Chanyeol membalikkan perkataannya dan setelah itu meninggalkan Kyungsoo yang berteriak kesal-memaki namanya di dalam kamar.

Eommanya masuk ke dalam kamar tak lama kemudian, membuat Kyungsoo menghentikan makian 'tiang listrik sialan' dan 'telinga jelek' untuk Park Chanyeol. "Kyungsoo-ya, apa yang kamu lakukan ? Cepat bereskan barang-barangmu."

"Eomma kenapa sih orang itu datang ke sini ? Aku benar-benar tak mau ke Seoul," protes Kyungsoo. Raut kesal jelas terlihat di wajahnya, membuat eommanya mengambil tempat di sebelahnya.

"Appamu yang menelepon appanya Chanyeol untuk menjemputmu. Appamu sudah mendaftarkanmu di sekolah itu, nak. Eomma tidak bisa melarangnya karena mulai bulan depan eomma juga akan tinggal di Jerman, bersama appamu. Karena appa Chanyeol sangat sibuk dengan pekerjaannya, dia meminta Chanyeol yang menjemputmu."

"Dia menyebalkan, eomma."

"Tidak. Dia anak yang baik."

.

.

.

TBC \ END ?

(Hanya fic absurd yang ditulis di sela-sela ngetik fic yang lain)