"Gomen... Gomennasai, niisan"
Dia tak menjawab. Tubuhnya semakin jatuh dan jatuh. Kelopak matanya yang tertutup mulai terbuka sebagian, menampilkan sedikit irisnya yang berwarna hijau lembut. Tangan kanannya perlahan terangkat ke atas, seolah berusaha untuk menggapai cahaya di atas sana, namun tak bisa.
Sia-sia.
"Gomen."
Terdengar isak tangis dan dia menutup kedua matanya sebelum bergumam pelan.
"Aku... akan melindungimu."
.
.
Y
.
By : Fuyu no Yukishiro
.
Disclaimer:
Naruto (c) Masashi Kishimoto
.
Warning:
OOC, OC, Semi M, Typo, Abal, GJ, Dan masih banyak lagi
.
Karya ini dibuat semata-mata karena kesenangan Pribadi tanpa maksud mengkomersilkannya... :D
.
#1 : They are 'Empty' soul
Happy Reading...
Semoga Fanfic ini gak mengecewakan kalian semua... :D
.
BYUR!
Hyuuga Hinata menghela napas. Tubuh dan seragamnya basah tapi bukannya menangis ketakutan gadis itu hanya mendecih bosan sementara di luar sana terdengar suara tawa beberapa gadis, plus makian-makian yang jelas-jelas ditujukan kepadanya.
BRAK!
Hinata tersentak kaget, namun tidak ketakutan. Dia sudah terlalu terbiasa dengan hal ini (serius!) dan dia sudah sangat kebal diperlakukan seperti ini. Pun ketika dia menyadari bahwa gadis-gadis yang tadi menumpahkan air entah air apa juga mengunci bilik kamar mandi yang ditempatinya, Hinata masih bersikap datar, seolah tak terjadi hal yang buruk.
Memang ini bukan hal buruk.
Bagi Hinata, penindasan seperti ini seolah adalah aktifitas yang harus dijalaninya. Bisa bayangkan dia menerima hal seperti ini selama satu tahun berturut-turut? Tanpa jeda istirahat, nyaris setiap hari menjadi korban penindasan teman sekelasnya yang terlalu stress dengan tuntutan orang lain dan melampiaskannya dengan sedikit mengerjai Hinata yang tampak 'bahagia' dan memang pantas untuk dikerjai karena wajahnya yang katanya minta dijahili.
Ini sudah terlalu terbiasa untuk Hinata, jadi bisa dibilang Hinata sudah kebal dan berhenti berharap siksaan kepadanya ini berhenti. Sudah cukup dirinya meronta dan memohon ampun, toh Hinata menangis meraung-raung, memohon maaf atau tak bereaksi sama sekali tak akan membuat mereka berhenti menindasnya.
Hinata diam menatap pintu yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya lalu mendudukkan dirinya di atas kloset duduk yang ditutup olehnya, menunggu sembari mengeringkan rambut panjangnya yang berwarna indigo sembari mati-matian berusaha untuk menghentikan tubuhnya yang menggigil kedinginan.
Sampai kapan dia harus ada di sini?
Hinata mengulurkan lengannya, tepat menyentuh pintu kamar mandi, dia dapat melihat jemarinya yang kurus gemetaran, lalu dia mengusap pintu di depannya pelan.
Beberapa detik kemudian Hinata mengetuk pintu itu pelan.
Sekali
Dua kali
Tiga kali
Lalu empat kali dengan tempo yang semakin cepat dan suara yang keras.
Tapi tak ada perubahan.
Tanpa disadari napas Hinata terengah-engah. Sudah berapa lama dia di sini? Kenapa mereka belum kembali juga? Padahal biasanya mereka hanya meninggalkan Hinata beberapa puluh menit, lalu membukakan pintu kamar mandi ini sembari menarik Hinata keluar dengan menjambak rambutnya yang panjang sembari melontarkan kalimat yang pedas.
Biasanya seperti itu.
Tapi... Ini sudah terlalu lama untuk waktu lima belas menit. Pun sudah lebih dari tiga puluh menit. Bahkan meski Hinata tidak membawa jam tangan, Hinata yakin sudah nyaris satu jam dia terkurung di sini.
Dan Hinata mulai ketakutan dan kedinginan.
Bagaimana ini?
Apa yang harus dilakukannya?
Dia...
"A... To –"
Napas Hinata tercekat, air mata mengenang di kedua matanya yang berwarna keperakan – salah satu alasan kenapa dia jadi bahan tindasan – telapak tangannya secara mendadak membungkam mulut kecilnya sebelum kata itu terucap dari bibirnya.
Tidak.
Tidak. .
Dia tidak boleh mengatakan kata itu, Dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri. Dia sudah berjanji dan begitu enggan mengatakan kata itu.
Tidak. Tidak. Tidak.
Hinata mengusap bawah matanya hingga air matanya tak terlihat. Dia pun tak boleh mengeluarkannya lagi, tidak boleh.
Dia...
Ckrek!
Hinata menatap beku ke arah depan. Pintu terbuka, sedikit cahaya masuk ke dalam bilik kamar mandi yang gelap. Sesosok tubuh berdiri. Bukan mereka tapi dia. Dia yang ada di sana tak bicara apapun tentang keadaannya. Hanya berjalan satu langkah dan menarik lengan Hinata hingga gadis itu berdiri lalu memeluknya dan menarik Hinata keluar dari toilet sekolah.
.
.
Uap yang mengepul membelai pipi hangat serta wangi coklat yang muncul dari cangkir yang digenggam Hinata membuat tubuhnya rileks. Hinata masih memakai seragamnya yang basah dengan tambahan selimut cukup tebal yang menutupi punggungnya, membuatnya sedikit hangat dan akan terasa lebih hangat jika dia melepaskan seragamnya yang basah dan menggantinya dengan yang baru, yang lebih tebal dan tentu saja kering.
Hinata menatap permukaan coklat panas yang masih mengepulkan uap hangat, mendekatkannya ke bibir lalu meminumnya secara perlahan dan hati-hati. Hinata tidak mau melukai lidahnya yang mungkin masih bekerja dengan normal.
Dia menatap Hinata tanpa kedip sebelum berlalu ke ruangan sebelah. Hinata berusaha untuk tidak peduli dengan kehadirannya, meski dia adalah orang yang menolongnya dari ketakutan dan rasa dingin.
Dia kembali muncul tepat saat Hinata meletakkan cangkirnya dan menghabiskan separuh coklat panasnya. Dia berdiri di depan Hinata setelah meletakan setumpuk kain yang sepertinya sepotong pakaian lengkap. Mau tidak mau, Hinata mendongak. Merapatkan selimutnya sebelum menyambut tangan pucat yang terulur tepat di wajahnya.
Hinata berdiri dan dia menuntun hinata hingga berada di tengah ruangan, jauh dari sofa yang di duduki Hinata tadi dan cukup luas. Dia berbalik menghadap Hinata. Tangan kanannya menggenggam tangan kiri Hinata dan tangan kirinya memeluk punggung Hinata yang kecil. Hinata merapatkan tubuhnya dan meletakan pipinya di dada dia yang bidang.
Tap.
Satu langkah ke kiri.
Tap.
Satu langkah ke kanan.
.
Dua langkah ke belakang.
Hinata menutup mata sekilas sebelum dia menegakkan kepalanya, mendorong tubuh dia meski tangan mereka masih bertautan lalu kembali menarik dia.
Kanan, kanan lalu kiri.
Melepaskan diri kemudian kembali merapat.
Kiri, kiri lalu mundur ke belakang.
Maju ke depan lalu berputar.
Mereka berdansa.
Tanpa melodi yang terdengar, tanpa suara hentakan kaki yang mengganggu. Sunyi adalah melodi tak terdengar bagi dia dan Hinata.
Mereka terus melakukan gerakan yang sama sebelum dia berhenti, memberi sedikit jarak antara tubuhnya dan tubuh mungil Hinata. Menyentuhkan telapak tangannya yang besar di pipi Hinata yang dingin. Turun ke arah dagu Hinata sebelum dia mendorong dagu Hinata hingga mata perak Hinata menatap mata hitamnya.
Wajah Hinata yang datar, wajahnya yang tanpa ekspresi apapun.
Mata oniksnya yang kelam dan mata perak hinata yang kosong.
Mereka terus bertatapan hingga dia menghapuskan jarak dan menempelkan bibirnya yang kering ke bibir mungil Hinata yang terasa coklat.
Mata oniks itu tertutup tapi mata perak Hinata tidak.
BRUK!
Dia menimpa tubuh Hinata, masih dengan bibir yang saling menempel, dan mata yang masih tertutup. Hinata menyerah dan memutuskan menutup kedua matanya ketika dia meminta lebih daripada kedua bibir yang menempel.
Dia semakin mendekatkan tubuhnya di tubuh Hinata yang masih terbalut seragam yang sedikit basah. Tangannya mendorong kepala Hinata hingga ciuman itu semakin dalam dan menggairahkan, membuat udara terasa panas dan gejolak tanpa diundang hadir di sana. Ciuman itu terhenti ketika dia merasakan cengkeraman yang kuat di kemejanya yang berwarna hitam.
Hinata membuka kedua matanya, terengah-engah dan bertanya dalam hati ketika melihat mata oniks kelam itu terlihat redup dan napas dia tidak terngah-engah seperti napasnya. Dia membelai pipi Hinata, mendekatkan wajahnya ke kuping Hinata.
"Aku menolongmu –" menjilat belakang kuping Hinata yang membuat Hinata merinding geli. " – lagi."
Hinata ingin bilang bahwa dia tidak butuh bantuannya namun urung karena itu tidak benar. Hinata tidak akan pernah bisa berbohong darinya. Dia selalu tahu jika Hinata berbohong dan akan menyeringai kejam jika menyadari Hinata berbohong.
"Dan kau basah."
Suara bariton itu membuat Hinata menggigit bibirnya. Matanya terpejam, pipinya memerah. Dia membuka dasi seragam Hinata dan melepaskan beberapa kancing seragamnya, semakin menekan Hinata yang ada di bawahnya.
"Mau kuganti pakaianmu?"
Tak perlu jawaban dari Hinata karena dia memang tak pernah peduli pada jawaban Hinata. Hinata hanya terdiam, menutup mata dan menarik tubuh dia ke tubuhnya.
.
.
Dia Uchiha Sasuke.
Hinata tak pernah ingat kapan Hinata tak memanggilnya dengan 'Sasuke' atau 'Uchiha' melainkan lebih senang memanggilnya 'dia'. Hinata juga tidak ingat kapan dirinya dan dia melakukan hal seperti ini.
Yang Hinata ingat, mereka sama-sama benda kosong tanpa jiwa. Saat bertemu Hinata sudah tahu bahwa mereka sama dan terikat satu sama lain. Yang Hinata ingat dia datang menawarkan telapak tangannya untuk digenggam Hinata, menariknya dalam sebuah komunitas yang hampa dan kosong namun hangat.
Bisakah kehampaan memberikan sebuah ruang kehangatan? Hinata tidak yakin tapi dia meyakinkannya.
Hinata membuka matanya dan terbangun dengan seluruh tubuhnya yang terasa sakit. Tubuhnya tak lagi ada di lantai yang dingin, tubuhnya ada di atas ranjang single size yang sebenarnya cukup ditiduri oleh dua orang. Tubuhnya juga tak lagi diselimuti oleh seragam yang basah. Tubuh Hinata tersembunyi di bawah selimut tebal dengan hanya sebuah kemeja hitam yang kebesaran untuknya.
Hinata menoleh ke samping. Dia sudah tidak ada. Hinata menyentuh tempat dia mungkin saja sempat berbaring di sana. Namun tak ada sisa-sisa kehangatan yang ditinggalkan oleh dia.
Hinata turun dari ranjang, berdiri dan melangkah memasuki kamar mandi. Diliriknya jam weker yang belum berbunyi atau mungkin tak akan berbunyi. Masih jam lima pagi dan Hinata masih mengantuk tapi Hinata tidak mungkin kembali tertidur.
Hinata memutar kran shower tanpa terlebih dahulu melepaskannya. Matanya tertutup, wajahnya tetap datar meski hatinya tengah bertanya.
Di mana Tuhan? Apakah Tuhan masih ingat kepadanya?
Kalau Ya, kenapa Tuhan tidak menolongnya?
Hinata tertawa sinis. Terkadang dia benci dirinya yang seperti ini. Setengah-setengah. Hinata melupakan Tuhan tapi juga mengingat Tuhan untuk menyalahkan-Nya.
"Tuhan, Kau lupa padaku?" bisik Hinata di tengah suara guyuran shower yang menerpa tubuhnya dan kemeja yang melekat di tubuh kecilnya. "Tuhan tak mungkin lupa Hinata," katanya dengan suara yang keras. "Tuhan hanya sedang mengujimu."
Lalu hening.
Kehampaan selalu menemani Hinata dimanapun dia berada, termasuk saat Hinata bersama dia yang menawarkan kehangatan dengan sebuah kehampaan.
Hinata jatuh terduduk. Jika saja air matanya tidak kering, Hinata ingin menangis.
Namun air matanya telah kering, setelah Hinata merasa tubuh ini kosong oleh jiwanya sendiri.
.
.
"Gomen, Niisan."
Dia terdiam. Suara itu masih terdengar jelas di telinganya. Matanya terbuka sedikit dan dia jatuh semakin dalam. Suara gelembung, perasaan dirinya yang terjatuh dengan kepala duluan. Sinar aneh yang meneranginya semakin menjauh, semakin sulit untuk lepas dari kegelapan yang menarik dirinya.
Tapi dia tak peduli. Toh dia memang berniat membiarkan tubuhnya ditarik kegelapan, membiarkan tubuhnya menjauh dari suara terkasih yang terus melontarkan maaf sekalipun dia telah mengatakan bahwa tak ada yang perlu dimaafkan.
Memang tugasnya untuk melindungi yang terkasih bukan.
Dia kembali menutup mata. Kilauan hijau dan merah tak lagi terlihat. Dia tersenyum dan semakin menyerahkan dirinya kepada kegelapan yang menariknya kuat.
"Tunggulah aku."
Dia akan merubah semuanya.
.
.
Hinata lagi-lagi mendapat teror. Mereka marah karena Hinata menghilang dari bilik tempat Hinata seharusnya berada. Hinata tak menatap mereka datar tanpa berniat membantah atau menjelaskan sesuatu.
Dia melihat Hinata yang dikerubungi tiga perempuan bertampang menyedihkan sebelum kembali melanjutkan perjalanannya tanpa berniat menyelamatkan Hinata dan Hinata sama sekali tidak kecewa akan sikapnya.
Bukankah Hinata sudah bilang ini adalah hal yang biasa?
Mereka dengan terang-terangan menarik kasar Hinata, tapi Hinata tidak mengaduh. Berpasang-pasang mata menatapnya tanpa ada niat membantu Hinata, tapi penuh dengan minat untuk membantu mereka bertiga yang mengerjai Hinata. Malah ada yang terang-terangan melempar telur dari arah belakangnya.
Bukannya takut atau apa, Hinata malah merasa sayang karena orang itu – entah siapa – malah membuang-buang telur hanya untuk melemparinya dan bukannya mengubah benda berbau anyir itu menjadi sesuatu yang enak dan mengenyangkan perut.
Mereka menarik Hinata ke belakang sekolah. Sepanjang jalan orang-orang bersorak riang, berbisik-bisik kasihan atau malah tidak peduli sama sekali. Para guru hanya menatap sekilas dan menganggap tak ada yang terjadi. Hinata tahu sekolah yang ditempatinya adalah sekolah yang memuakkan! Satu sekolah telah menargetkan sasaran untuk dijadikan bahan pelampiasan orang-orang yang ada di sana – termasuk para guru. Hinata malah pernah mendapat pelecehan dari guru kesenian mereka, jika menggambar muridnya dengan tanpa pakaian dibilang melecehkan.
Dan seperti biasa dia tak menolong Hinata, hanya berdia diri entah di mana dan baru muncul ketika Hinata menyerah untuk mempertahankan wajah datarnya dan mengatakan satu kata yang sudah sejak lama Hinata buang dari kamusnya.
"Kau semakin lama semakin menyebalkan!"
Kalau memang membosankan, lantas kenapa mereka masih sering mengerjai Hinata?
DUG!
Satu kaki mendarat di bahu Hinata dan mendorong tubuhnya membentur dinding. Hinata sedikit menngaduh dan mereka tertawa dan semakin menekan kaki mereka. Saat Hinata berhenti mengernyit karena sakit, mereka akan menjambak rambut Hinata dan membantingnya seolah Hinata adalah barang yang tak bernilai.
Well, Hinata memang 'barang' pelampiasan di sekolah ini sih.
"Sakura! Dia tak mengatakan apapun lagi!"
"Mungkin dia sudah kebal Ino, Sudah kubilang kita harus mengerjainya dengan cara yang lain, yang lebih dari biasanya!"
"Tapi aku gak tega, Sakura-chan... Lagipula ada peraturan sekolah untuk tidak mengerjai sampai korban tidak bisa bergerak kan?"
"Kau lembek dan taat aturan Tenten, itulah yang kubenci padamu!"
"Tapi –"
"Wah... Wah... Wah..."
Suara itu menginterupsi perbincangan mereka bertiga. Hinata kenal suara itu dan itu membuat Hinata mendongak, memastikan bahwa orang yang telah menginterupsi obrolan tiga perempuan yang sering menyakitinya adalah 'dia' yang memberikan kehangatan pada Hinata.
Namun Hinata salah.
Dia tidak pernah tersenyum selebar itu. Dia juga tidak mempunyai kulit sepucat itu. Ditambah, dia tidak memiliki warna dan gaya rambut seperti itu.
Tapi suara dan gaya berjalannya persis sekali seperti dia.
"Apa yang akan dan telah kalian lakukan kepada 'okaasan'-ku huh?"
Hinata mengerjap. Mereka bertiga saling menatap.
"Siapa kau?"
Dia, seorang pemuda esentrik yang saat tersenyum tak memperlihatkan iris matanya berhenti tersenyum. Pupilnya sedikit terbuka dan untuk pertama kalinya Hinata tersihir dengan sepasang mata yang berbeda warna tersebut. Dia menunjuk dirinya lalu menepuk kening.
"Aku lupa mengenalkan diriku!" katanya. Berjalan beberapa langkah lalu...
BRAK!
Si rambut Pink yang sedari tadi meletakan kaki kirinya di bahu Hinata terlempar menjauh dari tubuh Hinata. Si pemuda yang baru dikenalnya berdiri di depan Hinata, membuat semacam kekkai berwujud manusia.
"Namaku, Akiyama Fuyumi!" Pemuda itu mengenalkan dirinya, tak peduli dengan pekikan kesakitan Sakura dan kekagetan Ino dan Tenten. Ino dan Tenten mendekati Sakura, membantu Sakura yang merintih kesakitan. Pemuda yang mengenalkan dirinya sebagai 'Fuyumi' itu berdiri tegap. Kedua tangan dimasukkan ke saku celana dan tatapan matanya menajam.
Mereka bertiga terlihat mengerikan.
"Berani menjahati Hyuuga Hinata, kubunuh kalian!"
Hinata tak melihat raut wajah Fuyumi, tak juga merasakan bantingan dari pemuda itu. Tapi mendengar nada dinginnya yang sangat mirip 'dia' membuat Hinata yakin bahwa ucapannya akan serius dilakukannya. Mereka bertiga merinding sebelum lari terbirit-birit. Dan Fuyumi berbalik ketika mereka bertiga tak lagi terlihat.
"Syukurlah okaasan selamat!"
Hinata tak menolak ketika Fuyumi membantunya berdiri, membersihkan bahu Hinata dan lututnya yang sedikit lecet. Tak juga menolak Fuyumi memeluknya.
Namun Hinata segera melepaskan diri ketika tatapan dari 'dia' terasa olehnya.
Hinata menoleh ke kiri, dia, Sasuke ada di sana. Fuyumi juga melihat ke kiri dan tersenyum, tak begitu terganggu meski dia mengeluarkan aura tak bersahabat. Pemuda itu malah berlari menarik tubuh Sasuke dan mendekatkan dirinya ke samping Hinata. Hinata dan Sasuke saling berpandangan dan kembali mengalihkan perhatian ke arah pemuda yang berdehem minta diperhatikan.
Pemuda itu tersenyum.
"Eto... Mungkin ini agak terlalu mendadak bagi kalian, dan mungkin kalian tidak akan percaya ini, tapi aku tidak berbohong," Gaya bicara Fuyumi terlalu formal untuk anak seusianya. Apalagi ketika Fuyumi membungkuk dalam-dalam ke Sasuke dan Hinata yang jelas-jelas sebaya dengannya.
"Namaku Fuyumi. Margaku sekarang Akiyama, tapi dulu margaku... Uchiha."
Sasuke mengerutkan kening. Seingatnya tidak ada sosok ini di keluarganya.
"Aku adalah anak dari Hyuuga Hinata dan Uchiha Sasuke yang datang dari masa mendatang, salam kenal."
Kalau ini adalah lelucon, sesungguhnya itu lelucon yang tak lucu.
.
.
To Be continued
A/n :
Terbersit ide ini ketika saya merasakan perasaan yang aneh (?) anggap saja ini ide dari otak kacau saya. Bagaimana perasaan kalian saat membaca fanfict ini? Merasakan sebuah kekosongan? Kalau Ya, berarti saya berhasil! Kalau gak ya... berarti tinggal usaha di chapter dua. #Smile
Ok, Pertama saya mau mengucapkan maaf karena membuat Fict baru. Tangan saya gatel dan otak saya selalu dan selalu menulis yang baru. Maaf.
Lalu saya meminta maaf menyisipkan OC saya, ada alasan kenapa saya memakai OC seperti ini dan bukannya memakai chara yang ada. Tapi tenang saja, Chara yang ada tetap saya pakai kok, serius.
Jadi, boleh minta repiuw?
