\(^.^\) (/^.^)/
Disclaimer: Naruto Masashi Kishimoto
Warning: Shounen-ai, Typo (saya harap tidak ada). Don't Like Don't Read!
.
Pulang
Chapter 1
By: Uzumaki Arisa
Special fic for Arya Angevin's Birthday
.
\(^.^\) (/^.^)/
Ranjang reot itu berderit pelan ketika Naruto bangkit dari tidurnya. Buliran keringat mengalir deras dari dahinya, turun ke leher dan tenggelam di kaos dalam berwarna putih yang ia kenakan, membuat bagian atas kaos tersebut basah dan lengket. Sedangkan pikiran Naruto yang belum sepenuhnya sadar dari mimpi buruknya masih mengambang, berusaha mencerna bagaimana keadaan dan situasi di sekitarnya.
Menoleh ke sampingnya, terlihat Sasuke yang tertidur pulas—dengan tubuhnya yang hanya ditutupi oleh selimut. Suasana kamar sempit bercat krem yang remang-remang selain dari hawa dingin yang menyergap. Sepertinya tadi setelah mereka bercinta ia lupa tidak mematikan air conditioner-nya. Seberkas cahaya putih bulan purnama yang menggantung tenang mengintip dari bilik-bilik ventilasi. Namun kemudian cahaya itu hilang, tertutupi oleh awan yang lewat tanpa dikehendaki.
Tangannya menggapai-gapai celana yang tergeletak pasrah di lantai tanpa melihat, mengingat ia tidak bisa membedakan yang mana pakaiannya dan yang mana pakaian Sasuke karena suasana yang remang-remang. Begitu dapat, Naruto langsung memakai celana itu. Dan—ah! Seperti dugaannya, ia salah ambil celana. Ini celana Sasuke, begitu ia menyalakan lampu kecil di meja kecil samping ranjangnya.
Sekitar sepuluh tahun berlalu semenjak Naruto ke Amerika untuk kuliah dan bertemu dengan Sasuke. Setelah mengetahui perasaan satu sama lain akhirnya mereka memutuskan untuk hidup seatap di apartemen yang kecil dan kumuh ini. Memang pekerjaan Naruto sebagai dosen dan pekerjaan Sasuke sebagai arsitek lebih dari cukup untuk membeli sebuah apartemen yang lebih layak dari ini, ini tidak menjadi masalah selama setiap hari mereka masih bisa bertemu, itu yang terpenting.
Lebih jauh dari itu, sebenarnya ada satu hal yang sampai saat ini mengganjal hatinya. Menjadi momok di pikirannya.
Orang tua Naruto merupakan orang tidak punya, seorang petani miskin yang hanya mempunyai satu petak sawah. Berkemauan gigih dan pantang menyerah. Bahkan ibunya rela untuk menjual kalung emas pemberian neneknya hanya untuk memberangkatkannya kuliah ke Amerika, juga barang-barang antik milik ayahnya peninggalan keluarga dijual untuk membiayai kuliah Naruto. Mereka banting tulang kerja kesana-kemari, entah itu bekerja sebagai kuli bangunan atau sebagai pembantu pun dikerjakan, saking besarnya harapan ayah ibunya kepada Naruto. Mereka sangat menyayangi Naruto, tidak ingin hidupnya kelak akan seperti hidup ayah ibunya yang sengsara. Mereka ingin hidup Naruto enak, berkecukupan.
Masih ingat jelas di kepalanya bagaimana ketika ayah ibunya mengantar kepergiannya ke Amerika di bandara. Mata ibunya berkaca-kaca. Air mata menggunung di bawah kelopak, siap-siap jatuh kapan saja. Akan tetapi ibunya tetap menahan agar air mata itu tetap berada di tempatnya. Berulang kali tangan kurus milik ibunya itu mengusap kepalanya.
"Nak, jadi anak yang baik, ya. Yang rajin dan tabah, ibu dan ayahmu ingin kelak kau bahagia."
Naruto mengangguk, tenggorokannya tercekat, sakit menahan himpitan hebat di dadanya.
"Hanya dengan melihatmu pulang membawa gelar sarjana sudah membuat kami bangga,nak."
Suara serak ayahnya ikut menggetarkan dadanya. Ayahnya yang selama ini dikenalnya sebagai sosok yang kokoh dan berwibawa tampak tak berdaya di matanya. Gurat sedih begitu lekat di wajah tirus itu, dengan jakunnya yang naik turun menahan air mata.
Begitu pengumuman pesawat telah datang, Naruto kembali menenteng tas besar di bahunya, bersiap untuk naik pesawat, meninggalkan kedua orang tuanya. Air mata ibunya pada akhirnya tumpah juga, bibirnya bergetar hebat. Lengan kurus itu memeluk erat tubuhnya. Tidak hanya bibir ibunya, tubuh ibunya ikut bergetar.
"Nak, jadilah orang hebat." Berulang kali ibunya mengucapkan kalimat itu seperti mantra. Tersirat dari mata cekung milik ibunya yang basah oleh air mata sebuah harapan besar yang mulia. Lepas dari itu ayahnya juga ikut memeluknya. Tangan besar milik ayahnya mengusap punggungnya. Dari bahunya dapat Naruto rasakan dagu ayahnya bergetar, kemudian terasa hangat. Ayahnya juga meneteskan air mata.
"Kabulkanlah permintaan ibumu, nak." Perkataan pendek yang begitu mengena yang keluar dari mulut sang ayah membuatnya secara langsung mengangguk patuh.
Besarnya keinginan dan angan-angan orang tuanya yang dijatuhkan kepada dirinya menjadi sebuah pengingat mutlak bagi dirinya jikalau ia malas belajar saat kuliah. Selagi masih ada waktu walaupun itu tidak banyak, Naruto gunakan sebaik mungkin untuk bekerja sambilan entah itu di supermarket sebagai kasir, atau sebagai tukang angkat barang. Bagimanapun juga ia di sini tidak boleh berpangku tangan hanya dengan belajar, tetapi juga mengumpulkan uang untuk membiayai sebagian biaya kuliahnya. Naruto tidak mau terlalu membebankan semuanya kepada orang tuanya.
Pernah orang tuanya menelepon dirinya. Kala itu musim dingin di Amerika. "Nak, sawah kita yang cuma sepetak itu sekarang sudah menjadi milik orang lain. Tapi toh itu tidak menjadi masalah selama kau masih bisa kuliah. Apalagi kalau kau sampai dikeluarkan dari kampus gara-gara tidak bisa membayar. Ayah dan ibu tidak akan membiarkan itu sampai terjadi. Kami akan berkerja lebih giat lagi, kalau perlu rumah akan kita dijual."
Mendengar suara lirih sang ibu yang sarat akan keletihan sehabis bekerja, Naruto menambah ketekadannya untuk menjadi mahasiswa yang perprestasi. Berbagai perpustakaan yang tersebar di kota Naruto datangi, dan berbagai dosen juga telah ia datangi. Harus mencapai nilai tertinggi, itulah tujuan puncaknya! Dengan cara itulah suara lirih ibunya tidak akan terdengar lagi di telinganya.
Hingga menjelang kelulusannya sebagai sarjana tiba. Predikat sebagai mahasiswa berprestasi telah Naruto kantongi. Tawaran dari universitas untuk menjadi dosen juga telah ia terima. Sayang orang tuanya tidak bisa ikut menyaksikan pengukuhannya karena tidak ada biaya untuk terbang ke Amerika. Sekarang Naruto siap untuk pulang dan membuat bangga orang tuanya! Membawa serta orang tuanya untuk menetap di Amerika. Tidak perlu bersusah payah berpanas-panasan mencari makan. Membiayai kehidupan orang tuanya sebagai baktinya yang telah berhasil mengkuliahkan dirinya sampai sarjana.
Tetapi, niatnya itu urung ia lakukan. Beberapa jam sebelum keberangkatannya ke kampung halaman untuk menjemput orang tuanya, ayahnya kembali menelepon dan menanyakan perihal apakah dirinya yang telah menikahi seorang pria di Amerika itu benar atau tidak dengan isak tangis ibunya yang terdengar samar di samping suara ayahnya yang kukuh meminta penjelasan di telepon. Ayahnya bilang kalau Kiba yang menceritakan hal itu semua. Suara tegas ayahnya yang menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan menohok begitu menyakitkan. Naruto hanya diam. Terpekur. Hanya mendengar suara ayahnya yang bergema di gagang telepon yang ia pegang dan suara isakan ibunya yang makin terdengar sendu.
Kemudian Naruto mematikan jaringan telepon itu secara sepihak.
Seharian itu Naruto habiskan dengan menangis di pelukan Sasuke.
\(^.^\) (/^.^)/
To Be Continued
\(^.^\) (/^.^)/
A/N: Dari pada telat seperti tahun lalu, lebih baik mengawali :P #plak Selamat ulang tahun sayangku~ Semoga semua kebaikan datang menghampirimu :) Dan maaf kalau Camera Cellularnya belum bisa tamat tepat waktu, rencananya akan aku publish selang-seling dengan fic ini.
Sekali lagi, happy birthday,say! \(^.^\) (/^.^)/ \(^.^\) (/^.^)/ \(^.^\) (/^.^)/
