All characters are belong to Masashi Kishimoto

But the story is mine

.

.

.

Black List

prolog

Aku membuka mata. Cahaya menyilaukan dari langit-langit ruangan ini membuatku spontan memejamkan kembali kedua mataku. Pelan-pelan aku mengintip. Mengerjap-ngerjap agar indera penglihatanku terbiasa dengan silaunya. Setelah satu atau dua menit barulah aku bisa melihat jelas ke sekeliling ruangan. Kupikir tempat ini adalah sebuah kamar rumah sakit. Bau obat yang paling membuatku tidak tahan itu tidak bisa menipuku―bau khas rumah sakit. Dinding ruangan ini dicat warna biru lembut. Tirai yang menutup jendela hampir sama warnanya dengan dinding namun satu tingkat lebih gelap. Di luar sepertinya sudah malam―lewat tengah malam, saat kulihat jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul dua lewat sepuluh menit.

Mataku tertuju pada ujung kakiku yang terjulur, tertutup selimut, hangat. Aku sedang berbaring di atas tempat tidur. Barulah pada saat ini aku merasakan sakit di sekujur tubuhku. Leherku tidak bisa digerakkan. Sepertinya dibungkus dengan penyanggah. Aku tidak bisa menoleh. Dan bukan hanya leher, aku bahkan tidak bisa menggerakkan satu pun anggota tubuhku―kecuali jari-jari tanganku. Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Aku sedikit terkejut mendapati seorang pria tengah duduk bergeming di atas bangkunya, di depan pintu kamar, satu-satunya akses keluar-masuk ruangan ini. Kelihatannya pria itu tertidur. Wajahnya sedikit menunduk dengan mata terpejam. Kedua tangannya terlipat di dada, irama napasnya yang cukup keras terdengar teratur—oh, dia mendengkur. Kuperhatikan jaket kulit hitam yang dipakainya, ada yang menyembul di bagian dada sebelah kiri. Aku tidak perlu berpikir lama untuk mengetahui bahwa itu adalah pistol. Pria itu seorang polisi.

Aku berbaring tak berdaya di kamar sebuah rumah sakit dan dijaga seorang polisi. Ada apa ini?

.

.

.

Jarum di speedometer menunjuk angka 120, dan aku belum bisa mendahului Mizuki. Sial! Tinggal beberapa kilometer lagi balapan ini selesai. Jika aku tidak bisa finis lebih dulu, maka tamatlah sudah. Aku tidak mau jadi budak Mizuki dan komplotan pengedar-narkobanya―aku tidak mau menyeret Itachi ke dalam lingkaran setannya.

Motor merah-hitam Mizuki hanya beberapa meter di depanku. Kutarik gas kuat-kuat. Jarum speedometer naik ke angka 140, 160, 180 ... Aku melesat cepat sekali. Belum pernah aku melaju secepat ini. Tapi usahaku hampir berhasil. Jarak motorku dengan Mizuki semakin pendek. Tinggal menambah sedikit kecepatan lagi, lalu finis. Benar. Sedikit lagi.

Ketika motorku berada di posisi sejajar dengan Mizuki, dia membuka kaca helmnya dan menyeringai padaku. Matanya berkilat aneh. Kepalanya mengedik ke arah belakang. Saat kulihat lewat kaca spion sesuatu yang membuatku penasaran itu, jantungku seolah berhenti berdetak saat itu juga. Datang menyusul sebuah motor lain di belakang kami dengan kecepatan di atas rata-rata. Motor hitam itu, helm hitam polos itu ... Itachi.

Tidak! Bagaimana Itachi tahu soal balapan taruhan ini? Tidak ada seorang pun yang tahu selain kedua pembuat pertaruhan―aku dan Mizuki. Mizuki yang memberitahukannya? Kurasa tidak. Si berengsek itu tidak perlu repot-repot memberitahukannya, karena Itachi selalu hampir bisa membaca pikiranku. Itachi tahu ada yang kusembunyikan darinya, dan dia pasti akan mencari tahu. Tapi malam ini aku tidak tahu apakah Itachi datang untuk memenangkan balapan, atau dia justru berniat menghentikan kami. Apapun itu, aku hanya ingin dia menyingkir. Ini pertarunganku dengan Mizuki. Aku tidak ingin Itachi ikut campur.

Aku baru akan memberi kode pada Itachi supaya dia mundur, ketika kecepatan motornya meningkat. Sudah kuduga itu sia-sia, Itachi tidak akan peduli. Motornya semakin dekat padaku. Sementara aku terus berusaha menjaga posisiku sejajar dengan Mizuki. Sulit jika begini. Konsentrasiku terpecah antara mendahului Mizuki atau mengawasi Itachi lewat kaca spion.

Tapi apa yang dilakukan Mizuki? Kecepatannya tiba-tiba menurun sehingga aku mampu melewatinya tanpa perlu menarik gas lebih kuat. Mizuki memasukkan salah satu tangannya ke balik jaket, kemudian mengeluarkan benda yang tak pernah kuharap dia membawanya. Pistol. Sepersekian detik kemudian aku tahu siapa yang menjadi sasarannya. Bukan aku. Spontan saja aku menurunkan kecepatan motor agar bisa mundur mendekati Mizuki. Melakukan segala cara untuk menghentikan niatnya.

Namun kejadian berikutnya berlalu begitu cepat. Seolah semuanya terjadi hanya dalam sekedip mata. Mizuki menembak Itachi seperti yang sudah kubayangkan. Meletuskan beberapa peluru. Dua kali yang pertama mengenai ban depan dan belakang motornya. Tembakan berikutnya lurus menembus kaca helm yang menutup wajah Itachi, tepat mengenai kepalanya. Tubuh Itachi terhempas ke belakang, tergelincir bersama motor hitam kesayangannya di atas aspal, berakhir dengan menabrak beton pembatas jalan. Motornya meledak dengan api yang berkobar besar, meninggalkan cairan hangat yang meleleh di pipiku.

Kepedihan menusuk jantungku begitu dalam. Aku benci diriku sendiri karena hanya menyaksikan kematiannya lewat kaca spion tanpa bisa melakukan apapun untuk mencegah semuanya terjadi. Itachi ...

Bahkan dalam kebisingan suara motor kami ditambah kencangnya embusan angin yang kami terobos, aku bisa mendengar suara tawa Mizuki. Dia jadi gila karena senang. Aku baru menyadari, membunuh Itachi adalah tujuan sebenarnya dalam balapan ini. Mizuki bisa memprediksi tindakan Itachi yang akan muncul menyusul kami. Mizuki memanfaatkan itu. Dan membunuh Itachi bukan rencana satu-satunya. Target berikutnya adalah aku. Sisa peluru di pistolnya akan dipersembahkannya hanya untuk jantungku, atau kepalaku bila itu lebih mudah.

Aku tidak keberatan. Lakukan saja bila kau suka itu, berengsek! Biar aku menyusul Itachi ke alam sana.

Motor Mizuki melaju lebih cepat hingga posisinya berada beberapa meter di depanku. Persis seperti yang dilakukannya pada Itachi, tangannya menjulur ke belakang, menodong ujung pistol―tepat menuju wajahku. Dalam hitungan sepersekian detik saja pelurunya akan memecahkan kaca helm dan menembus batok kepalaku, bersarang di otak, atau berhasil keluar menembus bagian belakang kepalaku. Sepertinya menyakitkan. Tapi tak ada yang lebih menyakitkan daripada hidup yang harus kujalani tanpa Itachi.

Tapi sebelum itu terjadi, sebuah truk kontainer pengangkut minuman datang dari arah kanan persimpangan jalan, dengan kecepatan tinggi dan tampaknya tak sempat mengerem. Klaksonnya berbunyi kencang hingga membuat telingaku berdenging. Dalam sekedip mata, kontainer itu menyambar Mizuki.

Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya kemudian, karena aku sendiri bersusah payah memutar motor menghindari tabrakan dengan bagian belakang kontainer. Di belakang kudengar decitan nyaring ban menggesek aspal dan suara tabrakan lain. Kurasa kontainer menabrak deretan toko setelah melindas habis Mizuki bersama motornya. Aku tak sempat senang memikirkan itu―kenyataan bahwa Mizuki mendapatkan balasan yang lebih indah atas perbuatannya padaku dan Itachi, juga teman-teman kami―karena sesuatu yang menanti di depanku tak bisa dihindari lagi. Jurang.

Aku tak sempat mengerem. Tidak. Aku tidak mau mengerem. Aku memilih kematian. Di alam yang lain, aku bisa bertemu Itachi. Sedangkan di sini, di dunia ini, aku hanya akan hidup sendirian selamanya, tanpa seseorang yang bisa memahamiku. Hidup dalam kehampaan, jadi tua, tanpa makna, hingga ajal sendiri yang menjemputku. Aku tidak bisa melalui penderitaan itu. Aku takkan sanggup.

Motorku menabrak papan pembatas jalan. Pagar besi itu tidak jebol, hanya pengok akibat benturan keras. Tapi aku dan motorku sudah pasti jatuh. Aku terlempar dari motor, terjun bebas ke dasar jurang, menjemput kematian, menyusul Itachi.

.

.

.

"Sakura ..."

Aku mendengar samar suaranya. Suara yang selalu penuh kelembutan setiap kali menyebut namaku. Tangannya membelai rambutku yang panjang terurai, menyingkirkannya dari wajah lelapku. Kurasakan jemarinya mengusap pipiku, turun ke dagu, menjalar ke lengan, kemudian menautkan kelima jarinya di sela-sela jari tanganku.

"Sakura," dia membisik lembut di telingaku. Desah napasnya mengembus hangat di wajahku.

Aku membuka mata, menangkap sepasang mata hitam dan seulas senyum dari bibir tipis di wajahnya yang tampan.

"Selamat ulang tahun, Sakura," ucap Itachi.

Aku bangkit duduk di tempat tidur, pura-pura tidak ingat tanggal.

Itachi tertawa sambil mengacak-acak puncak kepalaku. "Apa kau tidak bosan bertingkah seperti ini setiap kali ulang tahun?"

Aku hanya nyengir.

"Ada hadiah untukmu. Tutup mata, ya," kata Itachi.

Aku sedikit bingung tapi aku menurut saja. Belum pernah Itachi memberiku hadiah ulang tahun. Biasanya setelah memberi ucapan selamat dengan caranya yang tidak pernah sama dari tahun ke tahun, Itachi akan mengajakku jalan-jalan dengan motor kesayangannya ke mana saja aku mau. Meski hanya begitu, ulang tahunku tak pernah tidak bahagia. Semuanya berkesan dan tak terlupakan. Karena kado terindah bagiku adalah berada di sisinya.

Kupikir Itachi terlalu lama menyuruhku menutup mata. Aku hampir mengintip ketika kurasakan sesuatu yang dingin diselipkan ke dalam genggaman tanganku. Ketika aku diizinkan membuka mata, aku melihat sebuah kunci di tanganku. Kulemparkan tatapan meminta penjelasan padanya.

Itachi tersenyum. "Kau harus lihat sendiri, baru komentar," katanya.

Aku menyambut uluran tangannya dan lekas turun dari tempat tidur. Dia membawaku ke garasi sempit di lantai bawah. Aku belum melihat bayangan apapun yang mencurigakan dalam kegelapan ruangan ini, sampai Itachi menghidupkan lampu.

Seketika mataku dibuat melotot. Sebuah motor besar bermesin 500 cc yang belum pernah kulihat diparkir di sana. Kakiku melangkah mendekat tanpa tuntunan. Tanganku tergoda untuk menyentuh motor itu, menyusuri setiap lekukannya. Dia tampan sekali. Keseluruhan bodinya berwarna hitam metalik, mengilap, tanpa goresan. Desainnya kokoh dan tangguh, seperti seorang pria sejati.

Aku tergoda untuk menaikinya. Duduk di atas joknya yang empuk dan nyaman, memegang kedua stangnya dengan mantap, merasakan kekuatan motor ini menyatu dengan diriku. Kupejamkan mata. Membayangkan meluncur bersamanya di atas aspal dingin di malam hari, menikmati embusan angin yang bersiul-siul di telinga, mengejar rembulan yang tidak akan pernah bisa kami kalahkan. Sungguh pengalaman luar biasa.

Tapi aku kembali pada kenyataan. Pelan-pelan dan dengan sedikit berat hati aku turun dari Si Tampan itu. Tanganku mengelus bagian tangkinya yang mengilap memantulkan cahaya lampu garasi.

"Ini terlalu mahal," gumamku, masih mengelus tangki motor dan baru kusadari emblem yang seharusnya bertuliskan nama merk motor, justru terbaca sebagai Dark Angel―sebutan yang biasa dipakai kawan-kawanku untuk menjulukiku saat beraksi di jalanan. Aku berkata lagi pada Itachi, "Dari mana kau mendapatkannya? Jangan bilang kau ...," aku sengaja menggantungkan kalimat.

Itachi tertawa. "Kaupikir aku akan memberimu hadiah ulang tahun dari hasil merampok? Kau jahat sekali, Sakura." Dia melingkarkan lengan di leherku, pura-pura mau mencekikku, tapi kemudian dia menciumi sisi kepalaku dengan hidungnya, membuatku merasa bersalah telah berpikir seperti tadi.

"Maksudku, paling tidak ini senilai dengan biaya makan kita selama satu tahun," kataku dengan sedikit berhati-hati memilih kata.

"Aku tidak peduli dengan makanan atau apapun, asal bisa terus bersamamu," kata Itachi. Dia mengangkatku, mendudukkanku ke atas motor. Itachi menatapku dengan pandangan yang paling kusuka tiap kali dia melakukannya. "Kau tahu, motor dan jalanan adalah hidupku," katanya lagi. "Aku hanya ingin kau menjadi bagian darinya. Aku ingin terus bersamamu, Sakura."

Aku menatap lekat-lekat sepasang mata hitam bagai permata onyx milik Itachi. Saat itu aku tahu dia sungguh-sungguh. Kulingkarkan kedua lenganku ke lehernya. Berbisik, "Bukankah aku sudah menjadi bagian dari hidupmu?"

Itachi tersenyum. "Aku mencintaimu," bisiknya, membuat pipiku merona.

"Antar aku berkeliling," ajakku kemudian.

Aku memberikan kunci motor dan Itachi menghidupkannya. Bunyi mesin motor yang baru dinyalakan itu yang selalu membuatku jatuh cinta pada 'kuda besi'. Aku dibonceng Itachi. Duduk dengan nyaman, bersandar di punggungnya, melingkarkan tangan ke dadanya dengan erat seolah tak pernah ingin melepasnya. Kami melaju menerobos angin malam. Berpetualang dalam dunia kami sendiri; di mana hanya ada aku dan Itachi, kuda besi yang mengantar kami, jalan panjang tanpa ujung, keremangan cahaya lampu penerang jalan, dan keheningan yang terpecah oleh deru mesin motor.

Itachi bercerita bahwa motor hadiah itu dibelinya dari seorang kawan jauh. Bukan motor baru, karena Itachi memang tak punya uang sebanyak itu. Kemudian dia merakit mesinnya yang masih bagus dengan komponen-komponen yang tersimpan di gudang kami. Itachi memolesnya, menyulapnya menjadi motor baru. Dan memasang emblem nama julukanku yang dipesan khusus dari seorang kawannya yang lain.

"Kau suka?" tanya Itachi, sedikit menoleh padaku di belakang punggungnya.

"Ya, suka sekali," aku mengangguk. Kemudian kudengar Itachi mengatakan kecemburuannya, cemas bila aku lebih mencintai motor baru itu ketimbang dirinya. Kubilang dia baru saja terkena senjata–makan–tuan. Kemudian kami tertawa.

Kami berhenti di padang rumput di tepi sungai. Hal yang biasa kami lakukan, berbaring bersebelahan di atas permadani rumput yang lembut, saling menautkan jemari tangan, menatap ribuan bintang di angkasa yang menaungi kami. Aku ingin terus begini selamanya, terus berada di sisi Itachi. Karena aku akan selalu dilindungi, dicintai, dan dihargai. Hal yang tidak akan pernah kudapatkan dalam kehidupanku yang lama. Aku merapat ke sisi Itachi. Menyandarkan kepala di dadanya. Memeluknya. Membuatnya balik memelukku. Terselimutkan kehangatan yang ingin kunikmati selamanya. Tidak boleh satu hal pun memisahkan aku dengan Itachi.

Sekalipun itu Mizuki dan kawanannya. Aku sudah menemukan cara untuk menyingkirkannya. Aku akan memenangkan balapan taruhan itu!

bersambung


Ada yang suka dengan cerita ini?

Atau bingung? Haha, maaf. Saya cuma mencoba gaya menulis dengan alur mundur.

Ke depannya, cerita ini bakal penuh dengan sisi kriminalitas, misteri, dan sedikit bumbu romantika. Oh ya, meskipun saya menaruh fanfik ini di rate M, bukan berarti isinya bakal banyak lemon. Haha, maaf mengecewakan. Karena rate M tidak selamanya tentang erotika, kawan.

Tapi saya punya target untuk melanjutkannya, karena bakal sia-sia saya publish di sini kalo nggak ada yang suka. Seperti apa targetnya? Sekian banyak review, fav, follow? Something like that, tapi saya nggak akan umumkan ke kalian bagaimana atau berapa targetnya. Saya cuma mau liat respon kalian aja dengan cerita ini. Silakan beri kesan dan pesan kalian di kotak review.

Oke, thanks for reading!