Halo, sebelum kalian scroll lebih jauh, ada beberapa poin yang perlu kalian tahu. Ini fiksi yang kutulis sangat lama. Tahun 2015 sepertinya. Dan merupakan unfinished project yang baru sampe chapter dua malah gak dijamah lagi lmao. Castnya dulu Sehun x OC. Jadi kalau sekiranya ada yang pernah baca itu dulu, udah tahu ya kalau ini bukan plagiat ehe. Aku baru-baru ini mutusin buat balik menulis dan kurasa melanjutkan fic ini adalah ide bagus. Kedua, kalau kalian berharap baca cerita yang full of sunshine dan kisah cinta yang melulu bahagia dari awal sampe akhir, itu bukan sesuatu yang bisa kupenuhi. That's not how the world works :( Aku bisa janjikan happy ending tapi untuk mencapai happy ending itu, terkadang harus ada penghalangnya. Akan ada bagian di mana kalian benci sama Mingyu, Wonwoo, Junhui, atau siapa pun dalam cerita ini (termasuk aku) pada beberapa poin, karena karakter dalam cerita tidak akan selalu mengambil keputusan terbaik mereka. Kuharap kalian mengerti.
Kalau kalian sudah paham dan menerima note di atas, silahkan lanjut baca^^
.
.
Fake Tale of An Oxygen Thief
.
17 © Pledis Entertainment
Kim Mingyu x Jeon Wonwoo. Yaoi. Age!Gap. Older!Mingyu.
"I never saw you coming and I'll never be the same"
.
1
Jeon Wonwoo tidak suka berhubungan dengan orang baru. Merepotkan dan tidak ada untungnya sama sekali. Lagi pula dia adalah tipe introvert yang pada dasarnya benci bersosialisasi—kurang lebih. Karena itu saat smartphone dalam kantongnya berbunyi dua kali mengisyaratkan dua pesan baru dari sebuah messenger yang baru saja dia unduh, dia langsung mengakhiri obrolan dengan sebuah akun bernama KMG yang tidak dikenal. Wonwoo sama sekali tidak berniat melakukan percakapan sia-sia dengan orang asing. Jadi kenapa kau menguncuh aplikasi itu sejak awal? Dia sudah bisa membayangkan sahabatnya Junhui bertanya, tapi Wonwoo tahu dia tidak akan repot menjawab pertanyaan itu. Tanpa rasa bersalah Wonwoo mengembalikan smartphone ke dalam kantong. Hanya mengedik acuh saat Junhui melempar tanya dengan tatapannya.
.
Hidup Wonwoo itu membosankan. Tapi bukan jenis membosankan yang mengalir datar tanpa masalah. Melainkan membosankan yang membuatmu tidak ingin terlibat di dalamnya. Bangun begitu pagi hampir setiap hari dan duduk selama berjam-jam mendengarkan kuliah yang tidak jarang membuatnya ingin berteriak seperti gila. Saat tidak kuliah, dia pasti sedang mengerjakan tugas-tugas menyebalkan yang terlalu sulit untuk diatasi dirinya yang hobi bersantai—ini juga biasanya membuat Wonwoo ingin berteriak marah. Kata orang dia itu tidak tahu cara bersenang-senang. Tapi sungguh, satu-satunya cara bersenang-senang yang Wonwoo kenal adalah: membaca. 'Dasar manusia kuno salah jaman. Berhenti membaca buku terlalu banyak.' Junhui sering mengatainya begitu. Tapi Junhui bukan sesuatu yang terlalu dipedulikan Wonwoo. Karena bahkan tanpa komentar Junhui itu, Wonwoo sendiri sudah sangat jarang mendapat waktu yang cukup luang untuk menambah daftar buku yang sudah dia baca. Percayalah itu adalah salah satu hal paling menyebalkan selaku kutu buku tersertifikat.
Alasan-alasan di atas adalah apa yang menjadikan Wonwoo, Wonwoo. Yang selalu terlihat bad tempered dan tidak boleh diganggu. Memandang siapa pun dalam radius satu kilometer dengan tatapan menghakimi yang sangat khas. Akibat waktu tidur yang terlalu sedikit ditambah stress dari kuliah dan tidak ada kesempatan melakukan hobinya yang sebenarnya tidak terlalu sulit.
Siang itu Wonwoo sedang duduk di bangku taman mencoba sedikit merilekskan tubuhnya setelah kelas yang terasa terlalu lama. Duduk di kursi taman dengan routing sheet(1) setengah jadi tergeletak di sisi kanan dan headset menempel di kedua telinganya. Lagu dari grup Hiphop Epik High melantun dari alat itu.
Smartphone yang diletakkan di atas routing sheet bergetar sekali dan Wonwoo meraih untuk melihat pesan yang baru dia dapat. Kemudian hanya menekuk wajahnya ketika nama KMG muncul di layar pemberitahuan. Sama sekali tidak ingat pernah mengenalnya. Wonwoo meletakkan kembali benda persegi panjang itu dan melanjutkan relaksasinya sampai Junhui datang memanggil untuk mengikuti kelas berikutnya.
.
Masalahnya dengan Wonwoo adalah dia sangat antisosial—terlalu antisosial—dan hanya berbicara dengan orang-orang tertentu di kelas. Itu pun kalau 'basa-basi ringan saat terlibat dalam tugas kelompok dengan teman sekelas sebelum mereka tenggelam dalam kesibukan di depan laptop atau kertas-kertas gambar tanpa berbicara selama tiga jam penuh' bisa dihitung berbicara. Kalau itu tidak dihitung, berarti dia hanya berbicara dengan satu orang. Sahabatnya sejak masih fetus, Wen Junhui.
Saat musim dingin datang, Wonwoo kembali ke kampungnya, Changwon, untuk merayakan natal bersama keluarga. Seharusnya itu adalah liburan yang menyenangkan. Dipadati dengan aktivitas reuni dengan keluarga, teman-teman lama, atau semacamnya. Tapi nyatanya, Wonwoo segera bosan dengan kampung halamannya setelah minggu pertama.
Nyatanya Wonwoo tidak betul-betul memiliki teman untuk dikunjungi. Dia menghabiskan hampir seluruh harinya bermalas-malasan tanpa terlalu banyak aktivitas dan reuni. Hanya sedikit hal yang harus dilakukan. Untuk pertama kalinya dalam tahun itu. Dia tidak mengalami minggu yang terlalu sibuk, tidak dikejar tugas-tugas yang selalu membuatnya terjaga, dan menndapat sangat banyak waktu untuk melakukan apa pun yang tidak berhubungan dengan kuliah. Pertama kali dalam tahun ini Wonwoo tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Dia baru saja selesai menata ulang seluruh kamarnya untuk yang ketiga kalinya sepanjang seminggu lalu menenggelamkan wajah di atas kasur. Lengannya digunakan untuk menghalangi pandangannya dari langit-langit.
Wonwoo menelepon Junhui. Mereka berbicara selama dua menit, Wonwoo memberi tahu betapa dia bosan di rumah tanpa sesuatu untuk dikejar. Seperti deadline tugas misalnya. Sedikit menggerutu ketika Junhui hanya menertawainya dan mengatakan untuk mencoba sedikit hidup dan berkencan.
"Kau pikir semua orang sepertimu. Berpindah dari satu orang ke yang lain lain secepat busway."
"Wow. Aku tidak akan menyebutnya berpindah dengan cepat. Hanya masih berusaha menemukan yang tepat." Tawa renyah Junhui terdengar jelas dari ujung sana. "Kurasa aku harus segera pergi Won. Selamat natal untukmu sayang."
Wonwoo memutar bola matanya malas saat mendengar kata terakhir. "Yeah selamat bersenang-senang playboy. Selamat natal."
Junhui tertawa lagi beberapa saat dan mereka bergantian mengucapkan "Aku menyayangimu, asshole." sebelum akhirnya benar-benar memutuskan sambungan telepon.
Wonwoo menghela napas kasar. Ini tanggal 24 Desember dan dia tinggal sendiri menjaga rumah sementara orangtuanya pergi ke kencan natal mereka. Great. Bahkan dua orang yang sudah lewat umur itu masih bisa melakukan kencan malam natal. Dan lihat apa yang dilakukan Wonwoo sekarang. Semua temannya di kota ini tidak satu pun yang mau menghabiskan natal dengannya. Ingin merayakan dengan keluarga atau dengan kekasih. Hanya Wonwoo yang sendiri saat Christmas Eve. Seberapa pecundangnya dia.
Terserahlah. Dia akan menghabiskan malam ini dengan "bersenang-senang versi dia" yang melibatkan sekotak piza yang dipesan ibunya untuk dihabiskan sendiri dan beberapa buku favorit yang semua sudah pernah dibacanya. Memangnya siapa yang butuh teman di saat kau punya sekotak pizza dan setumpuk buku bagus?
Wonwoo membawa kotak piza dan sekotak Sunkist jeruk ke kamarnya. Mengganti bajunya ke piyama dan siap untuk menghabiskan malam natalnya yang menyedihkan.
Untuk beberapa saat Wonwoo menikmati momen kesendiriannya. Dia sedang tidur tengkurap sambil mengunyah potongan piza ketiganya dan sudah merasa terlalu kenyang―tapi dia tetap tidak berhenti mengunyah—sedang membaca novel kriminal John Grisham ketika smartphone di atas mejanya bergetar pelan. Wonwoo segera duduk meluruskan punggungnya sebelum dengan malas meraih benda yang kini layarnya menyala itu. Mungkin Junhui mengirim pesan hanya untuk mengolok-oloknya.
Wonwoo mengerutkan dahinya saat melihat dia mendapat pesan dari orang bernama KMG, bukannya Junhui. Dia tidak yakin, tapi merasa sudah melihat nama itu sekali sebelumnya. Wonwoo membuka pesan dari pemilik akun yang tidak dikenalnya itu.
KMG
Hei. Selamat natal. ;)
Begitu isinya.
Wonwoo tidak mengerti. Sama sekali tidak. Kenapa seorang yang sama sekali tidak dikenalnya harus mengucapkan selamat natal padanya? Dengan malas, dia melempar ponselnya ke atas kasur dan tidak lama membawa badannya menyusul ke atas kasur yang sama. Memilih mengabaikan pesan selamat natal dan tiga pesan lainnya dari pemuda itu. Yang termasuk di dalamnya "Selamat Halloween" sepertinya dikirim akhir oktober lalu, dan dua yang berisi "Hey".
Apa dia pernah mengenal KMG ini sebelumnya? Ah Wonwoo tidak tahu dan tidak peduli juga.
Sembari mengedikkan bahu, Wonwo mengembalikan mata ke bukunya. Membetulkan posisi kacamata dan menyerap satu demi satu kata yang tertulis di buku itu. Untuk alasan yang tidak Wonwoo tahu, tiba-tiba saja buku itu menjadi sangat membosankan. Mungkin karena dia sudah mengetahui seluruh plotnya. Atau karena KMG sudah membuyarkan moodnya. Pada akhirnya dia menyerah dan menutup bukunya lalu menatap sekilas pada ponsel yang tergeletak persis di samping tubuhnya.
Ah terserahlah. Tidak ada yang rugi kalau dia membalas satu dua pesan dari orang asing.
Jeon Wonwoo
Hei. Selamat natal juga.
.
Yang tidak diperkirakan oleh Wonwoo adalah bagian di mana satu balasan selamat natal kemudian berakhir menjadi percakapan sepanjang malam. Bahkan saat orangtuanya kembali dari kencan natal mereka—saat itu sudah lewat tengah malam—Wonwoo masih sibuk dengan ponselnya. Membalas setiap pesan dari pria asing berinisial KMG. Dan saat dia menerima beberapa pesan dari teman-temannya, termasuk Junhui yang seharusnya sedang menghabiskan malam indah dengan kekasihnya, Wonwoo mengabaikan pesan-pesan itu. Berpura-pura tidak membaca pesan mereka dan melanjutkan berbalas pesan dengan KMG. Hanya dengan pria itu.
KMG berjarak lima jam jauhnya dari Wonwoo. Dan saat dia mengatakan lima jam, maksudnya bukan lima jam perjalanan dari rumah Wonwoo ke tempat KMG. Melainkan lima jam perbedaan waktu antara Korea dengan sebuah daerah bernama Samara di Rusia.
KMG seorang yang menyenangkan dan Wonwoo menyesal tidak membalas pesannya lebih cepat. Dengan Mingyu, Wonwoo berbicara dan berbagi rahasia seolah mereka sudah mengenal lebih lama meski kenyataannya baru satu chat panjang di natal yang seharusnya dilewatkan Wonwoo sendiri. Dan untuk pertama kalinya Wonwoo tidak keberatan terjaga sepanjang malam hanya untuk membalas pesan dari seorang pria yang berjarak lima jam jauhnya. Untuk pertama kalinya, Wonwoo mendapati dirnya tidak keberatan dengan sosialisai bersama orang baru.
.
.
Junhui terkejut saat mereka bertemu lagi dua minggu setelah pergantian tahun. Sama-sama kembali ke Seoul setelah liburan yang memberi mereka kesempatan rileks sejenak dari kuliah.
"Serious Won. Apa yang sudah terjadi?" Junhui bertanya sambil meraba seluruh wajah Wonwoo. Tidak percaya dengan matanya sendiri.
Wonwoo hanya mendengus dan menepis tangan Junhui dari wajahnya. "Tidak usah terlalu berlebihan Jun," balasnya singkat lalu berjalan menuju gedung kampus.
Junhui segera mengejar Wonwoo dan menyamakan langkahnya dengan sahabatnya. "Maksudku, apa ternyata liburan natal sebenarnya benar-benar membuat sedikit perubahan? Apa itu menyenangkan?"
"Sudah kubilang kau terlalu melebih-lebihkan." Wonwoo memutar bola matanya.
"Tapi wajahmu sangat cerah dan pipimu jujur saja merona. Apa sesuatu terjadi selama liburan? Laki-laki tampan?"
"Tidak. Hanya banyak-banyak bersantai di rumah."
"Pembohong."
Wonwoo mengedikkan santai. Dia menepuk punggung Junhui sebelum mengucapkan selamat tinggal dan memasuki kelasnya. Dan Junhui berani bersumpah kalau dia melihat Wonwoo tersenyum penuh rahasia sebelum menutup pintu kelas.
Junhui hanya diam memandang pintu itu tertutup dan menyembunyikan Wonwoo dari pandangannya. Pasti sesuatu telah terjadi selama liburan. Dan dia tidak bermaksud membiarkan Wonwoo lepas begitu saja dari ini.
.
"Ini alasan aku sangat membenci hidupku." Wonwoo berbicara sambil terus mengetik laporan di laptopnya. Dia dapat mendengar tawa renyah Mingyu—KMG mengaku itu adalah namanya―dari earphone yang menempel di telinganya.
"Ouw jangan berkata begitu. Pada akhirnya kuliah akan berakhir lalu kau akan bersenang-senang dengan hidupmu," ujar Mingyu.
Wonwoo mengerang keras. Sengaja supaya Mingyu mendengarnya. "Yeah yeah. Pria tua sepertimu memang sangat mudah untuk mengatakan hal seperti itu. Seolah kuliah itu sangat mudah."
"Hey aku hanya dua puluh enam tahun. Berhenti memanggilku pria tua." Protes Mingyu. Wonwoo tertawa. Mingyu tidak terdengar marah sama sekali. Sejak mengetahui perbedaan umur mereka yang cukup jauh―tujuh tahun penuh—Wonwoo sudah terus memanggil Mingyu dengan panggilan pria tua. Dan meskipun Mingyu selalu protes, tapi dia tidak benar-benar terdengar keberatan sama sekali.
"Maksudku, ayolah Paman. Kuliah itu benar-benar masa terburuk dalam hidupku sejauh ini. Aku hampir tidak pernah bersosialisasi." Wonwoo mengatakannya seolah-olah kalau bukan karena kuliah, dia akan banyak-banyak bersosialisasi. Tapi itu bohong.
"Hey itu tidak benar," sangkal Mingyu. "Buktinya kau sedang bersosialisasi dengan sesorang yang bahkan sangat jauh darimu. Tentu saja kau juga bersosialisasi dengan orang di sekitarmu. Dan berhenti memanggilku seperti itu. Kau membuatku terdengar jauh lebih tua."
Oh, Kim Mingyu. Seandainya saja kau tahu.
Wonwoo memilih mengabaikan kalimat terakhir Mingyu dan berkata "Kuharap aku bisa melewatkan saja bagian kuliah ini dan langsung menuju bagian dimana aku jadi orang kaya."
"Jangan konyol."
.
Setelah dua minggu selalu dibayang-bayangi oleh pertanyaan Junhui yang sangat penasaran dengan apa yang telah terjadi selama libur, Wonwoo akhirnya menceritakan semua kepada sahabatnya itu. Bagaimana dia sudah berbicara dengan Mingyu selama sebulan terakhir.
Junhui cukup terkejut. Karena itu bukan versi cerita yang dia pikir akan didengarnya. Dia sangat siap untuk menerima berita seperti Wonwoo bertemu dengan seseorang di kampung halamannya atau semacamnya. Geez, dia bahkan sudah mempersiapkan diri untuk tidak terkejut kalau misalnya cerita yang disimpan Wonwoo rapat-rapat selama dua minggu itu adalah bagaimana selama liburan Wonwoo akhirnya melepas keperjakaannnya.
Tapi ini sama sekali di luar imajinasinya dan Junhui sama sekali tidak siap mendengar berita ini. Karena demi sirip-sirip berlendir di ekor Neptunus—eew—Wonwoo sudah menjadi sahabatnya sejak lama. Mereka selalu bersama dari SD. Dan itu artinya sudah lebih dari dua belas tahun. Junhui tahu lebih baik dari siapapun juga di dunia ini bagaimana Wonwoo tidak peduli dengan segala sesuatu dan benci berbicara dengan orang baru dan sangat anti sosial. Sekarang dia berkenalan dengan seorang pria di internet, sudah berbicara dengannya selama satu bulan terakhir, dan sering melakukan skype—bahkan dia tidak pernah berskype dengan Junhui—apa ini semacam lelucon di awal April? Oh, ini masih bulan januari. JANUARI. Dan ini tidak lucu.
"Yang benar saja Won?" Junhui setengah berteriak—panik. Wonwoo harus membekap mulut sahabatnya itu paksa untuk meredam teriakannya. Karena perhatian seisi kafe tertuju pada mereka akibat teriakan Junhui yang tidak terlalu manly. Good on you, Jun.
Junhui terkejut. Dan panik. Sejujurnya terlalu panik.
"Apa kau sudah gila?" tuduhnya seraya mengawasi Wonwoo menyeruput kopi dinginnya.
"Kami hanya sekedar berbicara, Jun." Wajah Wonwoo tampak jengah.
"Tapi dia adalah orang Rusia―"
"Well, sebenarnya dia Korea. Hanya tempat tinggalnya."
"Yeah, aku tidak peduli. Kau tau, pemuda barat kebanyakan brengsek dan dia mungkin sedang mempermainkanmu. Dan walaupun dia Korea, siapa bilang dia bukan komunis?"
"Mingyu bukan orang seperti itu Jun dan kau bersikap rasis sekarang ini." Wonwoo merotasikan matanya malas. "Lagipula kubilang kami hanya berteman."
"Aku tahu. Aku tahu. Tapi berteman dengan sesorang dari internet itu agak―"
"Berbahaya." Wonwoo menyeringai. "Tenang saja, aku bisa menjaga diriku."
Junhui sama sekali tidak tenang. Dia khawatir. Sangat khawatir. Tapi dengan enggan dia meraih gelasnya dan menyeruput seluruh isi gelas itu dengan cepat. "Berjanjilah untuk berhati-hati. Dan jangan pernah meladeni saat dia berbicara mesum."
"Tentu saja."
"Bagus." Junhui tersenyum kecut.
.
Wonwoo berusaha menghubungi Mingyu begitu dia kembali ke apartemennya setelah pembicaraan dengan Junhui. Entah kenapa dia merasa sangat kesal mengetahui Junhui tidak begitu suka mengetahui Wonwoo berhubungan dengan Mingyu. Apa yang salah dengan berteman dengan Mingyu? Junhui bahkan sama sekali tidak tahu Mingyu. Tapi Wonwoo tahu. Dan dia mengenal Mingyu. Mereka berbicara hampir setiap hari sejak akhir Desember. Mingyu sangat dewasa dan baik. Dia sama sekali tidak pernah mengatakan atau melakukan hal yang tidak sopan selama pembicaraan mereka kalau itu yang sahabatnya khawatirkan. Wonwoo berbagi masalahnya dengan Mingyu. Dan Mingyu selalu peduli. Dia mendengar setiap perkataan Wonwoo tanpa sekali pun lupa dengan apa yang sudah dikatakan oleh Wonwoo dan kapan. Hal yang tidak pernah dia dapat dari orang lain. Mingyu adalah pria baik. Wonwoo jamin itu.
Setelah tiga kali mencoba mencapai Mingyu dengan Skype dan tidak mendapat respon, Wonwoo memutuskan mungkin saat ini dia sedang bekerja. Jadi dia hanya meninggalkan pesan via messenger.
Jeon Wonwoo
Ingin bicara denganmu.
Ini hari yang menyebalkan.
.
Mingyu menelepon Wonwoo pukul sepuluh malam. Wonwoo baru selesai mandi dan bersiap untuk tidur. Dia membiarkan handuk menggantung di lehernya dan langsung berjalan ke meja belajar meraih smartphonenya. Wajahnya berubah cerah saat melihat id peneleponnya.
"Hei," sapa Wonwoo begitu menjawab panggilan Mingyu.
"Hei sweetie. Maaf aku baru saja kembali ke rumah. Ada apa?"
"Tidak ada. Hanya ingin bicara denganmu saja." Wonwoo tidak yakin apakah senyumannya bisa terlihat dari nada bicaranya.
"Oh. Kita baru saja bicara eemm dua puluh jam lalu. Dan kau sudah merindukanku?"
Wonwoo tertawa. "Bodoh. Aku tidak merindukanmu."
"Aku sama sekali tidak percaya itu."
Tapi bahkan Wonwoo sendiri tidak yakin apakah dia percaya dengan perkataannya.
Wonwoo merasa seperti lambungnya sedang dikocok dengan keras dan dia tidak suka itu. Jadi dia memilih untuk segera memutuskan sambungannya dengan Mingyu.
"Ah kurasa kita bicara besok saja. Sudah tengah malam di sini dan aku ada kelas pagi sekali besok."
"Aw kau tidak seru sama sekali." Mingyu terdengar kecewa.
"Haha bye. Aku akan menghubungi lagi besok."
Malam itu Wonwoo tidak benar-benar tidur dan hanya memandang langit-langit kamarnya. Sepertinya Junhui memang benar. Dia tidak seharusnya berhubungan dengan Mingyu dari dunia maya. Karena ini terasa semakin berbahaya.
.
.
Hari itu valentine. Wonwoo sedang duduk di depan TV dengan sekotak coklat yang dia beli untuk dirinya sendiri. Wonwoo langsung menolak ajakan Jeonghan―teman kuliah yang sebenarnya tidak terlalu dekat―untuk merayakan valentine bersama teman-temannya yang lain di bar lokal. Dia sendiri mengajak Junhui untuk menghabiskan valentine bersama di apartemennya sambil menonton Netflix. Karena hanya Junhui satu-satunya orang yang bisa ditoleransinya untuk bernafas di ruangan yang sama selama lebih dari dua jam. Mungkin mereka bisa bersenang-senang sambil memakan coklat yang sudah disiapkan Wonwoo sejak dua hari yang lalu. Tapi Junhui malah memilih merayakannya dengan gadis jurusan sastra yang baru ditemuinya minggu lalu di diskotik.
"Damn Junhui." Bisik Wonwoo kesal sambil memasukkan sepotong cake coklat ke dalam mulutnya. Dia sudah berencana untuk memecat pemuda itu dari daftar temannya yang sebenarnya sangat singkat.
Wonwoo menghabiskan dua jam memaki TV di depannya yang hampir seluruh saluran bertema valentine. Pasti seluruh negara ini bersama saluran televisi sedang berkonspirasi untuk membencinya. Pemuda penyendiri yang kesepian, tidak punya kencan di hari kasih sayang.
Wonwoo memaki lebih keras saat mendengar bel apartemennya yang berbunyi tanpa henti. Seseorang di luar sana pastinya sangat tidak sabar sampai membunyikan bel dengan tidak sabaran. Wonwoo setengah berharap itu adalah Junhui yang ditolak oleh gadis sastranya. Karena dia akan merasa lebih baik dengan begitu. Mengetahui kencan Junhui tidak berjalan lancar.
Tapi tidak ada Junhui di pintu. Dan Wonwoo hanya berdiri di sana. Terpaku menatap tamunya.
Seorang pemuda tinggi berdiri di depan pintu Wonwoo. Dan Wonwoo tidak yakin pernah melihat senyum selebar itu seumur hidupnya. Karena Wonwoo berani bersumpah dia bisa melihat seluruh gigi pemuda di hadapannya. Senyumnya sangat aneh dan rambut birunya yang sangat tidak cocok dibiarkan berantakan walaupun dia berpakaian rapi. Pemuda itu menggenggam dua buket bunga dan sesuatu yang dibungkus pink dengan pita merah di sudutnya. Wonwoo tidak mengenal orang ini.
"Hei kau pasti Jeon Wonwoo," ujar pemuda itu dan dia kembali membuka mulutnya lebar-lebar. Menunjukkan sekali lagi senyum bodohnya.
Wonwoo hanya mengangguk pelan. Masih tidak berhasil mengingat apa dia pernah berhubungan dengan si wajah senyum ini sebelumnya. Mungkin dia salah satu mahasiswa yang mengambil kelas yang sama dengannya tapi tidak cukup menarik perhatian Wonwoo karena Wonwoo tidak pernah peduli dengan orang di sekitarnya.
"Bagus. Aku senang alamat ini benar," ujar pemuda itu lagi seraya menunjukkan sebuah kertas bertuliskan alamat Wonwoo di atasnya.
"Baiklah." Wonwoo menjawab ragu. Matanya dengan aktif meneliti pemuda di depannya. "Dan kau ada di sini untuk…."
"Ah." Lawan bicaranya tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. Wonwoo takut senyuman itu bisa merobek pipinya sendiri. Apa itu mungkin terjadi? "Aku yakin kau mengenal seseorang bernama Mingyu."
Wonwoo mengangguk. Bagaimana dia tahu? Wonwoo mengerutkan kening, berusaha lebih keras menggali ingatan akan senyum pemuda di hadapannya. Senyum semencolok itu seharusnya bukan sesuatu yang mudah dilupakan.
"Well, dia adalah sepupuku. Dan aku di sini untuk mengirim sebuah pesan," kata si wajah senyum.
"Pesan?"
"Yap."
Mingyu selalu bisa mengirim pesan kepadanya. Wonwoo masih memiliki ponselnya. Kenapa harus menyuruh seseorang?
"Dan juga bunga." Wajah senyum menjulurkan salah satu buket bunga di tangannya kepada Wonwoo. Wonwoo bingung apa dia sebaiknya mengambilnya atau tidak. "Dia bilang selamat valentine dan berpesan agar kau bersenang-senang bersama temanmu atau semacamnya."
Wonwoo hanya berdiri menatap curiga pada buket di depan wajahnya dan pemuda dengan wajah senyum yang tidak dia kenal di hadapannya. "Aku… tidak yakin apa aku harus menerimanya atau tidak."
"Oh, ayolah. Ini dari Mingyu. Dan dia akan membunuhku jika tahu bunga ini tidak sampai padamu."
"Tapi aku tidak mengerti," balas Wonwoo masih tidak bergerak untuk meraih bunga yang diberikan pemuda itu. "Maksudku, kenapa dia harus memberiku itu? Dan lagipula bagaimana kau bisa menemukanku?"
"Seharusnya kau lebih tau alasannya." Pemuda itu mengedikkan bahunya dan itu sama sekali tidak membantu. "Dan yeah, sangat susah untuk menemukanmu. Kurasa aku hanya sedang beruntung karena ternyata kau adalah teman Junhui dan itu membuat segala sesuatu mudah. Dan aku bisa hidup lebih lama." Dia tertawa seolah-olah baru saja mengatakan lelucon terbaiknya. Orang yang sangat aneh. "Mingyu betul-betul akan membunuhku kalau tidak bisa memberikanmu bunga ini, kau tahu."
Pada akhirnya Wonwoo menerima bunga itu dan membiarkan si wajah senyum pergi tanpa bertanya lagi karena dia sendiri terlihat sangat terburu-buru. Mungkin ada wanita yang harus disenangkan dengan buket bunga yang satu lagi. Pemuda itu menghilang di balik tangga bersama senyum lebarnya. Dan Wonwoo memutuskan untuk menunggu Mingyu menghubunginya dan menjelaskan tentang bunga ini.
Wonwoo tidak mengerti kenapa Mingyu harus melakukan hal seperti ini. Dan dia lebih tidak mengerti kenapa jantungnya berdebar begitu kencang seperti siap meledak kapan saja.
.
"Dia apa?" Junhui hampir memuntahkan seluruh makanan yang sedang dikunyahnya saat Wonwoo tiba-tiba duduk di depannya dan mengatakan bahwa Mingyu mengirimnya bunga. Maksudnya, yang benar saja? Jika ini adalah lelucon lain sebagai balasan karena dia tidak mau menemani Wonwoo semalam, ini sama sekali tidak lucu.
"Kubilang dia menyuruh sepupunya untuk mengirimiku bunga." Wonwoo mengulangi perkataannya seraya mengambil potongan ayam dari piring Junhui. Pemuda itu segera menepis tangan Wonwoo dan membalas.
"Apa kau yakin kau kemarin tidak sedang bermimpi?"
"Nope."
Junhui tidak percaya. Dan dia lagi-lagi panik. Untuk yang kesekian kalinya sejak Wonwoo berhubungan dengan pria mencurigakan bernama Mingyu itu. Junhui hampir setiap kali mengalami serangan panik parah saat nama Mingyu terucap di tengah percakapan mereka.
"Bunga itu masih ada di atas meja saat aku bangun. Jadi bukan mimpi."
Junhui masih tetap menolak untuk percaya. Dan menatap pemuda di hadapannya curiga.
"Kau yakin tidak membelinya sendiri?"
Kali ini Wonwoo melotot―sedikit tersinggung―dan mencibirkan mulutnya.
"Kau kira aku sehopeless itu?"
Junhui ingin berkata ya, tapi dia mengatupkan bibirnya dengan rapat. Tidak ingin membuat Wonwoo menjadi lebih kesal lagi kepadanya. Sahabatnya sudah sangat marah karena dia menolak untuk merayakan valentine berdua. Meskipun sebenarnya Wonwoo tidak bisa menyalahkan Junhui. Memangnya siapa yang mau merayakan valentine di rumah menonton Netflix dan memakan coklat yang dibeli sendiri kalau kau bisa keluar dengan gadis cantik dan mendapat malam yang menyenangkan. Bukan Junhui.
"Kau tahu? Dia bahkan menelepon untuk memastikan aku mendapat bunganya. Dan aku ingat dengan jelas kalau orang yang mengantar bunga itu adalah salah satu dari temanmu yang terlalu banyak itu. Well, setidaknya dia mengaku begitu. Seorang pemuda tinggi dengan senyum aneh. Rambutnya biru dan dia tersenyum seolah-olah dunia ini tidak cukup kacau untuk ditinggali."
"Seokmin maksudmu?" Itu benar-benar terdengar seperti Seokmin.
"Tidak tanya namanya semalam." Wonwoo mengedikkan bahunya lalu dengan santai menjulurkan tangannya meraih makanan Junhui lagi.
Junhui ingat. Seokmin seminggu yang lalu memaksanya memberitahu dimana Wonwoo tinggal. Sekarang dia menyesal memberitahu si bodoh itu. Tapi lebih dari itu semua, dia khawatir dan sedikit takut. Pria bernama Mingyu ini, dia tidak menyukainya. Sama sekali tidak.
.
.
Jika Wonwoo harus mengakuinya, hubungannya dengan Mingyu sangat aneh. Dia tidak yakin dia begitu mengenal pria itu. Mereka berbicara hampir setiap malam. Dan saling mengirim pesan sepanjang waktu. Tapi dia tidak yakin apa arti dari bunga yang dikirim Mingyu atau saat Mingyu selalu bertanya "Apa kau merasa aku ini terlalu tua untukmu?" Juga semua kata-kata manis Mingyu.
Mereka tidak sedang menjalin hubungan spesial. Atau itu yang Wonwoo percaya. Tapi saat Mingyu memanggilnya "Baby", otaknya selalu berteriak memprotes Wonwoo yang tidak menyuruh Mingyu berhenti melakukan hal seperti itu meski itu terasa sangat benar bagi egonya. Sedangkan hatinya tidak sekalipun menolak panggilan itu. Seluruh tubuhnya berkonspirasi dengan hati dan memberontak kepada sisa-sisa logika yang masih dimiliki Wonwoo.
.
.
Wonwoo memutuskan untuk menerima bahwa dia sudah jatuh cinta pada Mingyu awal musim panas.
Frekuensi Wonwoo berbicara dengan Mingyu menjadi lebih banyak. Dia bertukar pesan dengan pria itu kapan pun dia bisa. Hampir tidak pernah tidur di malam hari, dan mengirim pesan kepada Mingyu bahkan di dalam kelas. Nilainya menurun drastis tetapi Wonwoo tidak memiliki waktu untuk mempedulikan hal remeh seperti nilai.
Dan dari semua hal, yang paling utama adalah dia berhenti berbicara dengan Junhui. Karena Junhui membenci hubungannya dengan Mingyu. Mereka tidak betul-betul berhenti berteman. Hanya saja Wonwoo terlalu sibuk dengan ponselnya setiap waktu dan Junhui berbicara buruk tentang Mingyu. Itu sedikit menghambat komunikasi mereka.
Wonwoo langsung mengadu kepada Mingyu tentang betapa menyebalkannya Junhui. Tapi melewatkan bagian bagaimana dia bertengkar dengan orang yang seharusnya adalah sahabatnya itu karena Mingyu sendiri.
"Kurasa kau harus memberinya waktu," ujar Mingyu menenangkan Wonwoo yang bercerita penuh emosi lewat sambungan telepon mereka. "Apapun masalah di antara kalian. Kalian masih terlalu muda dan sama-sama keras kepala. Kurasa pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Kau hanya harus bersabar."
Dan hanya itu yang dibutuhkan oleh Wonwoo. Suara Mingyu untuk mengangkat seluruh beban hatinya.
.
.
Musim panas berlalu. Wonwoo masih tidak berbicara dengan Junhui. Itu membuatnya frustasi. Dia tidak mengerti apa yang membuat Junhui begitu marah sampai dengan sengaja menghindarinya. Ya, Wonwoo sadar itu—sangat sadar—kalau Junhui sedang menghindarinya seolah dia wabah penyakit menular. Kalau ini semua adalah tentang Mingyu, maka Wonwoo merasa Junhui sedang bersikap kekanak-kanakan sekarang ini. Karena dia sama sekali tidak berhak untuk mendikte Wonwoo tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan.
"Dia betul-betul menghindar dariku." Wonwoo menggembungkan pipinya saat berbicara dengan Mingyu. Tidak yakin kenapa dia melakukan itu, karena Mingyu bahkan sama sekali tidak bisa melihat ekspresinya.
"Aku tidak mengerti," ujar Mingyu dari seberang sana. "Memangnya apa yang sudah kau lakukan sampai dia menjadi semarah itu? Apakah kesalahanmu separah itu?"
Berbicara denganmu. Tapi Wonwoo tidak mengatakan itu dan hanya menghembuskan nafas berat. "Dia hanya sedang bertingkah seperti bocah sekarang."
"Pasti ada alasan kenapa dia melakukannya."
"Tidak ada alasan. Dia memang seperti itu."
Wonwoo dapat mendengar Mingyu menghela nafas. "Baiklah kalau kau tidak mau memberitahuku."
Wonwoo hanya diam, tidak merespon.
"Kuharap kau lebih terbuka padaku."
"…"
"Aku akan merasa lebih baik jika aku bisa menghilangkan rasa sedihmu dan membuatmu tertawa."
Wonwoo benar-benar ingin bertanya apa maksud kalimat itu, apa dia mengandung arti lebih atau semacamnya? Tapi dia tidak bertanya dan membiarkan Mingyu membisikkan lebih banyak kata manis kepadanya.
.
.
Wonwoo merasa ingin mendorong Junhui ke jurang ketika akhirnya sahabatnya itu mendatanginya akhir oktober. Si brengsek itu tidak merasa bersalah sama sekali saat mengambil tempat duduk di sampingnya saat kelas kalkulus. Hanya mengangkat bahunya tidak peduli dan memperhatikan dosen mereka meski dia sadar Wonwoo tidak mau berhenti memandangnya.
"Akhirnya memutuskan untuk kembali padaku?" bisik Wonwoo menghilangkan keheningan yang menggantung di sekitar mereka.
"Dari awal aku tidak pernah pergi." Junhui membalas seraya mencatat di notebooknya. Dia tidak menatap Wonwoo.
"Yeah, hanya menghindariku dan bermain petak umpet seperti bocah SD."
Junhui menghentikan bolpoinnya dan beralih menatap Wonwoo. Dia mendapati sahabatnya yang tengah menatapnya tajam. Khas Wonwoo sekali.
"Kau yang mendorongku keluar." Junhui berkata dengan tenang.
"Apa? Kapan aku melakukan hal seperti itu?" Wonwoo berbisik kasar, jelas terlalu kesal untuk berbicara baik tapi terlalu takut untuk membentak Junhui di tempat itu saat itu juga. "Yang kulakukan setiap kali hanya mendengarmu sedangkan kau setiap hari mengeluh."
"Yah tentu saja kau tidak sadar. Terlalu sibuk dengan ponselmu setiap waktu. Dan maaf, kurasa kau tidak pernah mendengarku sama sekali karena seluruh perhatianmu selalu tercurah sepenuhnya pada Mingyu sialanmu yang bahkan tidak nyata itu."
Wonwoo ternganga mendengar apa yang baru saja diucapkan Junhui. Dia tersinggung. Hal itu jelas tergambar di wajahnya. Tapi Junhui tidak tampak seperti dia peduli tentang hal itu dan membalas melotot pada Wonwoo yang terlihat siap untuk memukul atau berteriak padanya.
Tapi Wonwoo tidak melakukan hal itu. Baiklah. Wonwoo memutuskan ini adalah akhir dari persahabatan mereka. Dia akan mengakhirinya secara resmi sekarang juga. Persetan dengan Junhui. Wonwoo menghirup napas panjang untuk menghentikan denyut nadi yang memompa terlalu kencang di bilik jantungnya. Dengan suara bergetar dia berusaha berkata "Aku tidak percaya aku pernah bersahabat dengan manusia sepicik dirimu."
Junhui tidak menjawab. Sebaliknya, dia memalingkan wajah dari Wonwoo yang terlihat seperti akan menangis kalau memang itu adalah air mata yang mengintinp dari ujung kelopak matanya. Wonwoo bukan seseorang yang cengeng, tetapi jika sesuatu benar-benar menyakiti hatinya dan jika sesuatu itu adalah hal yang penting, maka terkadang air matanya akan mengkhianati ketegarannya. Tetapi saat itu Junhui menolak percaya pemuda itu sudi menangis untuknya. Kalau benar Wonwoo menganggapnya penting, sahabatnya itu tidak akan mengabaikan nasihatnya yang ada di depan mata dan selalu berlari ke Mingyu yang tidak sekali pun bertatap muka secara langsung dengan Wonwoo.
"Aku senang aku berhenti berteman denganmu." Junhui berkata dingin. Tidak ada jejak emosi dalam suaranya.
Tapi itu sejujurnya menyakitkan. Sangat menyakitkan. Dan paru-paru Junhui terasa terbakar saat dia mengatakannya. Dan mungkin saja—mungkin—Wonwoo juga terluka sama buruknya seperti dia.
Dia tidak bisa menerima seorang pria Rrusia bodoh di luar sana bisa menghancurkan persahabatan dua belas tahun mereka.
.
Wonwoo merasa lebih buruk dari patah hati pasca berakhirnya persahabatannya dengan Junhui. Dia sudah mengenal pemuda itu sejak mereka masih menonton kartun dan membenci sayuran. Untuk betul-betul berhenti berkomunikasi sepenuhnya dengan Junhui adalah salah satu hal yang sulit untuk dilakukan. DIa tidak bisa bertahan tanpa Junhui. Karena itu jugalah dulu dia menolak kembali ke Changwon bersama orangtuanya dan menyewa apartemen kecil di Seoul hanya agar tidak berpisah dengan sahabatnya. Tapi mereka sudah berhenti berbicara sejak berbulan-bulan lalu. Jadi seharusnya ini terasa lebih mudah. Namun tetap saja dia merasa sedih, sangat sedih karena mereka benar-benar secara resmi mengakhiri persahabatan mereka.
Lalu sekarang bukan hanya natal dan valentine, bahkan april mop, halloween, dan St. Peter akan dihabiskannya sendirian tanpa Junhui. Tiba-tiba Wonwoo merasa rindu dengan ocehan-ocehan bodoh Junhui dan kenarsisannya.
.
.
Segala sesuatu berubah dari buruk menjadi lebih buruk. Jauh lebih buruk.
Tiba-tiba saja Wonwoo tidak bisa menjangkau Mingyu. Pria itu berhenti mengirim pesan dan tidak sekali pun mengangkat telepon dari Wonwoo. Tidak peduli seberapa banyak dan seberapa sering Wonwoo mengirim pesan, tidak satu pun dibalas bahkan dibaca oleh Mingyu. Seolah tiba-tiba saja Mingyu menghilang dari muka bumi.
Wonwoo merasa seluruh dinding hatinya runtuh.
.
Hal yang pertama dilakukan Wonwoo minggu pertama setelah Mingyu menghilang dari hidupya adalah berdiri di depan apartemen Junhui. Tapi saat itu pukul sebelas malam dan Junhui tidak ada di rumah atau sudah tidur Wonwoo tidak tahu. Dia menunggu di depan pintu Junhui. Karena rasanya terlalu sepi untuk menyendiri di apartemennya dan dia tidak tahu mungkin dia akan melakukan hal bodoh jika dia tetap di apartemennya sendirian. Wonwoo mengabaikan tatapan aneh tetangga Junhui yang berjalan melewatinya. Seorang pria tua bersama istrinya. Terserah apa yang mereka pikirkan. Wonwoo berniat menunggu Junhui.
Wen sialan Junhui itu muncul di apartemennya setelah pukul tiga dan Wonwoo sudah setengah tertidur serta kedinginan di depan pintu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Suara Junhui tenang menyembunyikan rasa khawatirnya. Karena dia masih marah dengan apa yang dilakukan Wonwoo tapi juga khawatir karena sahabatnya terlihat menyedihkan dan itu menyakitkan hati Junhui.
Wonwoo mengangkat kepalanya dan menatap Junhui dengan mata memerah. "Jun," erangnya pelan. "Brengsek, darimana saja kau? Apa kau tahu seberapa lama aku menunggu?"
Junhui memutar mata sebelum menjawab, "Aku tidak menyuruhmu menungguku." Kemudian mengalihkan perhatiannya untuk membuka pintu. "Mau masuk?"
Wonwoo mengangguk lemah.
.
Di antara wangi kopi dan coklat panas yang diseduh Junhui malam itu, Wonwoo hanya menundukkan wajahnya. Ingin mencurahkan seluruh isi hatinya tapi juga terlalu malu untuk melakukannya. Karena Junhui benar. Dari awal Junhui benar. Wonwoo tidak seharusnya memberi waktunya bagi Mingyu. Karena saat hatinya sudah terlibat seperti ini dan Mingyu menghilang, yang bisa dilakukannya hanya mengutuki keteledorannya untuk jatuh cinta pada kata-kata manis Mingyu.
"Apa dia menyakitimu? Bajingan itu?" Junhui yang memecahkan keheningan di antara mereka. Dari wajah Wonwoo dan bagaimana buruknya Wonwoo terlihat tadi di depan pintunya, Junhui tahu pasti Mingyu telah melakukan sesuatu sehingga Wonwoo menjadi begitu mudahnya membuang harga dirinya dan tidur di depan pintu Junhui. Karena memangnya siapa lagi yang akan mungkin melakukan itu?
Tapi hanya satu kalimat itu yang diperlukan segenap hati Wonwoo untuk tertumpahkan bersama coklat panas dalam gelas yang dijatuhkannya ke lantai sebelum dia menghambur ke pelukan Junhui dan menangis sekeras yang dia bisa—kalau sumpah serapah dan sedikit erangan menyakitkan bisa dihitung sebagai menangis.
Junhui tidak yakin apakah si brengsek Mingyu itu sebanding harganya dengan gelas yang dipecahkan oleh Wonwoo. Tapi dia membalas pelukan Wonwoo dan mengelus punggung sahabatnya itu lembut karena dia tahu Wonwoo membutuhkannya.
Di tengah raungannya, Wonwoo berusaha mengucapkan kalimat yang tidak begitu koheren tapi Junhui yakin dia mendengar kata "bajingan" dan "menghilang".
"Akan kuhajar si brengsek itu dimana dan kapan pun aku menemukannya." Junhui mengeraskan rahangnya seraya menatap marah pada kulkas di hadapannya seolah itu adalah Mingyu.
.
.
Saat itu akhir November. Wonwoo duduk di kursi taman tempat dia selalu berolahraga dengan Junhui setiap akhir pekan. Tapi karena udara terlalu dingin, mereka hanya sekedar berjalan-jalan saja. Merilekskan pikiran mereka berdua sebelum ujian akhir semester.
Wonwoo hanya menggunakan jaket tipis dan selembar syal yang menutupi lehernya. Angin musim gugur yang semakin hari semakin dingin membuatnya sedikit menggigil tapi Wonwoo tidak berpindah dari tempat duduknya karena si bodoh Junhui yang dipanggilnya sahabat itu—Wonwoo senang mereka kembali bersahabat—menyuruhnya untuk menunggu di kursi ini selama dia buang air di toilet. Si bodoh itu. Padahal tadi Wonwoo sudah menyuruhnya untuk tidak minum kopi terlalu banyak saat di kafe karena itu membuatmu ingin kencing berkali-kali. Tapi dia tidak mendengarkan nasihat.
Sekarang, Wonwoo harus menahan rasa dingin yang sudah menembus jaket tipisnya dan Junhui sangat lama untuk kembali.
Memutuskan untuk menghilangkan sedikit kebosanannya, Wonwoo mengeluarkan iPod dari sakunya serta menempelkan headset di telinga. Dia bisa menggunakan musik untuk membunuh waktu.
Wonwoo terpikir bagaimana dia begitu berubah dalam setahun. Tahun lalu dia sama sekali tidak mau keluar dengan Junhui karena udara dingin. Sekarang rasanya lebih menenangkan untuk berjalan keluar dan merasakan angin menyentuh wajahnya.
Tapi segala sesuatu sudah mulai kembali ke keadaan semula. Dia menghabiskan waktu lebih banyak dengan satu-satunya sahabatnya. Konsentrasinya diberikan sepenuhnya pada kuliah dan hanya sedikit video game bersama Junhui yang membagi perhatiannya. Kantong di bawah matanya sedikit demi sedikit menghilang karena tidak ada lagi seorang pria berkulit tan dengan taring yang menyembul manis ketika tersenyum dari belahan lain dunia yang mengirim pesan untuk membuatnya terjaga sepanjang malam.
Bukankah ini lebih baik?
Atau begitu Wonwoo pikir tadi.
Tentu saja kalau seluruh jagad raya ini tidak begitu membencinya.
Wonwoo menatap sekelilingnya untuk melihat apa Junhui sudah selesai dengan urusannya di toilet. Dan seluruh dunianya seolah runtuh saat dia melihat seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Melihat wajah itu lagi membuat hati Wonwoo serasa seperti soda yang dikocok brutal. Menunggu untuk memuntahkan banyak gas tidak terminum. Karena dia sangat mengenal kulit tan, senyum, dan taring itu dari begitu banyak video call dan skype yang mereka lakukan.
Mingyu terlihat lebih terkejut dari Wonwoo saat pandangan mereka bertemu. Pria itu berhenti berjalan ke arahnya. Wonwoo merasakan dorongan keras untuk melempar wajah tampan Mingyu dengan batu di bawah kakinya. Tapi mengurungkannya saat teman Mingyu menarik lengannya dan lanjut berjalan semakin dekat ke arah Wonwoo duduk.
Kemarahan dalam diri Wonwoo terasa mendidih saat dia melihat Mingyu berusaha memalingkan tatapan dari Wonwoo. Tapi dia yakin itu adalah Mingyu. Memangnya apa yang dipikir si brengsek itu sedang dilakukannya di Seoul? Setelah tidak menghubungi Wonwoo selama sebulan.
"Hei Mingyu," Wonwoo sengaja memanggil cukup keras untuk menarik perhatian perempuan yang berjalan di samping Mingyu. Wonwoo tidak peduli dengan ekspresi bersalah yang dipasang si pria. Tapi Mingyu membalas sapaannya.
"Hei Wonwoo," balasnya kaku.
"Eem jadi kau ternyata masih punya kenalan di Seoul," perempuan di samping Mingyu berbicara.
Ya, dan dia bahkan mengirimku bunga saat valentine. Wonwoo berkata dalam hatinya. Tapi dia hanya diam memandang wajah Mingyu yang jelas-jelas tidak ingin berada di tempat itu.
"Kau seharusnya saling memperkenalkan kami, Ming."
"Ah, ya. Tzuyu, ini Wonwoo dan Wonwoo ini Tzuyu." Masih kaku, Mingyu saling memperkenalkan Wonwoo dan gadis yang bersamanya.
"Hai Wonwoo. Senang bertemu denganmu." Gadis bernama Tzuyu itu tersenyum ramah. "Dan kau mengenal Mingyu…"
"Dia teman Seokmin." Mingyu berkata dengan cepat bahkan sebelum Wonwoo membuka mulut untuk menjawab. Wonwoo mengernyitkan kening, menatap heran kepada Mingyu karena pria itu tidak harus berbohong seperti itu. Wonwoo bahkan tidak tahu siapa itu Seokmin.
"Ah, sudah kuduga. Kau memang terlalu muda untuk menjadi teman sekolah Mingyu atau semacamnya." Tzuyu tersenyum lagi seraya mengulurkan tangannya pada Wonwoo. "Perkenalkan aku calon sepupu ipar Seokmin. Kekasih orang ini." Perempuan itu berbicara dengan ceria.
Oh.
Fucking Oh.
Saat dia dengan ragu mengulurkan tangan untuk membalas jabatan tangan itu, Wonwoo menyadari cincin berlian yang sangat mencolok di jari manis perempuan itu. Sementara Mingyu mengalihkan pandangannya ketika Wonwoo mengangkat kepala, mencoba mencari kebenaran dari wajah pria itu.
Wonwoo tersenyum getir pada dirinya sendiri. Dia tidak pernah merasa lebih bodoh dari sekarang. Selama setahun berhubungan dengan Mingyu sampai jatuh cinta. Dia pikir ada sesuatu di antara mereka dan inilah kenyataan yang ada di depan matanya sekarang.
Oh,dimana Junhui saat dia membutuhkannya untuk menghajar Mingyu?
.
.
.
TBC/END?
1) Routing sheet : tabulasi langkah-langkah yang dicakup dalam memproduksi komponen tertentu dan rincian yang perlu dari hal-hal yang berkaitan. Sering disebut juga dengan lembar proses atau lembar operasi. A.k.a Some Engineering shit.
Terima Kasih Banyak Arctic Monkeys buat Fake Tale Of nya dan Anonymous buat Oxygen Thief nya. Juga buat reader yang sampai mencapai bagian ini.
Sekarang aku bakal sedikit menjelaskan tentang fic ini. Ini sebenarnya lebih semacam pengantar ceritanya. Kayak pilot chapter but not really. Makanya chapter ini isinya dipadatin gitu cerita satu tahun. Awal perkenalan Mingyu dengan Wonwoo. Di sini Mingyu lebih tua dari Wonwoo, as you guys can see. Ini bukan ff angst tapi seperti yang kukatakan di atas, para karakter terkadang akan mengambil keputusan yang tidak begitu bijak di mata kalian dan bikin kalian gemas pengen ngutuk2 aku. Seokmin is an important part of the story. I don't hate Tzuyu dan yakinlah aku tidak akan buat dia jadi karakter yg bitchy or something similar to that. Mungkin akan ada JunHao tapi aku belum terlalu yakin karena aku masih sangat tidak familiar dengan JunHao but they're cute dan aku suka gemas liat mereka ;-; Wonwoo di sini mungkin sedikit out of character karena (lmao) dari mana aku dapat ide jadiin dia anak Teknik. Ugh, maafkan aku. Karena Teknik satu-satunya jurusan yang familiar bagiku dan bisa ku deskripsikan tanpa terlalu banyak ngaco, jadi aku bikin dia mahasiswa teknik :( Habis ku tak tau jurusan2 lain :( Oh dan satu lagi. baik Mingyu mau pun Wonwoo atau Junhui atau Seokmin atau siapa pun dalam cerita ini bukan orang yang sempurna. Mereka adalah protagonis tapi protagonis bukan selalu orang baik. Well, kalau kalian memperhatikan Pelajaran Bahasa Indonesia tentang karakterisasi, kalian pasti tahu apa maksudku. Intinya sih Wonwoo bukan seorang protagonis semacam lead character wanita di sinetron kebanyakan. Kalau dia disakiti, dia akan melawan. Kalau orang jahatin dia, dia bakal jahatin balik. Dia bukan orang yang pemaaf, melainkan yang bisa nyimpan dendam sampe bertahun-tahun. Dia adalah tipe protagonis seperti itu.
Untuk sementara, penjelasannya itu dulu aja wkwkwkwk. Apa kalian tertarik dengan fic ini? Kalau tertarik, biar dilanjut XD Kalian yang nentuin ini TBC atau end ehehehe
Kasih tahu pendapat kalian di kolom komentar. XOXO
