Disclaimer :
Naruto — Masashi Kishimoto
Royal Fiance —Kamon Saeko
The Prisoner of Love — Himeure
Genre : Romance, Hurt/Comfort, Drama
Pairings : SasuNaru, SD, SK, etc. (Masih dirahasiakan ;) )
Rated : M
Warning : Untuk pemanasan saya belom kasih lime/lemonade/asem #NOOO #WHY #Iknowwhatyoufeelbro
This is a fiction with rated M. So, don't like don't read :D You have been warned, bro!
Thank you and…Happy reading! :D
—I'm just a prisoner of love…Prisoner of Love…—
Utada Hikaru
Cuaca hari itu cerah seperti biasa. Sinar matahari tampak mewarnai indahnya pagi di Konoha. Seharusnya pagi itu menjadi awal yang baik untuk semua orang dalam melakukan rutinitas pagi mereka. Namun, sosok seorang pemuda berambut kuning itu tampak lesu di antara kerumunan orang yang menunggu kereta sesuai jadwal sampai akhirnya pintu kereta itu terbuka bersamaan. Sebentar-sebentar melamun, lalu menghela napas panjang. Ia pun hampir saja lupa untuk turun dari kereta saat tempat tujuannya diumumkan. Saat itu juga, Ia langsung melesat keluar sebelum pintu kereta tertutup kembali. Dadanya terasa sedikit sesak karena berlari, sehingga ia harus menarik napas panjang. Dengan wajah tertekuk, pemuda manis itu kembali melangkahkan kakinya menuju sekolahnya, Konoha Academy. Sekolah itu merupakan sekolah dengan tingkat kedisplinan yang tinggi. Tak heran jika pemuda satu ini merasa takut jika ia terlambat, walaupun hanya sekali saja.
Namun ia tak terlalu memperdulikan hal itu. Kepalanya sedikit tertunduk lesu. Entah sudah ke berapa kali pemuda ini meghela napas panjang sepanjang perjalanannya menuju sekolah. Ia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sampai akhirnya ia bertabrakan dengan tubuh yang lebih tinggi darinya.
"A-ano, gomennasai!" pemuda bertubuh tinggi itu hanya melirik sebentar ke arahnya. Kemudian dua pria besar lainnya segera mendekati pemuda yang terlihat seperti bangsawan muda itu.
"Apa-apaan kau?! Berani-beraninya menabrak Yang Mulia Sasuke! Cepat minta ma-"
"Cukup, hentikan. Biarkan dia. Aku tidak ingin terlambat sekarang." Titahnya.
Kedua pria besar itu terdiam sebentar, namun pada akhirnya mereka menggangguk bersamaan, "B-Baik Yang Mulia."
Meneguk ludahnya, pemuda berambut kuning itu hanya bisa terpaku di tempat. Kedua irisnya tak mau melepaskan sosok yang pergi meninggalkannya itu dengan angkuh. Lelaki itu tampan, sangat tampan malah. Walaupun ia tidak terlalu menyukai gaya rambutnya yang terlihat aneh itu. Akan tetapi, hal itu tidak mengurangi ketampannya sama sekali. Kalau tidak salah namanya Sasuke, kan? Jika ia benar, pemuda bernama Sasuke itu adalah seorang bangsawan. Ah, dia memang benar-benar tampan… Ah! Tidak boleh! Aku tidak boleh berpikiran seperti itu! Ada hal lain yang lebih penting sekarang! Cepat-cepat ia menggeleng-gelengkan kepalanya, bermaksud untuk menghilangkan pikiran bodohnya itu.
Kedua kakinya pun melangkah masuk melalui gerbang utama Konoha Academy dengan cepat. Kemudian, dirasakannya sebuah tangan yang memegang pundaknya tiba-tiba. Perlahan ia menoleh ke belakang dengan hati-hati—takut-takut ia mendapat masalah lagi pagi ini. Namun, ia justru menemukan seseorang yang dikenalnya sejak kecil.
"E-eh? Kiba!" teriaknya terkejut. Tepat dibelakangnya, seorang pemuda berambut coklat tengah tersenyum lima jari, dengan tampang yang sedikit acak-acakan yang ternyata bernama Kiba Inuzuka.
"Ohaaa, Naruto!" pemuda itu segera menyamakan langkahnya dengan pemuda berambut kuning di depannya.
"O-Ohayou, Kiba." Sapanya sedikit linglung. "Apa yang terjadi padamu, Kiba? Kenapa rambutmu jadi seperti angin puting beliung begitu?"
Bukannya menjawab, pemuda itu justru tertawa mendengar penuturan pemuda yang diketahui bernama Naruto Uzumaki itu.
"Nandemonaiyo! Ini hanya ulah Akamaru saja kok." Jawabnya tak tersinggung sedikitpun. Ia justru terdengar bangga dengan ulah anjing kesayangannya itu. Sementara itu, Naruto hanya bisa sweatdrop mendengarnya.
"Ya ampun, kau ini…Apa kata sensei nanti?" pemuda yang diajak bicara malah membalasnya dengan cengiran lebar.
"Hei, Naruto, tadi kulihat dari jauh kau terlibat dengan seseorang. Siapa dia?" Tanya Kiba penasaran. Yang ditanya hanya bisa mendengus sebal.
"Yah, begitulah. Aku hanya tidak sengaja menabrak seseorang. Kalau tidak salah namanya Sasuke." Jelas Naruto dengan perasaan enggan.
"Eh?! Sasuke?!" teriaknya tanpa sadar, hingga beberapa siswa lain memperhatikan mereka berdua. Naruto segera menutup mulut Kiba dan membawanya menuju loker sekolah.
"Kau tidak apa-apa kan, Naruto?" raut wajah Kiba berubah cemas. Dan itu membuat Naruto sedikit terganggu.
"H-ha'i. Doushita ne? " tanya Naruto heran.
"Ah, Yokatta~" Kiba menghela napas lega. "Sasuke itu seorang pangeran dari negeri Amegakure. Walaupun banyak anak dari kalangan bangsawan yang bersekolah di sini, tapi tak ada satupun yang ingin terlibat masalah dengan pangeran itu. Kudengar sih, pemerintah Konoha banyak berhutang pada negara itu. Tapi aku tidak tahu dengan kebenarannya secara pasti," jelas Kiba dengan berbisik.
"Ada kabar burung yang beredar bahwa pangeran itu sudah bertunangan dengan salah satu gadis Konoha. Setelah mendengar berita itu, banyak gadis di sekolah kita yang patah hati," tawa Kiba pun terdengar pelan.
Naruto berpikir sejenak. Pemuda manis itu merasa sedikit gelisah. Bukan karena ia merasa takut dengan pemuda yang bernama Sasuke tersebut. Tiba-tiba saja ia dikelilingi firasat buruk. Sulit untuk mengenyahkan pikiran buruk itu di saat masalah lain yang ia miliki masih mengganjal di otaknya. Namun, ia masih berusaha tetap tersenyum di depan pemuda yang merupakan sahabatnya sejak kecil itu.
"Daijoubu, daijoubu. Aku akan baik-baik saja, kok ."
Ya. Aku akan baik-baik saja.
-o0o-
Naruto meneguk tetes terakhir minuman kalengan di tangannya itu dengan terburu-buru. Wajah pemuda itu terlihat lebih cerah sekarang. Namun sedetik kemudian wajah itu berubah mendung. Setiap mengingat masalahnya sendiri, ia merasa otaknya tiba-tiba menjadi kosong. Ia merasa beban berat yang ditanggungnya tidak pernah berkurang. Minuman kaleng yang telah kosong itu pun jatuh dari tangannya. Pemuda itu menimbang-nimbang sejenak. Kemudian ia kembali meraih kaleng kosong itu dan meremasnya pelan.
Siapa yang tahu jika pemuda itu tengah merenungkan sesuatu di tempat favoritnya, yaitu atap gedung sekolah. Wajahnya yang tertekuk serta posisinya yang sedang bersandar pada pagar pembatas itu membuatnya seperti otaku suram yang selalu menyendiri. Kaleng kosong yang remuk itu kemudian ia lemparkan ke bawah hutan yang terletak di dekat dengan gedung sekolah. Kedua irisnya menatap lurus seiring dengan kaleng kosong yang bergerak jatuh ke arah semak belukar.
Flashback On
Bunga aster yang berada dalam vas bunga itu menari diantara hembusan angin yang berasal dari jendela kecil di ruangan putih itu. Sosok wanita paruh baya itu tersenyum damai sembari mengelus rambut pemuda yangtengah tertidur lelap di atas ranjang tempatnya berbaring. Pemuda itu menggunakan kedua tangannya sebagai bantalan kepalanya sendiri. Wanita itu tahu jika sang cucu pasti merasa kelelahan menunggunya bangun sejak siang tadi. Namun, gerakannya terhenti saat sang pemuda mulai terbangun dari mimpinya. Jari-jarinya lentiknya bergerak mengucek kedua matanya yg masih mengantuk.
"Ah, Tsunade Baa-chan. Kenapa tidak membangungkanku?" ujarnya setengah sadar. Wanita paruh baya itu masih tersenyum menenangkan. "Gomen, aku jadi ketiduran,"
"Iie. Sebaiknya kau kembali tidur," Wanita yang bernama Tsunade Uzumaki itu menggeleng pelan. "Kau kurang tidur, bukan? Sudah kubilang jangan terlalu memaksakan dirimu untuk bekerja seperti itu." Ia menyentuh wajah tirus Naruto dengan lembut.
Wajah Naruto merengut, "Aku tidak memaksakan diri, kok, Baa-chan! Baa-chan tenang saja. Aku pasti akan membiayai pengobatan baa-chan! Serahkan saja padaku!" Jawabnya sambil menaruh tangannya di dada, berusaha meyakinkan sang nenek.
Tangan yang terpasang infus itu bergerak pelan, membelai rambut sang cucu dengan sayang, "Aku mengerti. Tapi jangan lupakan sekolahmu juga. Aku tidak ingin kau kesulitan dalam pelajaran."
Naruto tertawan pelan. Senyuman lebar terkembang di bibirnya. "Tentu saja, Baa-chan. Aku janji!"
Sebuah senyuman dari sang nenek akhirnya membuatnya sedikit lega.
Flashback Off
Pemuda berambut kuning itu tersenyum miris. Kedua tangannya memegang erat pada pagar pembatas tanpa sadar. Naruto merasa kesal pada dirinya sendiri. Ia terlalu bodoh untuk mengakui kesalahannya sendiri.
Naruto telah begitu, ia hanya ingin membuat neneknya tetap tersenyum meskipun dalam keadaan sakit seperti itu. Dokter mengatakan sang nenek mengidap penyakit kanker rahim yang baru terlihat di usianya sekarang.
Usianya yang sudah terbilang tua itu tidak bisa lagi menanggung hidup keduanya lagi. Ditambah lagi dengan tubuh renta nya yang Naruto tahu sudah banyak menanggung beban berat hingga bisa membesarkan Naruto sampai sekarang. Naruto tentu saja sadar bahwa ia harus membalas kebaikan neneknya yang mau menerimanya sebagai cucunya-meskipun kedua orang tua Naruto telah meninggalkannya dengan percuma.
Naruto diliputi rasa bersalah yang amat sangat karena tidah mengacuhkan kesehatan sang nenek dulu. Oleh karena itu, ia melakukan kerja sambilan semampunya—yang tentu saja tidak akan bisa membiayai perawatan neneknya. Ia telah mengambil keputusan. Ia akan berhenti sekolah. Walaupun ia tahu, ia akan terlihat bodoh karena telah menyia-nyiakan beasiswa yang diberikan sekolah tersebut untuknya sebagai siswa teladan Konoha Academy.
Naruto tak punya pilihan lain. Ia harus bekerja demi kesembuhan sang nenek.
Gomenne, Baa-chan. Hontou ni gomenne….
Pemuda berambut kuning itu sama sekali tidak sadar jika seseorang memperhatikannya sejak tadi dari kejauhan. Ia masih tidak sadar, sampai ia mendengar sepasang langkah kaki mendekat ke arahnya. Ia pun menoleh. Kedua irisnya membulat seketika saat mereka bertemu mata.
"Apa?" katanya dengan tampang stoic yang masih bertahan di sana.
Naruto menggeleng keras, "T-Tidak," kedua irisnya segera menunduk. Ia ingat saat Kiba menjelaskan untuk tidak membuat masalah dengan pemuda yang ada di hadapannya. "Sebaiknya aku pergi." Ucapnya lalu melangkahkan kakinya menuju pintu keluar.
Namun, belum sempat Naruto melangkah sejauh dua meter, sebuah tangan menahan pergelangan tangannya untuk pergi. Tangan itu milik pemuda yang ditakuti oleh Naruto-Sasuke Uchiha.
"A-ano…,"
"Ah," Pemuda itu tampaknya baru sadar atas apa yang telah ia lakukan. Buru-buru ia melepaskan tangan Naruto. "Aku tidak bermaksud…." Ucapannya terhenti. Naruto pun menatap pemuda itu takut-takut.
"Em…jadi, apa kau ada perlu denganku?" Tanyanya hati-hati.
"…"
"Ano, ap-"
"Tidak. Aku hanya sedang ingin berbicara dengan seseorang. Apa aku mengganggumu?" Jawabnya to the point.
Naruto sedikit terperangah mendengar penuturan pemuda di depannya ini. Ia bingung mau menjawab apa.
"Emm…tidak juga. Apa karena pertunanganmu?" tanya Naruto penasaran. Pemuda stoic di depannya tampak terkejut. "Ah, maaf, aku hanya mendengar rumor yang beredar," ucapnya sambil membungkukkan badan.
"Yah, begitulah. Menikah dengan orang yang sama sekali tak kau kenal itu tentu saja menyebalkan." Ia mendekati pagar pembatas sembari menghela napas. "Dan orang itu langsung dipilih oleh kakekku. Tak ada yang bisa membantahnya." Kedua iris segelap malam itu tampak menatap langit biru di atasnya.
Pemuda berambut kuning disampingnya itu mengangguk paham. Sebuah senyum menenangkan melengkung lebar di wajahnya.
"Daijoubu. Aku yakin, orang yang menikah denganmu pasti orang yang baik. Karena kau sendiri juga begitu,"
Uchiha bungsu itu menoleh pada pemuda di sampingnya. Entah kenapa kegelisahannya lenyap seketika hanya dengan melihat Naruto tersenyum seperti itu.
"Hn. Semoga saja begitu."
-o0o-
Lonceng sekolah mulai berbunyi nyaring. Selesai mengucapkan salam kepada Hatake-sensei—guru matematika Konoha Academy tahun angkatan kedua—Naruto cepat-cepat bangkit dari kursinya dan memasukkan buku catatannya ke tas. Kiba yang melihat hal itu sontak menoleh heran.
"Kenapa kau buru-buru seperti itu, Naruto? Kau mau kemana?"
"Maaf, Kiba, sepertinya aku tak bisa menemanimu pergi ke toko buku. Ada kerja sambilan…"
Kiba tampak merengut. "Jadi aku pergi dengan siapa?"
Naruto tampak berpikir. Ia menggaruk-garuk kepalanya sebentar.
"Em, bagaimana ya? Kenapa tidak pergi dengan Shikamaru saja?"
Sedetik kemudian, wajah Kiba tampak memerah. Naruto memperhatikan kedua matanya yang gelisah.
"T-tidak mungkin! Orang itu kan lebih suka tidur daripada pergi ke toko buku…"
Wajah Kiba kembali merengut. Namun, sepertinya dewi fortuna sedang ini berbaik hati pada Naruto. Tiba-tiba seorang pemuda berambut nanas tampak berjalan masuk menuju kelas mereka.
"Shikamaru!" panggil Naruto pada pemuda berambut nanas itu. Shikamaru Nara menoleh dengan tatapan datar. Ia berjalan mendekati Kiba dan Naruto.
"Ada apa memanggilku?" Pemuda itu menguap lebar untuk ke sekian kalinya.
Cengiran lebar tampak di wajah Naruto. Ia melirik sebentar Kiba yang berada di sampingnya. Wajahnya sudah semerah tomat.
"Tolong temani Kiba hari ini ke toko buku, ya? Aku harus segera kerja sambilan. Aku mohon? Ya? Ya? Ya?" Pinta Naruto dengan puppy eyes no jutsunya.
Shikamaru mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa harus aku? Lagipula aku sedang malas menemani bocah manja ini."
Wajah Kiba merengut kesal. Ia segera membuang muka walaupun dalam hati ia ingin sekali menangis, "Aku juga tidak butuh ditemani olehmu! Lebih baik aku pergi sendiri saja! Ayo, Naruto, kita pulang!"
Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Padahal sebelumnya wajah Kiba tampak sedikit senang. Hah…apa boleh buat. Shikamaru memang seperti itu, walaupun ia tahu bahwa Kiba menyukainya sejak lama.
Namun sedetik kemudian, sebuah tangan menahan pergelangan tangan Kiba. Kiba menoleh ke belakang dan melihat tangan Shikamaru yang berada di sana.
"Baik, baik…aku akan menemanimu. Jangan membuat Naruto kesulitan seperti itu, dasar bocah." Ujar Shikamaru sambil mengacak rambut Kiba asal.
Kiba masih mempertahankan ngambeknya. Bibirnya mengerucut kesal.
"Kau sendiri yang bilang tidak mau menemaniku…"
"Iya, iya. Maafkan aku… Ayo pergi."
Naruto pun tersenyum maklum. Akhir-akhir ini Shikamaru mau menyanggupi permintaan Kiba walaupun terlihat ogah-ogahan. Hubungan mereka memang terlampau dekat. Mereka memang berteman sejak kecil—selain karena rumah mereka berdekatan, mereka memang selalu satu sekolah. Namun sepertinya perasaan Kiba hanya dianggap sebagai unrequited love saja. Kiba tahu jika Shikamaru hanya menganggapnya sebagai adik saja.
"Kalau begitu aku duluan ya. Jaa!" ucap Naruto pada Kiba dan Shikamaru yang masih sibuk berdebat. Kiba pun melambaikan tangannya sambil tersenyum maklum.
-o0o-
Pengunjung Café hari ini sepertinya semakin banyak. Hal itu tentu saja membuat Naruto lebih sibuk dari biasanya. Entah karena menu baru yang dibuat oleh Deidara-san—sang pemilik Café Deloux ini—atau karena karyawan baru bernama Sasori Akano yang mulai bekerja hari ini. Karyawan baru ini memang terlihat tampan—minus sifatnya yang tak terlalu ramah pada pelanggan. Selain itu, pembawaannya yang misterius, makin membuatnya terlihat cool . Di hari pertama ia bekerja, ia telah memiliki banyak fans wanita. Namun, tampaknya ia tak peduli dengan hal itu.
"Hah…Otsukaresama~"sahut Deidara yang ikut kelelahan membantu melayani pengunjung hari ini setelah Café itu tutup tepat jam 5. Baru kali ini Deidara yang biasanya terlihat semangat, tampak sangat letih dan berkeringat. Ia menyamankan dirinya di kursi café di dapur.
"Otsukare~"jawab Naruto setelah keluar dari ruang ganti. Sementara itu, Sasori masuk ke dapur café dengan sedikit berkeringat. Sepertinya dia sendiri juga kelelahan.
Deidara yang melihat Sasori masuk, kemudian menyapanya, "Ah, Sasori-san, terima kasih atas bantuanmu! Berkat dirimu café ini jadi lebih ramai!"
Sasori tak mengacuhkannya sama sekali. Ia menuju ruang ganti tanpa menjawab Deidara. Ia mungkin tidak terlalu peduli dengan pujian. Alhasil, Deidara pun merengut.
"Ano, Deidara-san…mungkin Sasori-san terlalu lelah, jadi ia tak mendengarmu." Ucap Naruto menenangkan. Deidara mengangguk meskit terlihat sedikit kesal. "Kalau begitu aku duluan ya, aku harus menemui Baa-chan."
Deidara mengangguk paham, "Titipkan salamku pada Baa-chan, ya? Katakan padanya aku akan menjenguknya weekend nanti." ujar Deidara pada Naruto.
"Baiklah, aku pergi dulu. Sampai ketemu besok!" ujar Naruto sambil melenggang pergi dari sana. Deidara balas melambaikan tangan dengan lemas.
-o0o-
Setelah menjenguk neneknya, Naruto pulang dengan berjalan kaki. Ia sempat merasa sedih karena harus kembali membohongi neneknya hari ini. Ia tidak bisa segera pulang seperti yang dia janjikan pada neneknya. Biaya operasi untuk neneknya terlalu besar dan uang yang terkumpul belum seluruhnya bisa menutupi biaya itu. Pemuda berambut kuning itu harus rela mengorbankan waktu belajarnya untuk bekerja lagi. Yah, ia mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah minimarket sampai tengah malam.
Sedikit melamun, kedua irisnya menangkap seorang pria paruh baya yang tengah memperhatikan sebuah rumah di depannya dengan bingung. Naruto yang merasa penasaran pun mendekati pria paruh baya itu.
"Ano, Oji-san…apa kau tersesat?" tanya Naruto hati-hati.
Pria paruh baya itu tersenyum, mengingatkan Naruto pada neneknya sendiri.
"Kurang lebih begitu. Apa kau tahu alamat ini?"
Naruto membaca alamat itu, mengangguk paham.
"Sepertinya saya tahu alamat ini. Saya akan antarkan Oji-san ke sana." Ucap Naruto balas tersenyum.
Setelah berjalan cukup jauh dengan diselingi obrolan santai, mereka akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup besar di sana. Mereka sempat saling berkenalan. Pemuda berambut kuning itu pun akhirnya tahu bahwa pria paruh baya di depannya ini bernama Uchiha Madara. Naruto sempat bingung dengan pria paruh baya di depannya. Sebenarnya siapa pria di depannya ini? Ia tidak terlihat seperti orang penting. Tapi, ya sudahlah… toh itu tak ada hubungannnya denganku.
"Ano, Madara Jii-san… Aku harus segera pergi sekarang. Apa tidak apa-apa?"
Madara terlihat heran, seperti hendak menahan pemuda berambut kuning itu.
"Ah–Arigatou, Naruto-kun. Maaf sudah merepotkanmu." Pria paruh baya itu balas tersenyum sambil membungkukan badan. Naruto jadi sedikit merasa tidak enak. "Em, apa kau sedang buru-buru? Apa aku menganggumu?"
Naruto cepat-cepat menggeleng, "Ano, sama sekali tidak Madara Jii-san. Aku harus pergi karena ada kerja sambilan. Gomennasai!"
Madara tampak mengangguk. "Aku mengerti. Maaf ya, telah menyita waktumu untuk menemani orang tua sepertiku," Ia tersenyum lebar hingga kerutan-kerutan di wajahnya kini terlihat jelas. Naruto hanya menggeleng sekali lagi.
"Aku sama sekali tak keberatan, Jii-san. Jii-san mengingatkanku pada nenekku."Ia tersenyum tulus. "Sayangnya, aku tak bisa terus-menerus menemaninya di rumah sakit," Lengkungan di bibirnya berubah menjadi tipis. Ia hanya bisa membatin bagaimana keadaan sang nenek di rumah sakit.
Madara tertegun mendengar penuturan pemuda di depannya. Sebagai orang tua ia mengerti kesulitan yang dihadapi Naruto. Tak banyak pemuda yang berkelakuan baik seperti Naruto di zaman sekarang ini.
"Naruto-kun, aku punya seorang kenalan yang membutuhkan seorang pelayan di tempatnya. Ini kartu namaku, " Madara menyerahkan kartu namanya pada Naruto yang tampak terkejut. "Kau bisa menghubungiku, jika berminat. Ini sebagai tanda terima kasihku hari ini."
Naruto masih memperhatikan Madara yang tersenyum tipis. Ia agak ragu untuk mengambilnya. Di zaman seperti ini, ia tidak boleh terlalu percaya pada orang yang baru dikenalnya, seperti kata neneknya. Tapi… mungkin kakek ini pengecualian.
Pemuda berambut kuning tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, terima kasih, Madara Jii-san!" Ia membungkuk hormat sebentar. Lalu, ia pun pergi meninggalkan Madara yang masih belum beranjak dari tempatnya sembari melambaikan tangan.
"Akhirnya…ketemu." Ucap pria paruh baya itu pada dirinya sendiri. Masih tersenyum, ia menatap langit yang berbintang. Menantikan esok hari agar lebih cepat datang.
I'm comeback with a rated M fiction :D
Just for fun, i guess... /jeduk
So...
R
E
V
I
E
W
Please~ :* :D
