Naruto milik Masashi Kishimoto
a fic by belivixx
.
PREVIOUS
.
Aku menatap pantulan diriku di cermin besar yang mengisi dinding di kamarku dan merasa tidak mengenal bayangan yang ada didalam cermin. Kudapati diriku menghela nafas dan mengacak rambut dengan gusar. Dengan gerakan malas, kuseret kembali langkah kakiku menuju walk in closed milikku.
Kupoles lipstik bewarna nude dibibirku lalu sedikit merapikan alis lagi. Sudahkah?
Ah sudahlah, peduli apa aku tentang penampilanku? Toh dengan ataupun tanpa make up, kupastikan diriku akan lolos di audisi itu.
Antrian ini tampak sangat membosankan. Kulirik satu persatu peserta yang memiliki tujuan yang sama denganku. Mereka tampak sengit. Itu yang terpikir olehku. Rasa takut dan gelisah pun mulai menjalar didiriku. Bisakah aku melakukan ini?
Setengah jam berlalu, akhirnya aku keluar dari ruangan yang menegangkan itu. Selesai sudah. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain berharap.
Setelah mendapatkan secangkir kopi dari mesin kopi, aku kembali menapakkan kakiku untuk menyusuri jalanan diantara pertokoan kota Tokyo. Aku menatap minat pada iklan yang terpasang disebuah toko buku tentang launching buku dari penulis terkenal. Ah aku tak sabar menantikannya.
Ponselku berdering menandakan sebuah pesan masuk.
From : Ino
"Sakura, berbaliklah. Kami dapat melihatmu dari cafe ini. Mantel coklat dan sebuah bandana hijau?Kau terlihat cute, join?"
Kemudian aku berbalik dan mencari-cari cafe yang dimaksud Ino. Namun sedetik kemudian, kusadari kopi yang kupegang telah berakhir mengenaskan dijalan ini.
"Maafkan aku."
"Ah tak apa. Aku yang kurang hati-hati, aku mencari temanku."
"Baiklah." Lalu orang tersebut kembali berjalan pada tujuannya.
Seseorang menepuk pundakku membuatku berjengit kaget.
"Ino!"
"Kau lama sekali, malah melakukan adegan drama bersama pria tadi. Cepatlah Sakura, disana ada Hinata dan Temari yang baru saja pulang."
Aku menatap Ino tak percaya. "Mereka di Jepang?"
Ino hanya mengangguk, dengan cepat kutarik tangan Ino menuju cafe yang dimaksudnya tadi. "Ayo."
Ini hari yang menyenangkan. Sangat menyenangkan.
Kuhempaskan diriku diatas tempat tidurku yang nyaman. Tanganku dengan lincah memainkan ponselku untuk melihat hasil foto kami tadi. Ini reuni yang tak terduga.
Aku teringat akan suatu hal, dengan cepat aku bangkit dan membongkar isi tasku. Sebuah buku bersampul kuning dengan judul bewarna hitam membuatku senang bukan main. Buah tangan dari Hinata yang tak diduga-duga merupakan buku yang selama ini kucari-cari.
Dering ponselku terdengar nyaring sehingga menghentikan aktivitas membacaku. Kuberi tanda dan kemudian menutup buku itu.
"Halo?"
Belum dua menit pembicaraan itu berlalu, kudapati diriku telah memeluk bantal dengan sangat erat.
.
.
"Bagaimana menurutmu Sasuke?"
Kulirik wanita yang duduk dihadapanku kemudian mengangkat bahu. "Sudah kukatakan berulang kali. Terserah Kaasan saja, akan kulakukan."
Tangan wanita itu dengan cepat menutup laptopku. "Sebuah pernikahan tanpa cinta tak ada artinya Sasuke."
Aku menyerah. Dan kemudian menatap ibuku dengan serius. "Lalu apa? Kalaupun aku menolak, Kaasan tidak akan membiarkannya kan?"
Ibuku tampak tertawa pelan. "Benar juga."
"Tolong biarkan aku bekerja."
"Baiklah Sasuke, minggu depan kita akan menemui gadis itu."
"Hn."
Aku menghela nafas lega setelah ibuku melangkah pergi meninggalkan ruangan ini. Kusandarkan punggungku disandaran kursi dan memijat dahiku pelan. Kulirik sekilas dokumen yang tergeletak di meja ini dan mengerang frustasi. Masih banyak meeting yang harus kuhadiri sebelum minggu depan.
Sebelum ibuku membatalkan semuanya. Sebelum aku bertemu gadis yang akan menjadi pasanganku nanti. Sebelum aku harus tunduk pada kemauan ibuku.
Biarlah, kurasa malam ini aku tidak akan ke bar bertemu teman-temanku. Pemikiranku berkata, lembur lebih memastikan kelanjutan hidupku nanti.
.
.
Sebuah kacamata dengan frame besar menghiasi sebagian wajahku. Rambut panjangku kubiarkan tergerai tanpa hiasan apapun, bertolak belakang dengan diriku yang sebenarnya lebih menyukai ada sesuatu yang menghiasi kepalaku.
Hari ini aku memilih berbeda. Memilih untuk menjadi bukan diriku.
Kupoles lipstik dengan warna berani. Sesuai tujuanku, menjadi bukan diriku. Mantel dengan warna gelap serta sneakers putih menjadi pilihanku saat ini. Kupandangi lagi pantulan diriku dicermin besar itu, ah semoga Kaasan tidak mengetahui mata panda yang keterlaluan ini.
"Sakura, mau kemana?" Ibu dan ayahku tampak sedang menikmati sore mereka didepan televisi dengan secangkir teh hangat. Ibu bertanya setelah melihatku keluar dari dapur dan menuju pintu utama rumah ini.
Aku belum menjawab pertanyaan ibuku karena mulutku masih sibuk mengunyah apel yang kudapat dari dapur tadi. "Aku akan makan malam bersama teman-temanku."
"Bisa kau kemari sebentar Sakura?" aku menaikan sebelah alisku dan tak menjawab apapun. Tanpa aba-aba kulangkahkan kakiku untuk bergabung dengan mereka.
Malam hari di Tokyo adalah suatu hal yang dapat membuatmu melupakan masalahmu, kata orang. Tenggelam dalam hiruk piruk kota ini menjadi pilihanku untuk mengalihkan pikiran dari masalah yang tengah melanda.
Seharusnya malam ini adalah waktunya untuk bersenang-senang karena Hinata dan Temari tengah merayakan kelulusan mereka setelah menyelesaikan pendidikan magister di Amerika. Yah seharusnya begitu.
Namun aku merasa sangat bersalah saat ini. Bukannya ikut larut dalam tawa dan suka ditengah ruangan, aku justru memilih untuk mengasingkan diri di sofa dengan sebuah buku ditanganku.
Bukan membaca yang kulakukan, aku meragukan itu. Karena sejak tadi, halaman yang terbuka tetap sama dengan yang pertama kubuka. Tak berubah sejak awal, karena yang kulakukan hanyalah mencoba membaca bagian itu berulang kali. Aku sama sekali tidak fokus dengan bacaanku sendiri.
Aku kehilangan fokusku.
Ino datang menghampiriku dengan dua bir ditangannya, ia menyerahkan satu padaku dan kuterima dengan senang hati.
"Ada apa?"
Aku menggeleng lemah dan tidak menatap matanya. Aku takut Ino menyadari kekalutan yang kurasakan. Jadi yang kulakukan hanyalah menegak bir itu dengan menundukkan pandanganku.
"Kau tahu? Kau bisa menceritakan segalanya padaku. Tapi aku tidak akan memaksa."
Ia mengalihkan pandangannya, tidak lagi menatapku intens. Kini wanita dengan rambut pirang itu justru memandang mereka yang tenggelam dalam pesta ini. Ino mengerti keadaanku.
Lama kami terdiam, bahkan Ino telah menegak dua gelas bir dengan ukuran yang tak bisa dibilang kecil. Namun ia masih setia menemaniku disini, sesekali ia ikut berteriak jika ada lelucon yang terjadi ditengah ruangan. Ia tertawa disini bersamaku, tak membiarkanku sendirian membelenggu diri saat kemeriahan terjadi.
Kulirik sekilas jemariku yang saling bertautan dan bergumam pelan. "Kiba memutuskanku." Sangat pelan hingga aku ragu ada orang yang akan mendengarkanku saat Tenten tengah menghidupkan musik dengan volume besar.
Tanganku bertaut satu sama lain. Menggenggam diriku sendiri dengan begitu eratnya. Kurasakan bulir-bulir air mata membasahi pipiku dan pastinya membuat kacamataku berembun. Sedetik kemudian kurasakan sentuhan lain ikut bergabung dalam tautan tanganku.
Tangan mulus itu menggenggamku erat dan kemudian memelukku. "Menangislah."
Bisikan Ino bagai sengatan listrik untukku. Hanya dengan bisikan itu, mampu membuatku terisak dipelukannya. Ia mengelus punggungku dengan lembut kala aku berkata tak jelas tentang kronologi berakhirnya hubungan itu.
Beberapa kalimat menenangkan keluar dari bibir Ino sebelum ia melepaskan pelukannya dan menatapku hangat. "Semua terjadi pasti ada alasannya. Aku yakin dia pun begitu."
"Dua tahun yang sia-sia." Racauku sambil kembali memasang kacamata yang tadi sempat kulepaskan.
Ino tergelak, aku memanyunkan bibirku. "Tidak ada yang sia-sia, jidat."
"Kau benar, minggu depan aku akan bertemu calon suamiku." Gumamku yang lebih terdengar seperti gerutuan. Kusadari tawa Ino terhenti, aku menatapnya sinis. "Kenapa kau berhenti tertawa?"
"Kau akan menikah?! Dengan siapa?" ia berteriak dengan hebohnya, memegang pundakku dan terus mendesakku dengan berbagai macam pertanyaan konyolnya.
"Tadi ibuku menawarkan pernikahan ini. Aku pasrah, ayahku menganggap diamnya diriku sebagai persetujuanku. Mereka membual tentang usiaku yang telah menginjak 26 tahun."
Ino mengangguk-angguk mengerti. "Jadi, kau tahu siapa calonmu?"
Aku menggeleng sebagai jawaban. "Aku akan mengetahuinya dalam tiga hari kedepan."
"Dalam sebuah kencan buta?" Ino tampak antusias.
"Cih tentu saja tidak. Dia akan menjadi suamiku, dan kami tidak akan terlibat kencan buta karena kedua keluarga kami akan hadir dalam jamuan makan malam. Tentu saja kami akan saling mengenal sebelum benar-benar berkencan, Ino." Aku menghela nafas dan menyandarkan punggungku pada sofa yang empuk ini.
"Omong-omong diam yang kau maksud tadi . . kau benar-benar akan menerima pernikahan ini?"
Aku terdiam sesaat. "Aku tidak tahu."
"Apa yang kau pikirkan saat ibumu mengatakannya?"
"Tidak ada. Kau tahu Ino? Mungkin benar."
Ino memandangku heran. "Benar apanya?"
"Diam yang kumaksud, aku menerima pernikahan ini." aku melirik Ino sekilas dan tertawa kemudian. "Kau tahu? Aku berfikir, aku lelah dengan semua pengalaman cintaku. Kali ini biarlah mereka yang membawaku berlabuh pada satu hati. Aku percaya, orang tua selalu memberikan yang terbaik untuk anak mereka."
Ino menatapku dengan mulut yang terbuka lebar. "Apa yang kau lihat?" pipiku memanas setelah ucapanku tadi, aku menyikut Ino pelan dan kemudian gadis pirang itu tertawa terbahak-bahak.
"Tertawalah sepuasmu."
"Maafkan aku." Ino tampak memegangi perutnya dan nafasnya masih tersenggal-senggal karena tertawa. "Well, semoga stranger yang akan kau nikahi adalah pilihan terakhir yang benar-benar tepat."
"Semoga saja."
.
.
Satu minggu lamanya ia tidak menggunakan waktu senggangnya untuk bersenang-senang. Pemuda yang biasanya tak pernah absen dari ajakan teman-temannya untuk berpesta, kini justru berkendara dipagi hari menuju ke alamat yang diberikan ibunya tadi.
Ia menggerutu saat sebuah motor menyalip jalurnya. Klakson kencang ia lakukan dengan diiringi beberapa sumpah serapah. Benar-benar bukan cara yang baik untuk memulai hari Sabtu yang cerah ini.
Uchiha Sasuke disambut seorang satpam yang tengah membukakan pintu gerbang rumah tersebut untuknya. "Apakah anda Uchiha Sasuke?"
"Hn."
"Silahkan masuk tuan."
Pemuda yang menginjak usia kepala tiga itu memarkirkan mobilnya dan kemudian berjalan dengan angkuh untuk memasuki rumah mewah yang telah menanti kedatangannya.
Beberapa pembantu dirumah tersebut membungkuk memberi hormat dan kemudian membimbingnya menuju ruang makan untuk bergabung dalam sarapan yang tengah berlangsung. Saat ia berjalan mendekati meja makan panjang itu, seorang wanita berambut kuning yang sepertinya seusia dengan ibunya menyambutnya hangat.
"Ah, Ohayou Sasuke-kun." Ia disambut dengan sebuah pelukan dan beberapa basa-basi yang membuatnya memutar mata bosan.
"Sarapanlah bersama kami nak." Tuan besar dirumah ini tersenyum ramah padanya dari ujung meja panjang tersebut.
"Aku tidak bisa. Aku berencana mengajak calon istriku untuk sarapan diluar."
Mebuki tertawa dan kemudian mengangguk paham. "Awal yang bagus Sasuke-kun."
Pemuda raven itu memandang bosan. "Jadi dimana dia?"
Mebuki memandang suaminya dan kemudian bertanya. "Dimana Sakura?"
"Aku disini Kaasan. Ada apa?"
Seorang gadis hadir dari dapur dengan secangkir susu dan sebuah buku ditangannya. Kaos oblong kebesaran dan hot pants pun terlihat membingkai tubuhnya. Sebuah kacamata dan rambut panjangnya yang diikat asal-asalan membuatnya tampak sangat natural pagi ini.
Bisa dibilang cantik bagi sebagian orang. Namun dilihat dari reaksi pemuda raven itu, entahlah.
"Sakura!" Mebuki berteriak pada putri semata wayangnya itu. Ia menatap gadis itu kesal, pasalnya sejak tadi malam ia sudah mengatakan pada Sakura untuk bersiap-siap di pagi hari.
Tapi lihatlah sekarang.
Haruno Sakura memandang aneh pada reaksi ibunya. Kemudian ia melirik pada seseorang yang berdiri mematung dibelakang sang ibu. Baru ia tersadar kenapa ibunya berteriak kesal padanya.
Ia lupa bahwa calon suaminya datang untuk menjemputnya sarapan pagi ini. Dilihat dari tampilan pria itu, ia sudah sangat siap. Sangat kontras dengan dirinya yang bahkan belum mengganti pakaian tidurnya.
Tak ada yang bisa dilakukan saat ini. "Selamat pagi Uchiha-san." Ucapnya sembari mengulum senyuman. Matilah aku.
Mendengar ucapan selamat pagi yang terdengar dipaksakan membuat Uchiha Sasuke memandang gadis pink itu sinis. Gadis itu tampak kikuk dengan penampilannya saat ini, Sasuke mengalihkan pandangannya dan kemudian mengeluarkan ponselnya.
"Kau bisa mulai bersiap Haruno Sakura. Jadwal sarapan ini akan kacau." Pemuda itu berkata tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Dengan angkuhnya ia memilih untuk pergi dari ruangan itu.
"Aku menunggumu didepan."
Sasuke tampak kesal karena nomor yang dihubunginya tak menjawab panggilannya. Dengan malas ia mengetik sebuah pesan singkat dan mengirimkan serta perasaannya dipesan itu.
To : Kaasan
"Benarkah dia calon istriku?"
Belum lagi hari menunjukkan pukul sembilan pagi. Namun awal Sabtu paginya telah membuat keningnya berkerut. Oh ayolah, cobaan apa lagi yang harus dihadapi bungsu Uchiha ini? Melihat tingkah calon istrinya saja sudah membuat niat kepatuhannya pada sang ibu goyah.
Memang, untuk menjadi anak berbakti itu tidaklah mudah.
.
.
TBC
A/N : New fanfic!
Awalnya pengen buat oneshoot. Tapi mikir, "Kayaknya asik juga dijadiin multi chap dengan ide pasaran ini." Ck, ya begitulah.
Untuk membuat ff sasusaku itu, bagi aku adalah suatu tekanan. Karena ya, persaingannya ketat. Banyak yang 99% lebih bagus dan lebih berpengalaman. Aku sama sekali gak bakat dalam membuat ff tentang dua sejoli yang super cute ini dengan baik. Sama sekali tidak.
Jadi, nikmatin aja ya minna^^
