Two Brothers' Lamentation
by vanderwood

.

This is a work of fiction , has nothing to do with the real person in the real world. Plot inspired by Three Billboards Outside Ebbings, Missouri movie by Martin McDonagh. No profit gained.

.

.

"Regrets? I have a few. Thousand."
(Epik High feat. Lee Hi - Here Come The Regrets )

.

Ini adalah hari ketiga Jungwoo sarapan hanya dengan roti dan susu. Selembar roti yang tengah digigitnya ini adalah lembaran roti terakhir yang bisa ditemukan di bungkusannya. Masih ada dua kotak susu berukuran masing-masing satu liter di lemari es, tapi tentu saja ia tidak bisa sarapan hanya dengan susu esok hari. Tetap ada makanan yang harus ia beli hari ini. Sambil mengunyah, Jungwoo mengambil ponsel dan mulai mencatat — harus beli mi instan, sayuran, beras, ikan kalengan, telur, kopi, roti.

Seperti setengah tahun terakhir, Jungwoo selalu sarapan sendiri. Hari ini pun Doyoung tidak ada di rumah sejak pagi. Padahal dulu Doyoung bangun pagi saja sulit. Alarm tak mempan. Harus ada intervensi dari saudara-saudaranya terlebih dahulu sebelum akhirnya Doyoung menurut, bangun, dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Jungwoo sendiri kaget karena ternyata sesungguhnya Doyoung sanggup untuk bangun sebelum alarm berbunyi dan pergi tanpa mengusik tidur Jungwoo.

Kemungkinan besar Doyoung pergi tanpa sarapan. Mug miliknya — warna hijau dengan tulisan selamat pagi — masih terpajang dengan rapi di dalam rak piring. Artinya ia sama sekali tidak menggunakannya untuk minum susu. Doyoung bukan tipe orang yang akan minum susu langsung dari kartonnya. Jungwoo menarik napas, ini bukan hal yang baru namun sesungguhnya ia sedikit muak harus mengingatkan Doyoung untuk makan terus menerus. Ibarat masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Tidak ada yang masuk ke hati. Pokoknya, kalau sampai Doyoung sakit karena terlambat makan, Jungwoo tidak mau tahu.

Ah.

Dusta.

Masa iya Jungwoo tidak akan mau tahu.

Jungwoo membuka kunci layar ponselnya untuk memandang foto yang terpajang sebagai wallpaper di sana. Sebuah foto keluarga. Diambil ketika mereka berlibur ke Jeju sekitar satu tahun yang lalu, saat Chuseok tiba. Di foto itu, Jungwoo tersenyum bahagia dikelilingi oleh kedua saudaranya. Doyoung dan Mark.

Setiap kali Jungwoo melihat foto itu, ia segera teringat betapa foto keluarganya sekarang tidak akan sama lagi. Jumlah orang yang ada di dalam foto itu hanya akan tinggal dua alih-alih tiga.

Benar. Setelah Mark pergi, banyak hal-hal yang berubah.

Terlalu banyak yang berubah.

.

.

.

Taeyong tahu sesuatu telah terjadi di kantornya sebelum ia datang ketika ia melihat sebuah tumpukan kertas putih tak dikenal di atas mejanya. Semalam sebelum meninggalkan kantor, seperti juga malam-malam sebelumnya, mejanya masih sangat rapi. Berkas-berkas penyelidikan yang penting selalu ditaruhnya di dalam laci, tidak pernah dibiarkan teronggok begitu saja di atas meja. Sebelum tangannya meraih selembar kertas dari tumpukan tersebut untuk diperiksa, Taeyong sudah memiliki firasat terlebih dulu mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi di sini. Firasatnya terbukti benar ketika frasa pertama yang ditulis di atas kertas tersebut adalah "Sudah enam bulan."

"Yuta, dia datang kemari lagi?" Taeyong bertanya pada rekan seruangannya untuk memastikan.

"Dia siapa?"

"Kim Doyoung."

Yuta mengalihkan perhatiannya dari layar komputer untuk menatap Taeyong dan mengangguk. "Aku sedang di luar saat ia datang. John mengizinkannya masuk."

"Lalu kenapa kau tidak memberitahukan apa-apa padaku?"

Yuta mengedikkan bahunya. "Kurasa tumpukan kertas itu cukup untuk memberitahumu."

Taeyong terdiam sejenak sebelum akhirnya menghempaskan diri ke kursi. Yuta menutup program yang sedang ia jalankan di komputer (peramban internet, kalau kalian mau tahu) dan melangkah menghampiri Taeyong yang kini menampilkan sebuah ekspresi gundah. Ekspresi yang seolah tak pernah lepas dari wajahnya selama enam bulan terakhir.

"Aku tidak bermaksud buruk dengan tidak memberitahumu soal kedatangannya, Sobat. Aku hanya tak ingin mengganggu waktumu saat di perjalanan. Kau seharusnya datang kemari dengan pikiran yang segar, bukannya pikiran yang terganggu."

Taeyong mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja dengan tempo cepat. "Aku menghargai niat baikmu, tapi bukankah aku sudah terlalu banyak membuang waktu? Enam bulan bukan waktu yang sebentar."

Yuta menghela napas pelan. "Aku sudah mengatakan ini berkali-kali, bukan salahmu kita tidak punya saksi, bukan salahmu pula kita tidak dapat petunjuk apa-apa."

"Kalau kau memikirkannya lebih jauh lagi, mungkin sebenarnya aku memang bersalah karena tidak bisa menemukan saksi dan petunjuk apa-apa." Taeyong kembali bangkit dari kursinya. "Panggil Johnny, kita temui Kim Doyoung."

Tidak ada kata-kata lagi terlontar dari mulut Yuta ketika Taeyong berlalu meninggalkan ruangan. Hanya helaan napas panjang yang terdengar.

.

.

.

Sudah enam bulan sejak adikku, Mark Lee, ditemukan tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan, hanya tiga blok dari Kantor Kepolisian Seoul, dan sampai sekarang tidak ada satu orangpun yang jadi tersangka?

Sebenarnya apa yang kaulakukan selama ini, Inspektur Lee Taeyong?

Doyoung tidak mengubah ekspresinya sama sekali ketika Taeyong meletakkan kertas berisi tulisan tersebut di atas meja yang berada di antara mereka berdua. Ia sudah tahu bahwa kertas-kertas itulah yang akan jadi bahan pembicaraan ketika Taeyong mengirimkan pesan singkat yang mengajaknya untuk bertemu di sebuah kedai makan dekat Kantor Kepolisian Seoul. Seratus delapan puluh tiga lembar kertas yang tadi pagi diletakkannya di atas meja Taeyong. Seratus delapan puluh tiga lembar kertas yang isinya identik sama — tentang bagaimana enam bulan sudah berlalu sejak Mark ditemukan tewas namun pembunuhnya tidak kunjung ditangkap sampai sekarang.

"Aku tidak tahu mau memulai pembicaraan ini dari mana, tapi …" Taeyong berkata dengan suara tercekat, jari telunjuknya tak bisa diam dan berputar-putar tanpa tujuan. "Kau tidak perlu melakukan ini. Kami masih melakukan bagian kami, jadi kumohon kau juga melakukan bagianmu."

"Apa yang kaumaksud dengan bagianku?" Doyoung buka suara.

"Tunggulah," jawab Taeyong, berusaha meyakinkan. "Tunggulah dengan sabar selagi kami mengerjakan pekerjaan kami."

"Enam bulan tidak cukup?" Doyoung bertanya dengan nada sinis. "Kau beruntung aku bukan orang kaya, Inspektur. Tadinya aku berpikir untuk menyewa papan reklame besar di tengah kota Seoul dan memajang tulisan-tulisan ini di reklame tersebut, sayangnya aku tak punya uang untuk itu."

"Salahmu sendiri lebih memfokuskan diri untuk merecoki kami dibanding, kau tahu, fokus dalam pekerjaanmu sendiri?" Yuta menimpali dengan tak kalah sengit sambil membuka plastik pembungkus kimbap segitiganya. "Mungkin kalau kau bekerja dengan serius dan tidak membuang-buang waktu untuk meneror kantor kami, kau tidak akan sampai dipecat. Kau juga tak akan perlu bergantung pada penghasilan adikmu selama tiga bulan terakhir."

"Oi, cukup. Hentikan." Johnny menginjak ujung kaki Yuta sambil memberikan peringatan. Yuta mengaduh pelan, sebelum akhirnya menyumpal mulutnya dengan kimbap segitiga seolah memberikan pesan baiklah-aku-diam-sekarang. Doyoung masih menatap Yuta dengan sinis, jelas merasa tersinggung, namun tak lama kemudian ia kembali beralih pada Taeyong. Bagaimanapun juga, urusannya adalah dengan Taeyong, bukan dengan bawahannya yang berbisa itu.

"Baiklah, mari kita buat hal ini menjadi lebih jelas lagi. Sampai kapan aku harus menunggu?" Doyoung kembali menuntut. "Setahun? Dua tahun? Sepuluh tahun? Atau sampai aku melihat kasus ini di dalam daftar kasus-kasus tidak terpecahkan dan dibahas oleh para penggila teori konspirasi di internet?"

Taeyong menghela napas, namun tetap berusaha tidak memperlihatkan kefrustrasiannya di hadapan Doyoung. "Aku tidak bisa memperkirakan dengan pasti, mengingat minimnya saksi dan petunjuk, tapi kami akan berusaha secepat mungkin."

"Aku tidak menuntut apa-apa selain keadilan," tukas Doyoung cepat. "Korea Selatan negara hukum, bukan? Orang jahat yang sudah membunuh adikku, mengambil harta bendanya, pantas mendapatkan ganjarannya. Membayangkan orang seperti itu masih berkeliaran di jalan-jalan kota Seoul, hidup bebas, dan mungkin mengulang kejahatan yang sama pada orang-orang malang di luar sana membuatku tidak bisa tidur dengan tenang. Bukankah seharusnya kalian juga merasakan hal yang sama? Kalian polisi, aparat penegak hukum, seharusnya kenyataan seperti ini lebih mengganggu kalian dibanding aku yang hanya penduduk sipil biasa."

"Poinmu bagus, dan ya, ya! Itulah yang kami rasakan selama ini. Kami juga merasa cemas mengingat bahwa seseorang seperti itu bisa saja mengincar orang lain, maka dari itulah kami terus berusaha setiap harinya," jelas Taeyong. Ia sekarang sudah mencondongkan tubuhnya ke arah Doyoung, berusaha agar lawan bicaranya itu dapat menemukan ketulusan dalam matanya terkait apa yang baru saja ia katakan. Taeyong tidak pernah main-main dalam pekerjaannya, asal tahu saja. Hanya saja, untuk kali ini, memang banyak aral yang melintang.

Masalahnya Doyoung masih menolak untuk mau tahu soal itu.

"Dengar Inspektur, kalau saja ini terjadi pada salah satu dari anggota keluargamu —"

"Kau sudah mengatakan itu padaku ribuan kali dan aku sudah berkali-kali mengatakan kalau aku mengerti, kenapa kau selalu tidak mau mendengar?" Taeyong sudah tidak bisa lagi menahan frustrasinya. Untuk kali ini saja, Taeyong mengingatkan dirinya sendiri, untuk kali ini saja kau melakukan ini, oke. "Aku sudah berkali-kali bilang kalau aku mengerti, aku juga punya keluarga. Lalu bagaimana denganmu, apakah kau mau berusaha untuk mengerti keadaan kami? Menuntut seperti ini saja tidak akan membuat kami lantas menemukan petunjuk."

"Mungkin kalau kalian berusaha sedikit keras dan tidak hanya menghabiskan uang pajak kami untuk bermain dan minum-minum di bar —"

"Baiklah, baiklah, sampai sini saja, sampai sini saja!" Johnny yang sedari tadi hanya menyaksikan percakapan antara Taeyong dan Doyoung akhirnya berdiri, berusaha menyelamatkan situasi yang semakin memanas. "Doyoung-ssi, tidak baik melontarkan tuduhan tidak berdasar seperti itu pada aparat penegak hukum. Dan Inspektur, tahan dulu emosimu untuk sementara, oke?"

Doyoung membuang muka. Taeyong menarik napas panjang dan menghembuskannya keras-keras.

"Kalau kau berpikir usaha kami belum terlalu keras, baiklah. Kami — terutama aku — akan mencoba berusaha lebih keras lagi," ujar Taeyong, membuat mata Yuta membulat. Doyoung masih tidak memberikan respon apa-apa.

"Oi, Inspektur, jangan gi—"

"Kami pamit kalau begitu, masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan." Taeyong tidak mengindahkan interupsi dari Yuta barusan. Matanya melirik ke arah sepiring roti lapis isi daging yang dipesankan Johnny untuk Doyoung beberapa menit yang lalu. Masih utuh, belum disentuh. "Jangan lupa makan rotinya, jangan sampai kau kurang makan."

Taeyong berdiri, diikuti oleh Johnny dan Yuta. Doyoung masih menolak untuk melihat ke arah Taeyong, bahkan sampai tiga orang polisi itu menghilang di balik pintu kedai.

.

.

.

Doyoung menghabiskan sisa harinya dengan berjalan kaki mengitari Seoul, berharap menemukan keajaiban berupa petunjuk mengenai pelaku pembunuhan Mark. Sama seperti sebelum-sebelumnya, ia berusaha mencari informan, mencari saksi, siapapun yang bisa membantunya menangkap pembunuh sialan itu. Semuanya ia lakukan hanya dengan berbekal tenaga dari roti lapis isi daging pemberian Johnny tadi siang.

Hasilnya sia-sia. Malamnya ia pulang dengan tangan hampa dan perut yang keroncongan. Kebetulan sekali, ketika Doyoung berjalan melewati dapur, Jungwoo tengah memasukkan makanan ke dalam kulkas. Lampu indikator penanak nasi menyala, tandanya ada nasi hangat di dalam sana. Jungwoo menghentikan pekerjaannya menyusun daun bawang di tempat sayur dan buah ketika menyadari kehadiran Doyoung, kemudian menyambut kakaknya itu dengan senyum lebar.

"Selamat datang," gumamnya hangat. "Sudah makan?"

Doyoung menggeleng, lalu melangkah lunglai menuju meja makan. Ketika ia duduk, barulah rasa pegal akibat berjalan seharian menjalar pada kedua kakinya.

"Capek?" tanya Jungwoo yang kini sedang beredar di daerah pantry. "Dari mana saja memangnya?"

"Keliling-keliling," jawab Doyoung ringkas sambil menyelonjorkan kakinya di bawah meja makan. Ujung kakinya menyentuh kursi yang ada di seberangnya. Kursi itu biasa ditempati Mark. Kalau orangnya masih ada sekarang, pasti ia langsung memprotes dan menyingkirkan kaki Doyoung dengan kakinya sendiri, tentu saja setengah bercanda. Doyoung menghembuskan napas pelan. Ia membalikkan tubuhnya ke arah Jungwoo, dengan niatan mengalihkan pandangannya dari kursi makan Mark. Ada dua kantung belanja besar yang belum dibongkar ditaruh di atas pantry. "Belanjamu banyak juga."

"Hm? Aku dapat bonus," jawab Jungwoo sambil menoleh ke arah Doyoung. "Jadi sekalian saja belanja banyak, lagipula sudah lama juga kita tidak makan enak. Iya nggak?"

"Jangan melihatku seperti itu, aku sedang malas masak," erang Doyoung diikuti tawa kecil Jungwoo. Dalam keluarga kecil ini, yang bisa memasak dengan baik hanya Doyoung. Jungwoo memasak demi bertahan hidup, bukan demi seni atau kebahagiaan — makanya yang bisa ia buat hanya mi instan, telur rebus atau roti bakar. Mark juga tidak bisa memasak. Untungnya ia bisa buat kopi enak karena ia bekerja sebagai barista. Jungwoo tidak bisa membuat kopi yang enak seperti Mark, termasuk mungkin secangkir kopi yang ia buatkan untuk Doyoung sekarang ini. Makanya ia menyajikannya dengan sedikit ragu-ragu.

Doyoung mengernyitkan alisnya. "Tumben bikin kopi?"

"Ya, siapa tahu buatanku sekarang bisa lebih enak dari buatan Mark," sahut Jungwoo, berusaha untuk terdengar percaya diri.

"Nggak, begini lho, aku kan belum makan …"

"Oh, astaga! Hahaha …" Jungwoo menepuk kepalanya sambil tertawa konyol. "Ya sudah, makan pisang dulu, Hyung. Aku bikinin ramyeon."

"Belanjamu banyak tapi aku cuma bisa makan ramyeon malam ini?"

Jungwoo terkekeh. "Kan kokinya sedang malas masak, Hyung!"

Doyoung hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tapi toh pada akhirnya ia menuruti juga saran Jungwoo. Pisang masuk ke perutnya, baru setelah itu minum kopi yang mulai mendingin. Rasa kopinya biasa saja, tidak seistimewa buatan Mark, tapi lumayan ada peningkatan dari kopi buatan Jungwoo sebelumnya. Kopi Doyoung sudah habis setengahnya ketika Jungwoo menaruh panci berisi ramyeon di tengah meja makan. Wanginya sangat menggoda. Kebetulan Jungwoo juga sangat royal dengan ramyeon buatannya kali ini — ditambah telur, daging cincang dan banyak sayur-sayuran. Saat inilah laparnya Doyoung baru sangat terasa.

Sementara Doyoung makan dengan lahap, Jungwoo hanya memperhatikan dengan senyum yang tak lepas-lepas. Doyoung menyadari bahwa adiknya tidak ikut makan, maka ia berhenti menyeruput ramyeon dan balik memperhatikan Jungwoo.

"Nggak makan?"

"Nggak lapar."

"Kalau nggak lapar kenapa buat ramyeon sebanyak ini? Aku tidak mungkin menghabiskannya sendirian, tahu."

"Pasti habis kok. Aku tahu Hyung pasti lelah." Jungwoo menyandarkan punggungnya, kemudian meneguk susu dalam mugnya. "Seharian ini ke mana saja?"

Doyoung memutar matanya. "Tadi aku sudah jawab. Keliling-keliling."

"Aku minta detailnya, Hyung. Ke mana saja?"

"Mencari informasi?"

"Ke kantor polisi lagi?"

Doyoung menelan makanan dalam mulutnya sebelum mengangguk. Jungwoo menghela napas.

"Hyung, aku punya usul." Jungwoo terdiam sejenak, berpikir bagaimana caranya ia bisa mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya tanpa menyinggung Doyoung. "Bagaimana kalau … kita serahkan saja sepenuhnya pada polisi?"

Alis Doyoung terangkat. "Maksudmu?"

"Biarkan mereka melakukan pekerjaan mereka tanpa kita ganggu … begitu maksudku," jelas Jungwoo perlahan sambil mengusap tengkuknya, kalut. "Bukankah akan lebih baik kalau kita membiarkan mereka melakukan pekerjaannya tanpa terlalu menuntut?"

"Lalu membuat kita menunggu lebih lama lagi, begitu?" sambar Doyoung cepat. "Kau tidak marah melihat Mark tidak mendapatkan keadilan selama enam bulan, bahkan bisa saja lebih? Kau mau ada orang lain yang menjadi korban?"

"Bukan begitu, bukan begitu …" Jungwoo berusaha meralat. "Tentu saja aku marah pada pelakunya, tapi kupikir kita tidak perlu … tidak perlu terlalu ikut campur untuk urusan yang bukan kuasa kita. Bagaimana?"

Doyoung menghembuskan napas panjang. Tangannya bergerak untuk meletakkan sumpit di meja, namun gerakan tersebut terhenti di tengah-tengah. Tangannya kembali terangkat untuk mengambil ramyeon banyak-banyak dari panci dan meletakkannya di mangkuk.

"Kau tahu, seandainya aku sedang tidak lapar aku akan langsung meninggalkan meja makan dan pergi ke kamar, tapi aku masih lapar jadi kurasa aku akan menghabiskan ini dulu," gumam Doyoung. "Dan kalau kau tidak punya topik pembicaraan yang lain selain apa yang kaukatakan tadi, lebih baik jangan bicara padaku."

Tingkah Doyoung tadi terbilang konyol, tapi Jungwoo tidak bisa tertawa, begitu juga berkata-kata. Ia hanya bisa diam seperti patung sementara Doyoung menghabiskan makan mulutnya terasa pahit dari kata-kata dan emosi yang terpaksa harus ia telan lagi, malam ini.

.

.

.

Mata Jungwoo melebar ketika ia menemukan seorang sosok familiar ketika melangkah masuk ke dalam kedai kopi. Nakamoto Yuta dengan pakaian santai, duduk sendirian ditemani dua gelas kosong, satu piring croissant yang tinggal setengah, dan buku catatan.

Tadinya Jungwoo kemari hanya berniat untuk mengambil barang Mark yang tertinggal. Kedai kopi ini tempat Mark bekerja ketika ia masih ada. Semalam, teman barista Mark menghubunginya untuk mengabarkan soal barang yang tertinggal itu, dan Jungwoo memutuskan untuk mengambilnya sepulang kerja. Keberadaan Yuta di kedai kopi itu membuat Jungwoo mengurungkan niat untuk secepatnya mengambil barang Mark. Rasanya kurang enak saja apabila Jungwoo tidak menyapa Yuta terlebih dahulu, bagaimanapun juga Yuta telah bekerja sangat keras untuk memecahkan kasus adiknya.

"Halo, Opsir Nakamoto," sapa Jungwoo ramah. Yuta mengangkat kepalanya mendengar sapaan Jungwoo, senyuman tipis muncul di wajahnya saat mengenali wajah orang yang menyapanya barusan.

"Oh, halo!" Yuta menjawab sapaan Jungwoo dengan tak kalah ramah. "Sendirian saja?"

Jungwoo mengangguk.

"Duduk sini, aku belikan minuman. Suka apa? Americano? Atau yang manis-manis?" Yuta berniat untuk berdiri untuk memesankan Jungwoo minuman, namun Jungwoo segera mencegahnya.

"Tidak usah, Opsir, tidak usah!" cegah Jungwoo cepat. "Aku hanya sebentar. Mengambil barang Mark yang tertinggal."

Yuta terdiam, memandangi Jungwoo sebentar, kemudian kembali duduk. "Ah, baiklah kalau kau tidak mau, tapi duduklah dulu sebentar. Kita ngobrol-ngobrol, hm?"

Untuk yang ini, Jungwoo tidak bisa menolak. Dengan duduk di atas kursi tepat di depan Yuta, Jungwoo bisa melihat isi buku catatan Yuta dengan lebih jelas. Ada semacam ilustrasi denah bangunan di sana, namun Jungwoo tidak bisa membaca keterangannya karena ditulis dengan kode-kode tertentu. Hanya saja Jungwoo dapat mengenali denah itu saking familiarnya — denah tempat kejadian perkara saat Mark ditemukan dalam keadaan tak bernyawa enam bulan lalu. Rasa pahit kembali muncul dari perutnya dan naik ke kerongkongan.

"Opsir." Jungwoo tidak bisa menahan lidahnya untuk bicara. "Terima kasih banyak untuk kerja kerasnya selama ini."

"Hm? Nggak masalah. Memang kerjaan kami, kok. Omong-omong bicaranya santai saja, jangan terlalu formal," sahut Yuta santai. "Kabarmu bagaimana, baik-baik saja kan?"

Jungwoo mengangguk pelan. "Begitulah."

"Benar baik-baik saja, hm?" Yuta memicingkan mata dan Jungwoo merasa sedikit tertusuk oleh tatapan mata Yuta. Kalau mau jujur, Jungwoo tidak pernah tidak apa-apa selama enam bulan terakhir. Bukan hanya karena Mark.

"Sedikit … ah, gimana mengatakannya, tapi … nggg, kakakku terlalu keras kepala, kurasa." Jungwoo menggosok tengkuknya canggung. "Aku minta maaf sekali kalau kemarin-kemarin ia ikut campur lagi, Opsir. Tolong maklumi kakakku, Doyoung-hyung sangat sayang dengan Mark … seperti yang Opsir sudah tahu, kami — aku dan Mark — adalah satu-satunya keluarga Doyoung-hyung yang paling dekat. Makanya ia sangat menuntut kalau soal Mark …."

Yuta memandangi Jungwoo sebentar. Ia tersenyum kemudian. "Kalau aku boleh saran, Jungwoo. Jangan terlalu melibatkan dirimu sendiri dengan tingkah kakakmu. Maksudku, soal dirinya yang ikut campur itu urusan kami dengan dirinya. Kamu tinggal lakukan apa yang kamu bisa saja."

Jungwoo menundukkan kepalanya tanpa mengatakan apapun. Hal terbaik yang bisa Yuta lakukan saat ini adalah menepuk-nepuk bahunya sambil menatapnya tak tega. Ah, Kim Doyoung, jangan buat adikmu menanggung beban berlipat-lipat begini, dong.

"Apa yang aku bisa lakukan?" tanya Jungwoo lirih setelah akhirnya mendapat kekuatan untuk mengangkat lagi kepalanya.

Yuta terdiam sejenak, kemudian menarik tangannya dari bahu Jungwoo. "Hmmm … ingatkan saja dia. Jangan terlalu keras sama Inspektur Taeyong. Bisa mati stres sebelum kawin dia."

Jungwoo mengulum senyum. "Baiklah. Aku nanti akan coba bilang … terima kasih atas perhatiannya, Opsir."

"Heissh, sudah kubilang kan nggak usah formal-formal amat." Yuta mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ah, sori Jungwoo, tampaknya aku harus segera kembali ke kantor. Kamu nggak apa-apa kan, kutinggal?"

Pertanyaan tersebut dijawab dengan gelengan pelan. "Tidak apa-apa, Opsir. Aku juga kan mau bertemu Lucas .…"

"Oh ya, ya, barusan sudah bilang, ya." Yuta tertawa. Tangannya sibuk merapikan barang-barangnya yang bergeletakan di meja. Tak perlu waktu lama, Yuta sudah siap untuk pergi lagi. "Eh, tapi aku masih mau membelikanmu minum. Ayo pesan! Sebelum aku berubah pikiran."

Jungwoo mengatakan kalau itu tidak perlu, tapi toh akhirnya ia menyerah juga. Yuta membayar segelas frappuccinno sebelum melesat menuju kantornya, meninggalkan Jungwoo yang menunggu pesanannya dibuatkan oleh barista di meja pesan. Kebetulan barista yang kini melayaninya adalah Lucas; teman Mark yang menyimpan barang-barangnya yang tertinggal.

"Opsir sudah dari siang ada di sini, lho. Dia sempat tanya-tanya aku juga." Tiba-tiba Lucas memulai pembicaraan. Jungwoo menoleh, mengamati Lucas yang sedang menyiapkan gelas. Tidak ada orang lain lagi di sana, jadi pasti Lucas bicara dengan Jungwoo. "Padahal mereka begitu rajin, tapi kenapa sulit sekali memecahkan kasus ini, ya?"

Perkataan Lucas barusan disetujui Jungwoo lewat helaan napas panjang.

Benar. Orang bilang, usaha keras akan membuahkan hasil. Polisi sudah berusaha keras. Doyoung dan Jungwoo juga sudah berusaha keras. Tapi kenapa yang mereka dapatkan sampai saat ini hanyalah kenihilan?

"Sudah nih, Hyung. Whipped cream-nya setengah takaran seperti biasa." Lucas menyajikan frappuccinno Jungwoo dengan senyum terulas di wajah.

"Ah, kamu ingat. Makasih, Lucas." Jungwoo membalas senyum Lucas sekilas, kemudian meraih gelasnya. "Omong-omong, barang Mark yang masih kamu simpan itu, apa?"

"Oh, soal itu. Aku pinjam novel dan jaketnya waktu itu, lupa belum kukembalikan. Memang keterlaluan sih karena aku melupakannya sampai berbulan-bulan begini …." Lucas menggaruk tengkuknya, sementara Jungwoo hanya memaklumi. Lucas sangat sibuk. Selain menjadi barista, ia juga ada pekerjaan paruh waktu di tempat lain, jadi wajar kalau ia melupakan hal-hal kecil seperti baju atau buku yang ia pinjam. "Kuambilkan dulu ya, Kak!"

Lucas melesat menuju pintu bertuliskan "Staff Only" dan menghilang di baliknya, untuk muncul kembali beberapa saat kemudian sambil menenteng sebuah tas kertas. Jungwoo menerima tas kertas itu dengan perasaan bergejolak — enam bulan sudah berlalu tapi hatinya masih terasa berat setiap kali melihat atau menyentuh fragmen diri Mark yang masih tersisa di dunia.

Perlahan Jungwoo membuka tas kertas tersebut dan memeriksa isinya. Ada jaket hitam terlipat rapi di dalamnya, penuh dengan aroma pewangi binatu. Jungwoo ingat jaket ini — Mark membelinya dengan gaji pertama. Sebetulnya agak kebesaran di tubuhnya, tapi Mark selalu merasa nyaman mengenakan jaket itu. Selain jaket, ada novel Catcher in The Rye di dalamnya. Buku itu sudah ditamatkan Mark satu kali, setelah itu tidak dibaca-baca lagi.

Ah, Jungwoo kembali menarik napas. Ia teringat Mark yang sangat lekat dengan buku. Mark yang selalu menyisihkan uang untuk membeli buku. Mark yang selalu tidur dengan buku-buku di sekitar kepalanya. Mark yang pernah bercita-cita untuk menjadi seorang penulis buku.

Dan Mark yang menyimpan rahasia di dalam sebuah buku.


a/n:

hello

it's me

ku menulis fenfik ensiTII LAGIIIIIIIIIIII

ok jadi sebenernya ini draf udah dari LAMA BANGET dari sejak promosi empathy belum kelar sampai sekarang dah mau akhir tahun ga kelar2 jadi kupikir yoweslah publish aja dulu siapa tahu setelah dipublish i got the sense of responsibility to actually finish this HAHA

gak bakal banyak2 kayaknya chapternya, paling 2 atau 3 biar enak dicemil hehe

terima kasih sudah mampir lagi ke lapak vanderwood! huhu kangen nulis deh beneran