Author Note:
Hai hai, aduh udah lama banget semenjak terakhir kali nge-post fanfic disini -_- udah 2 tahunan kayaknya… Bilangnya mau hiatus bentar, eh malah ngilang terus pindah fandom…
Anyway, ini gak bisa dibilang first fic aku sih :/ tapi kalo buat di fandom ini…yah, emang baru pertama kali nge-post, yehet. Sebelumnya aku lebih ke fandom Naruto sama Harry Potter sebelum hiatus, terus mulai kenalan sama K-Pop, terus mulai terjerembab masuk ke lubang hitam itu (baca: K-Pop)
Aku sebenernya lumayan aktif di Asianfanfics, tapi sebatas reader yang nge-subscribe cerita atau nggak nulisin komentar gitu, yah…udah lama lah nggak nulis cerita…
Ini juga akun baru buat lagi gara-gara akun yang lama…lupa password…sialan -_-
Anyway, enjoy :)
PS: Kayaknya aku bakal langsung nge-upload drabble 2 nya langsung, hehe. Ini fanfic iseng pemanasan doing setelah 2 tahun gak nulis apa-apa, jadi mohon maaf kalo garing and tijel muahahahah
.
.
.
Chapter 1: First Meeting
.
.
.
Cast : Xiumin
Tao
Luhan
OC (Wang Xinyuen)
Genre : Humor (garing sangadh, hati-hati muntah)
Rated : T
Disclaimer : All the charaters are belong to SM Entertaiment, God, their parents, and themselves. But the OC is mine lmao
Warning : Humornya gagal, maafkan saya kalo ini garing "ㅅ"
.
.
.
Kim Minseok mengemut permen mint yang ada di mulutnya dengan wajah riang. Kedua pipi chubby-nya memerah karena cuaca yang dingin.
"Eoryeomke mam jeonghankeora neke malhalkeojiman—EOH, LUHAAANNNN!"
Minseok melambaikan tangannya heboh kearah seorang pemuda berambut hitam yang sedang memainkan gadget-nya di dekat jembatan penyeberangan.
Luhan—salah satu trainee SM asal Cina yang berteman baik dengan Minseok—menoleh kearah Minseok dan tersenyum.
"Minseok," balasnya ceria. "Ni hao," sapanya lagi—mulai menggunakan bahasa Mandarin alih-alih bahasa Korea.
Minseok berlari kearah Luhan dan menggembungkan kedua pipinya. "Kita di Korea, Lu," ujarnya.
"Tapi aku kan sudah mengajarimu bahasa Mandarin," jawab Luhan santai.
"Tapi kita ada di Korea," ulang Minseok—masih menggembungkan kedua pipinya.
Luhan terkekeh. "Kalau begitu, annyeonghaseyo." Luhan menyapa Minseok lagi dengan menggunakan bahasa Korea.
"Annyeong," balas Minseok sambil tersenyum cerah. Dia merangkul Luhan—yang sedikit lebih tinggi darinya—dan memulai pembicaraan.
"Pagi ini dingin, ya?" tanyanya sambil menggosok-gosok pipi Luhan yang memerah dengan menggunakan tangannya.
"Di Beijing biasanya lebih dingin," jawab Luhan. "Apalagi di—"
"Ya, ya, ya. Aku tahu kau merindukan Beijing tapi jangan mulai mendongeng lagi," sela Minseok. "Selama perjalanan pulang kemarin kau terus bercerita tentang rumah kakekmu. Dasar," gerutunya.
Luhan tertawa lagi dan dia kembali fokus memainkan gadget-nya. Setelah menunggu selama 1 menit, lampu penyeberangan berubah menjadi hijau dan mereka berdua pun menyeberang.
"Hei, kira-kira sajangnim akan mengijinkanku pulang akhir pekan ini tidak, ya?" gumam Luhan. "Ibuku menyuruhku pulang."
Minseok mengangkat kedua bahunya. "Mungkin saja. Tapi kalau kau pulang minggu ini, kau tidak boleh pulang saat natal nanti," ujarnya. "Peraturannya kan begitu," tambah Minseok lagi.
Luhan menghela nafas dan dia melepaskan tangan Minseok—yang masih menggantung di pundaknya—dengan lembut. "Aku mau menelepon ibuku dulu," ujarnya. "Kau duluan saja, Seok," perintah Luhan sambil menunjuk kearah gedung SM—yang berjarak kira-kira 200 meter lagi.
Minseok mengangguk dan dia melambaikan tangannya pada Luhan—yang balas melambai sebelum pergi ke depan Cafè yang letaknya hanya sekitar 50 meter dari tempat Minseok berdiri.
Minseok menatap punggung Luhan—yang terlihat lesu—dan menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin. Setelah itu, Minseok berjalan menyusuri jalan sambil bersenandung.
"Keureohjiman neol sarang-ahnneunke anya ijeneun nareul byeonhwa~"
Sambil tertawa malu—karena beberapa orang mulai memperhatikannya—Minseok menyembunyikan wajahnya dibalik scarf yang sedang ia pakai dan mempercepat langkahnya ke gedung SM.
Setelah sampai, Minseok langsung masuk ke dalam gedung itu dan tersenyum senang saat kehangatan mulai menyelimuti badannya.
"Eum…cho..gi…yo…"
Minseok menoleh ke pemilik suara tersebut dan tersenyum ramah. "Ne?" tanyanya ramah. "Ada yang bisa kubantu?"
Orang tadi memainkan kancing jaket musim dinginnya dengan gelisah. "A-aku…"
"Ya?" tanya Minseok lagi—mulai bingung saat orang tersebut tidak kunjung menjawab. Minseok menatap orang di depannya lagi. Celana jeans hitam, hoodie biru tua, scarf putih dan jaket tebal yang berwarna coklat tua. Kulitnya agak coklat, di bawah matanya terdapat tanda kehitaman yang cukup tebal dan rambut hitamnya agak berantakkan. Tatapan matanya tajam dan wajahnya juga terlihat sangar.
Tidak mungkin preman kan? Minseok menatap orang tersebut dengan pandangan waspada.
"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya," ujar Minseok lagi.
Orang tadi masih diam dan dia menatap Minseok dengan wajah bingung.
"Tapi kalau kau bisa masuk ke gedung ini, berarti kau itu—ah!" Minseok menjentikkan jarinya. "Kau trainee baru, ya?" tebaknya.
Mendengar kata 'trainee', mata orang yang ada di hadapan Minseok mulai berbinar-binar. Orang tersebut menganggukkan kepalanya dengan semangat.
"Aku benar, ya?" tanya Minseok. "Kalau begitu kau harus menemui sajangnim dulu. Ruangannya ada di lantai paling atas—" Minseok mengacungkan 3 jarinya "—well, selamat mencari. Seorang namja dewasa sepertimu tak boleh tersesat oke? Lagipula gedung ini tidak terlalu besar," ujar Minseok sambil menepuk pundak orang dihadapannya dan tersenyum lebar.
Orang itu mengangguk. "Go…mawo," ujarnya terbata-bata.
Minseok mengangguk.
"Oppa," lanjut orang tersebut sebelum dia berlari-lari kecil ke lift dan melambaikan tangannya kearah Minseok—yang sekarang mematung.
O-oppa? Minseok membatin bingung. Orang tadi…perempuan…? Orang seperti itu…perempuan…? Kukira dia laki-laki. Tapi auranya—astaga.
Minseok memegang keningnya dengan wajah shock sebelum dia jatuh terhuyung-huyung ke belakang.
Grep
"Untung saja aku berhasil menahanmu."
Minseok menoleh kearah sahabatnya—Luhan—yang ternyata sudah selesai menelepon ibunya. Luhan memasang wajah bingung saat dia melihat wajah Minseok yang terlihat pucat.
"Kau kenapa, Seok?" tanyanya khawatir. "Sakit?"
Minseok menggeleng dan dia melepaskan tangan Luhan—yang masih memegangi punggung dan pundaknya.
"Aku tidak apa-apa. Gomawo," ujar Minseok lemah. Masih terlihat shock karena dipanggil 'oppa' oleh orang berwajah sangar tadi.
Minseok berjalan mendahului Luhan dan memencet tombol lift dengan lesu. Luhan mendengus kesal—karena diabaikan oleh Minseok—dan memegang pergelangan tangan Minseok—mencegahnya masuk ke dalam lift.
"Cerita saja, Minseok. Aku sahabatmu kan?" ujar Luhan memelas. "Apa terjadi sesuatu selama aku pergi tadi?" tanyanya ragu.
Minseok mengingat panggilan 'oppa' tadi dan bergidik ngeri. Dia menggeleng dan menjawab dengan suara pelan.
"Yang penting…kurasa aku sedikit trauma dengan perempuan jaman sekarang."
"Hah?"
"Astaga, Zitao. Darimana saja kau?" tanya seorang wanita pada seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari lift dengan wajah cerah.
"Maaf, jie," jawab remaja laki-laki tersebut—Huang Zitao—dengan menggunakan bahasa Mandarin. "Tadi aku tersesat," jawabnya sambil terkekeh malu.
Wang Xinyuen—salah satu staff SM yang memang bertugas untuk menemani Zitao di hari pertamanya di Korea—menggelengkan kepalanya. "Sudah kubilang jangan jauh-jauh dari jie jie," omel Xinyuen.
Zitao mengangguk patuh. Dia harus menuruti Xinyuen karena orangtuanya memang menitipkannya pada wanita cerewet yang kebetulan adalah anak sulung dari teman ibunya ini.
"Lalu siapa yang memberitahumu kalau aku ada di lantai 3?" tanya Xinyuen lagi. "Trainee dari Cina?"
Zitao menggeleng. "Tadi ada trainee baik yang mengantarku. Kukira dia dari Cina—karena wajahnya mirip dengan orang Cina—tapi ternyata oppa dari Korea," jelasnya.
Xinyuen mengerjapkan kedua matanya bingung. "Apa? 'Oppa'?" tanyanya ragu.
Zitao mengangguk. "Ya, oppa," jawabnya polos.
"Astaga, Zitao." Xinyuen menghela nafas panjang. "Oppa itu jika ada seorang perempuan yang ingin memanggil laki-laki yang lebih tua darinya. Seharusnya kau memanggil orang itu dengan sebutan 'hyung'," jelas Xinyuen gemas.
Zitao membulatkan bibirnya dan mengangguk tidak peduli. "Dia kelihatannya tidak peduli, kok," ujarnya cuek. "Ayo, jie. Sekarang kita pergi kemana?" tanyanya semangat.
Xinyuen menghela nafas.
Ya tuhan, tolong aku, batinnya miris.
-END-
