Cinta 1000 Tahun

By

Tabita Pinkybunny

Disclaimer :

Sampai kapan pun bahkan sampai

kucing bisa ngomong sekali pun, Naruto tetap

punya Mr. Masashi Kishimoto

Warning :

Cerita GaJe, typo, aneh, ancur dan berantakan.

Bahasa dan rangkaian kata

yang digunakan kurang

begitu menarik.

Don't like, don't read !

No flame !

Summary :

Sakura awalnya hanyalah gadis biasa

yang hidup dalam

sebuah keluarga sederhana.

Namun kehidupannya berubah drastis

saat dirinya terpaksa harus melakukan

Surrogancy untuk sepasang suami-istri

yang telah lama tak memiliki anak demi

operasi sang ayah. Dan ketika cinta sejatinya

telah datang, apa yang harus dia lakukan ?

Chapter 1

Seorang wanita berusia sekitar 35 tahun berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan sebuah rumah sakit. Dari tadi tak ada keinginan sedikit pun pada dirinya untuk sejenak mendudukkan diri di salah satu kursi di tempat itu yang memang bisa dibilang banyak yang kosong.

Wajahnya mengisyaratkan jika saat ini dia benar-benar sedang menunggu sesuatu yang amat sangat penting yang menentukan kelangsungan hidup keluarga besarnya kelak.

Cklek ! Suara pintu ruang pemeriksaan dibuka, menandakan seseorang dari dalam ruangan itu telah selesai dengan urusannya.

" Terima kasih banyak dokter Tsunade. Saya telah banyak merepotkan anda selama ini." kata seorang wanita muda berambut hitam panjang pada seorang dokter yang terkenal sangat cantik di rumah sakit itu. (Lebay)

" Jangan sungkan nyonya Uchiha ! Saya hanya bisa membantu sebatas kemampuan saya saja. Selebihnya Tuhan lah yang menentukan. Saran saya...tetaplah berusaha dan jangan putus asa terlebih dahulu." jawab Tsunade meyakinkan pasien yang sudah menjadi langganannya hampir setahun itu.

" Hm, ya. Saya mengerti...Kalau begitu saya permisi dokter, ibu mertua saya telah terlalu lama menunggu." pamit wanita muda itu sambil membungkuk memberi salam perpisahan pada Tsunade, yang segera dibalas bungkukan juga.

" Baiklah, sampaikan salam saya untuk nyonya Mikoto." kata dokter Tsunade sambil tersenyum.

" Terima kasih. Akan saya sampaikan..." kata wanita muda itu mengakhiri perbincangan keduanya dan segera berlalu dari depan ruangan pemeriksaan.

Uchiha Kurenai, nama wanita muda itu, berjalan perlahan mendekati sang ibu mertua yang sedari tadi tak sabar menunggu dirinya untuk mendengar sebuah berita penting yang akan dia sampaikan.

" Ibu..." panggilnya perlahan. Dan wanita yang dipanggil itu pun akhirnya menoleh.

" Bagaimana ? Bagaimana hasil pemeriksaannya ?" tanya Mikoto pada menantunya.

Kurenai pun hanya menggeleng pasrah setelah mendengar pertanyaan sang ibu mertua yang sudah dia duga sebelumnya akan Mikoto tanyakan.

Bukan karena Kurenai seorang peramal yang langsung bisa tahu apa saja, termasuk pertanyaan itu. Namun ini karena pertanyaan yang sama selalu saja dia dengar dari Mikoto setiap dirinya selesai bertemu dengan dokter Tsunade seperti hari ini.

" Lagi !" kata Mikoto sedikit menaikkan nada suaranya.

" Maafkan aku ibu." jawab Kurenai menyesal.

" Kenapa begini lagi, hah ! Kenapa bisa gagal lagi ?

Ini sudah kelima kalinya kita mencoba. Tapi mengapa hasilnya tetap sama ?" kata Mikoto kecewa dan akhirnya terduduk lemas di sebuah kursi sambil memegangi kepalanya yang mulai terasa pusing.

" Aku sangat menyesal dengan ini, bu. Sungguh...Tapi itulah yang dikatakan oleh dokter Tsunade. Hasilnya tetap sama saja dengan pemeriksaan-pemeriksaan yang sebelumnya." kata Kurenai berusaha menjelaskan, meskipun dia tahu itu adalah hal yang percuma.

" Apa mungkin ada kesalahan dengan pemeriksaannya ?" kata Mikoto tiba-tiba memecahkan suasana yang sedari tadi memang telah terasa tak nyaman.

" Ma...Maksud ibu apa ?" tanya Kurenai tak mengerti.

" Rasanya sungguh tak masuk akal jika kita sudah melakukannya sampai lima kali namun hasilnya tetap sama dan tak ada perubahan apapun. Jadi aku pikir pasti ada yang salah. Atau mungkin...dokter Tsunade mempunyai kualitas yang buruk dalam memeriksa pasiennya. Itu mungkin saja kan ?"

Pernyataan Mikoto sungguh membuat Kurenai terkejut. Dia tak menyangka jika ibu mertuanya bisa melimpahkan kesalahan ini pada dokter Tsunade yang begitu baik dan sudah sangat dekat dengan keluarganya.

Jujur saja Kurenai amat terbabani dengan pernyataan Mikoto tersebut. Dia sungguh tahu bahwa sebenarnya yang patut disalahkan adalah dirinya ... karena pada kenyataannya memang ada yang salah pada dirinya. Kesalahan dan kegagalan yang besar sebagai seorang wanita. Kesalahan itu adalah karena dia tak bisa melahirkan keturunan.

" Ibu, aku mohon jangan berkata seperti itu. Dokter Tsunade tak ada hubungannya sama sekali dengan masalah ini. Kesalahanya murni terletak pada diriku sendiri." kata Kurenai menyanggah semua hal yang telah dikatakan mertuanya.

" Jika memang dokter itu benar dalam mendiapnosa pasiennya, kenapa hingga sekarang hasil pemeriksaanmu tetap sama saja. Tak ada perubahan sama sekali. Kenapa, hah ! Bisakah kau jelaskan pada ibu ? Bisa tidak !" kata Mikoto menghakimi.

" Itu..." Kurenai tak bisa menjawab pertanyaan itu. Jujur saja, Kurenai juga tak tahu apa yang harus dia katakan untuk menjawab pertanyaan yang dia sendiri tak tahu apa jawabannya.

" Sudahlah ! Jangan bicara apapun lagi ! Percuma juga kau jelaskan.

Aku sudah tak bisa mempercayai kemampuan dokter itu lagi.

Akan aku carikan dokter yang lebih baik dari dia. Dokter yang terbaik di Jepang. Bahkan jika perlu...akan aku carikan dokter yang terbaik di seluruh dunia. Karena bagaimana pun juga semua ini demi Itachi dan keluarga besar kita. Kau mengerti kan, Kurenai ?"

" I...Iya, bu. Aku mengerti." jawab Kurenai sekenanya.

" Sekarang kita pulang ke rumah, dan bicarakan lagi masalah ini dengan suamimu. Pokoknya ibu tak akan pernah menyerah sebelum kau dan Itachi mendapatkan seorang anak."

" Aku tahu. Kita pulang sekarang." jawab Kurenai lirih.

Cuaca hari ini adalah cuaca yang cukup panas yang bisa dirasakan oleh semua orang. Tak terkecuali oleh Sakura, seorang gadis cantik dengan rambut aneh berwarna merah mudanya.

Dia baru saja selesai bekerja sebagai seorang pramuniaga di sebuah pusat perbelanjaan ternama di kota Tokyo. Dan kini saatnya dia pulang ke rumah untuk berkumpul bersama keluarganya yang sangat dia sayangi. Karena baginya, sebentar saja tak bertemu dengan mereka rasanya seperti telah bertahun-tahun.

Sakura POV.

Hari ini cukup melelahkan bagiku. Bagaimana tidak ? Semalam adalah giliranku untuk mengambil lembur dan baru pulang siang ini. Supermarket dimana aku bekerja memang buka selama 24 jam. Jadi wajar saja jika ada sistem pergantian jam kerja seperti itu. Jujur aku memang terkadang merasa lelah dan jenuh akan semua ini. Namun itulah kewajibanku sebagai anak tertua dalam keluargaku.

Aku berkewajiban untuk membantu ekonomi keluargaku yang bisa dibilang serba kekurangan. Apalagi jika melihat kondisi ayahku yang sekarang sering sakit-sakitan. Sungguh aku tak bisa jika harus membebankan masalah ekonomi keluarga hanya dipundaknya.

" Aku pulaaa...aaang !" kataku ceria seperti biasa setiap aku memasuki 'Istanaku' ini.

Mungkin berlebihan jika aku menyebut rumah kecilku ini sebagai sebuah istana. Namun...orang yang tak berpunya seperti aku ini boleh saja bermimpi kan ?

Tapi tunggu dulu...kenapa tak ada jawaban dari seorang pun ?

Mungkin mereka tak mendengarku.

" Aku pulaaa...aaang !" kataku sekali lagi, kini dengan suara yang lebih keras. Namun masih tak ada jawaban seperti tadi.

Ini benar-benar aneh dan tak seperti biasanya. Jadi aku putuskan langsung saja menuju ruang tengah. Karena siapa tahu mereka semua sedang berkumpul disana dan sedang asyik mengobrol sehingga tak mendengarku datang.

Normal POV.

Karena tak ada seorang pun yang menjawab salamnya, maka Sakura memutuskan untuk memeriksa ke ruang tengah dimana keluarganya biasa berkumpul dan berbincang. Namun, nihil. Tak ada seorang pun anggota keluarganya disana. Yang dia temukan disana hanyalah selembar kertas berisi sebuah pesan yang sengaja diletakkan di atas meja kayu tua agar dia bisa membacanya.

Jika kakak sudah pulang segeralah menuju

rumah sakit Konoha. Ayah sakit parah.

Aku dan ibu sudah duluan kesana.

Ttd : Haruno Himawari

" Ya Tuhan, ayah !" kata Sakura terkejut dan langsung bergegas menuju rumah sakit tanpa mempedulikan tubuhnya yang tadi terasa amat lelah.

Kediaman Uchiha.

Kurenai POV.

Aku benar-benar merasa tak enak pada ibu mertuaku, Uchiha Mikoto. Dia pasti sangat kecewa pada hasil pemeriksaanku hari ini yang lagi-lagi menunjukkan hasil yang sama. Gagal.

Bahkan saat di mobil tadi, tak sepatah kata pun ibu mertuaku itu ucapkan padaku. Ini menjadi bukti jika kali ini dia benar-benar dalam keadaan marah.

" Kami pulang !" kataku sekenanya pada orang-orang yang ada di dalam rumah besar ini. Ternyata di ruang utama sudah ada suamiku tercinta, Uchiha Itachi, dan adik iparku, Sasuke.

" Kau dan ibu dari mana ?" tanya Itachi padaku saat melihatku dan ibu mertuaku baru saja memasuki rumah. Suamiku memang tak tahu kemana aku dan ibu mertuaku pergi kemana. Ini karena memang aku sengaja tak mengatakan kepadanya. Karena aku tahu benar bagaimana reaksinya jika aku bilang aku akan ke rumah sakit untuk menjalani test kandungan yang sangat melelahkan itu. Aku yakin100 % dia tak akan memberi ijin aku untuk melakukannya.

" Kami berdua dari..."

" Dari rumah sakit." Sebelum aku sempat menjawab pertanyaan Itachi, ibu mertuaku sudah terlebih dahulu menjawabnya.

" Dari rumah sakit ? Apakah kakak ipar sakit ? Tapi sepertinya dia baik-baik saja." Kini giliran Sasuke yang bertanya sambil memandang ke arahku yang kelihatan sehat-sehat saja, karena memang aku tak mengidap sakit apapun.

" Tidak. Kami ke rumah sakit untuk..."

" Untuk melakukan test kandungan." jawab ibu mertuaku dan lagi-lagi memotong pembicaraanku.

" Ibu, berapa kali aku harus mengatakan pada ibu untuk menyudahi semua ini. Janganlah terus memaksa Kurenai untuk menjalani test yang menjenuhkan dan tak ada hasilnya ini." kata Itachi sedikit marah. Tepat seperti dugaanku tadi.

Dan aku menduga sepertinya perdebatan akan segera terjadi diantara suamiku dan ibu mertuaku.

Normal POV.

" Apa kau bilang ? Hentikan !

Apa kau sadar Itachi, kenapa ibu melakukan ini semua ? Ibu melakukan ini semua juga untuk membantumu dan istrimu untuk segera mendapatkan seorang anak. Ini demi kelangsungan kehidupan rumah tangga kalian berdua juga kan !" kata Mikoto yang mulai menaikkan nada bicaranya karena terpancing dengan ucapan Itachi.

" Tapi bu...apa ibu tak memikirkan perasaan Kurenai ? Aku yakin dia sebenarnya juga sudah jenuh dan lelah dengan semua test ini. Mungkin, wanita lain pun juga tak akan sanggup jika harus menjalaninya secara terus menerus." jawab Itachi sedikit menentang pernyataan ibunya.

" Iya, bu. Kak Itachi benar. Kasihan kan jika kakak ipar harus terus mengikuti kemauan ibu untuk melakukan test kandungan itu.

Sebaiknya kita serahkan saja semuanya pada Tuhan. Kita jalani takdir yang telah Tuhan gariskan untuk keluarga kita." kata Sasuke mebenarkan perkataan kakak sekaligus rivalnya itu.

" Omong kosong macam apa yang kalian katakan ini ! Lelah ? Kalian bilang Kurenai lelah ! Apa kalian sadar dengan apa yang kalian ucapkan ?

Justru ibu lah orang yang sebenarnya paling lelah dengan semua ini.

Ibu telah lelah menantikan seorang cucu yang tak kunjung datang juga meski sudah berkali-kali berusaha. Jadi, disini lah ibu yang paling lelah. Bukan Kurenai !" kata Mikoto benar-benar marah kali ini. Karena tak ada seorang pun yang berpihak dan membelanya. Tak terkecuali dengan Sasuke, anak yang amat disayangi dan dimanjakannya itu.

" Tapi tetap saja aku tak suka cara ibu memperlakukan Kurenai seperti ini dan terus memaksanya untuk menuruti apapun yang menjadi kehendak dan kemauan ibu. Dia juga punya pilihan sendiri bu, untuk menjalani kehidupannya." jawab Itachi sambil sedikit melirik kea rah Kurenai yang dari tadi diam seribu bahasa.

" Pilihan yang dia punya hanya satu, Itachi. Dia tetap jalani test kandungan itu dan berikan ibu seorang cucu. Hanya itu."

" IBU, HENTIKAN ! Cukup sudah semua ini !

Aku benci jika ibu terus memaksakan kehendak ibu itu pada Kurenai. Aku benar-benar muak mendengarnya. Dan...berhenti mencampuri urusan rumah tanggaku lagi !" kata Itachi akhirnya yang sudah tak bisa lagi memendam amarahnya.

" ITACHI, KAU !"

" Sudahlah, cukup ! Hentikan semua perdebatan ini ! Kenapa jadi bertengkar seperti ini sich ? Kakak dan ibu sama sekali tak menghargai perasaan kakak ipar." kata Sasuke yang telah jenuh dengan perdebatan ibu dan anak itu.

Itachi dan Mikoto akhirnya menghentikan perang dingin diantara keduanya. Perang yang seharusnya tak perlu terjadi, jika satu sama lain mau mengerti dan menghargai keinginan masing-masing pihak.

" Maafkan aku, bu. Aku tak bermaksud berkata kasar pada ibu tadi. Aku hanya terbawa emosi saja." kata Itachi meminta maaf. Dia benar-benar merasa sangat bersalah karena telah membentak orang yang telah melahirkannya.

" Ibu tahu. Tapi ibu akan tetap pada kemauan ibu semula, yaitu tetap menyuruh Kurenai menjalani test kandungan itu. Meskipun kau bersikeras melarang ibu melakukannya. Kecuali..." Mikoto memotong sebentar ucapannya. Membuat ketiga orang lain yang berada di ruangan itu menatap dalam-dalamya ke arahnya.

" Kecuali apa ?" tanya Itachi.

" Kecuali kau dan Kurenai, kalian berdua...

Bercerai !"

DEG ! Bercerai ?

Itu adalah kata yang paling tak ingin didengar oleh pasangan manapun di dunia ini, tak terkecuali oleh Itachi dan Kurenai. Mana mungkin bingkai rumah tangga yang sudah mereka bina selama hampir 4 tahun itu harus disuruh diakhiri begitu saja tanpa ada alasan yang jelas.

Ya...mungkin ini memang karena masalah keturunan. Tapi tetap saja keduanya tak akan mau mengakhiri pernikahan mereka hanya karena masalah ini saja.

" Apa yang ibu katakan, bercerai ?" tanya Itachi mengulang pertanyaannya untuk meyakinkan dirinya kalau dia tadi tak salah dengar. Dan pendengarnya memang masih sangat baik.

" Ya, bercerai. Karena itulah cara lain yang bisa kau lakukan agar kau bisa memperoleh keturunan. Dengan menikahi wanita lain lah kau bisa segera memberikan ibu seorang cucu yang akan meramaikan suasana rumah ini."

" Kenapa ibu tega berkata seperti itu, bu ? Kenapa begitu mudahnya ibu mengutarakan kata cerai. Ibu sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaanku dan Kurenai. Sungguh keterlaluan..." kata Itachi tak mengerti dengan jalan pikiran sang ibu.

" Justru karena ibu peduli padamu, makanya ibu mengutarakan semua ini. Ibu hanya ingin melihatmu bahagia dalam menjalani kehidupanmu, Itachi. Ibu tak ingin melihatmu menderita dan terus terpuruk hanya karena masalah tak segera memperoleh momongan. Itu saja keinginan ibumu yang sudah cukup tua ini. Apa ibu salah jika ibu berpikiran seperti ini ?" tanya Mikoto pada putra tertuanya itu yang kelak akan mewarisi sebagian besar perusahaan miliknya.

" Tapi bu..."

" Sudahlah, sayang, cukup. Hentikan ! Jangan lagi berdebat dengan ibu. Ibu pasti sudah sangat lelah dengan hari ini. Jadi biarkanlah ibu beristirahat." kata Kurenai akhirnya angkat suara.

" Ta...Tapi..." Itachi berusaha mengatakan sesuatu lagi, tapi dengan segera Kurenai melarangnya dan tersenyum pada suaminya sebagai tanda bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.

" Aku akan menjalani test kandungan itu lagi sesuai keingainan ibu. Dan aku tak akan menyerah sebelum kita mendapatkan hasil yang memuaskan. Dan soal diriku...kau jangan khawatir. Aku baik-baik saja. Tak perlu kau cemaskan aku." kata Kurenai pada suaminya sambil menggenggam tangannya.

" Baguslah. Jadi tak ada yang perlu kita cemaskan dan perdebatkan lagi. Ibu akan istirahat di kamar. Dan kau Kurenai, besok akan ibu buatkan janji untukmu agar kau bisa bertemu dengan dokter terbaik rekomdasi dari kawan baik ibu. Jadi besok kau siap-siap saja." perintah Mikoto.

" Aku mengerti, bu." jawab Kurenai.

Sakura terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit Konoha mencari dimana adik dan ibunya berada. Dia sangat mencemaskan sekali keadaan sang ayah sekarang, yang kali ini mungkin saja keadaan kesehatannya diluar dari yang bisa dia bayangkan.

Dan beruntung baginya karena Tuhan memberikan kemudahan untuknya. Karena tak memerlukan waktu yang lama dia sudah bisa menemukan adik dan ibunya yang kini berdiri di depan ruang ICU, menunggu dengan perasaan cemas yang jelas terlihat dari raut wajah keduanya.

" Ibu, Himawari..." panggil Sakura yang langsung membuat keduanya menoleh bersamaan.

" Kakak ! Syukurlah kakak sudah datang. Hik...hiks..." jawab Haruno Himawari sambil berlinang air mata.

" Bagaimana keadaan ayah, Hima ? Katakan padaku. Ayah baik-baik saja kan ?" tanya Sakura cemas.

" Itu, ayah..." kata Himawari berusaha menjelaskan.

" Ayah kenapa, Hima ? Bicaralah ! Jangan membuat aku cemas !" kata Sakura tak sabar sambil memegang pundak sang adik dengan kedua tangannya yang bergetar karena takut.

" Ayahmu harus segera dioperasi, Sakura." jawab Haruno Tsubaki mengambil alih.

" Operasi ? Ta...Tapi bagaimana bisa ?" tanya Sakura tak mengerti.

" Kata dokter, jantung ayahmu sudah sangat parah. Jadi untuk menolongnya, hanyalah lewat jalan operasi. Dan jika operasi itu tak segera dilakukan, ayah...

Dia tak bisa diselamatkan lagi, kak. Hik...hiks..." kata Himawari.

"..."

" Bagaimana ini, Sakura ? Apa yang harus kita lakukan ? Mana mungkin kita mempunyai uang untuk biaya operasi ayahmu." kata Haruno Tsubaki bingung memikirkan kelangsungan hidup suaminya.

" Memang, berapa biaya operasi ayah, bu ?" tanya Sakura akhirnya berusaha mencari tahu.

" Biayanya sangat besar."

"..."

" Kira-kira sebesar 20 juta."

TBC

Akhirnya...selesai juga fic pertama aku. Sebenarnya fic ini terinspirasi dari sebuah drama korea yang aku tonton lewat DVD bajakan *PLAAK !* langsung digampar ma polisi. Hik...hiks... Aku author baru di ffn ini, jadi maaf jika banyak kesalahan dan kekurangan (Emang banyak)

Dan buat para author senior, aku sangat menunggu saran dan reviewnya demi perbaikan fic aku ini. Terima kasih...^_^

Mumpung masih chapter 1 silahkan tentukan apakah fic ini layak

dilanjutkan atau tidak ?