Disclaimer: Hidekaz Himaruya – Hetalia: Axis Powers
Genre: Crime/Romance
Warning: T+, Alternative Universe, Human Names Used, Typo(s), Out of Characters, Yaoi, etc.
"Pernikahan kita harus batal, Al."
Iris biru safirnya melebar, mulutnya sedikit terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu namun tertahan. "T-tapi kenapa? Minggu depan seharusnya jadi hari bahagia kita, kan?"
"Maafkan aku."
"Tunggu! Jelaskan padaku kenapa, apa alasannya?! Hei!"
.
.
"Al?" Arthur melambai-lambaikan tangannya di depan wajah putra tirinya, "Alfred? Kau mendengarku?"
"A-ah, ya, ya, aku dengar."
Arthur mendesah pelan, "Al, kau melamun lagi dan berhentilah membaca e-mail yang sama setiap hari."
"Dad, sudah kukatakan berulang kali. Jangan suka menyingkat namaku jadi lebih pendek lagi."
"Kenapa? Ivan saja boleh memanggilmu 'Al'"
Pemuda itu melirik tajam, "Jangan sebut nama orang bodoh itu."
"Kau masih marah, yah?"
Alfred memutar bola matanya kesal lalu beranjak dari duduknya meninggalkan Ayahnya yang entah memang iseng atau memang masih ingin tahu penyebab putusnya hubungan Alfred dan Ivan. Memang di sayangkan putranya yang satu ini rela menjadi seorang homoseksual untuk lelaki yang pada akhirnya malah mengecewakannya. Secara fisik Alfred tidak berbeda dengan lelaki tanggung pada umumnya. Usianya sudah lebih dari kepala dua dan sekarang ia masih sibuk dengan kuliahnya juga pekerjaan sampingannya sebagai event organizer. Tidak mudah untuk melakukan dua hal dalam satu waktu, tapi Alfred berusaha menjalankan apa yang ia kerjakan dengan baik. Kuncinya adalah manajemen waktu.
Hati Alfred masih terasa sakit dan kata-kata mantan kekasihnya masih terngiang-ngiang jelas di telingannya. Sampai sekarang pun ia masih tak mengerti kenapa Ivan memutuskannya secara sepihak. Jika ia memang melakukan salah, katakan apa salahnya. Mereka sudah menjalani hubungannya ini selama dua tahun. Dan, menerima kenyataan bahwa ia mencintai seorang lelaki itu memang awalnya sedikit menggangu bahkan Arthur, Ayahnya, sempat menolak keras hubungan mereka. Oh, ayolah, masih banyak perempuan di muka bumi ini yang tentu lebih baik daripada harus berhubungan dengan laki-laki lagi.
Bodoh! Ivan bodoh!
– Trrrrtt~
Sebuah pesan singkat masuk ke dalam kotak masuknya. "Mrs. Edelstein ... pasti soal rencana pernikahannya. Hhh."
Tubuhnya menggeliat malas di atas tempat tidur, mencoba menekan tombol panggil untuk membicarakan soal rencana pernikahan Elizavetha Edelstein dengan pria Prussia bernama Gilbert Beilschmidt. Entah beruntung atau apa, Gilbert bisa menarik hati janda kaya raya yang mungkin memang kesepian. Sebelum menikah dengan mendiang suaminya, Roderich Edelstein, yang seorang pianis ternama, Elizavetha adalah seorang akuntan biasa. Pernikahan mereka menjadi lebih membahagiakan ketika buah cinta mereka lahir. Mungkin hanya perasaan Alfred saja tapi putra pasangan suami-istri itu sedikit berbeda, rambutnya berwarna terang sedang kedua orangtuanya berwarna gelap. Sedikit aneh bukan.
"... jadi Alfred, aku ingin konsep yang kau sarankan minggu lalu," ujar Elizavetha nun jauh di sambungan telepon sana, "Aku suka konsep manis perpaduan ungu dan merah muda."
"Umm, baiklah nanti kucoba untuk mencocokkannya dengan desain rumah Anda."
"Eh? Kau lupa, yah? Aku dan Gil kan ingin menggunakan rumah peninggalan mendiang suamiku yang di atas bukit itu."
Alfred menepuk dahinya, "Maaf, aku jadi kurang fokus belakangan ini."
"Apa ini karena masalah kau dan Ivan?"
"Mrs. Edelstein jangan bicarakan hal lain di luar urusan kita, tolong."
Wanita itu tekekeh kecil, "Baiklah, baiklah, maaf. Lebih baik aku tunggu kabar selanjutnya darimu, Alfie."
"A-apa maksud Anda dengan 'selanjutnya'?"
"Tentu saja tentang rencana acara serta desain yang cocok untuk pernikahanku dan Gil, Alfie."
"O-oh, kukira apa."
"Alfred Frederick Braginski, heh?"
"Cukup!"
Tanpa sengaja Alfred malah menutup sambungan teleponnya sedang Elizavetha hanya bisa menahan tawa. Sudah sejak lama ia memang selalu memantau perkembangan hubungan Alfred dan pemuda Rusia itu. Mungkin ini terdengar aneh, tapi Elizavetha memang tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan percintaan sesama lelaki. Alasannya memilih Alfred sebagai orang yang menangani acaranya juga bukan karena tak bisa memilih E.O yang lebih profesional, tapi juga karena dia mempunyai 'kesempatan emas' itu. Selain Elizavetha memang teman semasa SMA dengan Arthur, menjadikan wanita itu untuk lebih bisa memata-matai Alfred. Oh, Alfred.
"Kau mengerti kan, Lee?" tanya Alfred sembari menunjukan rancangannya pada pemuda Asia itu.
"Ya."
"Kau bisa meminta bantuan pada pemuda Islandia itu untuk memahat patung es untuk acara pembukaan nanti."
"Kenapa harus aku?"
"Kalian kan cukup dekat, lagipula aku malas kalau harus berhadapan dengan kakaknya."
"Aku juga."
Lagi, Alfred menepuk dahinya, "Kau bilang kau ingin membantuku."
"Aku hanya mau membantu di bagian dekorasi saja bukan sebagai pemanggil orang," Lee memberikan jawaban frontal tanpa ekspresi apapun.
"Oh, ayolah, Lee. Aku tak harus menjejalimu lagi dengan hamburger seperti kemarin lusa, kan," ancam Alfred.
"Tidak perlu. Terakhir kali kau melakukannya, leherku rasanya seperti mau patah."
"Kalau begitu, lakukan apa yang harus kau lakukan, dan aku lakukan apa yang harus kulakukan. Waktu kita tak banyak."
Lee mengangguk tanda mengerti. Pemuda Asia itu pun bangkit dari duduknya dan beranjak pergi. Sekarang Alfred harus berkutat dengan laptopnya, Elizavetha akan menikah bulan depan, ia baru menangani ini sekitar dua minggu yang lalu dan baru berjalan sekitar 25%. Seharusnya sekarang sudah H-1 menuju pernikahannya dengan Ivan, tapi semua tinggal kenangan.
Alfred melepas kacamatanya dan meregangkan otot-ototnya yang tegang. Matanya melirik jam tangan Rolex pemberian Ivan. Sial. Kenapa Alfred masih memakai benda-benda pemberian lelaki itu? Dan ketika ia sadari ternyata syal berwarna putih pucat yang ia kenakan saat ini juga milik Ivan. Alfred belum mengembalikannya dan memang Ivan sendiri yang bilang tak usah dikembalikan. Pantas saja Alfred sulit melupakan lelaki itu, semua yang ada di sekitarnya secara tak langsung memang menjurus pada Ivan. Ivan dan Ivan.
Damn!
(26 hari sebelum hari pernikahan Gilbert dan Elizavetha)
"Ah, rumah ini besar sekali," puji Arthur ketika melihat rumah yang akan dijadikan tempat berlangsungnya pernikahan itu, "Roderich memang punya cita rasa seni yang tinggi."
"Arthur~ ..." suara lembut Francis menggelitik gendang telinga Arthur, "Aku juga punya cita rasa yang seni tinggi, loh."
"Bloody Frog! Jangan suka bicara hal yang tidak perlu, git!"
"Tapi memang begitu kok, mon cher~."
"Hei, apa kau tidak malu dengan usiamu yang sudah lebih dari kepala empat!"
"Setidaknya aku sudah menikah dan normal."
Arthur menggeram kesal, "Apa maksudmu?!"
"Kau sudah berusia 42 tahun, masih bujangan dan memilih untuk mengadopsi seorang balita usia lima tahun pada saat berusia 22 tahun," Francis menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiranmu, Arthie."
"Lebih baik kau tidak mengerti!"
Arthur melengos pergi dengan wajah merah padam menahan marah. Sejak SMA mereka memang tak pernah akur. Seperti biasa Francis-lah yang memulai walau awalnya ia memang tak berniat mengganggu Arthur.
"Kesese, masih belum bisa akur?" senggol Gilbert.
Francis mendesah pelan, "Yah, begitulah mon ami. Aku tidak tahu apa yang membuatnya selalu marah padaku. Aduh, duh."
"Mungkin Arthur masih kesal ketika kau memaksanya untuk bertukar pakaian di ruang ganti sekolah. Tanpa sengaja kau malah merobek baju yang ia pakai dan aku masih ingat Kiku yang entah sengaja atau tidak, mendorongmu sampai jatuh menimpa Alis Ulat Bulu itu."
"Dia pikir aku akan memperkosanya."
"Mungkin," seringaian jahil menghias wajah albino Gilbert, "Tapi kalau memang ada kesempatan kau akan melakukannya, kan?"
"Kenapa tidak?"
Keduanya tertawa terbahak-bahak puas membicarakan orang yang sebenarnya sedikit menguping pembicaraan mereka berdua. Gigi-giginya bergemeretak pertanda kesal. Sialan.
"Bloddy Frog sialan! Apanya yang normal coba!?"
.
.
Kakinya terus menapaki anak tangga yang terbuat dari marmer putih. Sungguh indah. Iris biru safir di balik kacamatanya juga melihat dinding yang berwarna krem membuatnya hampir senada dengan warna anak-anak tangga ini. Jendelanya yang dibuat tinggi juga memberikan kesan luas. Selintas ide menarik membuatnya jadi semangat mengerjakan proyek ini.
Tambahan bunga-bunga akan menjadikan kesan feminim dari Mrs. Edelstein lebih terlihat, bisik Alfred dalam hati.
"Bagaimana Alfred? Kau mendapatkan sesuatu yang menarik?" tanya Elizavetha dengan senyum manis terkembang sempurna.
"Oh, ya, tentu! Rumah ini lebih dari sekedar indah tapi juga memang berbeda dari yang lain."
"Roderich sendiri yang merancangnya. Ia merancangnya dengan penuh cinta juga berusaha membuat seindah mungkin. Tadinya rumah ini akan dihadiahkan pada Kunstler pada ulang tahunnya yang ke-12, tapi ..." Elizavetha memeluk dirinya sendiri dan menyandarkan tubuhnya ke dinding, " ... Tuhan mengambilnya lebih cepat karena leukemia yang di deritanya. Setahun berselang Roderich juga pergi menyusulnya."
Alfred mengusap-usap bahu wanita itu, "Sudahlah, yang sudah pergi biarkanlah pergi. Aku yakin mereka pasti sudah berada di tempat yang terbaik dan mereka juga pasti menginginkan Anda selalu berada dalam kasih dan lindungan Tuhan."
Elizavetha mengusap air mata yang ada di pipinya. Alfred tahu apa yang Elizavetha rasakan. Kehilangan orang-orang yang sangat ia sayangi membuatnya terpukul. Tapi itu bukan berarti Elizavetha harus terus terpuruk dengan keadaanya, walau mungkin tak bisa menggantikan posisi Roderich –tentu saja tak bisa, dari sifatnya juga berbeda jauh– Gilbert setidaknya bisa membuat Elizavetha merasa nyaman dan aman. Wanita itu tidak akan sendirian lagi dan tak akan meratapi kesedihannya.
"Terimakasih Alfred."
"Anda tak perlu mengatakan itu," Alfred berdehem kecil untuk mengalihkan suasana, "Aku sedikit penasaran dengan kamar-kamar yang ada di rumah ini."
"Umm, seperti yang sudah kau lihat Alfred, saat kau memasuki rumah ini kau akan langsung berada di ruangan tamu yang cukup luas dan itu cukup untuk acara malam pesta. Kau juga sudah melihat ruangan-ruangan yang ada di bawah juga, kan. Lalu ada dua buah anak tangga yang dibuat setengah lingkaran yang masing-masing mengarah menuju ruangan yang berbeda."
"Ya, tadi aku menaiki tangga yang sebelah kiri."
"Tangga yang sebelah kiri di sini akan mengarah ke 10 ruangan, di antaranya tujuh kamar tidur, tiga ruangan lainnya sedangkan jika kau tadi menaiki tangga yang berada di sebelah kanan, kau juga akan mendapati 10 ruangan dengan jumlah lima kamar tidur dan lima ruangan lainnya."
"Sepertinya rumah ini pernah ditinggali, yah?"
Elizabetha mengangguk, "Ya, rumah ini pernah kutinggali bersama Vash dan Lili selama setahun. Tapi, yah, aku jarang berada di rumah."
"Oh, begitu."
Elizavetha mengajak Alfred untuk melihat setiap ruangannya di lantai dua. Ruangan pertama digunakan sebagai ruang untuk menyimpan Steinway milik Roderick dan beberapa instrumen musiknya, seperti biola. Letak piano yang sedikit menyamping menghadap jendela membuat siapapun yang akan duduk dan memainkan tuts-tuts itu akan merasakan embusan angin yang masuk. Terdapat juga sebuah rak buku berisi partitur-partitur berharga yang tentunya tersimpan rapih.
Di ruang kedua dan ketiga adalah kamar tidur, lalu di kamar keempat adalah ruangan khusus untuk Kunstler. Ruangan berisi cat air, kuas, kanvas dan segala jenis alat lukis untuk menumpahkan jiwa seni bocah itu. Elizavetha tersenyum miris melihat lukisan-lukisan lama mendiang putranya yang sudah tiada. Kemudian terdapat lagi kamar tidur di ruangan kelima sampai kamar kesembilan. Ruang kesepuluh adalah ruangan untuk Elizavetha. Tak usah dijelaskan apa isinya sebab Elizavetha bilang itu rahasianya dan Kiku.
Mereka berdua pun menuruni tangga untuk melihat ruangan-ruangan yang ada di samping kanan. Ruang 11 adalah kamar tidur, ruangan ke-12 adalah ruangan yang Vash gunakan untuk menyimpan koleksi senjatanya. Elizavetha tak mau melarangnya, sebab jika sudah menjadi hobi tak bisa dilarang, asal tak membayakan siapapun itu tak apa. Ruang 13, 15, 17 dan 19 juga adalah kamar tidur. Ruang ke-14 adalah ruangan kerja untuk Roderich. Tidak ada hal khusus di sini, selain rak buku besar yang dibuat menjorok ke dalam dinding dan sofa panjang untuk membaca. Ruang ke-16 digunakan untuk ruang bersantai. Terdapat bar kecil menyimpan beberapa botol bir, perapian di sertai karpet dan beberapa bantal kecil. Elizavetha mengatakan kalau mereka mempunyai rak-rak berisi anggur di gudang bawah tanah. Gilbert dan Ludwig merupakan teman baik dari Roderich, walau mendiang suaminya bukan tipe yang gemar minum tapi mengumpulkan macam-macam anggur menjadi kegemarannya yang mungkin sejalan dengan Beilchmidt bersaudara itu.
"Ini sungguh luar biasa!" seru Alfred, "Mr. Edelstein memang jenius bisa membuat rumah ini dan semuanya bisa disesuaikan dengan ... dengan keluarganya."
"Walau Roddie tipe yang pendiam, dia tipe yang penyayang keluarga, loh. Fu fu fu."
Alfred tertawa kecil, "Sudah terlihat. Lalu di ruangan ke-18 ada apa?"
"Itu hanya sebuah ruangan yang kosong. Tadinya sempat kugunakan untuk menyimpan peti Kunstler dan Roddie sebelum mereka dimakamkan. Lalu yang terakhir itu tak begitu luas jadi hanya digunakan untuk jalan menuju balkon."
Perasaan dingin terasa di sekitar leher Alfred. Ia melihat ke belakang sembari memegang lehernya. Melihat ke sekeliling dan menatap Elizabetha dengan sedikit takut. Tidak mungkin. Di sini tak mungkin ada hantu.
"Mrs. Edelstein di sini ..."
"Tenang Alfie, di sini tak ada yang namanya hantu atau apapun."
"Ta-tapi ini kan tempat bekas mendiang suami dan putra Anda."
"Ahahaha, Alfie, Alfie, Arthur ternyata benar," Elizabetha menahan tawanya.
"Ah, sudahlah hentikan. Aku malu."
"Baiklah, baiklah."
-0o0o0-
Hari berganti hari dan tak terasa semua persiapan untuk acara pernikahan pun sudah sempurna. Tiga haris sebelum hari bahagia itu berlangsung, Vash dan Lili datang khusus untuk menghadiri acara ini. Gilbert dan Elizavetha sudah tinggal di rumah itu sejak sehari sebelum kedatangan dua kakak-beradik itu. Vash dan Lili adalah adik dari mendiang suaminya, Roderich. Walau suaminya sudah tiada, ketiganya masih mempunyai hubugan yang baik sampai sekarang.
"Aiyaa, tapi seingatku hari pernikahannya harusnya enam hari lagi, aru," protes Yao pada Lee.
"Bukannya Gege sendiri yang bilang kalau tanggal yang bagus itu lusa?"
"Lee, ramalan Feng Shui-ku tak mungkin salah dan lagipula siapa yang bilang kalau tanggal yang bagus itu lusa, aru?"
"Gege."
Mulut Yao terbuka lebar, "Kapan, aru?"
"Gege yang menuliskannya dalam secarik kertas lalu menyuruhku untuk mengirimkannya pada Mrs. Edelstein," Lee menghela napas panjang, "Gege ini sudah pikun, yah."
"Apa kau bilang, aru?!"
"Sudahlah, Gege. Lagipula semuanya sudah direncanakan dengan matang, tak baik kalau seenaknya merubah tanggal pernikahan orang lain."
"Aku merasakan firasat buruk, aru."
.
.
"Kerja bagus, Alfie. Aku bangga padamu." Arthur menepuk-nepuk bahu putranya dengan wajah tersenyum.
"Thanks, Dad."
"Terimakasih Alfred, aku senang dengan hasilnya. Indah sekali," puji Elizavetha.
"Tapi Lee juga ikut membantu, kok."
Elizavetha tersenyum. "Kalian berdua luar biasa. Dan, ah, ada beberapa orang yang kuundang untuk bermalam di sini."
"Siapa saja mereka?" tanya Gilbert.
"Vash, Lili, Adikmu Ludwig, Yao yang meramalkan tanggal bagus untuk hari pernikahan kita," senyum di wajah Elizavetha semakin mengembang, " Lee, Francis yang membantu untuk mengkoordinir food and beverage, Kiku sahabat terbaikku, Arthur dan yang terakhir ... Ivan. Ivan Braginski."
Seperti disambar petir di siang hari. Alfred mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri semula. Arthur yang melihatnya segera memegangi tubuh pemuda itu. "Kau baik-baik saja?"
"Maaf, mungkin ini terdengar tidak sopan, tapi bolehkah aku pulang?"
Francis merangkul bahu Alfred, "Alfie, Alfie. Bukannya ini bagus?"
"Ayo, kau pasti bisa, Alfred-kun."
"Aku mendukungmu," tambah Elizavetha.
Alfred melihat ke arah mereka satu per satu. Ini gila!
"Kalian ini kenapa, sih?!"
Pemuda berkacamata itu tanpa sadar meneriaki para orangtua yang menurutnya tak dewasa. Ini masalah pribadinya kenapa semua orang harus ikut campur di dalamnya, sih. Ini sudah kelewatan. Alfred berbalik dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya.
"Apa kita terlalu berlebihan, kese?"
"Tentu tidak mon ami. Dia hanya malu saja."
Jitakan pedas bertubi-tubi mendarat di kepala keduanya. "Ini pasti ulah kalian lagi, kan?!"
"A-Arthur tunggu dulu, ini bukan salah kami, sungguh." Francis mencoba membela.
"Aku tidak peduli! Cepat minta maaf pada Alfred, bloody wanker!
"Tunggu!" cegah Kiku, "Tadi Alfred-kun berlari ke atas, kan? Bukankah Ivan juga ada di atas?"
Semuanya saling berpandangan, merasa satu pikiran dan satu tujuan. Satu-satunya orang yang menolak pikiran satu mereka hanya Arthur. Bagaimanapun ini bukan sesuatu yang bisa dijadikan mainan.
-0o0o0-
Alfred menghentakan kakinya kesal, berjalan cepat sampai ia melihat pintu seberang kamarnya terlihat sedikit terbuka. Ia tak ingat susunan kamar yang tadi diberitahu Elizavetha, pikirannya memang sedang kacau. Ditambah bahwa Ivan berada di sini. Kacau.
Karena penasaran Alfred mengintip sedikit. Gelap. Kamar ini begitu gelap. Bukan apa-apa, sih, takutnya orang yang menempati kamar ini ceroboh tak sengaja membiarkan pintu kamarnya terbuka.
– Grep!
"Gyah~!"
– Blam!
– Cekrek!
"Mengintip itu tidak baik, Al," suara yang tak asing bagi Alfred.
"I-Ivan?!" ujar Alfred kaget sekaligus takut. Di hadapannya Ivan berdiri dengan rambut yang basah, bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana panjang saja. Harum sampo terasa sampai ke hidung Alfred. Dan, sekarang dada Alfred berdegup kencang sampai jantungnya terasa ingin keluar. "Ivan biarkan aku keluar."
"Kalau aku tidak mau bagaimana, da?"
Sial! Seharusnya aku langsung ke kamar saja tadi!
"Ivan, kumohon."
Pemuda Rusia itu menyeringai. "Aku tidak pernah melihatmu memohon seperti ini, da. Ini seperti bukan Al yang kukenal, kau berubah, da"
"Kau tidak tahu apapun, Ivan"
"Begitukah?" Ivan berjalan mendekat, memegang erat kedua tangan Alfred. Pemuda itu mengalihkan pandangannya dari iris violet Ivan. Dengan berani Ivan mengangkat tangannya dan mengelus pipinya, lalu menelusuri leher terbuka Alfred dengan jarinya. "Kau masih mencintaiku, kan? Akuilah, da."
"A-aku tidak ... kau dan aku hanya masa lalu," Alfred berusaha menelan ludahnya dengan susah payah, "Dan, berhenti menggodaku!"
Ivan tertawa. "Menggoda? Justru kau tampak menggoda, Al."
Hentikan dia Alfred sebelum ia membuatmu luluh. Tapi kau tidak bisa, kan? Tubuhmu menginginkannya selalu berada di dekatmu dan menyentuhmu lebih dari ini, kan? Akuilah Alfred.
Wajah Alfred semakin memerah. Ivan yang kini berada di hadapannya dengan bertelanjang dada membuat kepala Alfred menjadi panas. Logikanya tak sejalan dengan hatinya. Logikanya menyuruhnya untuk berhenti memikirkan Ivan, tapi hatinya masih mengharapkan lelaki itu.
Jari-jari Ivan masih bermain di seputar leher Alfred, menyentuh setiap titik-titik sensitif yang sesekali membuat mantan kekakasihnya itu mendesah, memohon agar dibiarkan keluar. Senyum tipis terlihat di wajah tampan Ivan. Tangannya menyusup ke dalam kaos hitam pemuda itu memainkan tonjolan kecil di dada Alfred, sedang tangan yang satu tetap menahan kedua tangan Alfred. Checkmate.
Hentikan pria ini Alfred! Oh, tidak ... kau terlambat Alfred, terlambat.
Ivan mencium Alfred. Perlahan. Dengan lembut. Menikmati setiap detiknya. Menggesekkan bibirnya pada bibir Alfred. Menggigit bibir bawah Alfred dan seperti sebuah komando, Alfred membuka mulutnya. Lidah Ivan mulai menjelajah dalam mulut Alfred dan memperdalam ciuman mereka.
Ketika Ivan memperdalam ciumannya, ia melepaskan pegangannya pada tangan Alfred. Ia menggerakan tangannya ke belakang tubuh Alfred dan menangkup bokongnya. Ivan berusaha menekankan bagian bawah tubuhnya yang mulai menegang pada tubuh Alfred.
Tubuh Alfred bergetar.
Alfred menghentikan ciumannya, berusaha menghirup udara segar, dan berkata dengan parau, "Apa yang sebenarnya kau inginkan Ivan?"
"Aku hanya ingin kau, Al."
"Kalau kau memang menginginkanku, kenapa kau meninggalkanku?"
"Kau masih belum mengerti juga, da? Setiap minggu kukirimkan alasannya lewat email, dan kalau kau jeli, kau pasti paham."
Alfred kembali mengingat email yang sama yang selalu dikirim Ivan setiap minggunya. Alasan. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Tapi, Alfred tetap tidak mengerti maksudnya. Ini rumit.
"Ivan a-ah..." Alfred merasakan tangan Ivan menyusup ke dalam bagian belakang celananya, "T-tapi aku tidak mau!"
"Tenang ini hanya sekedar seks, Al."
"Tapi, Ivan ... aku ..."
Tangan besarnya membelai rambut pirang Alfred, menempatkan dagunya di bahu pemuda itu. Menjilat leher Alfred, menggigitnya, menghisapnya lalu membisikan sesuatu di telinga Alfred. "Ini juga yang pertama bagiku, Al."
Alfred menggeleng keras, lalu mendorong Ivan. "Aku bilang, aku tidak mau!"
Cepat-cepat Alfred membuka pintu, berlari menuju kamarnya dan mengunci rapat pintu agar Ivan tak bisa masuk. Pertemuannya kembali dengan Ivan membuat Alfred menjadi bingung harus bagaimana. Ini terlalu menyebalkan juga sedikit membuat senang. Orang lain bisa saja mengatakan bahwa Alfred seorang yang bodoh, tapi ia memang masih mencintai Ivan. Masih.
...
Bersambung
[Spoiler – Chapter 2]
"Bagaimana ia bisa tewas?" Arthur masih tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya beberapa menit lalu, "Kuncinya saja masih ada di atas meja."
"Lalu kau mau bilang Houdini yang melakukan semua ini, Arthie, atau makhluk-makhluk tak kasat mata? Seperti itu?"
"Kau mau mengejekku, heh, Bloody Frog!?"
"Hentikan!" seru Ludwig, "Teman kita ditemukan tewas dan kalian masih sempat-sempatnya bertengkar?"
"Pertanyaannya sekarang, apa ia terbunuh, bunuh diri atau ... dibunuh, da?"
Semua terdiam saat mendengar kata terakhir yang Ivan ucapkan. Ketiganya bisa jadi kemungkinan yang mungkin benar. Bisa saja dikatakan bunuh diri karena kunci kamarnya saja ada di dalam kamarnya tanpa tersentuh sedikit pun. Tapi ini terlalu aneh untuk dikatakan bunuh diri dilihat dari keadaan korbannya. Terbunuh? Oleh sebab apa?
Lalu, dibunuh. Oleh siapa dan atas dasar motif apa?
.
.
Mereka tak bisa keluar. Di luar hujan turun deras disertai badai. Memaksakan keluar sama saja dengan bunuh diri. Ramalan Feng Shui Yao, apakah memang ada kesalahan? Seharusnya hari ini menjadi hari bahagia untuk Gilbert dan Elizavetha, tapi salah satu di antara tamu yang datang ditemukan tewas dengan cara yang masih misterius. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
[A/N]
Hahahaha ((ketawa garing)) entah kenapa saya malah buat FF baru lagi, dan bukannya melanjutkan yang FF yang sebelumnya. Yah, sudahlah. Dan untuk chapter 1 mungkin terlihat manis, tapi biarkan saya siapkan yang lebih 'manis' di chapter selanjutnya. Ada yang pernah dengar atau baca kalau orang yang bergolongan darah B itu darahnya manis?
Saya A ._. ((gak ada yang nanya, Lind))
Mind to review?
