Disclaimer: Naruto (c) Masashi Kishimoto.
Ledakan di seluruh arah. Bukan, bukan ledakan besar yang meruntuhkan pepohonan—hanya ledakan kecil dari bom laba-laba milik Deidara yang dilemparkan ke udara. Ledakannya pun berwarna-warni bak kembang api musim panas, membuat tanda tanya bertengger di atas kepala Sasori melihat salju akan turun sebentar lagi. Upaya menghangatkan badan 'kah? Ninja pelarian berambut merah itu baru akan bertanya, namun memutuskan untuk tutup mulut lagi begitu melihat wajah di balik helaian poni pirang panjang.
Deidara tertawa. Suaranya teredam di antara suara ledakan bom-bom tanah liat karyanya.
Sasori terdiam.
Lalu tersenyum kecil.
Untuk malam ini, ia akan membiarkan Deidara tertawa sepuasnya sambil meledakkan bom yang dipandang sebagai 'seni'-nya itu. Biarlah gelak tawa dan suara ledakan itu mengisi keheningan malam pergantian tahun kali ini.
"Senpai, udaranya dingin! Balik ke markas yuk!"
Gelak tawa terhenti. Senyuman lebar digantikan kekesalan, dahi berkerut dan alis bertautan. Tanpa berkata apapun, Deidara melempar sebuah bom (bentuknya kecoa, Sasori harus menundukkan kepala menahan tawa) dan meledakkannya tepat di depan topeng Tobi. Terdengar ledakan bercampur teriakan, diiringi munculnya seringaian puas di wajah si pirang.
Sasori terkekeh. Deidara tidak berubah—satu hal yang ia syukuri dalam hati.
"Senpai mau sampai kapan di luar? Dicariin yang lain tuh!"
Seraya menggerutu kesal, Deidara balik badan. Langkah kakinya panjang sedikit dihentakkan, merajuk meski enggan mengaku secara lisan. Sasori, yang sudah hapal tingkah laku Deidara, mendengus kecil dari bawah pohon yang akan dilalui Deidara sebentar lagi.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah—
"AAAH! MOCHINYA MAU DIHABISIN HIDAN!"
"HIDAN SIALAN, JANGAN HABISIN DULU MOCHINYA UN!"
-dan Deidara melewatinya begitu saja, berlari ke arah markas tanpa menyadari keberadaannya.
Terdengar suara tap-tap-tap tergesa-gesa. Jejak kaki si pirang tertinggal di atas salju yang mulai menumpuk. Sosok Deidara yang berada di dekat Tobi masih tertangkap mata, namun tidak lagi terjangkau tangannya. Helaan napas panjang. Waktunya sudah habis, Sasori harus pergi sekarang. Jadilah ia pergi ke arah yang berlawanan dengan markas, sendirian, tanpa meninggalkan jejak kaki tanda ia pernah berada di sana.
Setelahnya, Sasori menghilang.
.
Selangkah sebelum memasuki pintu markas, Deidara menoleh ke belakang, seakan sedang menunggu kedatangan seseorang. Ia terdiam, mengharap seseorang berjubah hitam lain akan muncul dari balik pepohonan. Untuk sekali ini saja—
"Dei-senpai?"
Deidara menggelengkan kepala cepat, lalu kembali menyusul Tobi yang sudah beberapa langkah jauhnya di depan. Mata biru berubah sayu, bibir mengatup rapat membentuk garis lurus.
Untuk apa ia menunggu Sasori sekarang? Dia 'kan sudah tidak lagi hidup di dunia ini.
Usaha yang sia-sia, pikir Deidara pahit sambil tersenyum getir. Ditunggu sampai kapanpun juga, orang mati tidak akan bisa kembali hidup lagi.
(untuk pertama kalinya seumur hidup, Deidara menangis)
.
.
["Selamat tahun baru, Deidara."]
.
.
[e n d]
Pojok Bacotan Arwah Gentayangan:
I'm (not) sorry. /gaploked Tahun baru masih lama tapi enggak apa-apa lah ya www
Aniwei, terima kasih sudah mampir membaca. RnR? ovo
