Kala itu hanya merebak diam, dan di antara mereka tidak akan ada apa-apa selain argumentasi tanpa henti diselingi hal-hal tidak penting (dan karena hal-hal yang juga tidak signifikan, menurutnya) atau suara lemah dari Matsuura Kanan untuk mereka berhenti berdebat layaknya dua kongsi yang tengah melampaui batas friksi.

Selain itu di antara mereka berdua hanyalah diam yang menerpa.

"Dia."

Mungkin pemilik surai emas itu ingin memulai babak baru pertengkaran yang lama.

"Ada apa, Mari-san?"

Dan, ruangan OSIS begitu sepi saat itu, tanpa siapapun yang menengahi mereka; tidak Kanan, tidak You, tidak Riko, tidak ada siapapun selain mereka dan helaian angin merebak di tepi jendela.

"Tidak, hanya memanggil," tukasnya. "Kau sudah diam di halaman itu selama beberapa menit."

Oh, dan oh.

Memang, gadis itu tidak pernah absen menemukan celah di bagian dirinya yang ingin serbasempurna, ia hanya bisa menelan decak keheranan dalam hati.

"Tidak apa-apa, aku hanya sedikit ..." bosan? Terganggu? Atau malah ingin diganggu? "... intinya, untuk apa kau diam lagi di sini, ini ruang OSIS, Mari-san."

"Aku hanya ingin mengajakmu pulang bersama, tidak ada latihan hari ini, kan?" Ohara Mari menyela, senyum merekah mentari.

Kurosawa Dia menarik konsentrasi penuhnya dari lembaran laporan, manik hijaunya mengilat. "Tidak perlu, aku sibuk."

"Baiklah," bola mata itu memutar tiga ratus enam puluh derajat, jelas tidak yakin. "Kau bisa panggil aku di kelas kalau kau mau pulang."

"—Kenapa?"

Ya, kenapa, kenapa gadis itu selalu, selalu memanggilnya, mengajaknya, menyuruhnya pergi dari wilayah amannya.

Kenapa?

"Aku suka mendengar seseorang bernyanyi di tepi pantai saat senja, tapi aku lebih tenang bila dia tidak sendirian." Lagi, senyum itu, dan Dia merasakan matanya membelalak, mulutnya terbuka. "Ciao, Dia."