Hari sudah hampir gelap dan cuaca sedikit mendung. Seorang remaja laki-laki duduk termenung di sebuah taman dalam PLANT, dekat markas ZAFT.
Hujan pun turun seiring larutnya malam. Namun lelaki itu tak kunjung beranjak pergi juga. Seakan tidak peduli dengan dinginnya hujan dan malam.
Tiba-tiba, ada seseorang yang memayunginya. Ia langsung menoleh kearah orang tersebut. Seorang perempuan yang sedikit lebih tua darinya, membawa sebuah bola kecil – kelihatannya begitu, sampai akhirnya ia menyadari bahwa bola itu adalah sebuah robot sederhana yang bisa bicara.
"Kalau kau disini terus, nanti kamu masuk angin, lho," kata perempuan itu dengan ramah.
"Tidak apa-apa, aku ini Coordinator." kata lelaki tersebut.
"Kau pikir Coordinator tidak bisa sakit?" balas si perempuan dengan sedikit geli, "Ya sudah, kelihatannya kau sedang bermasalah, kutemani sebentar, ya?" ia pun duduk di sebelahnya. Sebenarnya lelaki itu sedikit keberatan, namun ia mengalah saja.
Kemudian perempuan itu memperkenalkan dirinya, "Oh, iya, aku Lacus Clyne. Kau siapa?"
"Shinn. Shinn Asuka." jawab lelaki tersebut dengan datar.
"Baiklah, Shinn," lanjut Lacus, "Kau sendirian? Dimana keluargamu? atau… kau kabur dari rumah?"
"Mereka sudah tak ada," balas Shinn, "Mereka jadi korban perang."
"Oh! Maafkan aku!" kata Lacus terkejut, "Aku turut bersedih, Shinn."
"Tidak perlu. Kau 'kan tidak tahu apa-apa." tanggap Shinn dingin.
"Tidak," sahut Lacus, "Temanku juga ikut dalam perang itu. Ia mengendarai Gundam."
Tiba-tiba Shinn mendadak marah. "Apakah itu berarti temanmu yang membunuh keluargaku juga?" katanya setengah berteriak.
"Belum tentu," Lacus berusaha menenangkan Shinn, "Mungkin saja itu..."
Kalimatnya terpotong oleh kemarahan Shinn. "Kenapa? Kenapa harus ada perang? Hanya karena perbedaan status saja... sampai mengorbankan banyak orang tak berdosa! Ayah, Ibu, dan Mayu... dan mungkin teman-temanku juga... Apa mereka tidak puas?! Saling membunuh dan dibunuh. Hal seperti itu..."
"Tenang!" potong Lacus, "Aku mengerti perasaanmu, Shinn..."
"Tidak!" bentak Shinn, "Kau tak tahu apa-apa! Aku..."
"TENANGLAH!" teriak Lacus, yang akhirnya membuat Shinn terdiam sejenak karena terkejut.
"Aku juga berpikir seperti itu," kata Lacus pelan, "Semua orang juga, tidak ada yang menginginkan perang. Tapi apa boleh buat, semua sudah terlanjur terjadi. Sekarang kita hanya bisa menunggu sampai perang ini berakhir."
"Tadinya aku juga ingin melakukan sesuatu yang berguna," lanjut Lacus, "Tapi apa? Aku hanya bisa bernyanyi. Kupikir itu sudah cukup. Lalu aku pun mulai menyanyikan lagu-lagu perdamaian dengan maksud untuk menyadarkan mereka agar menghentikan perang. Paling tidak aku sudah berusaha."
"Nah, Shinn," Lacus pun berdiri, hendak meninggalkannya. "Sepertinya aku sudah cukup menemanimu. Hujannya juga sudah cukup reda. Aku harus pulang. Atau kau mau ikut bersamaku?"
"Tidak perlu," balas Shinn, "Aku bisa pergi sendiri."
"Kalau begitu, sayonara, Shinn."
"Ya."
Setelah punggung Lacus sudah tak tampak, Shinn pun beranjak pergi. Akan kemana, ia tak tahu. Tapi paling tidak dia harus melakukan sesuatu.
