Namanya adalah Hinata. Tak lebih dan tidak pula kurang. Nama dari seorang bayi yang belum lama ini terlahir di gunung tempat para dewa bersemayam, Gunung Olimpus. Seorang bayi yang mampu membuat kedua orangtuanya –yang merupakan sepasang dewa—senang dan panik bukan kepalang di saat yang bersamaan karena sang bayi tak kunjung membuka mata dan memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia hidup.

Sudah dua hari terlewati terhitung sejak sang bayi manis dengan rambut tipis berwarna indigo itu terlahir ke dunia dan sejak saat itu pula wajahnya tak pernah memerah, bibir kecilnya tak jua membuka dan melontarkan tangisan yang sangat ingin didengar oleh kedua orangtuanya. Pun matanya yang tak kunjung terbuka dan menitikkan air mata. Membuat orangtua dari sang bayi pun kebingungan dan panik. Perasaan takut mulai menyelubungi relung hati kedua dewa besar di Yunani tersebut.

Berbagai spekulasi mulai bermunculan dalam benak mereka. Mungkinkah malaikat kecil mereka ini sudah mati? Hingga petang hari ini pun buah hati mereka tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Dengan hati yang kalut, kedua pasangan dewa tersebut pun akhirnya mendatangi sang raja dewa, Zeus*, di kediamannya seraya membawa serta buah hati mereka dalam gendongan.

Setelah menyampaikan maksud hati, sepasang dewa itu pun menyerahkan bayi kecil mereka pada Zeus. Dengan lembut, sang raja dewa bernama asli Jiraiya –yang bertitel Zeus—menyambut sang bayi manis ke dalam gendongannya seraya mengatakan 'tak apa-apa' dan 'tidak usah khawatir' pada kedua orangtua sang bayi dengan maksud untuk meringankan beban yang menghimpit hati mereka.

Seraya mengangguk dalam diam, Hiashi –ayah dari sang bayi dan dewa yang bertitel sebagai Apollo sang dewa matahari—mencengkeram kedua bahu rapuh milik istrinya –yang bertitel dewi Athena—berupaya untuk menenangkan hati istrinya yang sejak kemarin diselimuti kabut tebal. Meskipun perasaannya sendiri pun bagai benang kusut yang tak kunjung berhasil diurai.

Kedua iris lavender itu menatap sang raja dewa dengan tatapan penuh harap dan dibalas oleh sang raja dewa dengan sebuah senyum simpul penuh keyakinan. Sepasang mata milik Jiraiya segera beralih pada bayi manis dalam gendongannya. Menatap bayi itu dengan tatapan lembut. Ia sendiri tak dapat memungkiri kalau sang bayi dalam gendongannya sangat manis, cantik, juga lucu.

Dengan perlahan, Jiraiya menempelkan jari telunjuk dan jari tengahnya pada dahi sang bayi. Kekuatannya yang terkenal luar biasa tersebut ia salurkan secara perlahan melalui kedua jemarinya kepada sang bayi. Sedangkan sang bayi tetap diam, tak melakukan pergerakan apa pun. Kedua pasang kelopak matanya masih menempel rapat dan belum menunjukkan tanda-tanda akan terbuka.

Maksud hati ingin memberikan sang bayi sedikit saja dari sekian banyak kekuatannya yang sungguh berlimpah, namun sayang, setelah dirasanya cukup, Jiraiya tak dapat menarik kembali kedua jemarinya dari dahi Hinata. Bayi mungil itu entah sadar atau pun tidak, menghisap kekuatan sang raja dewa lebih banyak. Kekuatan Jiraiya mengalir begitu saja dari jemarinya seperti air yang mengalir dari keran yang terbuka sepenuhnya.

Hal itu tentu saja membuat Jiraiya kebingungan sekaligus panik. Meskipun telah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan kedua jemarinya dari dahi sang bayi, tetap saja jemarinya menempel pada dahi sang bayi seakan direkatkan dengan lem khusus super kuat yang tak akan bisa dilepas. Jiraiya berkeringat dan napasnya tersengal. Sang raja dewa pun terjatuh di atas kedua lututnya. Sebelah tangannya tetap menjaga agar sang bayi tak terlepas dari gendongan dan terjatuh.

Melihat sang raja dewa terjatuh dengan wajah penuh peluh, membuat kedua orangtua Hinata panik bukan kepalang. Dengan segera mereka menghampiri sang dewa bertitel Zeus tersebut. Menanyakan keadaannya dengan nada panik. Iris lavender mereka bergerak liar, menatapi Jiraiya dan Hinata secara bergantian. Khawatir akan keadaan keduanya.

Setelah beberapa saat mengatur napas yang memburu, Jiraiya bangkit berdiri meski masih sedikit oleng. Ia berusaha meyakinkan kedua orangtua Hinata bahwa ia dan bayi mereka baik-baik saja meskipun ia sendiri tak percaya kalau bayi dalam gendongannya baru saja menghisap setengah dari sekian banyak kekuatannya. Membuatnya melemah. Dengan hati-hati, ia mencoba menjelaskan keadaan yang baru saja terjadi pada sepasang dewa di hadapannya. Iris lavender orangtua Hinata menatap Jiraiya lekat-lekat dan telinga mereka tak berhenti mendengarkan penjelasan dari sang raja dewa dengan seksama. Tanpa membiarkan satu huruf pun terlewatkan. Iris lavender mereka menyiratkan kekhawatiran dan asa yang sangat mendalam.

Aku sudah melakukan semua yang kubisa dan sekarang kita tinggal menunggu hasilnya, adalah kata-kata terakhir yang dapat terlontar dari bibir sang raja dewa sebelum ia terkesiap saat ia merasakan gerakan kecil yang dibuat oleh bayi dalam gendongan. Membuatnya bungkam seketika. Pandangannya segera beralih dari orangtua Hinata ke Hinata itu sendiri.

Tepat saat itu, Hinata kecil mencoba membuka matanya. Mencoba untuk menunjukkan pada dunia perihal keindahan iris lavendernya. Setelah mengerjapkan-ngerjap beberapa kali, iris lavender Hinata yang tampak lebar menatap ketiga orang yang balas menatapnya dengan tatapan bingung. Tanpa perlu menunggu lama, kedua pipi Hinata yang gembil dan berwarna putih sedikit pucat mulai berwarna kemerahan. Perlahan tapi pasti, dari kedua sudut matanya mulai muncul setitik air mata dan Hinata kecil mulai menangis kencang.

Alih-alih panik mendengar tangisan Hinata, ketiga dewa yang mengelilinginya justru bersorak kegirangan begitu mendengar jerit tangis Hinata membahana di seluruh penjuru rumah dimana Jiraiya, sang Zeus, bernaung. Dengan segera, Jiraiya mengembalikan Hinata yang masih menangis minta didiamkan pada kedua orangtuanya. Senyum puas terpampang pada wajah Jiraiya yang sudah mulai terisi kerut dan terlihat tua saat sang dewa Apollo dan dewi Athena di hadapannya membungkuk ke arahnya berkali-kali seraya mengucapkan terima kasih.

Sebelum sepasang dewa itu pergi meninggalkannya, Jiraiya berpesan pada mereka untuk merahasiakan perihal setengah kekuatannya yang telah terhisap dan berpindah tempat pada tubuh kecil dan rapuh milik bayi mungil mereka. Jiraiya tak mau sampai ada kegemparan di Gunung Olimpus yang selalu tenang dan damai. Dan ia tak mau mengusik ketenangan itu sekarang. Setelah memesankan –menegaskan sebenarnya—hal itu pada Hiashi dan istrinya, mereka diperbolehkan untuk pulang. Jiraiya tersenyum dan melambaikan tangannya sampai sepasang dewa yang tengah berbahagia tadi tak terlihat dalam jarak pandangnya lagi.

Dengan senyum puas, Jiraiya membalikkan badan, masuk ke dalam rumah, dan menghempaskan diri ke atas sofa empuknya yang terbuat dari gumpalan awan padat. Puas karena sudah menolong satu lagi orang –dewa—yang membutuhkannya sekaligus tak habis pikir bagaimana bayi kecil itu dapat menghisap setengah dari kekuatannya hingga ia menjadi selemah ini sekarang. Satu-satunya alasan baginya meminta Hiashi dan istrinya untuk merahasiakan ini adalah karena ia tak ingin kabar tak menyenangkan ini sampai berhembus ke telinga orang-orang jahat dan tak bertanggung jawab di bawah sana yang sejak dulu selalu merencanakan kudeta untuk menggulingkan kekuasaan para dewa yang bernaung di Olimpus. Dan bukan karena ia tak mau mengusik ketenangan Olimpus itu sendiri. Ia memang berbohong sedikit tadi. Tapi terkadang berbohong demi kebaikan itu juga diperlukan, bukan?

Antara tak mau ambil pusing dan yakin bahwa kabar tentang kekuatannya yang melemah tersebut tak akan sampai ke telinga 'mereka', Jiraiya merebahkan tubuhnya yang terasa lelah luar biasa dan mulai memejamkan mata dengan perlahan. Tanpa mengetahui kalau seorang cupid bernama Yamanaka Ino yang menonton sekaligus mengupingi Jiraiya sejak tadi baru saja melesat pergi menuju pusat Olimpus, tempat dimana para dewa biasa berkumpul. Jika diibaratkan, maka bisa dibilang, Ino melesat terbang menuju balai kota Olimpus.

Sang malaikat bawahan Aphrodite* yang terkenal sebagai biang gosip di Olimpus pun mulai mengabarkan berita tentang melemahnya Zeus pada seluruh dewa dan dewi yang ia temui. Kabar buruk tersebut mulai merambat cepat dari mulut ke mulut hingga pada akhirnya seluruh penjuru Olimpus mengetahui perihal masalah ini. Seluruh dewa dan dewi di sana mulai membicarakan Jiraiya, sang Zeus di belakang, mempertanyakan bagaimana sang raja dewa akan melindungi seluruh Olimpus dari 'mereka' setelah setengah dari kekuatannya diserap oleh bayi keturunan dewa Apollo dan dewi Athena.

Rumor mulai menyebar. Rumor yang mengatakan bahwa sang raja para dewa tak akan bisa lagi melindungi mereka. Hampir semua dewa juga dewi di Olimpus mulai menyalahkan sang dewa Apollo dan dewi Athena. Hinata kecil pun mulai ikut terkena imbasnya. Karena memang ialah penyebab utama dari segala rumor yang bermunculan silih berganti di Olimpus. Dan dari sinilah kisah panjang ini dimulai...

.

.

Naruto © Kishimoto Masashi

This fic belongs to :: Arthur no Suzuka Aneue & Asuna no Riisuka

Warning: AU, OOC, CACAT TINGKAT DEWA *caps jebol*, aneh, kalimat bertele-tele, susah dimengerti, plus fic ini adalah fic yang sangat gaje binti/bin aneh, yah pokoknya segala ketidak-sempurnaan sebuah fic ada deh disini... Silakan tekan tombol 'back' kalau tidak berkenan membaca. Kalo bisa sih jangan nge-flame ya~

Fic collab (entah ini bisa dibilang collab atau nggak) Ri dan sahabat Ri. Kalo jelek, maaf ya

P. S : semua bahan yang ada dalam sini sumbernya macem-macem, dan fic ini sedikit banyak menyangkut tentang dewa-dewi Yunani (yang sedikit kami modif) dan sedikit menoel(?) tentang dewa-dewa di Jepang, jadi buat yang kurang ngerti atau kurang kenal sama nama-nama dewa/dewi yang ada disini, silahkan kunjungi mbah Google atau mbah Wikped. Betulkan kami kalau ada yang salah yo

DON'T LIKE? DON'T READ! Gampang kan?

.

.

Hinata. Itulah namanya. Tidak lebih dan tidak pula kurang. Nama dari seorang malaikat berparas manis yang kini tengah terbang melesat melewati gumpalan awan-awan putih dengan wajah memberengut yang seakan sedang menahan tangis. Dalam hati ia mengutuki seluruh dewa dan dewi Olimpus yang sudah mencomoohnya, memandang rendah dirinya, dan menyalahkan dirinya atas semua hal buruk yang belakangan ini cukup sering terjadi di Olimpus.

Insiden terserapnya kekuatan Zeus masih dapat diingat dengan jelas oleh seluruh dewa-dewi Olimpus. Tak ada yang bisa melupakannya hingga detik ini. Oleh sebab itulah, Hinata beserta kedua orangtuanya bahkan beberapa dewa-dewi dan malaikat kerabatnya pun ikut tersandung masalah ini. Hampir semua dewa-dewi membenci Hinata. Mereka semua menolak keberadaan Hinata secara terang-terangan. Mereka semua menghinanya, pun menghindarinya. Tak ada satu pun malaikat –apalagi dewa—yang mau bermain bersamanya. Singkat kata, Hinata tak memiliki teman satu pun.

Menurut seluruh dewa-dewi bahkan malaikat di Olimpus, Hinata adalah seorang Child of Misfortune, anak pembawa sial. Dengan kelahirannya ke dunia, ia telah membawa serta kesialan ke dalam Olimpus. Meski sebenarnya anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Semua masalah yang ditimpakan padanya membuat hampir semua orang berubah dingin padanya, tak terkecuali orangtuanya sendiri. Hiashi sang dewa Apollo sekaligus sang ayah pun melakukan hal yang sama. Ibunya, sang dewi Athena juga mulai mendiamkannya. Satu-satunya dewa yang baik padanya hanyalah sang raja dewa, Jiraiya. Atau yang lebih dikenal dengan nama Zeus. Satu-satunya orang yang mau mengelus puncak kepalanya dengan penuh sayang di saat orang-orang lain menatapnya dengan tajam.

Hinata menggigit bibirnya. Mengingat semua perlakuan dewa-dewi itu membuat hatinya kembali terasa sakit. Seakan dihujam ribuan belati yang baru saja diasah. Tujuh belas abad telah berlalu, tapi kenapa semuanya masih menganggap Hinata seorang Child of Misfortune? Apa salahnya? Oke, ia memang telah menyerap setengah dari kekuatan Zeus tanpa permisi, tapi saat itu, ia sendiri bahkan tak sadar kalau ia telah menyerap kekuatan tersebut! Yang benar saja, saat itu ia masih seorang bayi polos yang bahkan tidak mengerti cara berdiri dan bicara! Bagaimana mungkin semua orang itu menyalahkannya atas semua yang terjadi? Mereka sungguh kejam dan mereka sebut diri mereka sendiri sebagai seorang 'dewa' dan 'dewi'? Mereka bahkan lebih kejam daripada para setan dan 'mereka' yang kini masih terkurung di suatu tempat entah dimana.

Hinata menggigit bibirnya lebih keras sebagai pelampiasan atas kekesalannya dan agar air matanya tak jatuh. Ia menambah kecepatan dan melesat terbang lebih cepat sambil sesekali berbelok untuk menghindari gumpalan awan. Tanpa ia sadari, sepasang sayap putih bersih yang menempel di punggungnya telah membawanya turun dan semakin turun hingga ia dapat melihat kulit bumi. Iris lavender miliknya menatapi sudut kulit bumi yang dapat dilihat oleh permata lavendernya.

Tempat ini. Tempat yang bernama bumi ini sebenarnya adalah tempat yang tak boleh didatanginya. Setidaknya itulah yang selalu ayah, ibu, dan kakak sepupunya katakan padanya setiap kali Hinata ingin keluar dari Gunung Olimpus.

Tapi semakin dilarang, justru semakin membuat penasaran, bukan? Dan pertanyaan sederhana itulah yang membuat Hinata justru berniat untuk mampir ke bumi hari ini. Karena ia sudah lama penasaran akan penyebab kenapa ia tak boleh turun dari Olimpus dan mendekati tempat terlarang ini. Siapa tahu dengan melihat-lihat bumi sedikit dapat menghilangkan rasa sedih yang sempat hinggap di hatinya. Ia juga ingin melihat bagaimana manusia yang sebenarnya. Apa mereka sama seperti yang selalu diceritakan oleh Kakek Jiraiya? Apa mereka benar-benar makhluk yang sama seperti yang selama ini hanya bisa ia bayangkan?

Gadis ber-iris lavender tersebut melesat menuju sebuah kepulauan di bagian timur dunia yang bernama Jepang. Lebih tepatnya ke sebuah desa terpencil yang dikelilingi oleh hutan di kaki gunung. Gadis bersurai indigo tersebut memutuskan untuk melihat-lihat desa terpencil ini sebentar sebelum terbang lagi menuju ke belahan lain bumi ini atau mungkin pulang ke tempat mengerikan yang selama ini ia sebut sebagai rumah.

Kaki ramping milik gadis tersebut berhasil mendarat dengan mulus pada permukaan tanah. Sayap putih bersih miliknya ia rapatkan sedemikian rupa. Dengan bertelanjang kaki, ia mulai berjalan mengelilingi desa. Ia cukup yakin kalau penduduk desa tak akan bisa melihatnya karena memang ia tak bisa dilihat oleh mata biasa. Observasi kecilnya pun dimulai. Iris lavendernya bergerak liar mengamati setiap sudut desa sedangkan otaknya sibuk mencatat segala yang ia lihat dan ia dengar.

Tak menunggu lama, beberapa ibu yang sedang berbelanja seraya bercakap-cakap tertangkap oleh penglihatannya. Membicarakan banyak hal meski tema percakapan tersebut didominasi oleh gosip-gosip terhangat seputar desa. Di tangan mereka terdapat kantung plastik yang lumayan penuh terisi berbagai sayuran dan bahan-bahan untuk masakan mereka nanti. Beberapa anak kecil berumur sekitar tiga sampai empat tahun berlarian sambil tertawa-tawa di sekitar Hinata. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang menyadari bahwa Hinata ada di antara mereka.

Ah, sungguh desa yang ramai dan ceria meski letaknya sungguh terpencil. Melihat anak-anak yang bermain sambil tertawa bahagia membuat Hinata mau tak mau ikut tersenyum untuk kebahagiaan mereka. Sementara ini, kesedihannya terlupakan. Namun, hati kecilnya mulai berandai-andai. Andai saja ia bisa seperti mereka... dikelilingi teman-teman dan sanak saudara tanpa cemoohan dan berbagai kata-kata pedas yang menusuk hati...

Untuk sesaat, Hinata menatap anak-anak tadi dengan pandangan sedih dan terluka. Bibir kecilnya kembali mengeluarkan desahan panjang dan ia mulai melanjutkan perjalanannya mengitari desa. Matahari yang seolah menantangnya dengan panas yang menyengat tak ia pedulikan. Kaki kecilnya yang tak memakai alas kaki terus menapaki jalan tanah di hadapannya dan sampailah ia di sebuah tempat. Dimana anak-anak yang berumur sekitar lima sampai enam tahun berderap keluar dari sebuah pintu berdaun ganda. Semua anak itu, baik yang perempuan maupun laki-laki membawa sebuah benda –tas—yang cukup berat. Ada yang menyampirkannya di kedua bahu dan ada jua yang menyelempangkannya pada satu bahu saja.

Para ibu atau ayah mereka menunggui tak jauh dari pintu berdaun ganda tempat putra-putri mereka keluar tadi. Seulas senyum menghiasi wajah mereka. Para orangtua menyambut anak-anaknya yang kegirangan dengan sebuah pelukan hangat, setelahnya mereka menggandeng tangan anak mereka dan berjalan pulang ke rumah masing-masing sembari membicarakan hal-hal tak penting seperti menu makan malam hari ini. Ada pula yang menggendong putra-putri mereka di bahu, memuji hal-hal yang dilakukan oleh putra-putri mereka hari ini dan berjalan pulang diiringi canda dan tawa.

Kelihatannya tempat ini adalah tempat yang hangat. Tempat yang dapat membuat Hinata merasakan kehangatan mengaliri tubuhnya sekaligus tempat yang dapat membuat Hinata menarik sudut-sudut bibirnya ke atas hanya dengan melihat juga mendengar canda tawa di hadapannya.

Hinata mulai berspekulasi dalam pikirannya. Mungkinkah ini sekolah? Sebuah tempat dimana anak-anak manusia menghabiskan waktu dengan belajar. Tempat dimana anak-anak manusia tersebut menemukan teman bahkan pasangan hidup mereka. Pun tempat dimana anak-anak itu mengalami kejadian-kejadian yang tak terkira. Apakah ini tempat yang sering diceritakan Kakek Jiraiya padanya? Sebuah tempat yang menurut Hinata adalah sebuah tempat yang luar biasa menakjubkan dan sekarang ia bisa menyaksikan sendiri seperti apa itu 'sekolah' yang dimaksud. Iris lavender Hinata berbinar melihat semua pemandangan di hadapannya.

Lambat laun, gelombang manusia yang semula memenuhi bagian depan sekolah itu mulai menghilang. Tergantikan dengan beberapa anak yang tidak dijemput orangtuanya maupun yang memang belum berniat untuk pulang ke rumah. Salah satunya adalah seorang anak lelaki bersurai blonde dan bermata biru safir yang sedang duduk pada sebuah ayunan kayu yang diikat kuat pada sebatang pohon kokoh di depan sekolah itu sendiri.

Iris biru safirnya memandang iri dan sedih pada anak-anak yang bercengkrama dengan orangtua mereka –yang segera menghilang dari pandangan—dan juga pada beberapa anak yang kini tengah bermain di halaman depan sekolah, persis di hadapannya. Wajah cantik nan mulus Hinata berkerut heran hingga kedua alisnya terlihat menyatu. Anak itu kelihatannya ingin bermain dengan anak-anak lain, tapi kenapa ia tidak melakukannya? Apa ia tak memiliki keberanian untuk melakukannya?

Diam-diam, Hinata mendekati anak bersurai blonde jabrik itu dari belakang. Saat ia sudah sampai di samping anak itu, Hinata mengikuti arah pandang sang anak. Menatapi satu per satu anak-anak yang tengah bermain sepakbola tak begitu jauh dari mereka.

"Kenapa Onee-chan ada disini? Enyahlah! Kalau Onee-chan terus ada di dekatku, bisa-bisa tidak akan ada anak yang mau bermain dengan Onee-chan."

Hinata terkesiap. Ia mendengar suara seseorang. Mungkinkah suara anak bersurai blonde tersebut? Kalau memang benar, anak itu bicara pada siapa?

Hinata menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak ada seorang pun yang terlihat lebih tua dari si anak. Yang ada hanyalah anak-anak lelaki yang masih betah bermain sepakbola dan tak menghiraukan keberadaan si anak bersurai blonde. Mungkinkah anak ini bicara pada Hinata? Tapi Hinata, 'kan, seharusnya tidak bisa diihat oleh sepasang mata biasa...

Karena penasaran, Hinata mencoba bertanya seraya membungkukkan badan –agar tingginya dan tinggi anak yang sedang duduk-duduk di ayunan itu sejajar—dan menunjuk dagunya sendiri, "Kau bicara padaku?"

"Heh! Onee-chan pikir aku bicara pada siapa lagi selain Onee-chan?" sahut anak itu dengan setengah berteriak. Kepalanya menoleh ke arah Hinata. Kelihatan sekali kalau ia kesal. Mungkin perasaannya memang sudah kalut sejak tadi entah karena apa. Hinata dan juga beberapa anak yang berada tak jauh dari mereka terkesiap saat mendengar pertanyaan si anak bersurai blonde yang bisa dibilang cukup keras.

Hinata terdiam. Antara agak bingung harus berkata apa dan bingung kenapa anak itu bisa melihatnya. Tapi kebingungan Hinata harus terhenti sejenak dikarenakan anak-anak yang berada tak jauh dari mereka kini tengah tergelak sembari memegangi perut. Di sudut mata mereka terdapat sebutir air mata.

"Hahaha, Naruto si Bocah Setan bicara pada udara lagi!" seru salah satu dari mereka. Yang lainnya hanya menyahuti dengan suara gelak tawa. Anak lelaki bersurai blonde –yang diketahui bernama Naruto tersebut—terhenyak. Kemudian ia melompat dari ayunan yang sejak tadi didudukinya dan berlari meninggalkan Hinata juga sekumpulan anak lelaki tadi begitu saja. Sekilas, Hinata melihat ada air mata menggenang di pelupuk matanya dan ia juga berusaha menggigit bibirnya sekuat tenaga.

Hinata kembali melirik sekumpulan anak tadi –yang masih tertawa—sebelum akhirnya memutuskan untuk terbang mengejar anak yang tadi dipanggil Naruto tersebut. Anak itu terus berlari melewati orang-orang dewasa yang seperti melirik sinis ke arahnya, melewati perbatasan desa dan terus melesat memasuki hutan yang tepat berada di pinggir desa. Dengan susah payah, karena terhalang pepohonan hutan yang lebat, Hinata terus mengikuti pergerakannya dari kanvas biru yang disebut umat manusia sebagai langit. Hingga akhirnya sang anak menghentikan derap larinya di pinggir sebuah danau.

Danau berair biru jernih yang dikelilingi pohon pinus tinggi menjulang. Dengan nafas yang masih terengal, anak bersurai blonde itu duduk begitu saja di tepian danau. Kedua lututnya ia tekuk dan wajahnya ia tenggelamkan dalam lipatan lututnya. Dengan perlahan dan hati-hati, Hinata mendaratkan kedua kakinya di tanah tak begitu jauh dari sang anak. Berusaha sebisa mungkin agar keberadaannya tak disadari oleh si anak.

"Mau apa lagi Onee-chan datang kemari? Makhluk khayalan seperti Onee-chan seharusnya menghilang saja sana!" serunya. Suaranya terdengar serak seperti sedang menahan tangis. Lagi-lagi Hinata terkesiap saat melihat betapa hebatnya kelima –atau mungkin keenam—indra anak itu hingga selalu bisa mengetahui kalau gadis bersurai indigo ini sedang berada tak jauh darinya. Tak peduli sehati-hati apa pun Hinata bergerak.

"Aku bukan makhluk khayalan!" balas Hinata, merasa sedikit tidak terima atas sebutan yang tadi diberikan sang anak. Kepala blonde itu justru tenggelam semakin dalam setelah mendengar kata-kata Hinata.

"Kalau bukan makhluk khayalan, lalu Onee-chan ini apa? Kenapa teman-temanku tak bisa melihat Onee-chan?" tanya anak itu lagi. Masih dengan suaranya yang serak. Hinata nyaris terkekeh geli mendengar anak itu menyebut bocah-bocah lelaki yang tadi menertawakan dan mencemoohnya dengan sebutan 'teman'. Bagaimana mungkin orang-orang seperti itu disebut sebagai 'teman'?

Kaki Hinata membawa gadis itu berjalan maju, mendekati anak tersebut. Anak yang entah sejak kapan sudah membuatnya tertarik. Anak yang... entah kenapa membuat Hinata merasa seperti, di satu sisi, sedang melihat refleksi dari dirinya sendiri dan di sisi lain, ia melihat anak itu sangat jauh berbeda dengannya. Aneh memang, tapi hal itulah yang membuat Hinata justru merasa tertarik dengan sang anak.

"Aku... aku adalah makhluk yang istimewa, dan—"

"Bohong! Onee-chan itu makhluk aneh, 'kan? Onee-chan sama saja seperti Paman Manusia-Bebek-Hijau-Bertempurung dan Tuan Tengu*. Tidak ada satu pun dari temanku yang bisa melihat mereka. Aku... memang anak yang aneh. Karena hanya aku yang bisa melihat kalian..."

Sebuah tanda tanya besar bersarang dalam kepala Hinata. 'Paman Manusia-Bebek-Hijau-Bertempurung'? Siapa itu? Mungkinkah yang dimaksud anak ini adalah Kappa*? Kappa yang sama dengan Kappa yang disebut-sebut sebagai dewa air di belahan bumi bagian timur? Entahlah. Gadis bersurai indigo itu tidak yakin, juga sedang tidak ingin main tebak-tebakan sekarang. Namun, satu hal yang ia yakini sekarang, anak ini adalah seorang anak indigo. Tidak salah lagi. Anak ini mempunyai indra keenam. Salah satu dari sekian banyak orang yang dapat melihat makhluk-makhluk halus, semacam dirinya.

Setitik rasa bersalah mulai menguasai hati Hinata. Gadis tersebut mulai merasa tidak enak. Karena pertanyaan bodohnya tadi, bocah blonde di hadapannya jadi dicemooh oleh 'teman-temannya'. Pada akhirnya, gadis berambut indigo tersebut memutuskan untuk menghibur anak itu sedikit. Meski Hinata sendiri tidak yakin apa kata-kata yang akan terlontar dari bibir tipisnya ini dapat menenangkan si anak.

Kakinya kembali melangkah maju dan setelah sampai di samping anak itu, Hinata menekuk lututnya dan duduk. Ditatapnya anak itu dengan tatapan paling lembut yang ia miliki. Dengan agak canggung, ia berkata, "Dengarkan aku dulu, aku ini makhluk yang istimewa. Sebut saja aku sebagai malaikat, bawahan para dewa. Dan aku," Hinata menunjuk dirinya sendiri, "hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang istimewa pula. Orang-orang yang disebut 'anak indigo'. Dan kau," Hinata mencoba menarik tangan kanan si anak dengan lembut, memintanya untuk menatap permata lavender miliknya, "adalah salah satu dari orang-orang istimewa tersebut. Jadi jangan anggap dirimu aneh."

Anak yang diketahui bernama Naruto tersebut terhenyak mendengar kata-kata Hinata. Matanya menatap mata sang gadis. Biru safir bertemu lavender. Sunyi memenuhi atmosfer di sekitar mereka.

Tanpa sang gadis ketahui, perasaan hangat memenuhi perut sang anak, mengalir dalam aliran darahnya dan akhirnya perasaan tersebut memenuhi seluruh tubuhnya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata si anak. Membuat sang gadis indigo kaget sekaligus takut bukan main. Kenapa? Ada apa? Apa salahku? Apa aku sudah mengatakan sesuatu yang salah? Pertanyaan-pertanyaan tadi memenuhi kepala Hinata.

"Ka—kau baik-baik saja? Apa aku sudah mengatakan sesuatu yang menyakitimu? Maaf, aku sungguh-sungguh minta maaf!" Hinata berkata dengan panik. Tak tahu lagi harus mengatakan apa selain kata-kata di atas saat penglihatannya menangkap bulir-bulir air mata mulai menuruni pipi Naruto.

Naruto mengusap mata dan pipinya yang basah dengan punggung tangan, "Tidak, Onee-chan tidak mengatakan sesuatu yang salah, kok." Naruto menyeka hidungnya yang berair. Sedangkan Hinata melongo kebingungan. "Aku—aku hanya terharu. Selama ini belum ada seorang pun yang bilang kalau aku istimewa. Kalau aku –hiks—bukan anak yang aneh. Bukan jelmaan para oni*. Ne, Onee-chan, apa... Onee-chan, mau jadi temanku?"

Anak bersurai blonde itu tersenyum. Senyum yang sangat lebar juga cerah. Awalnya Hinata memang kebingungan, tapi saat menangkap senyuman yang sangat cerah dari anak itu, mau tak mau Hinata ikut menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Dengan perlahan dan tanpa sadar, ditarik dan direngkuhnya anak itu ke dalam sebuah pelukan.

Inilah pertanyaan yang selalu ingin Hinata dengar. Yang selalu Hinata nanti-nantikan. Dan sekarang keinginannya terwujud. Dengan keyakinan penuh dan tanpa pikir panjang, Hinata menganggukkan kepalanya perlahan dalam perpotongan leher dan bahu sang anak. Seumur hidup Hinata tak pernah menyangka kalau ia akan memiliki seseorang yang bisa disebut sebagai 'teman'. Tapi sekarang di sinilah ia, sedang merengkuh teman pertamanya dalam sebuah pelukan erat nan hangat...


~o0o~


Namanya adalah Uzumaki Naruto. Atau setidaknya, itulah yang dikatakannya saat Hinata pertama kali menanyakan namanya. Seorang anak bersurai blonde dan ber-iris sebiru lautan yang selalu dijuluki 'Naruto si Bocah Setan' oleh orang-orang desa hanya karena ia memiliki warna rambut juga warna mata yang tidak lazim menurut mereka.

Seperti yang sudah disebutkan di atas, iris Naruto berwarna biru safir dan surai blonde-nya yang mencolok sangat berbeda dengan ras Mongoloid yang biasanya berciri-ciri memiliki kulit berwarna kuning langsat, bermata sipit dan berwarna gelap dengan rambut hitam sekelam malam. Meskipun Naruto memang orang keturunan Jepang, tetapi ciri-ciri fisik tubuhnya tak ada satu pun yang mirip dengan ciri-ciri orang Jepang pada umumnya. Kulitnya berwarna kecokelatan, tidak seperti milik teman-teman sekolahnya yang berkulit kuning langsat. Pun dengan mata dan rambutnya. Sama sekali tidak mirip dengan teman-temannya yang berambut hitam dan bermata sipit dan gelap, segelap batu obsidian. Tak ada satu pun dari orang-orang desa yang memiliki kemiripan dengannya.

Karena perbedaan mencolok yang dimilikinya disertai kemampuan istimewanya itulah, orang-orang mengira bahwa Naruto adalah jelmaan oni dan ia pun dijauhi oleh hampir semua penduduk desa, kecuali sang pemimpin desa yang sudah sangat berumur dan seorang guru di sekolahnya yang biasa dipanggil Iruka-sensei. Hanya dua orang itu saja yang masih bersedia mendekatinya dan ramah padanya disaat semua orang meliriknya dengan sinis.

Namun, meskipun semua orang jahat padanya, atau malah beberapa anak terkadang melemparinya dengan batu, Naruto tak pernah membenci mereka. Meski memang sekali-dua kali pernah terbit rasa kesal dalam hatinya pada orang-orang desa dan mempertanyakan kenapa mereka begitu membenci dirinya yang sungguh tak tahu apa-apa.

Alih-alih mencoba untuk balas dendam pada penduduk desa, Naruto justru berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi sosok seorang yang sukses, yang dapat membangun desa hingga sedemikian rupa dan akhirnya disegani oleh orang-orang desa. Dan setelahnya, tak akan ada lagi orang yang menganggap dirinya sebagai jelmaan oni. Nantinya, orang-orang akan memanggilnya dengan sebutan 'Anak Pembawa Keberuntungan' dan bukan lagi 'Child of Misfortune'.

Setidaknya, itulah yang Naruto katakan pada Hinata seraya menepuk dadanya dengan bangga saat mereka pertama bertemu dulu. Saat Naruto masih berumur lima tahun.

Naruto Uzumaki jugalah seorang anak yatim piatu, yang ibunya sudah meninggal bertahun-tahun silam. Sedangkan ayahnya tak pernah ia ketahui keberadaannya. Ia bahkan tak tahu bagaimana rupa sang ayah, karena sejak ia lahir, ayahnya sudah menghilang entah kemana. Jadilah, biaya hidupnya selama ini selalu disokong oleh sang pemimpin desa.

Kini, delapan tahun telah berlalu sejak pertemuan pertama Naruto dengan seorang malaikat terbuang bernama Hinata. Kini, Naruto yang sudah berumur tiga belas tahun dan tak pantas lagi disebut sebagai seorang anak. Tubuhnya tumbuh semakin tinggi, bahkan sebentar lagi tinggi tubuhnya akan menyamai tinggi Hinata.

Sedangkan sang malaikat bersurai indigo itu sendiri sama sekali tak kelihatan bertambah tua. Fisiknya masih saja terlihat seperti seorang gadis remaja berumur tujuh belas tahun. Menjadi seorang malaikat membuatnya kelihatan bertambah tua satu tahun hanya kalau ia sudah melewati satu abad penuh. Wajahnya masih kelihatan cantik dan segar. Bahkan kini, wajahnya tampak lebih ceria sejak ia bertemu dengan Naruto. Baginya, Naruto adalah teman sekaligus sahabat pertamanya dalam hidup panjang seorang Hinata.

Sedangkan bagi Naruto sendiri, Hinata bukan hanya seorang teman dan sahabat pertama dalam hidup. Hinata sudah menjelma menjadi figur seorang kakak perempuan bahkan ibu untuknya. Karena sejak pertemuan pertama mereka, Hinata menemukan dirinya selalu kembali ke desa terpencil tempat Naruto tinggal dan menemani –bahkan lebih terkesan seperti merawat—anak itu sebisa mungkin hingga sang anak tumbuh menjadi seorang pemuda dengan tubuh yang tegap dan cukup mandiri seperti yang sekarang ini akan Hinata lakukan.

Berkas-berkas cahaya berkumpul di satu titik tepat di tengah-tengah rumah Naruto, membentuk figur seorang gadis bertubuh ramping dan berambut panjang yang kemudian benar-benar menjelma menjadi Hinata. Seperti biasanya, gadis itu datang setiap hari ke rumah kecil Naruto yang berada sedikit jauh di pinggir desa, "Hei, Naruto-kun, aku dapat berita bagus dari Kakek Jiraiya. Ini tentang perbedaan fisikmu. Sepertinya kemungkinan besar, kau ini berasal dari ras—" belum sempat Hinata menyelesaikan kalimatnya, ia melihat Naruto, yang masih dalam keadaan berantakan sehabis bangun tidur, sedang mencoba melepaskan seprai dari tempat tidurnya sendiri dari balik pintu kamar sang pemuda.

Dengan sedikit penasaran, Hinata memanjangkan lehernya sedikit untuk melihat lebih jelas. Dan itu memang Naruto, dan memang benar ia sedang berusaha melepas seprainya. Kini, ia berbalik sembari menghela nafas dan membawa seprai itu dalam pelukannya. Tanpa sengaja, ia melihat Hinata yang kini melongo menatapnya dari balik pintu. Dengan panik, ia mencoba menyembunyikan seprai itu di balik punggungnya.

"Kenapa kau mencoba menyembunyikan sepraimu di balik punggung? Ada apa? Apa jangan-jangan kau... ngompol?" tanya Hinata ragu-ragu. Susah payah ia menahan tawa saat melihat ekspresi panik Naruto yang lucu.

"Bu—bukan! Ini bukan seperti itu! Kau tidak tahu, Hinata-nee? Ini... hal yang selalu terjadi pada anak laki-laki saat mereka beranjak dewasa." Naruto mencoba memalingkan wajahnya dan menghindari permata lavender Hinata. Wajahnya memerah, ia pun mengecilkan volume suaranya di akhir kalimat. Berusaha agar Hinata tak terlalu mendengarnya. Untuk satu hari ini saja, Naruto menyesal karena Hinata sudah datang ke rumahnya.

"Hal yang selalu terjadi pada anak laki-laki saat mereka beranjak dewasa? Memangnya anak laki-laki mengalami apa?" tanya Hinata dengan wajah polosnya dan telunjuk yang diletakkan di dagu. Mencoba mengingat kira-kira hal apa yang dialami kakak sepupunya, Neji, saat ia beranjak dewasa.

Mendengar pertanyaan Hinata membuat Naruto kaget bukan main. Hinata tidak tahu? Keterlaluan sekali...

"Kau benar-benar tidak tahu, Hinata-nee? Itu... mimpi basah..." Naruto benar-benar mengecilkan volume suaranya sampai ke tingkat maksimum. Malu sekali rasanya karena sudah mengatakan hal berbau privasi seperti ini kepada seorang gadis. Apalagi gadis itu masih sangat polos.

"Mimpi basah? Apa itu?" Hinata mengangkat sebelah alisnya heran. Ini adalah hal yang benar-benar baru baginya. Seingatnya, tak ada satu pun anak laki-laki di Gunung Olimpus pernah mengalami hal seperti itu. Pada akhirnya ia melupakan topik utama yang baru saja akan ia bahas.

Naruto semakin melongo. Wajahnya benar-benar kelihatan seperti orang bodoh sekarang. Setidaknya, sebelum Hinata melanjutkan kata-katanya, "Seingatku para dewa dan malaikat di Olimpus tidak ada yang mengalaminya..."

Oh ya, Naruto baru ingat sekarang. Hinata, 'kan, berada di level yang sangat jauh berbeda darinya. Hinata seorang puteri dari dewa dan dewi, sedangkan ia hanyalah seorang putera dari rakyat jelata. Kadang mengingat hal ini membuat Naruto merasa rendah diri sekaligus bangga.

Setelah menghela nafas panjang, Naruto mencoba memberi penjelasan singkat pada teman malaikatnya satu ini, perihal apa itu 'mimpi basah'. Tentu saja ia hanya menjelaskan sekenanya saja, dan tidak menjelaskan lebih lanjut. Wajahnya tak berhenti memerah saat menjelaskan pada Hinata sedangkan Hinata hanya mengangguk-angguk tanda mengerti.

"Biasanya, setelah mengalami 'itu', anak laki-laki akan mengalami perubahan sedikit demi sedikit, baik fisik maupun mental. Jadi... begitulah. Sudah ya, kalau terlalu lama menjelaskan, nanti aku terlambat ke sekolah." Naruto segera beranjak ke kamar mandi, masih dengan seprai yang dibawa dalam pelukan. Ia mencoba sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan Hinata. Ia sungguh merasa malu setelah tertangkap basah sedang membereskan seprainya tadi.

"Eh, tunggu, aku ada berita baik untukmu. Ini tentang perbedaan fisikmu dengan orang-orang ras Mongoloid. Semalam aku konsultasi dengan Kakek Jiraiya." Hinata terus mengoceh dengan suaranya yang lembut. Kakinya mengikuti Naruto sampai ke depan pintu kamar mandi dan tidak masuk lebih dalam. Memberikan sedikit ruang untuk Naruto.

"Kakek Jiraiya bilang, manusia dengan iris biru safir dan rambut blonde itu... biasanya memiliki darah yang sama dengan orang-orang dari ras Anglo-Saxon*, kalau aku tidak salah mengingat. Dan kata Kakek Jiraiya lagi, Naruto-kun, orang-orang dengan ras Anglo-Saxon tersebut sekarang ada yang sudah tinggal di Jepang, lebih tepatnya tinggal di Tokyo." Hinata mengambil jeda sejenak saat ia mendengar suara air bersentuhan dengan lantai. Ia menarik nafas dan kemudian melanjutkan, "Kakek Jiraiya dan aku sendiri menyarankan, kalau Naruto-kun tidak mau dikucilkan lagi, ada baiknya kalau Naruto-kun pindah ke Tokyo. Tentu saja tidak sekarang, karena Naruto-kun, 'kan, bisa dibilang masih belum bisa menghidupi diri sendiri. Lagipula kalau di kota, kau bisa lebih sukses. Kata orang, sukses di kota sangatlah mudah. Yah, tapi tentu saja setelah sukses nanti, kau bisa kembali lagi ke desa." Hinata menyandarkan punggungnya sendiri pada dinding luar kamar mandi dan perlahan ia merosot ke bawah, hingga akhirnya jatuh terduduk dengan lembut di lantai.

"Tapi aku ingin kau tahu, bahwa... kemana pun Naruto-kun pergi, aku akan mengikuti Naruto-kun." kurva menghiasi wajah putih Hinata. Kedua kelopak matanya bergerak menutup. Untuk beberapa menit, tak ada yang memulai pembicaraan. Hanya suara gemerisik air bersentuhan dengan lantai yang mendominasi.

Suara derit keran tua yang diputar pun terdengar dan air-air tak lagi bersentuhan dengan lantai. Hinata bisa mendengar suara kibasan handuk dari dalam kamar mandi. Pasti Naruto-kun sedang mengeringkan tubuhnya, begitulah pikir Hinata. Masih dengan kedua mata yang tertutup rapat.

"Hmm, baiklah. Aku akan ke kota setelah aku berhasil mengumpulkan sejumlah uang. Terima kasih, Hinata-nee. Aku tahu kalau Hinata-nee tidak akan pernah meninggalkanku," kata Naruto lembut setelah keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit pinggang. Titik-titik air menetes dari ujung-ujung rambut pirangnya yang basah.

Sama seperti Hinata, sebuah kurva menggantung di wajahnya yang berkulit kecokelatan sebelum akhirnya ia beranjak menuju kamar untuk mengenakan seragam sekolahnya. Sedangkan sang malaikat terbuang mengikuti di belakangnya dalam diam...


~o0o~


Desa tempat dimana Naruto tinggal kedatangan dua orang pendatang baru. Seorang lelaki paruh baya bernama Teuchi dan puteri tunggalnya, Ayame. Mereka berdua membuka sebuah kedai ramen bernama kedai ramen Ichiraku. Sebuah kedai yang sudah selama dua tahun ini selalu ramai dikunjungi penduduk desa.

Dengan kedatangan mereka, jumlah orang yang menyayangi Naruto dan tidak menganggap Naruto berbeda pun bertambah. Bagi kedua orang itu yang sesungguhnya memiliki fisik yang normal, perbedaan fisik Naruto bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Mereka tidak menganggap Naruto sebagai jelmaan oni hanya karena fisiknya jauh berbeda.

Ayah-anak tersebut begitu baik pada Naruto. Kadang keduanya memberi Naruto seporsi ramen gratis saat sang remaja berumur lima belas tahun sedang kelaparan dan kekurangan uang. Bahkan keduanya mempekerjakan Naruto di kedai ramen mereka saat Naruto –dengan niat bercanda sebenarnya—meminta pekerjaan pada mereka. Meski mereka mempekerjakan Naruto secara diam-diam dan memberinya pekerjaan di belakang kedai dengan tujuan agar orang-orang di desa yang sedang makan di kedai tak melihatnya. Karena sudah jelas bukan? Jika orang-orang desa tahu bahwasanya Naruto bekerja di kedai ramen itu, maka tak akan ada orang yang mau menghabiskan uangnya di sana lagi.

Kedatangan mereka, membuat kehidupan seorang remaja bernama Uzumaki Naruto bertambah hangat. Mereka memberinya kesetaraan, kebaikan, dan ditambah lagi dengan pekerjaan. Dengan hasil jerih payahnya dan kebaikan Teuchi dan juga Ayame, Naruto tak lagi terlalu bergantung pada uang pemberian ketua desa meski ia masih menggunakannya untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Uang hasil keringatnya hingga hari ini, selalu ia tabung dalam sebuah celengan besar berbentuk babi yang terbuat dari tembikar guna membiayai awal kehidupannya di Tokyo nanti. Dan sekarang celengan besar itu sudah sangat berat, tidak, terlalu berat untuk diangkat oleh Naruto sendiri sehingga pada akhirnya sang remaja bersurai pirang memutuskan untuk membongkar celengannya dan menghitung seluruh uang yang telah berhasil ia kumpulkan hari demi hari.

Dengan sebuah palu dalam genggaman dan seraya duduk di lantai, Naruto menghancurkan sang tembikar hingga menjadi partikel-partikel kecil sebesar butiran pasir. Disaksikan secara langsung oleh Hinata yang –selalu—dengan setia berdiri di sampingnya.

Uang-uang kertas dalam jumlah banyak berserakan di lantai. Suara gemerincing uang koin memenuhi ruangan sebelum akhirnya lenyap saat koin-koin tersebut tumbang ke lantai dan tak lagi bergerak.

Dengan sigap, Hinata segera berjongkok dan memunguti beberapa uang koin yang tercecer agak jauh seraya menghitungnya satu per satu. Sedangkan Naruto di sampingnya memunguti uang kertas hingga tak ada lagi yang tergeletak di lantai dan menghitungnya.

"Yosh! Kurasa uangnya sudah cukup banyak. Paling tidak, sudah cukup untuk biaya perjalanan ke sana, sewa apartemen murah dan uang makan selama satu bulan." Naruto tersenyum ke arah Hinata yang justru terlihat sedikit khawatir. Karena menurut Hinata, uang sebanyak itu masih kurang. Paling tidak, seharusnya, minimal, kalau ingin ke kota, harus memiliki uang yang cukup untuk biaya hidup dan sewa selama dua bulan.

Melihat ekspresi Hinata membuat Naruto terkekeh pelan. "Sesampainya di sana, aku akan langsung mencari pekerjaan. Jadi, Hinata-chan tidak perlu memasang ekspresi khawatir seperti itu. Untuk kelanjutan pendidikanku, kudengar dari Iruka-sensei, aku bisa meminta beasiswa pada sekolah berhubung aku anak yatim," kata Naruto seraya menghentikan kekehannya, menggantinya dengan senyum lebar dan mengelus puncak kepala Hinata dengan lembut.

Senyum manis yang dilontarkan Naruto padanya membuat rona merah menjajah kedua pipi putih pucat milik Hinata dan kehangatan mengisi relung hati juga wajahnya. Setelah melihat senyum Naruto, malaikat bersurai indigo tersebut tak pernah bisa menahan diri untuk tidak ikut mengembangkan kurva itu di wajahnya juga.

Ah, senyum itu. Senyum yang bagi Hinata adalah sesuatu yang ajaib. Senyum yang mampu membuatnya ikut tersenyum dan melupakan semua kesedihan juga rasa sakit yang ia rasakan hanya dalam sepersekian detik saja. Senyum yang dapat membuatnya tersipu malu sekaligus membuat jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya di saat yang bersamaan. Senyum yang juga dapat membuatnya merasa seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan dalam perutnya. Sama seperti ketika tangan besar milik remaja lima belas tahun itu mengelus puncak kepalanya atau merengkuh tubuhnya dalam sebuah pelukan hangat.

Tapi sungguh, Hinata tak mengerti perasaan apa ini, kenapa perasaan ini bisa datang, maupun kapan tepatnya perasaan ini mulai menyergapnya. Perasaan ini seringkali membuatnya tersenyum sendiri ketika ia mengingat apa pun tentang Naruto-kun-nya. Perasaan yang akhir-akhir ini selalu membuatnya bahagia ketika ia tengah berdekatan atau bahkan bersentuhan dengan Naruto. Malaikat berusia tujuh belas abad ini mulai berpikiran kalau mungkin ia sudah gila...

Meski begitu, Hinata tak peduli. Karena baginya perasaan yang ia rasakan kini adalah unik, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya dan yang terpenting, perasaan ini selalu membuatnya bahagia bukan kepalang.

Oh, Dewa, Tuhan, atau siapa pun itu, kalau Hinata diizinkan untuk berharap, bolehkah ia berharap waktu berhenti agar saat-saat membahagiakan baginya ini bisa bertahan untuk selamanya?


~o0o~


Akhirnya hari H dimana Naruto berangkat menuju Tokyo pun tiba. Dengan ditemani sebuah ransel tua nan lusuh berukuran besar, Naruto memulai perjalanannya menuju ke ibukota negara berjulukan 'Hi no Izuru Kuni'* tersebut. Sang malaikat terbuang bernama Hinata pun turut ikut dengannya.

Tidak banyak memang yang mengantarnya hingga ke gerbang desa. Bahkan jumlah mereka dapat dihitung hanya dengan menggunakan satu tangan. Tapi Naruto mengerti sekaligus tak peduli karena yang terpenting baginya adalah orang-orang itu masih sudi mengantarnya sampai ke gerbang desa dan mengucapkan beberapa salam perpisahan padanya. Bahkan mereka berkata mereka pasti akan kesepian tanpanya.

Sungguh, saat itu rasanya Naruto ingin sekali menangis karena tak sanggup menahan haru yang menyesakkan dada. Mendengar semua kata-kata perpisahan yang mereka ucapkan membuatnya ingin tetap tinggal. Tapi di sisi lain, ia tak bisa tetap tinggal di desa dan mengabaikan impian terbesarnya. Membangun desa dan menghapus julukan 'Child of Misfortune' yang selalu mengikutinya di belakang.

Akhirnya dengan segala tekad yang ada, sambil susah payah menahan tangis, Naruto berjalan keluar dari desa setelah melambaikan tangannya pada para pengantarnya, kepala desa, Iruka, Teuchi, dan Ayame. Tak lupa ia meneriakkan terima kasih dan sebuah janji bahwa ia pasti akan kembali suatu saat nanti dan tak akan melupakan mereka.

Sejak itulah, perjalanan panjang seorang remaja manusia bernama Uzumaki Naruto dan malaikat yang telah dibuang selama tujuh belas abad bernama Hinata dimulai. Sebuah perjalanan panjang nan sulit yang harus mereka tapaki tapi selalu mereka hiasi dengan sebuah senyuman.

Hidup ini memang sulit dan penuh perjuangan. Naruto dan Hinata tahu jelas akan hal itu. Itu sebabnya begitu mereka berdua sampai di kota dan sedikit kesulitan mendapatkan apartemen yang cukup bagus tapi murah, mereka tak menyerah. Begitu pula saat Naruto kesulitan mencari pekerjaan dikarenakan umurnya yang masih belia, lima belas tahun. Tapi mereka tak pernah sekali pun menyerah pada keadaan.

Pada bulan pertama mereka tinggal di Tokyo, semuanya memang terasa sulit. Mulai dari biaya sewa apartemen yang cukup mahal, tagihan ini dan itu, belum lagi persediaan uang semakin menipis dan perkerjaan yang ternyata tidak mudah untuk didapatkan.

Tapi pada akhirnya, kedua insan itu dapat melewati saat-saat sulit tersebut bersama. Pada bulan kedua mereka menetap di Tokyo, keadaan mulai membaik. Diawali dengan pekerjaan dengan gaji yang cukup untuk membiayai hidup selama sebulan, Naruto diterima di sebuah sekolah yang bisa dibilang sangat bagus dan permintaan beasiswanya dikabulkan oleh kepala sekolah, dan pada akhirnya Naruto dapat hidup dengan cukup layak dari hasil pekerjaan sambilannya.

Setelah selesai mengurus segala urusan menyangkut beasiswa dan segala sesuatu tentang sekolah, akhirnya Naruto menjalani hari pertamanya di sekolah di awal bulan kedua ia menetap di Tokyo. Sekolah tempat Naruto belajar kini sangatlah bagus. Fasilitasnya sangatlah lengkap, bahkan ada dua buah pendingin ruangan di setiap kelasnya.

Sekolah Naruto yang baru terasa sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sekolah lamanya di desa yang sungguh sangat sederhana dengan fasiitas yang jauh dari kata lengkap. Itulah sebabnya, Naruto sangat bersyukur dapat menuntut ilmu lebih dalam di sekolah ini tanpa dipungut biaya apa pun.

Naruto sempat berpikiran negatif sesaat sebelum ia memasuki kelas barunya untuk yang pertama kali. Bagaimana kalau ternyata semua anak-anak di kelasnya berambut cokelat dan hitam seperti teman-temannya di desa? Bagaimana kalau semua anak-anak di kelasnya memiliki mata berwarna gelap segelap batu obsidian? Bagaimana jika ternyata Naruto adalah satu-satunya remaja di sana yang berbeda? Bagaimana? Bagaimana?

Namun, pada akhirnya semua kecemasan sang remaja bersurai blonde sirna seketika begitu ia menggeser pintu kelasnya dan menatap semua anak yang berada di kelas tersebut. Naruto tercengang pada awalnya begitu ia melihat penampilan anak-anak yang nantinya akan menjadi teman barunya.

Mereka semua... sama dengan Naruto. Mereka semua berbeda. Sangat jauh berbeda dari orang-orang Jepang kebanyakan. Banyak dari mereka yang memiliki mata berwarna terang dengan rambut berwarna terang pula. Jarang sekali ada di antara mereka yang memiliki rambut berwarna hitam atau cokelat dengan warna mata yang senada.

Sebut saja seorang remaja bernama Deidara yang memiliki rambut blonde dan iris aqua. Atau Sasori dan Nagato dengan rambutnya yang berwarna merah menyala. Atau Yahiko dengan rambutnya yang berwarna oranye terang. Atau mungkin Konan, dengan rambutnya yang berwarna biru keunguan. Ada pula seorang gadis remaja rupawan bernama Haruno Sakura yang bersurai merah muda terang dengan iris hijaunya. Dan masih banyak lagi remaja-remaja dengan rambut dan warna mata yang lebih aneh.

Hanya segelintir saja yang memiliki rambut dan mata berwarna gelap. Jumlah mereka bahkan bisa dihitung dengan jari. Sungguh mengejutkan bagi seorang Uzumaki Naruto untuk melihat ternyata ada begitu banyak anak yang memiliki fisik aneh berkumpul di Tokyo. Mungkin jika remaja bersurai blonde tersebut sanggup mengitari seluruh Tokyo, maka ia dapat menemukan banyak lagi anak yang serupa dengannya.

Tanpa sang remaja sadari, sebuah kurva telah menempel di wajahnya. Dengan langkah mantap, ia menapaki lantai kelas menuju ke depan kelas dan bersiap untuk mulai memperkenalkan dirinya. Setelah ia dipersilakan oleh sang guru untuk memperkenalkan diri, Naruto menarik napas dalam-dalam, memasang cengiran terbaik yang ia miliki dan memperkenalkan dirinya dengan suara lantang seraya menepuk dadanya dengan bangga.

Kelakuannya membuat sang guru yang bersurai perak dan bermasker menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya meski sesungguhnya ia tersenyum geli. Tapi Naruto tak peduli, ia merasa terlalu bersemangat untuk memerhatikan yang lain saat ini. Ia terlalu senang karena melihat pemandangan baru di hadapannya.

Dan satu yang Naruto tahu, bahwa, mulai sekarang, Naruto akan menjalani kehidupan tanpa julukan-julukan menghujam hati, tanpa ada lagi batu-batu yang dilayangkan ke arahnya. Hanya kehidupan normal dan monoton dengan dikelilingi teman-teman yang bersedia menerimanya apa adanya selayaknya kehidupan yang dijalani oleh para remaja kebanyakan.

Ya. Hanya kehidupan normal. Kehidupan normal yang selama ini selalu Naruto impi-impikan...


~o0o~


Waktu telah menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit sore ketika Naruto dengan begitu semangatnya membanting pintu depan apartemen murah yang ia sewa. Ia ingin segera bertemu dengan Hinata dan menceritakan semua yang ia alami di sekolah hari ini pada sosok yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

Dengan tergesa-gesa, Naruto melepas sepatunya begitu saja. Membiarkan sepasang sepatu kets hitam itu tergeletak dengan tidak rapi di lantai. Remaja ber-iris sebiru lautan tersebut langsung berlari menuju dapur. Tempat dimana seorang Hinata biasanya berada. Di jam-jam seperti ini, malaikat berparas manis tersebut biasanya sedang menyiapkan makan malam untuknya.

Dan bingo! Benar saja, malaikat bersurai indigo yang mengenakan gaun putih sederhana sepanjang lutut dan celemek senada tersebut sedang berdiri membelakangi Naruto, mengaduk sup miso yang tengah ia masak dengan sebuah sendok sayur yang terbuat dari stainless steel. Sebuah senyum manis tertempel di wajahnya yang putih pucat.

Sepertinya malaikat berusia tujuh belas abad itu sama sekali tak menyadari bahwa Naruto sudah berdiri di ambang pintu dapur, sedang memerhatikan kegiatan yang gadis indigo itu lakukan dalam diam sambil mengatur napasnya yang memburu setelah berlari.

Setelah napasnya kembali teratur, Naruto –tanpa pikir panjang—berlari memasuki dapur dan mengurung Hinata dalam pelukannya. Kedua tangannya yang bisa dibilang cukup besar melingkari pinggang ramping milik sang malaikat. Sedangkan kepalanya ia sandarkan pada punggung Hinata. Bibir tipis sang remaja berumur lima belas tahun itu pun segera mengoceh tanpa henti dan tanpa jeda. Seakan tak memberikan kesempatan bagi sang gadis bersurai indigo yang kini tengah ia peluk untuk bicara.

Sang malaikat sendiri sangat terkejut atas perlakuan tiba-tiba yang ia terima. Wajahnya merah padam dan terasa sangat panas. Tapi ia tak memberontak sedikit pun. Gadis ber-iris lavender itu tetap tak bersuara dan tak bergerak, membiarkan Naruto memeluknya sepuas hati dan menceritakan semua yang ia alami di sekolah barunya.

Lagi. Lagi-lagi Hinata merasa bahagia. Sangat bahagia malah, hanya karena Naruto kini tengah merengkuhnya. Ribuan kupu-kupu tak kasat mata itu kembali terasa beterbangan dalam perutnya. Ah, perasaan ini. Meski aneh, tapi Hinata sangat menyukainya...

"Kau tahu, Hinata-chan? Teman-teman baruku sangat keren–tidak—mereka menakjubkan! Mereka sama anehnya denganku! Tapi hal yang paling membuatku senang bukan itu, mereka semua... mereka semua sangat ramah dan baik padaku, kau tahu? Mereka semua menyenangkan! Dalam satu hari saja aku sudah akrab dengan mereka. Dan lagi, dan lagi—" cerita panjang Naruto terpaksa berhenti sejenak karena suara perut seseorang terdengar.

Hinata terkekeh geli sedangkan Naruto justru memerah wajahnya karena malu. Rupanya, pemuda bersurai blonde itu terlalu bersemangat bercerita padanya sampai-sampai mengabaikan fakta bahwa sebenarnya ia lapar. "Duduklah di meja makan, sementara aku siapkan makan malammu dulu. Sebentar lagi sup miso-nya matang," kata Hinata dengan lembut seraya tersenyum.

Sang remaja bersurai blonde mengangguk dengan patuh dan secara perlahan seakan tak rela, melepaskan pelukannya pada Hinata. Dengan sedikit gontai ia mengayunkan kakinya menuju meja makan dan duduk di sana dengan tenang setelah sebelumnya mengambil sepasang sumpit dari dalam laci di counter.

Tak perlu menunggu lama, semangkuk nasi putih hangat dan semangkuk sup miso sudah terhidang di hadapan Naruto. Wangi sup miso langsung menggelitik hidungnya, sungguh menggoda. Dengan segera, sang pemuda bersurai blonde tersebut mematahkan sumpitnya.

"Selamat makan~" dan dengan itu, Naruto mulai menyantap hidangan yang tersedia di hadapannya dengan sangat lahap. Sedangkan sang pembuat hidangan hanya tersenyum simpul sambil mengelap kedua tangannya pada celemek putih yang ia pakai.

Tangan ramping sang gadis menarik kursi yang tepat berhadapan dengan sang pemuda dan duduk di atasnya. Dagunya ia tumpukan di atas kedua tangan. Kurva tak juga menghilang dari wajahnya yang memang manis, sedangkan kedua lavendernya memerhatikan sang pemuda yang sedang makan dengan seksama.

Sang pemuda bersurai blonde yang sadar sedang diperhatikan pun menatap Hinata dengan pandangan bingung. Pandangan mereka bertemu. Sapphire bertemu lavender. "Hei, kenapa kau melihatku seperti itu? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Naruto, memecah keheningan yang sedari tadi tercipta di antara mereka.

Hinata hanya tersenyum geli, mengambil tisu yang ada di tengah-tengah meja makan dan menyeka sisi bibir Naruto yang berlumuran sup miso. Sedangkan si pemuda bersurai blonde itu sendiri hanya memberikan cengiran terbaiknya pada Hinata. Tak lupa semburat merah muda mulai mewarnai pipinya yang berwarna kecokelatan.

"O-oh ya, tadi aku sedang cerita ya, -nyam nyam—dan lagi, tadi di sekolah, Hinata-chan, aku sekelas dengan seorang gadis –nyam nyam—yang sangat cantik! Rambutnya berwarna merah muda lembut dan matanya berwarna hijau. Cantik sekali, 'kan? Dia juga sangat ramah padaku. Dia orang pertama yang menyapaku di kelas, kebetulan juga aku duduk sebangku dengannya. Namanya –nyam—Haruno Sakura." Naruto mengacungkan sumpitnya ke arah Hinata selagi ia bercerita.

"Begitukah? Hmm, kalau Naruto-kun bilang begitu, maka dia pasti cantik. Baguslah kalau teman-teman Naruto-kun ramah. Sekarang Naruto-kun bisa punya banyak teman ya," ucap Hinata dengan senyuman. Dagunya kembali ia tumpukan di atas kedua tangannya. Melihat Naruto yang bahagia seperti ini. Memangnya apa lagi yang bisa Hinata harapkan?

Bagi Hinata, kebahagiaan Naruto adalah segalanya. Selama Naruto bahagia, maka ia pun akan bahagia. Oleh karenanya, Hinata rela melakukan apa pun agar Naruto bisa dan tetap bahagia. Meski, ia sendiri harus mengorbankan jiwa dan raganya untuk pemuda blonde itu.

Tuhan, Dewa, atau siapa pun itu. Terima kasih karena sudah mengabulkan doanya selama ini. Doa yang ia panjatkan agar Naruto-nya bisa bahagia seperti ini. Dengan begini, Hinata pun akan ikut bahagia bersamanya.

Naruto kembali menceritakan pengalamannya di sekolah tadi. Masih dengan aura semangat yang sama. Karena terlalu bersemangat, pada akhirnya ia pun tersedak. Dengan segera, Hinata mengambil gelas dari dalam rak counter, mengisinya dengan air dan memberikannya pada sang pemuda.

Dengan cepat, isi gelas itu habis tak bersisa. Naruto menyeka mulutnya yang basah. "Sekolah itu menyenangkan sekali, Hinata-chan! Kau juga harus merasakannya!" serunya dengan semangat. Tanpa sadar, ia sudah berdiri dari kursinya.

Hinata berjengit kaget. Kaget atas usul Naruto. "E-eh? Tapi aku—" kata Hinata sedikit tergagap. Kedua tangannya ia kibaskan di depan dada tanda menolak.

"Oh, ayolah, Hinata-chan. 'Kan tidak adil kalau hanya aku yang senang seperti ini. Hinata-chan juga harus merasakannya dan ikut merasa senang sepertiku. Kita ini, 'kan, teman. Teman tidak boleh senang sendirian. Ya? Lagipula, 'kan, ada aku. Jadi, Hinata-chan tidak perlu khawatir," kata Naruto lembut seraya menggenggam kedua tangan Hinata di atas meja makan. Mencoba untuk meyakinkannya.

Pada akhirnya, hati Hinata luluh saat teman pertama dan satu-satunya itu melontarkan tatapan memohon padanya. Malaikat bersurai indigo itu mendengus, kemudian tersenyum dan mengangguk. Naruto pun melepaskan genggaman tangannya dan bersorak gembira seraya mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.

Hari ini sungguh hari yang istimewa. Banyak sekali hal baik yang terjadi hari ini. Hinata sungguh berharap hari-hari seperti inilah yang akan menyambut mereka esok.

Ah, mulai besok ia akan berada di sekolah yang sama dengan Naruto, berangkat dan pulang sekolah bersama Naruto pula. Hinata harap, besok ia juga akan ditempatkan di kelas yang sama dengan Naruto. Jika harapannya terkabul... Aah, betapa bahagianya ia...

Andai saja malaikat bersurai indigo itu tahu kalau kebahagiaannya tak akan bertahan lama...


Se Continuó...


Glossary for this chap::

Zeus= Pemimpin para dewa di Gunung Olimpus. Disebut-sebut sebagai rajanya para dewa.

Aphrodite= Dewi cinta bangsa Yunani. Lebih dikenal sebagai Venus dalam mitologi Romawi.

Tengu= Dewa Gunung menurut mitologi Jepang.

Kappa= Dewa Air menurut mitologi Jepang. Fisiknya seperti yang sudah dideskripsikan Naruto di atas.

Oni= Setan.

Anglo-Saxon= Ras kulit putih. Ras-nya orang-orang Eropa. Ciri-ciri fisiknya ya berkulit putih, bermata biru, dan berambut pirang

Hi no Izuru Kuni= Country Where The Sun Rises, Jipangu~ #plakk boong deng, artinya cuman Country Where The Sun Rises doang, Negeri Di Mana Matahari Terbit atau kata translator dari sumber berbeda, sebenernya artinya lebih ke Negeri Di Mana Matahari Terbit Pertama Kali, terinspirasi judul lagu Japan di Hetalia Character CD Volum 3 track 2, judulnya 'Hi no Izuru Kuni, Jipangu'. Silakan download kalo tertarik ^^b (promosi?)

Yang bikin glossary-nya itu si Arthur a. k. a Suzuka, sahabat Ri, bukan Ri oke? *coret*soalnya dia suka Axis Powers: Hetalia, makanya tau lagu itu*coret* Makanya agak gimana gitu... ^^ #woi

Pokoknya, Ri sama Arthur atau Suzuka atau terserah reader mau manggil apa, minta review-nya ya...

Salam NHL:

Asuna no Riisuka

Arthur no Suzuka Aneue