"Tapi, Ketika hati kita telah mencintai seseorang, tidak seharusnya kan kita menaruh perhatian lebih terhadap orang lain. Ya kan Sas?"

Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, gadis itu tetap melanjutkan kembali kalimatnya.

"lagipula aneh, hati kan cuma satu, mana bisa terbagi untuk dua orang? Ah aneh-aneh saja"

Sasuke masih terdiam, hanya saja kali ini Ia memutuskan untuk makin memperdalam injakan gas mobilnya dan menyalakan radio.


The Journal of room 615

Chapter 1

Three Things Before I Quit

Characters arent mine, all belong to him.


Sorot matanya masih tenang dan gelap, segelap Konoha yang telah mengusir semua bintang dari angkasanya. Tidak ada tanda lelah yang terlihat, padahal rolex di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul dua tepat.

Konoha memang masih ramai di luar, berlawanan dengan suasana apartemennya yang sepi. Ia merasa aneh dengan sepi yang Ia lalui malam ini. Padahal berbulan-bulan lalu, sebelum gadis itu datang, Ia selalu menyukai sepi, bahkan Ia terkadang lebih memilih sepi dibandingkan harus bersama dengan tunangan dua tahunnya, Sakura.

Ruangannya juga kini terlihat rapi, terlalu rapi. Ruangannya juga tidak lagi berbau campuran musky wood dan lavender. Ia seakan sangsi dengan apa yang tengah indranya lihat dan baui.

Tanpa disengaja, saat tengah melihat jam di rolexnya, Ia mendapati dirinya terpaku melihat gelang rajutan hitam buluk yang melilit lemas ujung lengannya, kontras dengan semua barang mahal dan limited edition yang Ia kenakan di badannya. Sekilas sebersit cahaya redup muncul di matanya, untuk sepersekian detik. Sebelum akhirnya Ia memutuskan untuk mengintip kantung plastik yang diberikan satpam apartemennya beberapa menit yang lalu sebelum masuk ke dalam lift.

Hanya beberapa botol air minum dan secarik kertas. Kertas berwarna pink itu terlihat rapi, persis dengan helaian rambut Sakura. Sakura-nya yang tercinta.

Ketika membuka lipatan kertas tersebut, sekali lihat, Ia langsung tau siapa yang menulisnya. Siapa lagi yang berani memanggilnya dengan panggilan kecilnya selain gadis cengeng itu?

Sasuke beranjak dari ruang tamu menuju ke dapurnya, sehabis meletakkan botol-botol air minum tersebut, Ia lantas ke kamarnya.

Bila di malam-malam sebelumnya, Ia akan menghabiskan banyak waktu untuk membaca review laporan atau sekedar membaca kembali serial detektifnya, maka malam ini, Ia membuat pengecualian. Bahkan untuk mandi pun Ia kehilangan niat. Malam ini, Ia hanya ingin tidur. Kertas dari kantungan tersebut masih dipegangnya. Ia kembali tergoda membaca beberapa kata tersebut,

"Sas-kun, jangan pernah tertawa dihadapan gadis lain, selain Sakura-san"

Kilatan cahaya redup kembali tebersit di mata gelapnya, kali ini tidak hanya sedetik, sebelum akhirnya Ia berhasil memejamkan matanya, membawanya kepada mimpi tentang Sakura.

.

.

.

.

"kau yakin mau pergi dari perusahaan ini?" setelah sekian lama bersahabat dengan Hinata. Baru kali ini Ia kembali mengeluarkan nada ini, nada menyalahkan yang terkesan egois. Ia sekali pernah menggunakannya pada saat Hinata bertindak bodoh dengan menantang resiko beberapa bulan yang lalu.

Hinata hanya diam.

Ino memandang name tag yang bergantung tenang di leher Hinata, Logo Konoha Entertainment terlihat garang di tag tersebut. "Bukannya Konoha Entertainment selalu menjadi mimpi besarmu, mimpi besar semenjak kau sudah tau musik?"

Hinata kembali diam, meskipun kali ini untuk sepersekian detik, Ia memberanikan diri menatap Ino.

"Bukannya menjadi manajer desain selalu jadi khayalan paling liarmu?" Ino tidak bisa lagi mengendalikan nada suaranya. Ia akan kehilangan temannya! Ia dulu melewati banyak hal dengan gadis pendiam ini, Ia sudah bersamanya semenjak SMA, mimpinya yang sama, magangnya yang juga bersama, hingga akhirnya resmi menjadi karyawan di perusahaan entertainment terbesar se Asia ini. Ino tidak bisa tanpa Hinata.

Walaupun Hinata memang tidak benar-benar pergi dari Konoha, atau jangan-jangan, Ino kembali teringat sifat Hinata yang selalu hadir dengan persiapan yang matang. Jangan-jangan…..

"aku sudah melamar pekerjaan di Suna, Sabaku Entertainment sudah menerimaku Ino" Jawab Hinata tanpa kembali membalas tatapan Ino.

Dan sekarang Hinata akan pergi jauh. Butuh 3 jam pesawat komersil agar bisa sampai ke Sunagakure. Lagipula disana matahari terlalu banyak menampar kulit. Sejak kapan Hinata tergila pada musim panas? Astaga! siapa yang akan menjaga Ino untuk tidak makan kebanyakan atau tidur kemalaman? Siapa yang juga akan menjaga Hinata agar tidak lupa makan dan tidak hanya tidur saja sepanjang liburan? Ino tidak habis pikir dengan keputusan Hinata. Hinata yang biasanya logis, mungkin sekali ini saja, menjadi naïf.

"Hinata.. ayolah. Opportunity cost yang selalu kau dengungkan tidak sepadan disini. Konoha Entertainment jauh lebih besar, belum lagi posisimu yang harus kau ulang dari bawah kembali, tren desain disana jauh berbeda dengan yang telah kau pelajari di Konoha. Da – dan…" Ino berusaha mempertimbangkan kalimat yang akan dikeluarkannya "Kau, kau bukan tipe orang yang sosial Hinata, di Konoha ada aku, disana cuma ada kota dan gempa! Kau hanya akan makan ramen! Demi Tuhan Hinata kenapa kau jadi bodoh begini?" Ino tidak sadar dengan nadanya yang makin tercekik. Ia perlahan menatap sepatu nike ungu – pemberian Hinata di hari pertama mereka resmi menjadi karyawan Konoha Ent – hanya untuk mendapati tetesan air mata disana.

Yang ditanya, Hinata, hanya bisa terdiam. Ia sadar bahwa tindakan yang segera akan dilakukannya menyimpan terlalu banyak kerugian. Tapi ini sudah jadi pilihannya, manajer desain tetap menjadi khayalan liar yang akan terus diusahakannya dan Konoha Entertainment bukan lagi menjadi tempat impiannya. Ia harus pergi.

Sebelum makin terjebak dengan kondisi yang terus menyiksanya.

Ino kembali mendesah, bukan ini yang ia inginkan ketika tidak sengaja mengagetkan Hinata kemudian mendapat tumpukan surat berjatuhan – hanya untuk kemudian mendapati surat pengunduran kerja Hinata. Ino harus menarik Hinata ke lorong pemisah divisi keuangan dan manajemen. Lorong sepi yang hanya dilewati OB, untuk selanjutnya pembicaraan ini tak terhindarkan.

Padahal ia berencana mentraktir Hinata, hari ini ia juga telah resmi menjadi kepala staff audisi lokal di Konoha Ent. Hari ini seharusnya mereka berdua men-skip diet harian mereka untuk dihabiskan di berbagai makanan cepat saji. Atau setidaknya malam ini mereka bisa membeli beberapa cemilan dan berakhir dengan girl talks di kamar Ino.

Setelah mengumpulkan kepercayaan dirinya yang sempat goyah, Hinata akhirnya memberanikan diri. Bukan untuk melawan apa yang dikatakan Ino – sejak kapan Ia mampu melawan perkataan si jawara debat? – melainkan untuk melangkah kemudian memeluk erat Ino, air matanya jatuh begitu saja seiring dengan basah yang juga ia rasakan di pundak belakangnya.

"T-terima kasih u-untuk selama ini, I- ino" - dan maafkan aku, sekali ini saja, untuk keegoisanku – ujar Hinata dalam hati.

.

.

.

Hinata masih sibuk mengatur barangnya ini itu, ia tidak pernah menyangka kehidupannya selama di apartemen sederhana ini akan memakan banyak kenangan. Padahal didalamnya hanya ada kamar tidur, wc, ruang tengah merangkap dapur dan tempat menerima tamu.

Barangnya sebenarnya tidak banyak, apalagi perangkat elektroniknya akan segera ia jual ke thrift shop di ujung jalan. Hanya saja, saat sedang senang dan depresi, tertawa dan menangis, Hinata kerap menuangkannya di dinding apartemen ini. Meski nanti gambaran dan tulisan aneh ini akan segera tertutup dengan wallpaper oleh pemiliknya yang baru, tapi tetap saja, ada rasa ketidakrelaan. Hei, gambarnya juga banyak yang bagus, tidak kalah dengan graffiti dari staff periklanan di Konoha Ent.

Baru saja ketika Hinata menutup kopernya, ia mendapati beberapa barang yang tidak mungkin Ia bawa ke Suna namun sepertinya juga tidak akan laku bila dijual ke thrift shop. Ada jam rolex tua yang kaca pelindungnya telah pecah, sanitary gloves berwarna kuning terang, Tuf Voyage-nya yang ketumpahan kopi, dan converse merahnya yang sudah butut. Hinata tidak punya pilihan, disatu sisi Ia juga tidak bisa membuang barang tersebut, ada godaan besar dari dalam hatinya untuk menyimpan saja barang itu.

Hinata berusaha mengingkari hatinya bahwa sejak tadi Ia memang sengaja menyisakan keempat barang tersebut. Barang tersebut memiliki terlalu banyak kenangan bahagia dan juga sedih. Hinata hanya ingin membawa kenangan bahagia ke Suna, semua cerita sedih ingin ia kubur dalam saja di Konoha.

.

.

.

Hinata hanya bisa terbatuk-batuk, terlalu banyak debu di bagian cellar apartemen sederhananya ini. Awalnya ruang kosong ini tak sengaja Hinata temukan ketika mendapati salah satu penutup cellarnya longgar. Mungkin ini tempat paling bagus untuk barang-barang yang tidak terkelompokkanya tadi.

Ditatapnya kembali box coklat bekas tempat penyimpanan ramennya, didalamnya Hinata sudah menyimpan keempat barang tadi. Cellar ini akan menjadi tempat penyimpanannya, penghuni apartemen yang baru pasti akan segera memperbaiki penutup cellar ini dan dengan demikian kenangan Hinata akan barang tersebut juga akan tertutupi dengan sendirinya. Perfect!

Ruangan apartemennya kini sudah kosong, beberapa saat lalu bersama bantuan paman Jiraiya, Ia sudah mengemas barang elektroniknya untuk dititipkan di thrift shop. Yang tersisa hanya 1 koper besar, 1 tas jinjing north facenya dan ransel kecil berisi air minum, buku, ipod, dan tentu saja peralatan mini lainnya.

1st to do : checked.

.

.

.

Hapenya baru saja bergetar, sms dari Ino

"bersiaplah, setengah jam lagi ku jemput".

Hinata kemudian melanjutkan kembali jalan kakinya.

Setelah pulang dari sevel, Hinata nampak membawa beberapa bungkusan. Keringat membasahi pelipisnya, "Di Suna mungkin aku harus lebih banyak berolahraga" ujar Hinata sambil tersenyum menghibur tangannya yang serasa ingin lepas.

25 meter lagi dan apartemennya sudah terlihat. Hinata mempercepat lajunya, namun ia tidak berbelok kiri. Ia masih terus berjalan melewati area apartemennya, setelah habis 2 menit berjalan, ia kemudian berbelok kanan, tersenyum menyapa satpam penjaga kompleks bagian belakang apartemen tersebut.

"Nona Hinata! Lama tidak bertemu" sapa satpam tersebut, usianya hampir sama dengan paman Jiraiya, muka mereka berdua juga mirip, wajar, Paman Jitoshi adalah kakak kandung dari paman Jiraiya. Keramahan mereka juga hampir sama, meskipun paman Jitoshi jauh lebih tenang.

Hinata memutuskan untuk tidak membalas sapaan tersebut, nafasnya masih putus-putus, ia hanya tersenyum. Paman Jitoshi tidak akan tersinggung hanya karena ini.

Setelah nafasnya kembali stabil, Hinata kemudian memberikan dua bungkus besar belanjaannya di sevel tadi. Jitoshi kaget namun setelah melihat isi bungkusan tersebut, ia kemudian tersenyum simpul, telah mengerti kepada siapa bungkusan ini dialamatkan.

"Kudengar dari Jiraiya, kau akan ke Suna, apakah…." Kalimat Jitoshi mengambang, entah ingin melanjutkan atau tidak. Hinata juga tau bahwa kalimat tersebut mengambang. Tapi ia memilih untuk tidak peka. Kali ini saja. Toh Hinata juga tidak mampu meneruskan kalimat tersebut.

"Haha iya, paman pasti bakalan kangen ya?" Hinata dan Jitoshi tau, tawa Hinata barusan terlalu palsu. Tapi sama dengan Hinata, kali ini paman Jitoshi juga memilih untuk tidak peka.

"Ku harap keputusanmu ini bukan karena ketergesaan, Aku sudah mengenalmu lama Nona. Kau tegar. Semoga disana kau bisa mendapatkan bahagia yang lebih banyak daripada disini….." Jitoshi kemudian terdiam, menyadari suasana yang makin berat, ia kemudian mencoba tersenyum kembali "Suna sangat panas, kudengar disana banyak jenis ramen daripada yang Konoha miliki, aaaah aku juga sepertinya harus pindah kesana hahahaha"

Hinata hendak berbicara ketika hapenya kembali bergetar, Ino sudah menunggu didepan gerbang kompleks apartemennya. Seakan tau isi pesan tersebut, Jitoshi kemudian menyilahkan Hinata untuk pergi dengan kembali memberi nasihat khas orang tua.

Hinata sudah tiga langkah menjauh dari area apartemen terbaik Konoha tersebut, ketika kemudian ia berbalik, ingin memastikan bungkusannya sampai dengan tepat. Paman Jitoshi sudah menghilang. Ia kemudian memutuskan mengirimkan sms saja.

Saat hendak mengetik pesan singkatnya, Hinata terlebih dahulu memeriksa katalknya. Ternyata pesan dari Sakura.

"terima kasih Hinata-san, lama-kelamaan aku bingung juga kenapa Sasuke tidak memberikan cincin ini langsung saja ke aku, kenapa selalu mesti lewat kamu ya?-_-"

Setelah membalas katalk dari Sakura, Hinata kembali membuka tab pesan singkatnya.

"Paman Jitoshi, apartemen 605, jam 10 malam, jangan patrol sebelum air alkalin itu sampai yaa. Semoga kita bisa bertemu lagi "

Hinata mengetiknya dengan tergesa, 1 menit lagi ia tak terlihat di jangkauan pandangan Ino, Ia mungkin akan dibaweli segala macam. Ia harus bergegas.

2nd and 3rd to do: checked.


Halo semuanyaaaaa!

Akhirnya bisa nemu kesempatan untuk ikutan nulis fic. Ini fic pertama yang idenya sudah kependem di otak. Alurnya rada berat ga sih? Semoga engga yaaa.

Kritik dan saran apalagi ucapan semangat sangat dinantikan.

Plis jangan jadi silent yaa, biar aku tau mana yang bisa diperbaikin dan akhirnya cerita ini bisa jadi tambah bagus.

Salam!