Hembusan angin musim semi yang membawa daun-daun kering berterbangan mengikuti arah tanpa kepastian. Sebagian terselamatkan, sebagian lagi akan tersingkirkan karena berada di batas garis aman, namun tak sedikit yang tercecer menuju wilayah lain.
Mereka indah. Seperti cerita dongeng jaman dahulu yang manis, namun tak semuanya berakhir dengan bahagia. Sekalipun begitu, mereka tetap menyimpan makna didalam setiap alur ceritanya.
Angin berhebus kencang, menerbangkan helai-helai daun maple yang menyeruakan aroma manis khas musim gugur. Di bawah geguguran daun yang kering, Hoseok mengukir pikirannya diatas lembaran-lembaran putih yang tersusun rapi. Ia menyumbat kedua lubang telingat dengan Headphone, berceloteh pelan seiringan dengan irama yang menyapa indra pendengarannya, sedikit menggerak-gerakan kepalanya sesuai melodi yang mengalun.
Sepasang mata yang sudah lima belas menit silam menatap tidak suka kepadanya, sebelum sebuah tangan berani tergerak untuk menarik Headphone Hoseok hingga terlepas.
Ia terkaget, tentu saja.
"Apa?" Gadis itu bersuara sinis, seolah ia benar-benar telah dirugikan akan suatu hal. Menatap Hoseok garang, seperti ia bisa saja membunuh Hoseok saat itu juga melalui sorot tajamnya.
Hoseok tersenyum. Sangat tampan, seperti mentari pagi yang membangkitkan semangat di hari senin.
"Jangan terlalu membentak. Kau bisa saja membangunkan burung yang sedang kesiangan, Noona" Hoseok melepas Headphonenya secara benar, dan mengalungkannya di leher.
Gadis itu memutar matanya malas, lalu membuang nafas berat sebelum ia mengambil tempat disebelah Hoseok.
"Rumahmu gelap tiga hari ini" Ia membuka suara, menatap lurus kedepan, menonton daun-daun kering yang tajuh dari rantingnya.
"Kau merindukanku?"
"Iya"
"Apa?" Hoseok memutar pandangannya. Gadis disebelahnya ini tidak sedang mengingaukan? Lagi pula sangat tidak biasa sekali ia sudah bangun sepagi ini.
"Aku merindukanmu, Jung Hoseok" Ia mengulanginya. Setelah mendapati ekpresi tidak percaya yang luar biasa dari Hoseok untuk meyakinkan anak itu.
"Aku juga" Ia menjawab sangat pelan, namun masih bisa ditanggap oleh pendengaran gadis dibelahnya.
"Jadi selama ini kau dimana? Aku pikir kau sudah di UGD rumah sakit mana, atau tersangkut di tepi sungai"
Hoseok tersenyum. Ia tidak bermaksud mebuat gadis itu cemas, tapi kecemasan gadis itu membuatnya bahagia. Setidaknya tidak hanya dirinya yang merasa terganggu tiga hari ini.
"Aku dirumah ibu, butuh menenangkan pikiran"
"Kau ada masalah? Kenapa tidak bercerita denganku"
"Ada . . ."
Hoseok menggantukan kalimatnya, sebelum melanjutkannya ia memutar pandangnya menatap gadis disebelahnya. Sadar akan perhatian oleh Hoseok, gadis itupun ikut menatap Hoseok dengan kening berkerut.
"Tidak bisa"
"Apanya?"
"Bercerita kepadamu"
Hening. Untuk beberapa menit mereka dibekukan oleh keheningan. Karena tatapan Hoseok, dan karena perkataan Hoseok, cukup membuat gadis disebelahnya merasa tidak berarti apa-apa bagi Hosoek.
Kecewa? Ada. Karena ia terlanjur untuk menganggap Hoseok lebih dari sekadar adik yang tinggal di depan rumahnya. Lebih dari sekadar orang yang selalu di ucapakan selamat pagi setiap kali ia berangkat kerja. Lebih dari sekadar orang yang ditawarinya makan malam ketika ia tahu orang itu ditinggal sendirian orang tuanya dirumah. Lebih dari sekadar orang pertama yang akan di hubungai ketika ia pulang dari kerja lemburya. Hoseok itu, istimewa.
"Jadi aku menulisnya didalam lirikku. Ingin mendengarkannya?"
Hoseok memberikan Haedphonenya.
"Judulnya apa?"
"Aku ingin menjadi seseorang yang akan memasangkan cicin di jari manismu"
"Kau sedang menyatakan cinta kepadaku, Hoseok?"
"Bukan. Tapi melamarmu."
"Apa?"
"Would you marry me, Noona?"
"Kau ingin mati?"
"Tidak. Aku ingin menjadi orang yang bertanggung jawab atas hidupmu"
-fin-
