Minna! Apa kabar semuanyaaa! xDD
Buat yang belum kenal, perkenalkan saya undine-yaha*tunduk2*
Aku sangaaaaaat bahagia melihat respon yang begitu menggembirakan dari teman-teman yang sudah membaca Flowers! Terima kasih banyak semuanyaa! Nah, karena aku sudah menjanjikan sekuel, maka…inilah sekuelnya!
Di sini Hana beserta anak-anak alumni SMA Deimon akan bertualang di dimensi sihir, tempat Hana tinggal selama ini. Ceritanya murni dari khayalan saya sendiri, tapi setelah didiskusikan sama Chopiezu ternyata ide saya mirip sama beberapa film yang bahkan belum pernah saya tonton!*pluakk!*
Meskipun genrenya fantasy/adventure, tapi akan tetap ada romance dan comedy-nya! xD
Baiklah, setelah perdebatan yang panjang, dan juga setelah mengkaji beberapa referensi, kupersembahkan, sekuel dari Flowers!
Petir-petir berwarna hitam pekat menyambar-nyambar, menimbulkan suara gemuruh yang sangat hebat. Petir yang tercipta dari kekuatan sihir kegelapan itu menghantam semua yang ada dihadapannya, termasuk pula istana tempat Sang Pimpinan kerajaan Sihir Cahaya berada.
"Cepat bawa pimpinan pergi dari sini!" salah seorang pengawal berjubah putih berteriak.
"Aku akan tetap disini!" Sang Pimpinan berkata dengan nada tak terbantahkan,"Aku akan bertahan! Aku harus melindungi rakyatku!"
"Mohon maafkan kami, pimpinan," pengawal yang berteriak tadi berkata,"Tapi kondisi Anda sangat lemah, bukankah itu pula alasannya Kerajaan Kegelapan menyerang kita?" ujarnya.
"Dia benar," salah seorang pengawal lain mengangguk,"Kami harus mengasingkan Anda dari sini!"
Sang Pimpinan menggeram kesal. Para pengawal itu benar, kalaupun ia disini, ia tak akan bisa membantu apa-apa. Sekarang rakyatnya sedang berada dalam kepanikan untuk menyelamatkan diri. Jika ia bisa pergi ke tempat yang tenang terlebih dulu, ia akan bisa menyusun strategi dan mengirim bantuan agar rakyatnya selamat.
Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus dilakukan…
"Agen no.8!"
Suara Pimpinan menggema ke seluruh aula kerajaan yang kini siap runtuh. Seorang gadis berambut hitam kecokelatan menoleh.
"Siap!" ia menjawab lantang.
"Misimu sekarang adalah…," Pimpinan mengambil nafas,"Pergilah ke Jepang dan selamatkan Hiruma Youichi dan Anezaki Mamori!"
"A-apa?" gadis yang dipanggil Agen no.8 itu terkejut, begitu juga seorang pemuda berambut hitam di sebelahnya,"Mengapa?"
"Kerajaan Sihir Hitam pasti telah menemukan seseorang untuk mereka jadikan wakil dari pimpinan mereka! Begitu juga tanpa seizinku beberapa oknum dari kerajaan kita telah menemukan seseorang untuk mewakili aku dalam pertempuran! Dan itu adalah mereka berdua!" Pimpinan menjelaskan panjang lebar.
Hana menelan ludah,"Baiklah…izinkan aku membawa Agen no.5 untuk ikut serta!" katanya.
"Aku izinkan! Cepatlah!" Pimpinan berteriak sementara para pengawal telah siap membawanya ke tempat yang lebih aman,"Semua ada padamu! Kau punya andil yang besar dalam perang ini! Kupercayakan padamu, Agen no.8!"
"Siap! Ayo, kita segera pergi lewat Cermin Dimensi!" ajak Agen no.8 itu pada pemuda di sebelahnya.
"Ah…, astaga!" pemuda itu berlari bersama Agen no.8 sambil mengeluh,"Jepang lagi…Uhm…siapa namaku?" ia bertanya.
"Niwa Masato! Dasar!" jawab Agen no.8,"Dan aku adalah Aoihoshi Hanaa!"
Niwa Masato mengangguk, dan saat itulah sembari berlari ia melihat ke sampingnya. Sebuah pilar raksasa terhantam petir hitam. Pilar yang tadinya kokoh itu retak dan siap menimpa gadis di depannya.
"Sialan!" ia menyumpah,"HANA! AWAS!"
"Hah?" Hana berhenti berlari dan menoleh ke arah pilar yang akan runtuh.
"AWAS!"
"KYAAA!"
Seketika itu pula terdengar suara gemuruh yang begitu hebat. Puing-puing berhamburan bersama debu yang bertebaran.
Hana membuka mata. Ia selamat. Masato telah mendorongnya menjauh dari pilar itu. Setelah terbatuk-batuk karena debu yang begitu banyak hingga membentuk kabut, ia mulai menyadari pilar yang rubuh itu berada di hadapannya, sementara Masato tak ada di sana.
"M-Masato!" ia memanggil,"Uhuk! Masatoooo!"
"Aku disini!" samar-samar terdengar suara laki-laki.
"MASATO!" Hana bergerak ke tumpukan puing itu,"Kau baik-baik saja? Apa kau terluka?"
"Tidak…puingnya tidak menimpaku…tapi ada yang membentur kakiku. Sepertinya aku agak sulit berjalan…," jawab Masato.
"Aku akan membantumu!" Hana memindahkan puing itu satu-persatu. Ia juga mencoba menggunakan kekuatan sihir yang dimilikinya. Namun puing itu tak ada habisnya.
"Jangan pedulikan aku!" teriak Masato,"Cepatlah pergi! Laksanakan misimu!"
"Nggak mau!" jawab Hana lantang sambil terus memindahkan puing,"Aku nggak mau pergi tanpa kamu!"
"Kau akan membuang waktu di sini! Cepat pergi!" perintah Masato.
"Nggak…," suara Hana bergetar, air mata mulai membasahi pipinya,"Aku nggak mau! Aku mau pergi denganmu!"
"Pergilah," perintah Masato lagi.
"NGGAK!" Hana meraung diiringi isak tangis.
"PERGI!" bentak Masato,"PERGI! SEKARANG!"
Hana langsung bungkam. Tangannya gemetar ketakutan.
"Kumohon…," pinta Masato,"Aku akan baik-baik saja. Selesaikan misimu dan aku akan membantu yang ada di sini."
Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara tangis yang menyayat hati.
"Pergilah. Setelah kau berhasil menyelesaikan misi, kita akan bertemu lagi," ujar Masato.
Tangisan itu kembali terdengar. Masato menghela nafas.
"Sampai kapan kau harus bergantung pada orang lain? Kau bukan anak kecil lagi, Hana," ujarnya,"Kau pasti bisa berjuang dengan kekuatanmu sendiri. Pergilah, dan nanti kita akan berjumpa lagi."
Hana menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya,"Aku…aku akan pergi…baiklah," katanya gemetar,"Tapi nanti kita ketemu lagi. Kau harus janji."
"Aku janji. Jangan menangis lagi, kau harus tegar," kata Masato.
"Baiklah…," Hana menghapus air matanya dan berbalik membelakangi reruntuhan itu,"Aku berangkat, Masato! Berjanjilah kita akan ketemu lagi!"
Ia berlari dengan cepat, mencari tempat untuk membuat Cermin Dimensi dan pergi melaksanakan misinya. Terbayang sesuatu yang buruk di benaknya.
Semanggi berdaun lima.
Tanda kesialan.
A Sequel from an Eyeshield 21 Fanfiction: Flowers
The Miraculous of Flowers
Chapter 1: Lotus, the Mystery and Truth
Written by: undine-yaha
Story by: undine-yaha & chopiezu
Disclaimer: Inagaki Riichiro & Murata Yuusuke
Sore itu awan mendung menghiasi langit. Angin berhembus pelan, tanpa tanda-tanda akan ada sesuatu yang aneh terjadi.
Hiruma Youichi, duduk di sebuah bangku panjang di taman pinggir jalan. Ia hanya memakai jaket hitamnya, duduk tenang dan berpikir serius. Sony VAIO putih kesayangannya juga tak tampak di pangkuannya. Kakinya yang berbalut skinny jeans hitam ia silangkan di atas kaki satunya.
"Hiruma-kun?"
Hiruma tidak menoleh ke asal suara. Ia sudah kenal betul suara itu. Anezaki Mamori, datang menghampirinya dengan floral dress berwarna pink dan loose cardigan lengan panjang berwarna putih. Boots berwarna senada juga melengkapi penampilannya.
Dan…tidak lupa, sekantong kertas cream puff juga ia bawa.
"Sedang apa kau disini?" tanya Mamori.
"Lagi mikir," Hiruma menjawab singkat tanpa menoleh.
Mamori tersenyum lembut. Terlintas pertanyaan di benaknya: bukankah Hiruma memang selalu berpikir?
Gadis berambut cokelat terang sebahu itu melangkah ke sebuah vending machine di seberang jalan. Tak lama ia kembali dengan dua buah kaleng kopi di tangan.
"Ini, minumlah," Mamori menyerahkan sebuah pada Hiruma. Hiruma menerimanya.
"Aku duduk di sini ya," ujar Mamori lalu duduk di sebelah Hiruma.
Keduanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kopi kaleng itu hanya disesap sedikit lalu mereka taruh di samping mereka.
Hening. Mereka tak berbicara satu sama lain.
Hiruma memutar mata hijau zamrudnya dan berkata,"Tumben kau diam saja. Salah makan?" tanyanya sarkastis.
"Mou…," Mamori menggembungkan pipinya,"Kalau aku cerewet, kau protes. Aku diam saja, kau juga protes!"
Hiruma terkikik jahil.
"Sebenarnya…ada sesuatu yang mengganggu pikiranku," ujar Mamori,"Akhir-akhir ini, aku bermimpi aneh…"
Hiruma kembali meminum sedikit kopinya, lalu menaruh kaleng itu lagi. Ia mendengarkan.
"Aku bermimpi terbangun di sebuah tempat yang terang, semua serba putih hingga menyilaukan mata," lanjut Mamori,"Aku juga memakai gaun panjang berwarna putih dan kalau tidak salah ingat, di belakang punggungku juga ada sayap…"
Hiruma menampakkan ekspresi sedikit terkejut. Rupanya ia mengalami mimpi yang sama dengan Mamori, tapi mimpi mereka terbalik! Kalau Mamori terbangun di sebuah ruangan yang serba putih, maka Hiruma terbangun di sebuah ruangan serba hitam.
"Setelah itu ada orang-orang berbaju putih di sekitarku yang terus saja berkata: kaulah yang terpilih, musnahkan kegelapan, menangkanlah perang…," Mamori menunduk menatap tangannya yang berada di pangkuannya,"Entahlah, benar-benar mimpi yang aneh…"
Hiruma kembali terkejut dan menoleh ke arah Mamori. Bagaimana bisa? Mimpinya sama dengan mimpi Mamori, tapi ia disuruh untuk memusnahkan cahaya.
"Hmm?" merasa dilihat Hiruma, Mamori menoleh,"Ah, tidak apa-apa…biarin saja, itu hanya mimpi," katanya santai.
Hiruma mengangkat alis dan mengalihkan pandangannya ke depan. Sekaran gmereks sibuk dengan pikiran masing-masing. Hiruma mengeluarkan sebungkus permen karet tanpa gula dari sakunya, sementara Mamori mulai memakan cream puffnya.
Saat itulah tiba-tiba langit semakin mendung. Keduanya merasakan firasat buruk. Sesuatu yang aneh sedang terjadi. Seketika itu juga muncul dua buah pusaran dimensi, masing-masing ada di sisi kanan Mamori dan sisi kiri Hiruma. Pusaran di sisi Mamori berwarna putih sedangkan yang di sisi Hiruma berwarna hitam. Kedua pusaran itu menghisap mereka, sekaligus menimbulkan hembusan angin yang begitu kencang di sekitarnya.
"KYAAA!" Mamori menjerit karena merasa ditarik oleh pusaran aneh itu. Begitu juga dengan Hiruma. Mereka berdua berpegangan pada sandaran kursi panjang itu, yang anehnya sama sekali tak terpengaruh gravitasi pusaran manapun. Pusaran aneh itu hanya menginginkan Hiruma dan Mamori.
"Ada apa ini?" teriak Mamori panik,"Apa yang sedang terjadi?"
"Nggak tau!" jawab Hiruma,"Kita tidak bisa kemana-mana! Berpegangan yang kuat!" ia memerintah.
Mamori mengangguk, dan berusaha berpegangan kuat-kuat pada bangku itu. Tetapi tidak bisa, pusaran putih disampingnya terus menyeretnya paksa. Mereka berdua membelakangi pusaran itu untuk berpegangan.
"Hiruma-kun!" panggil Mamori dengan kepanikan yang amat sangat. Ia semakin dekat ke pusaran itu.
"Sial!" Hiruma menyumpah, lalu menggapaikan tangan kirinya ke Mamori dan menariknya ke dalam pelukannya erat-erat. Tangan kanannya ia gunakan untuk berpegangan pada sandaran bangku.
"Hiruma-kun…aku takut…," ujar Mamori pelan dalam dekapan Hiruma. Hiruma tidak menjawab, ia hanya terus bertahan agar jangan sampai terhisap pusaran aneh itu.
Semakin kuat Hiruma berpegangan, semakin kuat pusaran itu menghisap mereka berdua. Hiruma bahkan hampir tertarik ke pusaran hitam di belakangnya. Mamori memekik, namun Hiruma dengan sekuat tenaga menarik dirinya ke arah berlawanan, dan kembali merengkuh Mamori dalam pelukannya. Mamori balas memeluknya kuat-kuat.
"Hiruma-kun, bagaimana ini?" tanya Mamori. Air mata ketakutan mulai mengaliri pipinya.
"Sudah, tidak usah cerewet! Berpeganganlah kuat-kuat!"
Angin di sekitar mereka berhembus semakin kencang. Langit semakin gelap, membuat suasan mencekam.
"Hiruma-kun!" jerit Mamori,"Jangan lepaskan aku!"
"Baka!" bentak Hiruma,"Mana mungkin aku melepaskanmu! Berpeganganlah…kuat…ARGH!"
Hiruma mengerang marah karena pusaran itu semakin kuat menariknya. Perlahan tapi pasti, Mamori mulai terlepas dari pelukannya. Ia terus menyumpah kesal karena tidak terpikirkan strategi apapun untuk menyelesaikan persoalan aneh ini.
"HIRUMA!" Mamori menjerit karena ia semakin jauh dari Hiruma dan semakin dekat ke pusaran putih. Kaki gadis itu telah separuh masuk ke dalam pusaran. Hiruma masih memegangi lengannya erat-erat, sementara kakinya sendiri telah terhisap ke pusaran hitam.
"Hiruma…," Mamori memanggil Hiruma dengan lirih, wajahnya memerah karena menangis,"Jangan lepaskan aku…aku takut…"
"Tidak akan!" sentak Hiruma,"Sialan! Apa sih yang sedang terjadi?" ia bertanya-tanya.
Mamori memekik. Pusaran itu semakin kuat menarik mereka ke arah yang berlawanan sehingga memisahkan mereka. Kini tinggal sebelah tangan mereka saja yang berpegangan, dan itu juga mulai terpisah.
Hiruma menggenggam jemari itu kuat-kuat. Mamori terus memanggil namanya, tapi Hiruma juga tak bisa berbuat apa-apa.
Jari-jari itu satu-persatu terlepas, hinga ujung jari yang terakhir…
"NGGAK!" Mamori menjerit beserta tangisannya,"YOUICHI!"
"MAMORI!" Hiruma memanggil nama gadis itu.
ZZZAPPP!
Pusaran hitam dan putih itu menghilang, membawa mereka turut serta. Angin mulai tenang, dan dua buah kaleng kopi terjatuh ke tanah.
-MiraculouS-
Sekumpulan mahasiswa Univesitas Enma yang juga merupakan anggota tim amefuto junior berjalan bersama-sama melewati taman di pinggir jalan. Mereka semua alumni dari SMA Deimon.
"Langitnya terus mendung," ujar Kobayakawa Sena, sang runningback.
"YA~! Kau benar Sena! Tapi tidak turun hujan!" gadis bernama Taki Suzuna di sebelahnya berkomentar.
"Hei, lihat!" sang wide receiver, Raimon Taro berseru. Ia menunjuk ke kursi panjang di taman itu.
"Ada apa, Monta-kun?" tanya senior mereka sekaligus yang berbadan paling besar, Kurita Ryokan, sang linemen.
"Bangku ini, banyak barang-barang tercecer!" ujar Monta.
"Wah, iya benar," Sena menanggapi,"Lihat, ada dua kaleng kopi yang terjatuh, dan…hah?" Sena tercengang saat melihat dua benda di atas bangku yang posisinya berantakan.
"Pu-puufu kuriimu…," ujar Kurita sambil ngiler,"Dan juga sebungkus permen karet…"
"Entahlah, tapi, aku merasa kedua barang ini mengingatkan aku pada seseorang…ah, tidak! Dua orang!" ujar Suzuna.
Semua terdiam dan berpikir.
"Mamori-neechan dan Hiruma-san!" ujar Sena. Semua mengangguk setuju.
"Aneh sekali…apa benar ini punya mereka?" Suzuna bertanya-tanya,"Tapi kenapa berserakan begini?"
"Bingung, MAX!"
Seketika itu juga dari samping Kurita muncul sebuah cermin panjang bermodel klasik dengan ukiran berwarna emas dan bintang perak di atasnya. Cermin itu memancarkan cahaya yang begitu menyilaukan.
"MUKYAAA! APAAN ITU?" teriak Monta heboh.
"HUWAAA!" Kurita menutup mata karena cahaya itu begitu menyilaukan.
"HIE!" hanya itu yang bisa diekspresikan Sena. Suzuna juga menutup matanya karena terlalu silau.
Dari dalam cermin terang itu, muncullah seorang gadis berambut hitam kecokelatan dengan jubah berwarna biru muda dan juga tongkat berwarna sama. Di atas kepalanya terpasang sebuah tiara kecil dengan simbol bintang bersayap.
Anak-anak makin tercengang. Gadis itu menjejakkan kakinya ke tanah dan menyapa mereka,"Minna!"
Cermin itu hilang. Cahaya menyilaukan sudah pergi.
"T-tidak mungkin…," Suzuna mengerjap-ngerjapkan matanya tidak percaya,"K-kamu…kamu…Ao-chan?"
Hana's POV
Aku tersenyum, cengar-cengir nggak jelas. Terakhir kali kami bertemu, Kurita dan Monta tidak berubah banyak, tapi Sena dan Suzuna…gosh, bagaimana aku menjelaskannya?
Wajah Sena yang dulu bulat sekarang sudah lebih oval, ia terlihat lebih mature dan lebih cakep daripada sebelumnya. Suzuna juga, makin terlihat dewasa dengan rambut yang dibelah pinggir.
Jelas saja, sih…mereka 'kan udah kuliah gitu lhoooo…
"Ao-chan! Kamu ini datang dan pergi begitu saja!" Suzuna memelukku. Aku balas memeluknya.
"Aku nggak kemana-mana," jawabku seperti biasa.
Sena memandangku hepi-hepi saja, sementara Kurita dan Monta masih agak linglung. Saat ini memori mereka tentang diriku sedang tersusun perlahan-lahan.
Wait.
Tadi aku ke sini mau ngapain?
"GAWAT!" aku berteriak dan melepaskan pelukan Suzuna. Kulihat bangku taman di sampingku. Berdasarkan informasi yang kudapat, Hiruma dan Mamori seharusnya duduk di sini!
Tapi mereka tidak ada…
Tidak…
"Oh, tidak…," aku langsung terduduk lemas ke tanah. Selesai sudah. Aku terlambat.
"A-ada apa?" Suzuna membantuku kembali berdiri.
"Kak Hiruma dan Kak Mamori, mereka…," aku berkata dengan penuh penyesalan,"Mereka menghilang! Pusaran Dimensi telah membawa mereka pergi ke dunia lain!"
Semua hanya bisa mengerutkan dahi.
"T-tunggu," Monta angkat bicara,"Hana, kau tiba-tiba datang dari dalam cermin, memakai baju yang sangat aneh, lalu mengatakan kalau Mamori-san dan Hiruma-san dibawa pergi ke dunia lain?"
Ingin sekali aku menceritakannya pada mereka. Tapi tidak boleh, mereka tidak boleh terlibat lebih jauh lagi.
"Maafkan aku teman-teman," aku menghadapkan tongkat sihirku pada mereka,"Aku sayang kalian. Tapi sudah terlalu banyak yang kalian lihat. Ingatan kalian akan kuhapus."
"Tunggu!" teriak Suzuna,"Kau tidak bisa melakukan itu! Tolong jelaskan kami apa yang terjadi, Ao-chan!"
"Apa yang terjadi pada Hiruma?" Kurita bertanya dengan nada khawatir,"Apa yang sedang terjadi?"
Mereka terus membujukku untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Aku sedang dalam masalah, teman-teman…," kataku,"Dan aku tidak ingin melibatkan kalian!"
"Kalau kami temanmu, maka kami berhak untuk tahu dan membantumu!"
Kata-kata Sena barusan seakan menyadarkanku.
"Itu benar, MAX!" ujar Monta,"Karena kau teman kami, makanya kami berhak membantumu!"
Aku menarik kembali tongkat sihirku.
"Baiklah…," aku menghela nafas,"Akan kuceritakan semuanya."
Akhirnya kubongkar identitasku selama ini. Kuceritakan pula kekacauan yang sedang terjadi di duniaku. Kondisi pimpinan kami yang sedang lemah karena sakit membuat pimpinan black magic mengambil kesempatan itu untuk memulai perang. Ia ingin menghancurkan kerajaan white magic kami. Aku juga menceritakan tentang terpilihnya Hiruma dan Mamori untuk menjadi wakil dari kedua kubu yang berlawanan.
"Kalau Kak Hiruma dan Kak Mamori dibiarkan ikut berperang…mereka diharuskan membunuh satu sama lain," kataku.
Teman-temanku terdiam, menelan ludah.
"Jika itu terjadi, tidak akan ada keseimbangan antara duniaku dan dunia kalian. Kalian akan bisa melihat kejadian aneh macam tadi setiap hari," jelasku lagi.
"L-lalu, bagaimana cara kita menyelamatkan mereka berdua?" tanya Kurita panik.
"Aku akan kembali ke sana dan berusaha mengembalikan mereka berdua. Aku sudah terlambat, tapi mungkin ada yang bisa kulakukan," jawabku.
Monta berpikir keras. Sepertinya ada sebuah rencana di benaknya.
Aku merasakan kebijaksanaan seekor monyet!*pluakkk!*
"Hiruma-san dan Mamori-san adalah teman kami," kata Monta,"Kalau begitu, kami juga akan membantumu memulangkan mereka!"
"HIEEEEE?" Sena terkejut bukan main,"Jangan sembarangan, Monta! Kau tidak dengar apa yang Hana-san ceritakan? Disana sedang terjadi perang! Situasinya berbahaya!" tegurnya.
"Lalu apa kau mau diam saja dan membiarkan teman-teman kita dalam bahaya?" ujar Monta,"Aku sayang pada Mamori-san! Meskipun sudah kentara sekali kalau dia sangat dekat dengan Hiruma-san, tapi aku tidak pernah ingin dia berada dalam bahaya!"
Aku terperangah. Inilah Monta, yang selalu mengucapkan kata-kata bagus dan penuh semangat.
"A-apa kau tidak takut?" tanya Kurita.
Monta merunduk.
"TAKUT, MAX!" jeritnya dengan ekspresi horrible.
GUBRAKKK!
"Tapi kau benar, Mon-mon!" kata Suzuna,"Bagaimana Sena, Kuritan? Apa kalian ikut dengan Ao-chan?"
Sena dan Kurita saling berpandangan.
"Baiklah…kami ikut! Aku harus menyelamatkan Hiruma!" jawab Kurita mantap. Sena juga mengangguk yakin.
"Sembarangan!" bentakku,"Tidak boleh! Kalian tidak boleh ikut! Aku tidak mau kalian dalam bahaya!"
"Kami memaksa!" kata Suzuna,"Apa kaupikir kami mau kau dalam bahaya?"
Aku terpekur. Aku datang dan pergi begitu saja seenaknya. Mengacau. Dan kini mereka semua masih menganggapku seorang teman yang perlu dilindungi.
"Baiklah," aku menghela nafas,"Kalian boleh ikut."
"YA~!" Suzuna kembali melompat dan memelukku. Aku terharu, sebenarnya.
"Bukankah lebih baik kita pergi ramai-ramai?" kata Monta,"Ayo kita minta bala bantuan!"
"Lebih baik alumni Deimon saja," kata Kurita sambil tersenyum,"Mereka akan lebih mengenal Hana-chan lebih dari siapapun."
"Kurita-san benar!" Sena mengangguk setuju,"Ayo kita ke tempat Kak Musashi!"
-MiraculouS-
Kami memasuki sebuah tempat yang penuh dengan rangka besi dan balok-balok kayu. Aku telah mengganti jubahku dengan baju biasa.
"MUSASHIIII!"
Kurita berlari-lari, menyebabkan gempa lokal. Ia telah menemukan Musashi-nya.
Aku kembali cengar-cengir nggak jelas. Musashi juga nggak berubah, dari dulu wajahnya tua seperti itu 'kan?
"Ada apa?" Musashi meletakkan balok kayu yang tadi dibawanya,"Kenapa kalian ramai-ramai datang kema—"
Ia menatapku.
Aku tersenyum padanya,"Halo Kak! Apa kabarmu?"
"Baik…," ekspresinya bingung dan kaget bercampur jadi satu.
"Kakak lupa siapa aku?" tanyaku jahil.
"Ehm…Aoihoshi," ia tersenyum tipis,"Aku ingat. Adik kelasku dulu."
KYAAA! Dia bilang 'adik kelasku' lhooo!
"Hah?"
"Haah?"
"Haaah?"
Ekspresi yang begitu kukenal dan kurindukan terdengar.
"HA-HA BERSAUDARA!" panggilku senang saat mereka menghampiri rombongan kecil kami.
"KAMI BUKAN SAUDARA!" bentak mereka berbarengan.
"Kau…Hana ya?" Toganou menatapku agak bingung.
"Benaaar! Apa kabar kalian semuaa?" tanyaku riang.
"Kami baik-baik saja. Ngapain kalian ke sini?" tanya Kuroki.
"Jumonji-san juga ngapain disini?" Sena bertanya balik.
"Aku sedang mampir. Sepulang kuliah tadi aku langsung ke sini," jawab Jumonji.
"Ah…aku mengerti. Kangen sama saudara-saudaramu ya?" celetukku.
Aku kembali dibentak dengan kata-kata yang sama.
Setelah itu aku, Suzuna, dan yang lain menjelaskan apa yang sedang terjadi saat ini. Bisa ditebak reaksi Ha-ha Bersaudara saat mendengarnya.
"Jadi, apa kalian mau ikut?" tanya Kurita.
Musashi berpikir. Namun aku tidak membaca keraguan di wajahnya. Yah, aku tidak tahu harus berharap mereka ikut atau tidak. Aku masih bingung, aku takut mereka terluka nanti.
"Hiruma dalam bahaya, ya…," Musashi menerawang,"Si bodoh itu. Bagaimanapun juga dia temanku. Baiklah, aku ikut," jawab Musashi.
"YA~!" Suzuna bersorak,"Lalu, kalian bertiga?" ia bertanya pada Ha-ha.
"Aku terserah Jumonji saja," jawab Kuroki.
"Aku juga," Toganou ikutan.
"Kurasa, kita harus ikut membantu. Bukankah, kita pernah jadi teman satu tim? Kami akan ikut," Jumonji berkata lalu tersenyum pada kami.
…
Aih, ganteng.
"Doumo arigatou gozaimasu!" aku membungkuk dalam-dalam pada mereka semua,"Mohon kalian mengerti resikonya…"
"Tidak apa, MAX!" kata Monta mantap.
"FUGOOOOOO!"
Sebuah—maksudku, seseorang berbadan bulat datang menerjang kami. Ia tepat mengenai Ha-ha Bros.
"DAIKICHI!" Kurita bersorak,"Kenapa kau ada di sini?"
"Ya ampun, aku sampai lupa," kata Musashi,"Dia sedang kerja sambilan di sini. Ayahnya yang menyuruhnya."
"I-IKUT!" kata Daikichi pada Kurita. Kurita mengangguk semangat.
"Dengan begini, kita sudah lengkap!" kata Sena,"Ayo, kita berangkat!"
"Iya!" aku mengangguk, lalu membawa mereka ke tempat sepi untuk menciptakan Cermin Dimensi.
Anak-anak hanya bisa bengong melihat aku mengunakan sihirku.
"Aku benar-benar sedang bermimpi…," gumam Sena.
"Ayo masuk!" aku mempersilakan mereka masuk duluan ke dalam cermin. Awalnya mereka merasa ragu, namun akhirnya satu-persatu dari mereka melangkah masuk.
Ikut tau tidak. Bagaikan pilihan dalam Death March.
Inilah yang membuatku menyukai tim kami dulu, Deimon Devil Bats. Mereka nekat, berani, dan pantang menyerah. Kurasa aku tak perlu mengkhawatirkan mereka.
Dengan ini, petualangan kami dimulai!
[Chapter 1: Lotus, the end]
Fuah…selesai juga…
Apa? Udah 9 halaman? Gak berasa… Ah, bagaimana ceritanya? Membingungkan ya? Yaa…namanya juga masih awal-awal!*pluakkk!*
Untuk sekuel krimpaf idenya sudah ketemu, tapi materinya belum. Masih mau menunggu-kah? ^^v
Terima kasih banyak sudah membaca! Aku mohon maaf kalo ada kesalahan ya! Eits, jangan lupa ripyunyaa! Anonymous juga boleh ikutan! Kritik maupun saran, dipersilakaan!
