Temperatur 0

.

Genre: Family/Angst/Suspense/SciFi

Rate: T - untuk sedikit bahasan sains dan sejarah di chapter berikutnya -

Warning: AU. Sudut pandang orang kedua. Ai dalam versi Shiho disini, semoga tak terlalu OOC.

.

Detective Conan (c) Aoyama Gosho


Dingin.

Ruangan lab itu tetap seperti biasa. Dingin, pengap, dan sesak dengan bau zat-zat kimia menyeruak di dalamnya. Tabung- tabung reaksi berjejalan disalah satu rak, beberapa di antaranya berisi cairan berwarna-warni ditutupi sumbat gabus. Meja kerja berbentuk L mengelilingi sisi-sisi ruangan itu. Kertas-kertas dengan coret-coretan rumus-rumus kimia, tabel periodik, dan sebuah poster bertuliskan 'Adenine, Thymin, Chitosine, Guanine—isn't it interesting?' tertempel tak teratur di tembok. Kau berdiri di sudut, berbalut jas lab putih—sarung tangan keperakan membungkus tangan pucat kurusmu yang tengah merangkai sebuah rangkaian listrik tertutup, entah untuk apa.

Di sudut, sebuah foto keluarga di bingkai kayu yang sudah rompal di beberapa bagiannya berdiri kukuh, meski ada kesan terlupakan di sana. Kau—yang berusia tiga tahun tengah berpose tersenyum di pangkuan seorang anak perempuan berambut cokelat tua berusia delapan tahunan yang tak pernah sempat kau panggil sebagai 'Kakak'. Ibumu—yang mewariskan rambut cokelat madu tebalnya padamu – dan Ayahmu berpose tanpa ekspresi menatap kamera.

Lima menit kemudian, perhatianmu yang sedang memasangkan baterai ke rangkaian hampir selesai itu teralihkan. Kau menoleh lemah ke arah foto tadi, ekspresi kerinduan tampak selintas di wajahmu yang daritadi tak menampilkan mimik apapun. Ya, beberapa tahun ini kau memang hanya mengenal Ayah dan Ibu lewat foto tua yang hampir terlupakan. Kakak memang sempat hadir di sisimu untuk beberapa saat, tapi itu tak bertahan lama. Kau yang sempat menikmati mendapat kasih sayang dan perhatian dari Ayah yang setelah sekian lama direnggut darimu karena misi bodoh yang mengikat dari pemerintah, kini terpaksa tenggelam dalam kesendirian lagi setelah Ayah pergi. Paparan zat radioaktif mengikat pembuluh darahnya hingga ia terjerat dalam kematian perlahan yang menyelinap, menyiksa.

Meninggalkanmu kembali dalam kubangan kesendirian.

Sampai suatu ketika kau berpikir bahwa mungkin ini semua adalah takdirmu, sesuatu yang melekat merasuk kedalam pembuluh darahmu—lebih lekat daripada kemampuan CO mengikat O2 di bulir-bulir sarat hemoglobin itu. Dan mungkin memang selamanya kau akan tetap sendirian di ruang putih itu, berteman dengan bau bermacam zat yang menguar konstan, dan cicit kecil tikus-tikus percobaan yang tertusuk jarum berteteskan kloroform.

Dan kau masih tetap disana, berkutat melanjutkan sisa penelitian Ayahmu secara sembunyi-sembunyi—sebab misi utamamu adalah misi penelitian pembuatan senjata biologis, yang dibebankan pemerintah kepadamu. Dalam keadaan perang seperti ini, batas-batas moral sudah lebur dengan nafsu membantai dan mengejar kemenangan meski dengan cara kotor. Dan kau pun harus rela menukar harga diri dan perasaanmu sebagai seorang ilmuwan—agar bisa tetap bertahan hidup.

Tapi mungkin misi tersembunyi yang kau kerjakan itu lebih berisiko—lebih berbahaya, daripada misi senjata biologis nista dari pemerintah itu.

Puluhan kali lebih berisiko.

Sebab ini misi terlarang.


Mulanya kau tak begitu tahu. Kau hanya tahu bahwa Ayah dan Kakak sedang mengerjakan misi penelitian penawar racun Botulinum yang diberikan universitas tempat Ayah mengajar. Kau yang waktu itu masih kecil, hanya mengamati mereka sambil mempergunakan tabung-tabung reaksi dan gelas-gelas ukur yang sedang tidak terpakai di rak sudut sebagai mainan. Kakak terkadang berhenti untuk rehat sejenak, lalu meluangkan waktunya untuk bermain denganmu dan sesekali menceritakan bermacam-macam hal.

Kau tak pernah tahu dimana Ibu berada.

Mereka berdua—Ayah dan Kakak tak pernah menjawab ketika kau menanyakan itu. Menanyakan alasan, mengapa Ibu tak pernah ada di sampingmu, seperti anak-anak lain. Ayah paling hanya mengedikkan bahu, lalu berpaling kembali ke laboratoriumnya. Kakak dengan ganjil segera mengalihkan pembicaraan, atau mengajakmu jalan-jalan ke taman di halaman kompleks laboratorium itu. Kau akhirnya menjadi lelah bertanya, dan terbiasa menyimpan semuanya sendirian. Berusaha menerima kenyataan, meskipun itu kelihatannya absurd dan tak jelas.

Meyimpan semua tanya tanpa jawaban. Hipotesa tanpa fakta. Menunggu untuk kebenaran yang tak pernah datang, atau setidaknya tak berminat untk repot-repot menghampiri anak kecil stoic sepertimu.

Kau hanya tahu sedikit sekali tentang dunia luar.

Sepuluh tahun kemudian, Ayah lalu mengirimmu ke Italia untuk belajar di Padua—universitas tempat ilmuwan legendaris Galileo dulu pernah mengajar. Terkenal sebagai salah satu mahasiswa yang analisis-analisisnya mampu mengesankan para dosen, kau lulus dengan predikat sangat memuaskan disana. Tak banyak yang mengetahui asal-usul dirimu atau bahkan dekat denganmu sewaktu kau masih menjadi mahasiswa, karena seperti biasa—kau tertutup, jarang bicara dan lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Kaubangun bentengmu sendiri, takkan membiarkan orang lain melewati batas teritorimu atau sekadar dekat secara emosional. Kamar asrama mahasiswamu tak pernah disinggahi tamu—itu wajar karena kau tak pernah terpikir sama sekali untuk mengundang siapapun untuk sekedar mampir atau makan malam bersama. Atau yang lebih ekstrimnya lagi, minum-minum bersama.

Di benakmu, kau menyimpulkan kalau interaksi sosial merupakan hal yang sedikit-banyak rumit.

Dan sebuah kenyataan pahit segera menyambutmu begitu kau menginjakkan kakimu ke negeri asal. Pulang.

.

.

Kakak meninggal.


"Ayah, Kakak kemana?" tanyamu begitu kau selesai membereskan barang-barang bawaanmu di rumah dinas Ayah. Rumah itu masih tetap seperti dulu, perabotnya bahkan tak ada yang berubah. Tetap statis meski sudah beberapa tahun kau tinggalkan. Yang berbeda cuma kalender di sudut dinding, yang diganti sesuai zaman yang sekarang. Tapi,dimana Kakak? Daritadi kau tak melihat kehadirannya ataupun batang hidungnya sama sekali. Hanya Ayah sendirian yang datang menjemputmu ketika kau turun di bandara. Kau cari ia di kamarnya,berharap bisa menjumpai sosok rampingnya yang sedang membaca buku sambil menyilangkan kaki di kasur –Kakak mungkin adalah kutubuku paling maniak yang pernah kaukenal—tapi yang menyambutmu hanyalah kasur dengan seprai lecek, lemari kayu oak yang kaca di pintunya sudah buram kusam, dan lantai berdebu . Kamar yang bagai bertahun-tahun tak pernah ditinggali. Makhluk periang yang suka tersenyum ceria itu tak ada.

Aneh.

Di kamarnya tak ada, di lab pun sama saja ketika tadi kau lihat. Kemana Kakak?

Kau duduk terdiam di kasur yang seprai caturnya berantakan kesana kemari itu, merebahkan diri sambil memejamkan mata. "Kemana Kakak, Dad?"

Ayah tak menjawab. Tanpa bicara ia menggandeng tanganmu keluar dari rumah dinas—menuju halaman belakang. Kau yang keheranan cuma patuh mengikuti dalam diam, tanpa sempat berkomentar apa-apa.

Dan apa yang kau lihat di belakang menbuatmu terkejut.

Sebuah makam, dengan nisan yang masih baru terbujur di sana.


Bruk.

Kau terduduk berlutut di tanah. Hilang keseimbangan, pikiranmu masih begitu shock atas kenyataan yang baru saja kau terima.

'K-kenapa..'

'Ini pasti bohong-Kakak pasti sedang berada di lab sekarang, sibuk melanjutkan penelitian—'

Dirimu yang biasanya tak merasakan apa-apa selain hampa,kini merasakan perasaan asing yang menyergap, menusuk dada. Bagai disayat-sayat ribuan pisau bedah tak terlihat. Kelopak matamu terasa memanas. Inikah yang namanya..sedih?

Ayah menepuk-nepuk pundakmu yang gemetaran pelan, seakan memberi simpati dalam keheningan. Tanpa kata-kata.


Dan isak tangis sesenggukanmu pun pecah membelah keheningan musim gugur di halaman belakang rumah itu.


.

.

~ Temperatur 0 - Files #1: END ~

Bersambung...


Next chapter:

"Catatan..apa ini? Homunculi from dead corpse?"

.

'Cara untuk membuat keindahan seni yang abadi—'

.

"..Jangan masuk ke ruang itu!"

"Aku hanya mencoba melindungimu dari maut, Ayah. Biarkan aku menjangkau Ayah lebih dulu sebelum tiba gilirannya.."


A/N: Newbie. Fanfiksi pertama di fandom Detective Conan. Mohon bantuannya, senpai-senpai sekalian. ^_^

.

Terima kasih sudah membaca fanfiksi gaje ini (mudah-mudahan Shiho nya tak terlalu OOC disini). Kritik, jika berkenan? :)