Chapter 1 : Stranger in the street
Suara hembusan nafas lelah dan cepat memecah kesunyian hutan sepi yang dilalui gadis ini. Sambil memaksakan tubuhnya agar tetap berdiri dan berjalan gontai menahan sakit yang dia rasakan, gadis itu terus berjalan lurus menatap barisan pepohonan yang ada di depannya. Sepasang bola matanya yang berwarna silver memancarkan aura gelap, sedikit demi sedikit mata silver itu mulai melihat kunang-kunang. Tubuh gadis itu sudah berada di ambang batasnya menahan rasa sakit, lelah, lapar, dan haus yang berlebihan. Helaan nafas lega karena pada akhirnya dia bisa keluar dari hutan, menjadi pertanda terakhir sebelum pada akhirnya tubuh gadis itu tumbang di tengah jalan.
-;-
Hentakan tapal kuda berderap menapaki tanah yang dilewatinya. Rombongan kerajaan Clarines yang baru saja pulang dari Lyrias bergerak dengan cepatnya melewati jalanan bebatuan. Mitsuhide Louen –yang berada di depan memimpin rombongan pangeran Clarines kedua Zen Wistaria –memincingkan matanya seraya mendapati ada sesuatu yang menghalangi jalan rombongannya.
Menoleh rekannya Kiki Seiran disampingnya, memastikan kalau apa yang dia lihat juga dilihat oleh rekannya itu, mereka berdua menganggukan kepalanya seakan berkomunikasi via telepati.
"Ada apa?" tanya Zen Wistaria pangeran Clarines kedua itu menyadari kalau kedua pengawalnya memelankan laju kuda yang mereka kendarai.
Shirayuki yang mengendarai kuda dengan Zen memiringkan badannya ke samping mencoba untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Zen itu.." Mitsuhide berhenti sejenak memastikan kalau dia tak salah lihat.
"Manusia.." bisik Shirayuki dengan mata hijaunya yang membelalak kalau ada seseorang yang tergeletak tak sadarkan diri di hadapan mereka.
Rombongan kerajaan itu langsung memberhentikan perjalanan mereka dan langsung menghampiri orang itu. Shirayuki dengan instingnya langsung turun dari kuda Zen lalu memulai memeriksa orang itu.
"Seorang gadis!" kedua mata hijau milik Shirayuki membelalak menatapi kondisi tubuh gadis itu yang penuh luka goresan, serta lebam –ada luka yang terlihat masih baru dan juga ada yang sudah membekas –rambut hitam panjang lebat itu terlihat kusut nan berantakan, fisiknya terlihat kurus seperti kekurangan makanan. Mendekatkan telinganya pada hidung manjung gadis itu seraya mendengarkan hembusan nafas yang terdengar sesak, tapi setidaknya ada. Lalu meletakan tangannya ke atas kening gadis pingsan itu, Shirayuki merasakan betapa panasnya temperature gadis itu.
"Bagaimana keadaannya Shirayuki?" tanya Zen mewakili Mitsuhide juga Kiki yang khawatir dengan gadis itu.
Sambil menahan tangisnya Shirayuki menjawab "Dia masih hidup.. tapi.." kedua mata hijaunya menatap pangeran kedua Clarines itu dengan tatapan penuh harap. "Zen.."
Mengeraskan kepalan tangannya Zen Wistaria mengerti apa maksud Shirayuki. "Baiklah. Mitsuhide." Perintahnya kepada pengawal sekaligus temannya itu untuk membawa gadis pingsan itu bersama rombongan mereka.
"Zen, Mansion utama Seiran lebih dekat dari sini. Bagaimana kalau kita membawanya ke sana?" tanya Kiki menoleh Mitsuhide yang mengendarai kudanya bersama gadis pingsan yang mereka temukan dengan perlahan.
Zen menoleh Shirayuki yang duduk di belakangnya seakan meminta persetujuannya. "Apa di sana ada obat dan perban yang memadai?" tanya Shirayuki pada Kiki yang menatapnya.
Kiki Seiran menjawabnya dengan hanya menganggukan kepalanya sedikit. Dengan itu rombongan kerajaan itu bukannya menuju ke kerajaan tapi mereka menuju Mansion utama Seiran.
-;-
"Shirayuki-san, sepertinya tumbukannya terlalu lama."
Suara Ryu membangunkan Shirayuki yang sedang menumbuk obat sambal melamun. "Ryu.. eh?!" menyadari kesalahan yang ia buat Shirayuki langsung berhenti melakukan apa yang tadi dia kerjakan.
Ryu menatap asistennya itu dengan tatapan menerawang, sepertinya asistennya sedang banyak pikiran. "Apa anda baik-baik saja Shirayuki-san?" walaupun Ryu lebih muda daripada Shirayuki tapi Ryu memahami apa yang dipikirkan orang yang lebih tua daripadanya.
Shirayuki menggarukan jari telunjuknya pada pipinya, tak tahu apa Ryu sudah tahu atau belum kalau dia menolong seorang gadis yang sekarang dirawat di Mansion utama Seiran. "Ne, Ryu apa kamu mendengar rumor kalau Zen menolong seorang gadis tak dikenal?" tanya Shirayuki memerhatikan ekspresi Ryu yang dingin sambal mencatat sebuah tulisan.
Ryu mengangguk pelan mengiyakan pertanyaan Shirayuki. Memang dia mendengar rumor itu, tapi bukan berarti dia harus percaya rumor itu bukan?
Shirayuki melanjutkan lagi sambil menatap dinding dihadapannya dengan sedu, "Gadis itu terluka parah. Banyak sekali goresan luka –aku tak tahu apa itu bekas luka goresan belati atau bukan sih, tapi tetap saja –ada banyak sekali baik yang masih terlihat baru maupun tidak." Genggamannya mengeras pada pena yang dia gunakan, "Kira-kira apa yang sudah terjadi dengan gadis itu?" Shirayuki tak bisa membayangkan apa yang sudah terjadi dengan gadis itu, melihat kondisinya saja sudah membuat hatinya sakit apalagi mengetahui apa yang sudah terjadi. Shirayuki tak bisa membayangkannya.
Ryu menoleh asistennya itu dengan cemas, "Setidaknya dia sekarang dia sudah ditolong bukan?"
Mata hijau Shirayuki bertemu dengan mata Ryu yang menatapnya cemas, "Iya sih, tapi.."
"Ja, bagaimana kalau aku mengecheknya juga?" paling tidak hanya itu yang bisa ditawarkan Ryu untuk menghibur asistennya yang terlihat terlalu khawatir akan kondisi gadis yang tak dia kenal.
"Eh benarkan?!"
Senyuman kecil menghiasi wajah Ryu ketika sekarang wajah Shirayuki sudah kembali ceria lagi. Menganggukan wajahnya mengiyakan apa yang dia katakana adalah benar.
"Arigatou Ryu." Senyuman lebar kini menghiasi wajah Shirayuki.
-;-
Zen Wistaria tak bisa konsentrasi selama tiga hari terakhir, dia merasa sangat lelah memikirkan Shirayuki yang mengkhawatirkan gadis itu, ditambah lagi pekerjaan yang sudah menumpuk di mejanya, serta tentang rumor itu. Sepertinya banyak sekali yang harus dia selesaikan. Dia harus memberikan prioritas terhadap apa yang harus dia selesaikan terlebih dahulu.
Helaan nafas panjang memecahkan kesunyian ruang kerja pangeran kedua Clarines itu, sambil menyandarkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki dan mendongakan kepalanya menghadap langit-langit menatapnya dengan serius.
"Sekarang apa yang akan kamu lakukan Zen?" tanya Mitsuhide yang melihat majikannya itu sedang berpikir keras.
"Sepertinya aku harus menemui kakak terlebih dahulu memberikan klarifikasi tentang rumor itu." Bangkit dari posisinya pangeran kedua ini membuka laci mejanya lalu mengambil sebuah belati dari dalamnya.
Kiki menatap belati yang dipegang majikannya, "Itu.."
"Ah belati milik gadis itu.." jawab Zen memotong pernyataan Kiki dengan menatap pengangan belati yang memiliki gambar bulu burung yang ditancap pedang.
Mitsuhide yang berdiri di depan meja kerja Zen juga memerhatikan belati itu, sepertinya dia pernah melihat tanda dibelati itu –dia sangat yakin kalau dia pernah melihatnya –tapi otaknya tak bisa mengingat dimana dia pernah melihatnya. "Apakah itu tanda keluarga Nobel atau semacamnya?" tak sengaja pertanyaan itu keluar dari mulutnya.
Zen menggedikan bahunya, "Aku tak pernah melihat tanda ini sebelumnya." Mengangkat kepalanya memberikan sinyal pada kedua pengawalnya itu. "Kiki, Mitsuhide. Aku serahkan kepada kalian."
"Baiklah."
Setelah mendengar jawaban kedua pengawalnya, Zen keluar dari ruang kerjanya dan bergegas untuk menemui kakaknya Izana Wistaria untuk memberikan klarifikasi akan rumor yang beredar.
-;-
