Tittle: Home Sweet Home

Universe: AU/ Inggris, tahun 2020

Rating: T, seperti biasa, untuk jaga-jaga 'Lime' yang mungkin akan 'nyempil'.

Genre: Romance/Science

Summary: Tiba-tiba saja Sakura menerima telepon yang mengabarkan bahwa ayahnya yang telah lama tidak ditemuinya telah meninggal dunia. Warisan yang ditinggalkan ayahnya hanyalah rumah tua yang dulu ditempatinya beserta setumpuk hutang yang harus dilunasinya. Juga robot berambut pirang yang selalu tersenyum…

Disclaimer: Naruto punya Kishimoto-sensei, Title diambil dari lagunya Yuki yang Home Sweet Home…

Note: Akan ada beberapa minor original character di fanfic ini. Cerita akan sedikit membosankan dengan narasi yang panjang. Oh ya, kalau dibaca sambil mendengar lagu Ost. Naruto yang Home Sweet Home akan sedikit membantu… ^^

Prolog

"Home"

Sakura memandang ke luar jendela. Tirai putih tipis bak renda yang biasanya menutupi pemandangan di balik jendela itu kini tersingkap. Gadis berambut merah muda itu mati-matian menahan desakan aneh dari dalam hatinya yang menginginkan untuk membuka jendela.

Ia ingin menghirup aroma hujan yang segar seperti bau pinus. Ia ingin merasakan percikan air hujan di wajahnya. Tapi ia tidak melakukannya. Ia tidak ingin membasahi taplak mejanya. Hujan sedang turun dengan derasnya saat itu.

Limpahan air hujan yang terus dan terus turun sejak semalam itu seperti memaksa khayalan untuk berbaring di ranjang yang empuk dan nyaman dan menggunakan selimut tebal yang lembut dan hangat muncul di benak setiap orang. Sepertinya bulan September ini hujan turun dengan suka cita sepanjang minggu memasuki musim gugur. Hari ini pun Sakura menghabiskan harinya dengan menyaksikan hujan dari balik jendela sambil meminum secangkir susu coklat hangat.

Ia menggenggam cangkir porselen berisi susu coklatnya itu untuk menghangatkan jari-jarinya yang terasa beku. Sendirian. Seperti yang selalu terjadi setiap hari selama tujuh tahun yang panjang ini. Tujuh tahun. Hal itu terus berputar-putar di benak gadis bermata hijau terang itu. Entah itu adalah waktu yang singkat atau waktu yang panjang. Tujuh tahun ini yang jelas berlalu dengan membosankan untuknya.

Sendirian seperti itu, ironisnya, memberinya cukup banyak waktu untuk berbikir. Atau paling tidak merenungkan banyak hal. Entahlah itu hal yang bagus atau tidak tapi yang jelas tujuh tahun ini berlalu dan satu-satunya hal yang dapat benar-benar dipelajarinya dari semua itu adalah, sendirian itu menyebalkan. Bukan berarti bahwa ia juga menyukai keramaian tapi entah mengapa ia merasa ada yang kurang setiap kali memandang cangkir susunya yang ada di atas meja di dekat jendela tempatnya biasa meminum susu sambil melihat ke luar jendela. Rasanya, mungkin cangkir itu terlihat sedikit kesepian. Sepertinya akan terlihat lebih bagus kalau ada cangkir lain yang menemani cangkir itu di situ.

Sakura menyukai tirai putih lembut yang serasi dengan warna kayu bingkai jendelanya, tapi warna putih itu terlihat suram. Entah mengapa, tiba-tiba saja untuk pertama kalinya setelah tujuh tahun Sakura merasa sangat sedih. Paling tidak, sampai tujuh tahun yang lalu semuanya tidak terasa begini menyedihkan.

Paling tidak ia tidak sendirian.

Cangkirnya tidak sendirian.

Tirai putihnya tidak berkesan suram dan membosankan.

Seharusnya semuanya tetap seperti itu, tapi perubahan datang begitu saja tanpa bisa diperkirakan sebelumnya. Pikiran-pikiran rumit memenuhi kepalanya. Sakura tidak paham, sebenarnya apa yang sedang ia pikirkan.

Sakura melirik jam antik yang ada di atas meja antik dari kayu cherry di seberang ruangan. Sebentar lagi waktunya. Saat jarum panjang tepat di angka dua belas dan jarum pendek di angka sembilan ia akan pergi. Jam sembilan masih empat puluh menit lagi. Akan lebih baik kalau sebelum itu hujan sudah reda. Hujan dapat mengacaukan suasana hatinya—dan Sakura tidak ingin suasana hatinya lebih kacau dari ini.

Sakura meneguk susunya yang sudah mulai dingin, ia tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakannya. Ia bahkan tidak mengerti apa yang sebenarnya harus dilakukannya. Jam sembilan tepat ia harus pergi. Ia tahu itu. Sakura juga tahu kemana dia harus pergi. Tapi ia sama sekali tidak memiliki bayangan atas apa yang harus dilakukannya sesampainya di tempat itu.

Mungkin akan lebih baik kalau ia tidak memikirkannya dulu. Sakura memejamkan matanya untuk beberapa saat. Ia dapat mendengar semuanya. Suara hujan yang perlahan mereda, detik jarum jam yang terus melaju dengan pasti dan teratur, bahkan ia dapat mendengar tiap helaan napasnya dan detak jantungnya. Ini masih hari minggu pagi yang sama dengan empat jam yang lalu ketika ia terbangun karena mimpi buruk yang menyebalkan. Mimpi buruk yang seperti tayangan slide show hitam-putih atas semua kenangan buruk yang pernah terjadi dalam hidupnya. Mimpi yang memaksanya teringat kembali akan semua hal yang sudah dilupakannya. Ataukah ia bermimpi justru karena ia kembali mengingat semua kenangan buruk itu?

Entah mengapa waktu berjalan begitu lambat hari ini. Sakura tidak biasanya membenci hari Minggu, tapi ia tidak bisa menyukai hari Minggu yang ini.

Butuh waktu beberapa saat bagi Sakura untuk tersadar dari lamunannya dan mengetahui bahwa cangkirnya telah kosong, hujan sudah reda menyisakan rintik-rintik kecil gerimis dan jamnya sudah menunjukkan pukul sembilan tepat. Saatnya untuk pergi. Sakura menghela napas. Ia terdiam untuk beberapa saat, mencoba memikirkan hal yang akan ia lakukan selanjutnya.

Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mengunjungi tempat itu.

Sakura tidak tahu perasaan apa yang menyelimuti hatinya saat itu. Tidak pernah terpikir sebelumnya kalau suatu saat ia akan menginjakkan kaki lagi di tempat itu. Dan hari ini, ia harus pergi ke tempat itu setelah berjanji untuk tidak mendatanginya lagi bertahun-tahun yang lalu. Kalau saja situasinya berbeda Sakura tidak akan pernah mau kembali ke tempat itu, tapi semuanya ini. Sakura harus ke tempat itu. Ia tahu tidak berguna sekeras apapun usahanya untuk membohongi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja. Karena itu ia membiarkan saja perasaan tidak menentu di hatinya itu. Karena kalau ia mencoba mengusirnya—ia tahu—itu akan membuatnya semakin buruk.

Sejak diberitahu tentang hal ini lima hari yang lalu Sakura belum menangis sama sekali. Ia bahkan tidak yakin kalau ia merasa sedih. Ia cuma merasa kosong seperti biasanya. Perasaan yang berkecamuk di dadanya saat ini bisa dipastikan bukanlah rasa sedih, Sakura sendiri tidak yakin apa nama perasaan ini. Dan dia tidak ingin tahu. Sudah terlalu banyak macam emosi yang selama ini berkecamuk di dadanya dan ia tidak tertarik untuk mencari tahu apa nama perasaan itu. Lebih baik tidak tahu daripada membuat semuanya menjadi lebih buruk lagi.

Sakura menyalakan mobilnya, Honda CRV keluaran pertama yang dibelinya setelah menabung lebih dari tiga tahun. Sakura lebih menyukai kalau ia bisa memilih untuk tidak pergi. Tapi sayangnya sepertinya ia memang tidak bisa menghindarinya. Ia harus pergi. Sambil menggumam tidak jelas pada dirinya sendiri, Sakura mulai menginjak pedal gas mobilnya.

Meskipun selama lebih dari sepuluh tahun ini Sakura tidak pernah lagi mengunjungi tempat itu tapi ia masih sangat mengingat jalan menuju tempat itu. Meskipun ada banyak yang berubah selama sepuluh tahun terakhir ini tapi Sakura dapat merasakan sesuatu yang menuntunnya. Sesekali saat harus memilih satu diantara dua kemungkinan jalan yang bercabang, ia hanya membelokkan mobilnya sesuai dengan apa yang ada di kepalanya. Bukannya masih mengingat semua, lebih tepatnya ia seperti merasakan kemana arah yang ditujunya.

Sakura tahu mengemudi sambil melamun itu sangat berbahaya tapi saat itu sulit baginya untuk berkonsentrasi penuh dengan berbagai macam hal ang menumpuk di dalam kepalanya. Ia hanya bisa berharap agar ia tidak ditilang karena mengemudi sambil melamun. Kondisinya sendiri sudah cukup buruk saat ini tanpa harus berurusan dengan polisi. Sakura mencoba menenangkan dirinya dengan bersenandung kecil tapi ia lupa semua lagu yang pernah diingatnya. Entah mengapa ia merasa bahwa itu adalah hari sialnya.

Tempat yang ditujunya itu ada di pinggiran kota. Daerah permukiman yang tenang dan terlihat nyaman untuk ditempati. Dengan sisi jalan yang cukup luas dan nyaman untuk pejalan kaki dan tempat anak-anak berkumpul dan bermain follow the leader. Sakura menyadari bahwa banyak rumah di daerah itu yang sudah direnovasi dan diubah tapi sebagian besar masih dikenalinya. Sakura tidak mengenal banyak orang di sekitar itu, tapi ia hafal dengan jelas seperti apa bentuk rumah setiap orang, pohon apa yang ditanam di pekarangannya, atau jenis anjing yang dimiliki tiap keluarga. Banyak hal yang terjadi selama lebih sepuluh tahun ini dalam dirinya tapi ia dapat melihat tidak begitu banyak yang berubah di sekitar tempat itu.

Datang ke tempat itu membuatnya merasa sedikit melankolis. Membayangkan apa jadinya kalau selama sepuluh tahun terakhir ini ia menghabiskan waktunya di tempat itu membuat perutnya sedikit bergolak.

Mual.

Sakura menghentikan mobilnya di pekarangan rumah itu. Tempat itu masih seperti ketika terakhir kali ia melihatnya. Kecuali rumput liar yang sudah lebih tinggi dari alang-alang dan semak-semak yang sebelumnya tidak ada di tempat itu, semuanya masih persis sama seperti dulu, ketika ia meninggalkan rumah itu. Pekarangan yang tidak terawat dan cat tembok rumah yang mengelupas, benar-benar masih seperti dulu.

Sakura menelan ludah.

Ada sedikit rasa rindu yang tidak menyenangkan di dadanya. Sakura mencoba menepis perasaan itu tapi sepertinya ia gagal. Meskipun menyesakkan dada tiap kali mengingatnya, tapi tidak semua kenangan yang ada di rumah itu menyedihkan. Ada juga beberapa kenangan masa kecil yang menyenangkan yang pernah terjadi di rumah itu.

Dengan perasaan campur aduk ia melangkahkan kaki ke luar dari mobilnya. Langit yang kelabu menambah suram suasana kali itu. Sakura menatap pohon elm besar yang ada di pekarangan. Dulu sekali ia sering tertidur saat membaca di bawah pohon itu. Dan ibunya akan membangunkannya lalu... Sakura menggelengkan kepalanya kuat-kuat untuk mencoba membuang semua pikirannya itu. Kedatangannya ke rumah itu bukanlah untuk bernostalgia. Ia datang untuk sesuatu yang lebih penting. Ia akan bertemu seseorang. Tapi sejak awal kedatangannya ia tidak melihat seorang pun di tempat itu.

Mungkin sebentar lagi... gumam Sakura dalam hati sambil menghela napas dalam-dalam.

Sebenarnya ia benci menunggu, tapi kali ini ia tidak keberatan, ia merasa sedikit belum siap untuk mendengarkan semuanya. Bukan apa-apa, hanya saja setelah semuanya yang terjadi selama sepuluh tahun belakangan ini, ia belum pernah membayangkan kalau hari seperti ini akan tiba. Sakura memandang sekali lagi ke arah bangunan yang terbuat dari kayu itu. Ia lahir dan menghabiskan setengah hidupnya di rumah itu, rasanya tidak berlebihan kalau ada sedikit perasaan rindu saat ia melihat rumah itu kembali. Bagaimana pun ia bukan manusia berhati batu.

Pintu itu masih seperti dulu. Terlihat sederhana namun kokoh. Pintu yang dibuka dan ditutupnya setiap hari di masa kecilnya. Tidak banyak yang berubah. Bahkan tirai dan cat rumah itu tetap seperti terakhir kali ia melihatnya. Sakura memandang jendela yang ada di lantai dua. Jendela kayu itu tetap seperti dulu. Daun jendelanya yang terlihat tidak terawat terbuka entah sejak kapan. Tirai warna madu melambai-lambai keluar dari jendela itu, usang tapi masih seperti dulu. Itu adalah kamar Sakura. Dulunya. Ia masih ingat dengan jelas pemandangan yang ia lihat dari balik jendela itu.

Dulu ia suka melihat ke arah anak-anak tetangga yang bermain di tepi jalan di depan rumahnya dengan iri. Sakura selalu saja menatap anak-anak seusianya yang bermain dengan gembira itu dengan tatapan iri. Sakura tahu, ia tidak bisa mengingat seluruhnya, tapi kenangan yang sudah terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu seperti menggelitiknya untuk terus mengenang semua yang pernah ia rasakan. Rumah itu seperti memanggilnya.

Padahal dulu Sakura sempat merasa sangat yakin kalau ia akan menghabiskan seumur hidupnya di rumah itu. Bahkan sampai ia menikah kelak. Sakura juga telah menyusun banyak rencana dan menemukan pintu rahasia yang akan digunakannya untuk pergi di atas jam tidurnya saat ia remaja kelak. Ia tidak pernah bisa menggunakannya memang. Sakura dulu sangat yakin, banyak hal yang akan ia lakukan di rumah itu. Tapi kini kenyataannya setelah sepuluh tahun, seandainya saja tidak ada kejadian seperti beberapa hari yang lalu, ia sempat yakin kalau ia tidak akan pernah lagi kembali ke tempat ini.

Sepuluh tahun lebih belum mengubah rasa bencinya. Tidak, sepuluh tahun justru menumpuk rasa bencinya.

Akhirnya perhatian Sakura teralihkan dari rumah itu ketika terdengar deru kasar mesin mobil Mustang tahun '80-an memasuki pekarangan rumah itu. Sakura menoleh tepat ketika mobil itu berhenti di belakang mobilnya. Mustang berwarna merah kusam itu terlihat tidak terawat, padahal pada masanya mobil itu pastilah memiliki prestise tersendiri bagi pemiliknya. Sakura mengawasi seorang pria paruh baya berjas abu-abu melangkah keluar dari mobil itu. Pria itu mengenakan kacamata kotak kecil dan topi berwarna sama dengan pakaiannya. Tangan kirinya menenteng sebuah koper cokelat terbuat dari kulit yang cukup usang.

Sakura sedikit heran, entah mengapa semua yang dikenakan pria itu terlihat begitu usang.

Sambil tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang tidak rata dan menguning, pria itu berjalan ke arah Sakura. Rambut kelabunya mencuat-cuat keluar dari balik topinya seperti habis terkena ledakan. Saat pria itu melepaskan topinya dan meletakkannya di dadanya, Sakura dapat melihat bahwa rambut pria itu sepertinya memang tidak pernah disisir. Entah mengapa Sakura justru merasa lega. Paling tidak pria itu terkesan lebih ramah dari dugaannya.

"Nona Zakura Haruno?" kata pria itu ramah dengan logat Jermannya yang kental. "Aku Joseph Haydne, yang menelpon anda tempo hari." Ia menjabat tangan Sakura dengan hangat.

"Itu Sakura. Namaku Sakura Haruno," koreksi Sakura. Ia tahu bahwa dalam aksen Jerman huruf S diucapkan seperti huruf Z tapi ia tetap saja tidak suka mendengarnya.

"Akhirnya saya bisa bertemu dengan anda," kata pria itu mengacuhkan koreksi itu. "Tuan Haruno meminta saya untuk membacakan wasiatnya tepat jam sepuluh lewat lima belas menit." Joseph melirik arlojinya. "Ah, kurasa sebaiknya kita segera masuk ke dalam sepuluh menit lagi waktunya tiba. Mari," pria itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kunci perunggu dari dalamnya. Ia berjalan ke arah pintu rumah. Sakura mengikuti di belakangnya dengan perasaan sedikit cemas.

Joseph membukakan pintu untuk Sakura dan membiarkan Sakura masuk terlebih dahulu. Dengan sedikit ragu-ragu Sakura memasuki ruangan itu. Ruangan itu masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Aromanya pun masih seperti dulu. Hanya ditambah debu di sana-sini dan juga kondisi barang yang tidak terawat. Akuarium itu masih ada di tempatnya meskipun kini hanya menjadi kotak kaca kosong berisikan koral dan batu hias. Kertas pelapis temboknya sudah kekuningan tapi masih seperti dulu. Sarang laba-laba bertebaran dimana-mana. Padahal pemiliknya baru meninggal beberapa hari tapi kondisi rumah itu sudah seperti ditinggalkan selama puluhan tahun.

Sakura merasa sedikit miris. Padahal dulu ia sangat membanggakan rumah ini.

"Kelihatannya Tuan Haruno tidak begitu suka beres-beres." Kata Joseph saat menyadari kondisi ruangan itu.

"Ha-ha," kata Sakura sambil menarik kain putih yang menutupi sofa di ruangan itu dan mempersilahkan Joseph duduk. "Ia menghabiskan waktunya di ruang kerjanya di bawah tanah. Tidak heran kalau ia mati begitu mendadak. Mungkin saja ia sibuk dengan penelitian terbarunya hingga lupa tidur dan makan." Itu bukan lelucon yang pantas dilontarkan pada seseorang yang baru meninggal lima hari yang lalu. Dan itu memang sama sekali bukan lelucon. Karena itu Sakura terkejut saat melihat Joseph tersenyum mendengarnya.

Joseph tetap tersenyum tenang sambil meletakkan kopernya di atas meja di hadapannya dengan sangat hati-hati seperti takut menggoresnya. Hampir saja Sakura mengatakan bahwa meja itu tidak berarti apa-apa tapi ia mengurungkan niatnya. Untuk apa menjelaskan hal yang tidak perlu.

Joseph membuka kopernya itu dan mulai membongkar isinya, ia mengeluarkan beberapa map. "Sepertinya anda sangat memahami Tuan Haruno."

"Anda bercanda," kata Sakura ketus. Hanya Tuhan yang mampu memahaminya, Sakura menambahkan dalam hati.

Untuk beberapa saat Sakura sempat berpikir untuk bertanya pada Joseph sudah berapa lama ia bekerja untuk pria itu. Tapi tidak ada sedikit pun kata yang dapat keluar dari mulutnya. Ia pun mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk diam. Lagipula perasaannya saat ini sedang buruk. Ia sedang tidak ingin berbasa-basi. Sakura diam dan menunggu sampai Joseph berbicara. Ia tidak tertarik dengan apa yang ingin disampaikan pria itu sebenarnya. Ia hanya ingin mengakhiri semuanya secepat mungkin dan pergi meninggalkan tempat itu. Ia merasa gelisah karena berada di ruangan itu dan ingin cepat-cepat meninggalkannya.

Joseph melihat jam tangannya lagi, lalu berdeham.

"Baik, saya rasa sudah waktunya," ia memilih sebuah map dan membukanya. "Saya akan membacakan isi wasiat tuan Haruno, saya harap anda mendengarkannya dengan seksama."

Sakura menelan ludah.

"Apa anda siap?"

Sakura mengangguk.

Joseph berdeham sekali lagi.

"Saya, yang bertandatangan di bawah ini, Yukitaka Haruno, menyatakan bahwa apabila terjadi sesuatu pada diri saya yang mengakibatkan saya kehilangan kendali atas tubuh saya—seperti hilang akal, koma atau meninggal—maka saya ingin memberikan hak atas seluruh harta dan wewenang hukum saya kepada satu-satunya ahli waris saya, yaitu putri saya Sakura Haruno.

Demikian surat wasiat ini saya buat tanpa ada tekanan dan atas keinginan dan kesadaran sendiri.

Jondaloop, 23 Agustus 20XX

Y. Haruno

"Nah nona Zakura," Sakura mencoba mengacuhkan cara pria itu memanggilnya. "Selain surat ini saya masih harus memberitahukan dua hal lagi pada anda, bukan hal yang menyenangkan memang," Joseph tertawa keras. "Tapi saya rasa nona cukup tabah untuk mendengarnya..."

"Bagaimana kalau anda langsung saja mengatakan apa yang anda maksud?" usul Sakura, ia mulai kesal dengan cara bicara Joseph yang berbelit-belit. "Apa lagi yang lebih buruk? Lima hari yang lalu saya terbangun jam setengah dua pagi mendapat telepon yang mengabarkan ayah—kalau boleh saya sebut begitu—yang sudah tidak saya temui selama lebih dari sepuluh tahun meninggal dan sebagai satu-satunya keluarganya yang tersisa saya terpaksa harus mengurus semua pemakamannya sendirian. Apa lagi yang menurut anda bisa lebih buruk dari itu?"

"Sebenarnya ayah anda, Tuan Haruno, berhutang sebesar satu juta pounds pada sejumlah bank dan orang," kata Joseph blak-blakan dan cepat. Mungkin dipikirnya dengan begitu semua itu akan terdengar lebih melegakan. "Dan sebagai satu-satunya ahli warisnya anda memiliki tanggung jawab untuk melunasi hutang-hutang itu."

Sakura tersedak. Ia nyaris tertawa—kalau tidak menangis. "Ha! Tunggu dulu," Sakura memijit pelipisnya. "Kalaupun aku menjual semua harta warisan peninggalan ayahku—sekaligus semua harta yang kumiliki selama ini—paling banyak aku hanya akan mendapatkan dua sampai tiga ratus ribu pounds! Dari mana aku bisa mendapatkan sisanya?"

Joseph tersenyum. Tapi itu bukan jawaban dan Sakura tidak puas dengan senyuman itu. Dia butuh jawaban.

"Kalau boleh saya tahu, memangnya untuk apa sih ayah saya berhutang sebanyak itu?" tanya Sakura. Ayahnya bahkan terkesan tidak memiliki tempat tinggal yang layak, untuk apa uang itu?

"Seperti yang anda tahu, butuh banyak biaya untuk meneruskan penelitian ayahmu dan tidak ada institusi yang bersedia membiayainya," jawab Joseph sambil tetap tersenyum profesional.

Sakura terdiam. Seharusnya ia tidak perlu bertanya. Hal bodoh. Harusnya ia sudah tahu. Harusnya ia bisa menduganya. Ayahnya memang selalu seperti itu. Sifatnya yang seperti itu pula yang membuat Sakura dan ibunya memutuskan untuk meninggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Sudah dari dulu kukatakan kalau semua penelitian itu tidak berguna! Gumam Sakura penuh kekesalan dalam hati.

"Lalu," kata Sakura setelah terdiam selama lima menit penuh untuk menggerutu dalam hati. "Apa hal lain yang ingin anda sampaikan?"

Joseph tersenyum seolah ia memang sudah menunggu pertanyaan ini. "Well, Nona, Ayah Nona juga sempat berpesan pada saya agar saya menyampaikan pada anda bahwa beliau sebenarnya sangat menyayangi anda. Dan selama sepuluh tahun terakhir ini beliau juga sangat mencemaskan dan merindukan anda."

Sakura terdiam dengan ekspresi kaku.

"Ha-ha, bahkan kalau anda mengatakannya sebelum memberitahu hutang sebesar satu juta pounds itu pun aku belum tentu terharu," yang dikatakannya itu kenyataan. Selama sepuluh tahun terakhir ini, jangankan mengunjunginya, sekadar menelpon di hari ulang tahun atau mengirimkan surat untuk bertanya kabar saja tidak pernah. Bagaimana ia bisa percaya kalau pria yang bahkan tidak ingat kapan anak satu-satunya berulang tahun itu merindukannya. Semua terdengar menggelikan bagi Sakura.

Yang dipikirkan pria itu hanya penelitian-penelitian bodoh di ruang bawah tanah. Pikir Sakura. Lebih merasa kesal dibandingkan sedih.

"Nah Nona, sepertinya itu semua sudah saya sampaikan. Apa ada hal lain yang ingin anda tanyakan atau katakan?" tanya Joseph kepada Sakura, ia melirik jam tangannya. "Saya rasa saya masih memiliki beberapa menit lagi untuk mendengarkan dan menjawab pertanyaan anda."

Sakura menggeleng. Ia tidak ingin buang-buang waktu. Mungkin jawaban yang akan ia dapatkan nantinya bisa membuat semuanya lebih buruk lagi. Hari ini sudah menjadi hari yang buruk dan dibencinya ia tidak ingin membuatnya menjadi semakin parah lagi.

Bahkan ketika Joseph pamit dan berdiri, mengangkat topinya sekilas dan berjalan ke arah pintu untuk keluar, Sakura masih duduk di tempatnya. Terdiam teringat upacara pemakaman ayahnya lima hari yang lalu yang tidak dihadirinya. Bukannya Sakura merasa terlalu sedih untuk melepas peti mati ayahnya ke liang kubur tapi ia merasa malas menerima simpati dari orang-orang yang akan hadir—yang kemungkinan besar tidak dikenalnya.

Sakura menengadah. Langit-langit ruangan itu sudah kusam. Kekuningan dan berdebu. Lengkap dengan sarang laba-laba menggantung di setiap sudutnya. Sakura menduga kapan terakhir kali ada orang yang bertamu ke ruangan itu. Semasa kecil dulu, saat ia masih tinggal di rumah itu, ibunya selalu rajin merawat setiap sudut rumah itu. Ruangan selalu rapi dan bersih. Tidak ada debu apalagi sarang laba-laba dari seluruh penjuru rumah tercium aroma kayu manis yang lembut. Ibunya membenci serangga, terutama laba-laba. Tapi sepuluh tahun mengubah ruangan yang nyaman dan hangat itu menjadi menyedihkan. Perabotan yang selalu dirawat ibunya dulu kini kusam dan berdebu. Jelas sekali kalau ayahnya sama sekali tidak pernah membersihkan ruangan itu.

Banyak hal berputar-putar di kepala Sakura sampai membuatnya pusing. Kematian ayahnya, hutang yang diwariskan ayahnya, dan juga kenangan-kenangan masa kecilnya. Semuanya menumpuk dan berputar di dalam kepalanya.

Sakura tiba-tiba saja ingin melihat ruangan lain di rumah itu. Ia berjalan menuju tangga kayu yang ada di tengah ruangan. Kamarnya semasa kecil ada di lantai dua. Sakura berjalan lambat-lambat ke arah tangga. Ada perasaan sedih dan rindu ketika ia menyentuh pegangan tangga yang terbuat dari kayu itu. Debu tebal melumurinya, tapi rasanya belum lama sejak terakhir ia menaiki tangga itu menuju ke kamarnya.

Sakura menghentikan langkahnya di depan pintu kamarnya. Tidak ada yang berubah. Stiker bertuliskan, Daddy's Girl Room yang sudah ada di sana sejak ia lahir masih terpampang di sana. Menguning dan agak mengelupas memang, tapi masih seperti dulu. Agak ragu, Sakura menyentuh kenop pintu yang terbuat dari kuningan. Ada perasaan aneh yang membuat perutnya terkocok. Bunyi berderit terdengar saat perlahan pintu itu terbuka. Jantung Sakura berdebar tidak jelas entah karena apa.

Kamar itu masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Tempat tidurnya masih sama seperti terakhir kali ia , karpet dan lemarinya juga masih seperti dulu. Sakura merasa lega tapi juga sedih. Sepuluh tahun yang lalu kamar ini tidaklah sesuram ini. Bahkan setelah ayahnya memutuskan untuk menghabiskan sepanjang harinya di ruang kerjanya di ruang bawah tanahnya pun ruangan ini masih terasa hangat dengan Sakura kecil yang bermain boneka di lantai dan ibunya yang memilih untuk merajut di sudut ruangan kamar putri tunggalnya itu.

Ibunya akan menemani Sakura mengobrol dan membuat dua cangkir susu coklat untuk diminum bersama. Setelah ayahnya berubah menjadi maniak kerja lebih dari sebelumnya, kamar tidur Sakura menjadi tempat untuknya dan ibunya menghabiskan waktu mereka.

Sambil berjalan ke arah jendela kamarnya, Sakura menyapu sekelilingnya dengan pandangannya. Ayahnya sepertinya tidak pernah mempedulikan ruangan ini. Mungkin ia bahkan tidak menyadari bahwa ia dan ibunya sudah tidak berada di rumah itu lagi. Entah mengapa dada Sakura terasa sesak saat ia berpikir seperti itu. Ia merasa sangat marah. Ketika sampai di dekat jendela Sakura menyibakkan tirai jendela itu. Ia melihat ke luar jendela. Semuanya terlihat persis seperti bertahun-tahun yang lalu.

Saat masih kecil Sakura sering sekali sakit dan tubuhnya lemah sehingga ia tidak bisa sering bermain di luar. Karena itulah Sakura memiliki kebiasaan duduk di tepi jendela dan mengawasi anak-anak tetangganya yang bermain di trotoar di depan rumahnya. Anak-anak itu sering mengejek Sakura yang tidak pernah keluar, tapi bagi Sakura mengawasi mereka bermain saja sudah membuatnya senang sama seperti apabila ia ikut bermain bersama anak-anak itu. Ada anak laki-laki yang selalu saja meledeknya, anak perempuan yang selalu melambaikan tangannya ke arahnya, anak laki-laki dengan rambut menyerupai jerami yang sangat cengeng.

Sakura mengingat semuanya karena entah bagaimana ia selalu dan selalu menganggap bahwa anak-anak itu adalah teman masa kecilnya. Padahal ia hampir tidak pernah bermain bersama mereka. Tentu saja mereka tidak akan mengingat Sakura.

Tiba-tiba Sakura teringat. Dulu sekali saat kondisi tubuhnya cukup baik dan ibunya sedang berbaik hati, Sakura sempat bermain bersama anak-anak itu dan mereka berfoto bersama. Sakura segera menuju meja belajarnya. Ia yakin foto itu ada di sana. Sakura menarik laci meja itu dan memeriksa isinya. Tapi tidak ada foto itu. Sakura mengeluh. Padahal itu satu-satunya bukti bahwa ia berteman dengan anak-anak itu.

Dengan kesal karena tidak berhasil menemukan harta karunnya itu Sakura menutup laci meja belajarnya dengan kasar. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkannya. Ia sudah meninggalkan rumah itu lebih dari sepuluh tahun. Tentu saja foto itu tidak ada di sana.

Sakura memejamkan matanya sesaat. Ia menghela napas panjang. Ternyata mengingat kenangan lama itu melelahkan buatnya. Ibunya selalu tersenyum padanya meskipun wajahnya terlihat lelah. Ayahnya selalu saja berkutat dengan penelitian-penelitian yang menghabiskan waktu dan biayanya. Ibunya terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan di usianya saat itu Sakura sudah merasa simpati pada ibunya. Sakura ingin membantu ibunya mencari uang tapi tidak ada yang dapat dilakukannya di usianya saat itu. Sakura kecil pun memutuskan bahwa ia akan membantu dengan cara lain. Sakura tidak pernah meminta mainan pada ibunya. Pada hari natal maupun ulang tahunnya sekalipun Sakura tidak meminta hadiah. Sakura tidak pernah meminta apapun pada ibunya.

Sakura merasa sudah cukup mengingat semua kenangan di kamar itu, maka ia pun memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu. Hutang ayahnya begitu besar. Meskipun rumah ini dijual, hutang ayahnya belum tentu akan terlunasi. Sakura tidak ingin menjual rumah ini tapi hanya itu yang dapat ia lakukan. Entah bagaimana perasaan ibu kalau tahu.

Sakura menuruni tangga. Langkah kakinya membawanya menuju ruangan bawah tanah di rumah itu. Ruangan yang juga dulu merupakan ruangan kerja ayahnya. Ruangan yang dulu sangat dibenci Sakura. Sekarang ia juga masih membenci ruangan itu. Tapi entah mengapa langkah kakinya menuju ke ruangan itu. Saat Sakura sadar dengan kemana langkahnya membawanya, ia sudah sampai di ruangan bawah tanah itu. Sakura terbatuk saat tangannya membentur dinding dan membuat debu yang menempel di langit-langit yang rendah dan kotor bertebaran di sekitarnya. Ruangan itu sangat kotor seperti sudah berbulan-bulan tidak dihuni. Padahal ayahnya baru saja meninggal. Kemungkinan sejak jatuh sakit—entah sejak kapan—ayahnya tidak lagi bisa bekerja di ruangan itu.

Ruangan itu suram dan gelap. Sakura harus menyesuaikan matanya dengan cahaya yang amat sedikit di ruangan itu. Saat matanya mulai terbiasa dengan kondisi ruangan itu yang remang-remang, Sakura tersadar ia tidak sendirian di ruangan itu. Ada orang lain di ruangan itu.

-PROLOGUE "HOME" ENDS-

Author's Note:

Cerita kali ini cukup berat dan berisi dengan tokoh dan penceritaan yang lebih 'dewasa'. Plot kali ini lebih dalam dan tenang dengan konflik yang lebih dewasa dari pada fanfic saya sebelumnya.

Recchinon.