Disclaimer: All characters belong to Masashi Kishimoto. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.
Warning: headcanon, miss-typos, and other stuffs. birthday fic for uchiha (haruno) sakura dan uchiha sarada.
Note: buat allihyun, yang berbesar hati menyumbang sebagian kekayaan prompt-nya. cerita ini mungkin nggak akan ada tanpa kamu :") (GOMBAL Y). credit judul chapter ini adalah milik al ehehe. btw, cerita ini terdiri dari dua chapter, dan chapter kedua akan di-publish tepat di hari ultah sarada nanti. enjoy reading!
.
untuk haruno sakura
.
vorfreude
.
i. papa's foot step
Sarada tahu Sakura pernah sangat membenci malam.
Di masa-masa yang hampir lepas dari sudut ingatan mamanya, suatu hari ia pernah diceritakan; mamanya berjalan dengan gegas dan menemukan langkah di depannya begitu lekas. Malam larut. Langkah semakin terdengar jelas dan tubuh itu semakin terjamah.
Mama berteriak. Tanpa sadar mengucap konfesi cinta yang tak berarti apa-apa. Sasuke-kun, Sasuke-kun, Sasuke-kun. Penyerahan diri, semuanya, dan meski itu bodoh, Mama tak pernah menganggap dirinya bodoh. Meski sosok itu—Papa kemudian berkata Mama adalah orang yang menyebalkan, ia benar-benar tak pernah menyesali malam itu.
Mamanya masih begitu ingat ketika langkah itu terhenti, memaksanya berstagnasi—juga—dan terdiam dalam isak-isak malam. Di matanya likuid menggenang, dan bulan, bulan mengatensi mereka dalam batas begitu terang. Papa tak membiarkannya melihat bagaimana bibir itu digigit, dilesap dalam seringai tipikal, dan—
"Terima kasih, Sakura."
Satu ucapan sederhana, yang berarti.
Meski memori setelahnya kabur begitu saja, Mama bilang ia selalu tahu, malam itu adalah malam di mana awal penerimaan Papa begitu nyata. Ia tahu Papa pergi tapi untuk kembali.
Malam ini, ketika ia selesai berbenah diri sepulang latihan di akademi, ia menemukan mamanya terdiam di depan kaca jendela.
"Mama?"
Sakura menoleh dan menangkap Sarada di samping sekat ruang keluarga, wanita itu tersenyum kecil, menyadari ia tengah melamun di hadapan jendela.
"Sarada-chan."
Sarada melangkah dan ikut duduk di sebelahnya, ikut menatap ke luar. Bintang-bintang bersinar di sana, melesapkan gelap yang menjadi latar belakangnya. Konoha agak sedikit dingin akhir-akhir ini, dan Sarada bersyukur bahwa pelatihan akademi yang ia jalani sesorean membuat segalanya menjadi hangat. Belum lagi, senyum mamanya yang ditaut ketika ia pulang, sup hangat, teh hangat, segalanya menghangat begitu saja.
Tapi, tetap saja ada yang kurang.
"Mama lihat apa?" Sarada merapatkan tubuhnya. "Bintang?"
"Uhm? Bukan." Sakura menggeleng ekspresif. Matanya menyipit ketika menuntun Sarada menatap satu lingkar paling terang di atas sana. "Kenapa orang selalu melihat bintang ketika ada bulan yang bersinar lebih terang?"
Gadis itu menatap senyum mamanya, ada kolase memento yang Sarada tangkap dari emerald yang mengintip itu. Meski mamanya adalah kunoichi terhebat yang bahkan mampu disejajarkan dengan sang godaime dulu, tapi Sarada selalu mampu menangkap hal-hal kecil yang mungkin tak akan ditangkap orang lain.
Kerapuhan.
"Karena mayoritas akan selalu memenangkan minoritas?" Sarada menjawab tanya terakhir mamanya.
Sakura menoleh dan menggeleng dalam batas canda. Melepas lagi satu tawa hangat—kini dengan sebelah tangan yang terulur, lembut, hangat, mengusap pelan helai rambut Sarada yang sekelam malam. Ia berhenti di sana. "Kau mirip sekali dengan papamu."
Akhirnya, terucap.
Jika ada kata yang mampu membuat segala dentum di rongga dada mamanya berubah cepat, itu adalah Papa; jika ada sosok yang mampu mengalihkan pandangan mamanya dari langit malam, itu adalah Papa; dan jika ada orang yang mampu menghapus segala kerapuhan mamanya yang Sarada lihat selama ini, itu hanyalah Papa. Papa. Orang yang juga mampu melakukan itu padanya.
Sarada memalingkan wajah, menatap lagi langit di atas sana. Kini oniksnya terpaut pada bulan, bulan yang sama di malam ketika Papa pergi meninggalkan Mama, dulu. Dan tiba-tiba ia ingin menangis, ia ingin melihat bulan bersinar tanpa rasa kehilangan yang begini dalam.
"Sudah hampir empat minggu, ya." Ia mengujar. "Apa Papa akan pulang lebih lama lagi?"
Sakura tak melepas usapannya, ia setengah memeluk Sarada. "Hei, papamu sedang menjalankan misi. Ia akan pulang jika waktunya pulang."
"Hm …"
"Uchiha tak boleh lemah." Sakura mengucap mantap. Mata Sarada ditaut dan kepalanya ditepuk. "Papa pasti pulang."
Sarada tak punya kategorisasi akan macam-macam jenis senyum, namun, ia menemukannya dalam diri Sakura. Ia punya senyum hangat, senyum bahagia, senyum geli, senyum penguatan, senyum yang bukan hanya sekadar senyum.
Ketika sudut bibirnya melebar membentuk satu kurva yang sedikit linear, bagaimana matanya menyipit, dan sentuhannya hadir begitu saja; semuanya membuat satu kolase yang hadir di antara kata rapuh malam ini. Ia bukan pendeklaratif yang bagus, ia tak mengerti segala komposisi kalimat, hanya—Sarada begitu mengerti bagaimana bersifat kompulsif dan tanpa pikir panjang menguarkan pemikirannya yang sedikit konservatif.
"Besok Mama ulang tahun, kan?" katanya. "Kuharap Papa tak melewatkannya—lagi."
Sarada tak mengerti bagaimana cara Sakura melakukan kategori senyum penguatan, tapi, malam ini, ia mencobanya, melesapkannya di mata untuk menguatkan Mama yang mungkin, masih, sedikit membenci malam.
Ia bangkit dan meninggalkan ruangan.
.
Sarada seharusnya sudah pulas ketika mendengar langkah itu.
Hampir pukul satu malam, dan suara itu terdengar begitu saja.
Familier, dan ia menyebutnya langkah pelan penuh penekanan. Sarada sudah sering mendengarnya. Semakin mendekat, atau semakin menjauh. Malam ini adalah yang mendekat, ia mendengar getaran kecil di dadanya ketika memutuskan untuk bangun. Gema langkah itu semakin mendeka lagit. Dan Sarada hampir berjinjit ketika bangkit menggapai pintu kamar, memutar kenopnya tanpa suara, menyisakan sedikit celah kecil yang bahkan tak membiarkan cahaya mampu masuk lebih jauh.
Suara langkah itu terhenti, dan Sarada seharusnya tahu apa penyebabnya.
Sakura ada di sana, menyambut pelan dengan bisikan tak terdengar dan satu kategori senyum yang hangat. Ia menerima peluk Sasuke dan balas mendekapnya dengan canggung, dan rona-rona di bawah gemerlap lampu yang redup. Tangannya mulai melepaskan dan berpindah melepas jubah. Memeriksa sepanjang tubuh dan mengalirkan beberapa cakra di tempat-tempat yang mungkin sedikit tergores selama misi. Sasuke hanya diam, terus mengikuti sepanjang pergerakan emerald itu. Seolah tak membiarkannya lepas, atau mungkin, hanya rindu. Rindu menatapnya sepanjang waktu hingga ia tak menyadari itu.
Jika untuk Sasuke, Sarada tak memiliki kategorisasi senyum apa pun. Hanya ada satu jenis senyum untuk Papa. Bukan seringai—bukan. Ia tak menyukai orang-orang yang menganggap papanya tengah tersenyum ketika yang dilakukannya hanya seringai kecil. Papa tak suka tersenyum, ia tahu. Tapi bukan berarti ia tak pernah tersenyum.
Dan satu jenis senyum itu adalah; senyum untuk Mama.
Seperti malam ini.
"Okaeri, Sasuke-kun. Terima kasih karena kembali malam ini."
Papa tersenyum begitu saja. Tangannya yang tunggal datang kepada bahu Mama, membawanya ke dada yang mungkin tengah berdebar halus, mendekapnya di sana, mencipta lagi rona-rona di pipi Mama yang Sarada sukai.
"Tadaima, Sakura. Jangan berterima kasih." Suara Papa masih rendah dan teredam di udara malam. "Maaf karena tak selalu ada."
Bibir Sarada terosilasi pelan, bergetar, ia merasakan kelopak matanya begitu rapuh. Ada sesuatu yang hampir meledak di rongga dadanya, dan itu adalah kehangatan.
Kehangatan melihat Papa dan Mama.
Ia melihat lagi, Papa melepaskan pelukan dan mengecup pelipis Mama. Oniks sekelam miliknya itu menaut emerald yang bersinar dari sini, mama tersenyum, saat Papa berkata dengan begitu hati-hati.
"Selamat … ulang tahun."
Mama tersenyum lagi, kali ini tak tahan jika tanpa suara. Ronanya semakin ranum bersemi di belah-belah pipi, dan hangat, hangat, begitu hangat ketika ia melihat Papa menarik wajah Mama, membuat hidung mereka saling bersentuhan.
Dan Sarada memutuskan untuk menutup pintu.
Ini sudah cukup.
Sarada menggigit bibir dan tersenyum begitu lebar.
Ia tak pernah merasakan ini sebelumnya, tapi, mungkin, inilah rasanya kebahagiaan berbatas infiniti.
Sangat-sangat bahagia.
"Otanjoubi omedetou, Mama."
Malam ini, Sarada yakin akan bermimpi indah.
.
.
part i – end.
