Disclaimer: I own nothing but the story

Jormungand reference.


"Kelima anak buahku menunggu di sini. Mereka semua orang aneh tapi tidak perlu takut. Mungkin ini akan jadi perkenalan singkat, tapi bisa kupastikan bahwa mereka semua orang baik."

Seorang laki-laki berumur delapan belas tahun membiarkan tangannya dituntun oleh lelaki cantik bertubuh lebih pendek darinya. Mata biru terang milik bocah itu berbayang kelam. Menciptakan ekspresi datar. Berbanding terbalik dengan si cantik yang menebar senyuman.

"Dan kau yang keenam. Hanya tersisa sedikit waktu karena kita dalam masalah. Pihak bea cukai itu terkadang terlalu ikut campur."

Telunjuk lentik mengarah pada deretan jendela. Si bocah bermata biru mengalihkan pandangan, mencoba mengikuti arah tunjukan meski yang dilihatnya berpuluh-puluh gedung tinggi dalam sebuah kota di Rusia. Matahari hampir terbenam. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan lelaki itu. Mungkinkah sebuah tempat?

Genggaman pada tangannya dilepas. Yang lebih pendek berbalik, sorot matanya menjadi tegas.

"Aku tugaskan kau untuk membantu. Ini tugas pertamamu sebagai anggota baruku." Jemari lentik tanpa cacat bagai tak pernah mengerjakan pekerjaan kasar kini menggenggam revolver. Senjata pembunuh.

"Ini juga bisa dijadikan tes untuk menguji kemampuanmu."

Ia menggenggam kenop pintu lalu membukanya dengan bantingan beringas. Begitu ruangan di dalam nampak, lima orang yang sedang dalam posisi berbeda memiliki ekspresi sama. Terkejut. Seorang pria dengan kacamata bertengger dihidung dan laptop dipangkuan sempat membuka mulut namun diserobot terlebih dahulu oleh seruan.

"Dengar semuanya! Ini Park Chanyeol."

Bocah bermata biru memperkenalkan wajah barunya selagi mengangkat kepala yang menunduk. Ia memperhatikan satu persatu anggota lainnya di sana.

"Anggota baru kita prajurit anak-anak…?"

Ada gumaman kecil yang lolos. Chanyeol melirik pada seorang laki-laki yang kelihatan sebaya dengannya namun berkulit eksotis. Duduk di atas sofa sambil memeluk senapan panjang. Sementara itu, duduk di sebelahnya seorang laki-laki berkulit pucat dengan mata tajam. Jika dilihat sekilas, mereka berdua seperti yin dan yang.

"Kita akan punya teman main baru." bisik si kulit pucat.

"Hush, Tuan Muda Baekhyun sedang bicara." bocah lainnya bergender perempuan mengibaskan tangan. Mencegah obrolan tak jelas duo makhluk yin yang itu.

Baekhyun berdeham selagi menyelipkan poni silvernya ke belakang telinga.

"Kita bisa mulai sesi perkenalannya. Hanya sebentar. Nah, Chanyeol, tiga orang di sofa itu sebaya denganmu. Kim Kai, Oh Sehun dan Kang Seulgi." Telunjuk lentiknya beralih pada seorang pria yang bersandar di samping jendela, "Nah Kakakbermata kucing itu Kim Minseok, tujuh tahun diatasmu. Dan terakhir, Kim Suho, enam tahun diatasmu. Ah ya, tolong sekalian jelaskan situasi sekarang supaya anggota baru kita paham."

Joonmyeon melepas kacamata lalu memindah laptop ke atas meja. "Ada konvoi besar yang memasuki kota ini satu jam yang lalu. Kontainer barang dagangan kita tertahan di pelabuhan. Konvoi itu diduga orang suruhan Menteri Pertahanan yang ingin mengambil alih milik kita. Karena itu pihak bea cukai mengulur waktu."

"Timingnya terlalu tepat. Kita juga akan memasarkan Hind D, pesawat tempur buatan markas utama." Komentar Baekhyun sambil menggulung ujung rambut dengan jarinya.

Joonmyeon mengangguk, "Itu artinya, Menteri Pertahanan berniat merebut paksa milik kita. Bisa jadi pesawat tempur itu digunakan sebagai senjata utama dalam perang Uni Soviet."

"Dasar pejabat bertangan panjang." Baekhyun menggeleng prihatin, ia beralih memandang Chanyeol yang berekspresi datar. "Artinya, kita harus mengambil container kita di pelabuhan secepat mungkin."

Chanyeol meliriknya sekilas, "Aku tidak peduli apa tujuannya. Katakan saja siapa yang harus kutembak."

Sehun bersiul, "Wow, itu sangat kejam dan dingin."

Baekhyun menepuk tangan sekali, menarik perhatian. Senyuman lebar seperti telah menebak masa depan dipasangnya dengan penuh percaya diri.

"Sehun dan Kai, siapkan senjata kalian. Pergilah lebih dulu ke pelabuhan dengan jalur selain jalan tol. Kak Suho tetap di sini, pastikan koneksi dengan markas utama tidak terputus. Seulgi dan Kak Minseok akan melindungiku. Lalu Chanyeol—"

Tubuh ramping berbalik ke belakang. Agak mendongak untuk menatap lurus pada mata biru Chanyeol.

"—kau ikut denganku."

Ia berbalik lagi untuk berhadapan dengan kelima anak buahnya. "Laknasakan operasi!"


.

.

.

Arms Dealer

Chanbaek pairing

WARN: Sho-ai, BL, Yaoi, Violence

Sorry for typo(s)

.

.

.


Chanyeol tidak mudah mempercayai orang lain. Tidak akan pernah semudah itu. Ia tumbuh bersama sekelompok teroris yang tidak paham fungsi peraturan perang yang sah. Dijadikan budak dan selalu mendapat kekerasan fisik setiap harinya. Ia sudah terbiasa hidup keras. Jadi ia sedikit bingung, ah tidak, sangat bingung melihat bagaimana Byun Baekhyun si pedagang senjata memperlakukan anak buahnya.

Baekhyun bahkan selalu menebar senyum ramah, bukan seringaian bengis seperti menilai anak buah tak ada harganya.

Chanyeol tidak mengerti. Bagaimana hubungan bos dan anak buah bisa terjalin seperti itu.

Baekhyun sebenarnya terlalu berisik untuk seseorang yang memegang jabatan tertinggi. Menjadi distributor dari Byun Logistic Incorporated, pekerjaan yang diembannya sebagai penerus keluarga kedua setelah sang kakak. Jika kakaknya menjadi tangan kanan sang Ayah, maka Baekhyun menjadi tangan kanan kakaknya.

Chanyeol dipekerjakan oleh Kakaknya, Byun Daehyun, yang mempertemukannya dengan Baekhyun untuk direkrut sebagai prajurit baru.

Ia tidak bisa menerima situasi begitu saja. Ia sebenarnya cukup membenci keadaannya saat ini. Ia sangat ahli menggunakan senjata namun tidak pernah menyukai senjata. Bagaimanapun juga, senjata lah yang membuat dunia kecilnya kotor penuh bercak darah.

Baekhyun melirik Chanyeol dari kaca spion. Bocah tinggi yang lebih muda empat tahun darinya tidak mengubah ekspresi sejak pertama bertemu. Bagai boneka.

"Menurutmu bagaimana pertemuan dengan anak buahku?"

Chanyeol membuka selongsong, mengisi peluru untuk senapan panjang yang dipersiapkan di dalam mobil. "Biasa saja." Jawabnya datar.

Baekhyun mengetuk jarinya pada bantalan kemudi. "Sebelum menerima saran Kak Daehyun, aku mencari tahu tentang dirimu. Tempatmu lahir, tempatmu tumbuh, bagaimana kau bertemu Kakakku. Apa yang kau suka dan apa yang kau benci. Aku tahu semuanya."

Ada jeda sejenak. Sipit itu menajam.

"Kau benci senjata kan, Chanyeol?"

Katup menutup cepat dengan bunyi nyaring. Chanyeol membiarkan senapan panjang itu jatuh ke pangkuannya. "Itu bukan urusanmu."

Baekhyun menstabilkan kecepatan laju mobil. Ia ingin bicara lebih banyak. "Semuanya menjadi penting jika itu menyangkut anak buahku."

"Apa kalian selalu melakukan sesi seperti ini? Bongkar rahasia? Aku tidak pintar berkata-kata." sarkas bocah tinggi.

Baekhyun tertawa. Pelan dan singkat. "Keberadaanmu menjadi lebih dari layak jika sudah bergabung menjadi anggotaku. Bicaralah lebih banyak."

Chanyeol menunduk, menatap telapak tangan kasarnya. Bayangan darah yang melumuri jemari panjangnya tidak akan pernah enyah dengan mudah. Masa lalu yang memaksanya merenggut nyawa hanya karena perintah tak terbantahkan dari bos teroris. Laksanakan perintah atau hukuman akan datang. Tidak rumit namun menanggung tekanan yang berat.

"Kenapa kau mendadak murung? Ingin mengatakan sesuatu?" tanya Baekhyun dengan nada terbuka.

Chanyeol mengangkat wajah, "Biasanya apa yang kau lakukan pada orang yang membuntutimu?"

Baekhyun tersenyum lebar. Merasa bangga karena Chanyeol akhirnya tertarik pada aktivitas kelompoknya. Ia menatap lurus pada jalan tol yang sepi. Tidak menyadari suara dengung dari atap mobilnya yang dibuka oleh Chanyeol. Angin kencang mengibarkan helai rambut hitam bocah itu.

Satu tangan memukul udara dengan semangat, "Ah kalau itu, 'langsung tembak tanpa bertanya' begitulah slogan—"

Rentetan tembakan membungkam mulut setelahnya. Baekhyun sampai tak sengaja menginjak pedal gas. Chanyeol membiarkan kepalanya menyembul keluar atap meski bisa dijadikan sasaran tembakan. Tangannya dengan gesit menarik pelatuk senapan yang moncongnya menghadap pada mobil sedan silver yang dicurigai sudah membuntuti mereka sedari tadi.

Suara kaca pecah dan pentalan peluru yang terpelanting dari badan mobil memenuhi pendengaran. Ia berhenti menembak ketika peluru berhasil mengenai kepala pengemudi dan membuat mobil itu oleng lalu menabrak pembatas terowongan.

Baekhyun terpaksa membanting kemudi, berbelok ke kanan dengan sangat tajam karena mobil malang itu nyaris berada dihaluannya. Ia berseru lantang, memanggil nama si bocah tinggi, "Chanyeol!"

Chanyeol beralih pada penguntit lainnya. Seorang musuh dengan topeng penjahat dan baju khusus tempur memunculkan diri dari sun roof seperti Chanyeol. Pria itu mulai menembaki mobil cabriolet mereka. Lebih sering meleset mengenai badan belakang mobil.

Chanyeol sedikit merunduk, berdesis pelan begitu menyadari target peluru. "Dia mengincar ban mobil."

Matanya kembali didekatkan pada celah senapan, ia mengincar kepala si penembak dan pengemudi. Satu peluru dimuntahkan dari moncong namun meleset akibat goncangan. Chanyeol sengaja menepuk keras atap mobil.

"Baekhyun, kemudikan lah lebih serius."

Ia menarik pelatuk lagi, langsung memecahkan kaca depan lalu menembus tubuh pengemudi. Satu peluru berikutnya yang berselang tak lebih dari nol koma dua detik mengenai dahi si penembak.

"Chanyeol! Dengarkan aku, Chanyeeoool!"

Akhirnya ia merunduk saat dipastikan situasi aman untuk melihat ke kursi kemudi. Baekhyun menoleh separo padanya, sudut matanya tergenang basah dan bibirnya tersenyum namun gemetar. Dahi Chanyeol berkerut bingung.

"Katakan sesuatu sebelum mulai menembak! Aku kaget setengah mati!"

Chanyeol menatap sangsi, "Jangan bercanda. Kau sendiri yang bilang—"

"Kubilang tanpa bertanya! Bukan tanpa aba-aba!" Baekhyun melajukan mobil lebih kencang namun juga stabil. Tidak dipenuhi goncangan seperti tadi. "Aku nyaris menabrakkan mobil ini. Kalau itu terjadi, tamat sudah riwayat kita."

Chanyeol turun, kembali duduk manis di kursi penumpang. "Itu baru permulaan. Perang yang sebenarnya akan dimulai sampai ujung terowongan setelah jalan tol."

Baekhyun meremat kemudi, "Dasar orang-orang itu. Akibat keserakahan Menteri Pertahanan jadi ada korban berjatuhan. Padahal mereka tim yang dilatihnya sendiri."

Chanyeol melirik dengan ekor matanya. Baekhyun kelihatan cukup kesal, terlihat dari rahangnya yang mengeras. Lagi-lagi ia tidak mengerti. Sebagai seorang pedagang senjata, seharusnya Baekhyun terbiasa terjebak disituasi penembakan seperti tadi. Tapi kenapa hanya melihat korban dari pihak lawan membuatnya terganggu?

Bukankah ia sendiri justru diuntungkan dengan jatuhnya lawan?

Aneh.

"Ah, itu mobil Kak Minseok dan Seulgi!" seru Baekhyun ketika dua jalur searah hampir menyatu. Ia melambatkan laju mobil sambil menurunkan kaca jendela. "Tolong jadi perisai belakang, ya!"

Minseok yang menyetir di sampingnya mengangkat ibu jari pertanda setuju. Lalu Baekhyun segera menyalip mobil sedang hitam itu untuk memimpin jalan. Chanyeol menggoyangkan kursi pengemudi sebelum bangkit menuju sun roof lagi.

"Baekhyun, di lajur kiri."

Ketika menoleh, ada dua mobil jeep ketentaraan yang menyetarakan kecepatan mobilnya. Baekhyun mendengus ketika kaca mobil itu diturunkan setengah untuk menampilkan sosok pengemudi dengan ekspresi mengejek.

"Hei, Tuan Muda, ayo kita jalan-jalan sampai pelabuhan."

Baekhyun memicingkan mata. Ia tidak mau mempercayai apa yang dilihatnya, tapi itulah kenyataannya. Badge seragam pasukan itu bertuliskan Voskhod, angkatan khusus Soviet. Ia menggeram di tenggorokan, "Tua bangka sialan. Dia seserius itu huh untuk merebut container milikku."

Ia mendengar bunyi tembakan dari belakang. Sepertinya Minseok dan Seulgi juga terlibat baku tembak dengan penguntit lain sehingga tak bisa membantu.

"Chanyeol—"

"Aku bisa mengurusnya." sela Chanyeol datar. Ia menembak ban mobil dan langsung meledakan udara. Mobil jeep berputar beberapa kali lalu menabrak tiang lalu lintas. Satu tersingkir, masih ada jeep lain.

Saat itu jalur tol mencapai ujungnya. Mobil jeep yang mengikuti mereka tidak melakukan pergerakan lain yang mengancam. Chanyeol masih bersiaga, memegangi senapan lapua magnum. Mobil rekan mereka tertinggal di belakang karena mengurus dua penguntit lainnya. Baekhyun menghela napas, "Serahkan yang di belakang pada Seulgi. Meski badannya kecil, ia sangat lihai menggunakan pisau."

Chanyeol merunduk, "Tapi ini kan peperangan antarmobil."

Baekhyun tersenyum miring, "Mudah baginya untuk melompat dan mendarat di atas mobil orang lain."

Chanyeol memutus obrolan. Matanya tak lepas dari jeep yang mengikuti mereka. Hanya berjarak sepuluh meter. Perasaannya belum lega. Sementara itu Baekhyun tersenyum senang. Ada hal lain yang mengalihkan perhatiannya.

"Tadi… kau memanggil nama depanku ya, Chanyeol. Tanpa embel-embel apapun. Sehun dan Kai biasa memanggilku Kakak, sisanya terlalu sopan jadi memanggilku tuan muda."

Chanyeol segera mengulurkan tangan ke bawah untuk mengambil granat tangan jenis serpihan peledak. Ia yakin sudah melihat pergerakan mencurigakan. Anggota Voskhod itu membawa senjata yang sangat berbahaya. Chanyeol menarik safety pin dengan lambat.

Ia memperingati, "Baekhyun."

Baekhyun sumringah, "Ya itu dia! Aku yakin tadi kau memanggilku begitu. Aku menyukainya, jadi teruskan. Panggil aku dengan nama depan—"

Chanyeol menghantam atap mobil dengan telapak tangan, menggebraknya keras. "Baekhyun. Merunduk. Mereka punya misil anti-tank." Lalu tangannya melempar granat ke jalur tembakan.

Baekhyun melirik melalui spion dan tidak bisa menahan mulutnya untuk menyumpah ketika mengetahui senjata itu. Granat meledak di jarak tengah dua mobil, sepihan ledakannya membelokkan jalur misil hingga mengenai mobil lain yang terparkir di pinggir jalan.

DUAR!

Untuk sesaat, cahaya menyilaukan mata dan ledakan memekakan telinga. Baekhyun memutar kemudi secepat kilat, menghindari serpihan mobil malang yang meledak. Ia menginjak pedal gas lebih sangar. Asap hitam membumbung tinggi dan tebal di belakang mereka. Beberapa toko terkena ledakan itu.

"Mereka sudah gila! Ini masih daerah penduduk tapi menggunakan javelin fgm-148?! Dasar orang Rusia!" Baekhyun mendongak, bermaksud memberitahu hal penting. Namun kata-katanya tertahan di ujung lidah ketika melihat situasi si bocah tinggi.

Chanyeol memegangi sebuah boneka beruang yang populer, rilakkuma. Benda itu terlempar dari toko boneka yang bagian depannya rusak parah akibat misil. Raut datarnya berubah, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis. "Boneka ini selamat." gumamnya seorang diri.

Itu pertama kalinya Baekhyun melihat senyuman Chanyeol.

"Chanyeol, mereka punya waktu dua puluh detik untuk isi ulang misil."

Ekspresinya berubah tak lebih dari sedetik. Dingin. Chanyeol menjatuhkan boneka ke dalam mobil. Tangannya menggenggam senapan lagi. Suaranya jauh lebih terkendali dan percaya diri. "Tenang saja. Mereka tidak akan bisa menembak lagi."

Ia mulai menembaki badan jeep yang keras bagai anti peluru. Sengaja memelesetkan banyak peluru agar si penembak Voskhod berani memunculkan kepala lagi. Ketika musuh sungguh termakan umpan, satu tarikan pelatuk saja cukup baginya. Timing menembak Chanyeol lebih cepat sepersekian detik, menembus kepala dengan akurat. Misil anti-tank itu jatuh, mengarah ke bawah dan meledakkan mobilnya sendiri.

Baekhyun mengangkat tangan ketika Chanyeol menutup sun roof. Usai duduk nyaman, yang lebih tinggi menyambut high five dengan ekspresi kembali datar bagai parutan keju.

"Kerja bagus, prajurit Chanyeol."


"Anu… Pak, pasukan di pelabuhan meminta tim tambahan. Dua orang diduga anak buah pedagang senjata itu sangat hebat dalam baku tembak."

Pria tua itu menggelengkan kepala. "Cukup. Tarik mundur semuanya."

"Baik, Pak." Lelaki berseragam rapi itu menekan tombol lagi, mulutnya mendekat pada mic, "Semua pasukan penjaga pelabuhan, mundur. Dan semua anggota Voskhod, mundur. Kuulangi, pembatalan operasi. Semua pasukan…"

Pria tua itu keluar dari ruangan pengintai. Membiarkan anak buahnya menjalankan tugas penarikan pasukan. Ia memasukkan tangannya pada saku celana dengan bahu merosot lesu. Kepalanya menoleh, mengamati pemandangan indah Rusia malam hari dari jendela kaca dengan matanya yang kelabu. Menteri Pertahanan itu menghela napas.

"Byun Baekhyun. Benar kata dunia, tidak seharusnya aku mencari masalah dengan monster kecil sepertinya."


"Apa kau bisa hidup tanpa senjata?"

Baekhyun melompat-lompat bagai anak kecil menuju sebuah gudang penyimpanan container miliknya di pelabuhan. Chanyeol merapatkan jaket, menggenggam erat-erat revolver yang diberikan padanya pertama kali.

Baekhyun berhenti melompat. Berputar dengan anggun sambil melanjutkan dengan ekspresi dingin.

"Jawabannya adalah tidak."

Chanyeol merasakan dadanya terantuk sesuatu. Seperti batu yang terus memberat tenggelam ke dasar perut. Baekhyun mengejeknya. Mengatakan bahwa bagaimana mungkin seorang mesin pembunuh sepertinya bisa hidup tenang? Lari dari masa lalu adalah hal yang memalukan.

Itu benar. Namun menyakitkan untuk diterima.

"Selama ini kau hidup dengan senjata." Baekhyun berbalik lagi. Menghadap pintu masuk gudang. Menunggu pintu besi yang derekannya mulai berdengung ketika membuka perlahan-lahan. "Padahal kau sangat membenci senjata. Pada akhirnya kau sadar kalau kau masih membutuhkan senjata untuk hidup."

Baekhyun melangkah masuk lebih dulu. "Kau bisa saja menembakku, si pedagang senjata, si pengedar barang yang kau benci seumur hidup. Tapi apa yang kau butuhkan untuk membunuhku adalah senjata juga."

"Bisakah kau berhenti?"

Chanyeol menampakkan ekspresi paling dingin dari awal pertemuan mereka. Seolah seluruh nadinya dipenuhi nafsu membunuh yang berat. Ia tidak suka hal ini disinggung terus-menerus. Kakinya tidak mengikuti jejak bos barunya.

Minseok menekan beberapa saklar. Lampu secara berentetan menyala. Kejar-mengejar. Satu detik membuat bayangan di wajah Baekhyun, detik berikutnya menerangi keseluruhan.

Baekhyun tidak perlu mendongak saat berjarak seperti ini. Ia hanya tersenyum lagi dan lagi. Senyuman kali ini seperti sebuah sihir yang meyakinkan, "Ikut dan turuti perintahku, Park Chanyeol. Aku, pedagang senjata, akan mengajarimu menerima kehidupan."

Chanyeol mengatupkan bibirnya menjadi segaris tipis. Baekhyun menelengkan kepala, "Apa kau ingin mengatakan sesuatu?"

"Aku tidak pintar berkata-kata."

"Tanyakan saja apa yang ada di dalam kepalamu."

"Kenapa kau menjual senjata, Baekhyun?"

Ia tidak menemukan titik keingintahuan yang jelas dari Chanyeol. Tapi pancaran mata biru itu sedikit memercik, seolah sedang menimbang kemana ia harus melangkah. Dari mana ia harus memulai awal baru.

Baekhyun bersedia dengan sukacita menjadi pemandunya.

Ia membungkuk layaknya pelayan kerajaan menyambut putera mahkota. Tangan kanan berada di atas jantung dan tangan kiri terlipat ke belakang. Kakinya menekuk dengan anggun.

"Untuk perdamaian dunia."

Chanyeol terpekur. Sehun dan Kai tiba-tiba muncul di antara container, menghampiri Baekhyun seperti adik yang memuja kakak terhebat sepanjang masa.

"Kak Baekhyun terluka? Atau baik-baik saja?"

"Bagaimana perjalananmu dengan anggota baru? Apa dia bagus? Apa dia mengacau?"

Baekhyun mengulurkan kedua tangan, masing-masing mengambil tempat di puncak kepala duo hitam-putih itu. "Aku baik-baik saja, Chanyeol melaksanakan tugas dengan baik. Kalian juga sudah bekerja keras."

Kalau saja mereka anjing peliharaan, sudah dipastikan ada dua ekor yang mengibas penuh antusias usai diberi pujian. Chanyeol melihat pemandangan itu dengan raut datar. Ia masih belum paham. Bagaimana semua orang tunduk patuh pada Baekhyun.

Ia bisa menebak kalau Sehun dan Kai termasuk dalam orang berbahaya. Mayat pasukan berseragam Voskhod berserakan di daerah depan sudah membuktikan kemampuan membunuh mereka yang pro. Mungkin jauh lebih berpengalaman darinya. Bagaimana mungkin mereka yang sebaya bisa berjarak sejauh itu dalam kehebatan bertarung?

Terlalu banyak pertanyaan bagaimana mengelilingi pikirannya.

"Sekarang, kalian bantu Kak Minseok mengecek kelengkapan container. Setelah itu laporkan padaku."

Sehun dan Kai berpose hormat bersamaan lalu berlari menuju deretan container yang masih terkunci rapat. Baekhyun berbalik lagi, mendapati Chanyeol tidak bergerak sesenti pun dari tempatnya berpijak.

"Kemari, Chanyeol."

Tangan kanan terulur. Telapak tangan itu membuka.

Pada akhirnya, Chanyeol menghentikan perdebatan di otaknya. Ia menurut. Meletakkan tangan di atasnya, menyambut uluran itu bagai anak anjing mendatangi majikannya. Mungkin saja langkah awal yang harus dilakukannya adalah membiarkan Baekhyun memasang tali kekang di lehernya.

Baekhyun menarik tangan Chanyeol ke bawah secara mendadak. Akibat dari jarak yang dekat, dahi mereka berdua bertubrukan keras. Chanyeol hanya refleks memejamkan mata dan mengernyit merasakan benturan sementara Baekhyun tidak merintih sedikit pun.

Chanyeol membuka mata birunya, berhadapan langsung dengan cerminan dalam mata hazel Baekhyun.

"Wajahmu masih saja beku sekali ya."

Sesuatu dari dasar merambat naik. Memeras jantung dan membuat wajahnya panas tanpa alasan ketika Baekhyun tersenyum sedekat itu. Mulutnya terkunci rapat tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.

"Kalau begitu, aku akan mencairkannya."

.

.

.

.

.

"Chanyeol, bangun."

Mata biru difokuskan pada penerangan yang temaram. Itu semua mimpi masa lalu. Chanyeol mengenyahkan rasa kantuk lalu mendapati Minseok berjongkok di depannya.

"Saatnya operasi."

Ia mengangguk paham. Berdiri cepat dengan senapan penuh peluru di tangan. Matanya mencari-cari sosok lelaki penuntun dunianya. Ah. Dia masih di sana.

Baekhyun menurunkan kaki dari atas meja, melompat berdiri tegap selagi menarik tudung jaket yang melindunginya dari cuaca dingin. "Semuanya, siap bertempur!"

Bunyi tarikan selongsong menggema di reruntuhan pos penjaga itu. Keenam anak buahnya berdiri di belakang sang bos. Baekhyun berbalik untuk bertatapan dengan seorang pedagang senjata lain yang masih duduk santai di kursi kayu dikelilingi dua penjaganya. Biang onar yang menjebak timnya sampai sejauh ini.

"Mr. Kaiv, aku akan membukakan jalan untukmu." Ucapnya selagi membungkukan badan.

Gara-gara ulah Kaiv, pedagang senjata dari Inggris, dalam persetujuan sepihak berdagang dengan pasukan timur tengah di perbatasan minyak. Lalu salah satu pengawal Kaiv justru membunuh anggota tentara itu. Mereka jadi dikejar-kejar pasukannya. Baekhyun tidak mau bernegosiasi barang dagangan lagi karena ia tahu pasukan itu sudah jatuh miskin akibat perang dan tidak mungkin bisa membayar tagihan.

Baekhyun menolak keras untuk ikut terseret dalam perang wilayah perbatasan.

Ia tidak suka jika pembelinya melakukan kredit. Tidak ada jaminan untuk itu. Yang ada gajinya bisa dipotong oleh markas utama tidak peduli statusnya sebagai penerus keluarga.

Kaiv tersenyum remeh, "Baik hati sekali, Tuan Muda Baekhyun. Keberanianmu selalu menakjubkan. Kau sebaiknya berhati-hati di luar sana karena pasukan timur tengah tidak akan bermain ringan. Tapi aku tahu kau pasti menang, lagipula jumlah anggotamu lebih banyak dibandingkan denganku."

Baekhyun mengangguk, "Terima kasih atas peringatannya."

Lalu memimpin jalan keluar. Tidak ada seorang pun protes atas keputusannya. Semua anggota mengikuti langkah Baekhyun dengan berani keluar dari tempat persembunyian. Hanya satu. Satu orang yang merasa sangat tidak adil.

Chanyeol menempel dekat padanya untuk berbisik, "Baekhyun, kenapa kau malah menuruti sampah sepertinya? Kenapa bukan dia saja yang berhadapan dengan pasukan ini?"

Baekhyun mengedipkan sebelah mata, "Ikuti aku, Chanyeol."

Mereka semua berbaris di depan pos penjaga yang sudah rusak di pinggir wilayah perang. Baekhyun berdiri di tengah tanpa senjata apapun sementara keenam anggotanya dalam keadaan siap memegang senapan.

Hanya sekali lihat, keheningan malam itu sebenarnya menyembunyikan pasukan yang berada dibalik rimbunnya pepohonan dan semak-semak. Joonmyeon yang berdiri di samping kanan Baekhyun berbicara dengan suara rendah, "Mereka tidak terlalu banyak tapi sudah mengepung kita."

"Aku tahu." Baekhyun tersenyum untuk sepersekian detik sebelum merubah ekspresinya menjadi tegas tak terbantahkan. "Dengarkan aku semua unit!"

Keenam anak buahnya melirik melalui ekor mata. Bahkan perhatian musuh yang bersembunyi pun tertuju pada seruannya. Kedua pihak sama-sama mewanti apa yang akan dikatakannya.

"Jatuhkan senjata kalian!"

Kaiv dari dalam ruangan mendengar perintah Baekhyun pada anak buahnya. Ia membulatkan mata lalu membanting rokoknya ke lantai. "Penipu licik!" hardiknya.

"Kosongkan peluru dan angkat tangan kalian!"

Joonmyeon terperangah dan Minseok mengernyit namun perlahan mengosongkan senapannya. Chanyeol melongo. Seulgi mengosongkan peluru dan menjatuhkan pisau dengan cepat. Jongin dan Sehun berpandangan sambil tersenyum jenaka, mengirimkan pesan sinyal bahwa mereka tidak percaya sang bos melakukan hal nekat.

Baekhyun masih memasang wajah serius. Sulit menebak apa maksudnya saat seperti ini. Pada akhirnya Chanyeol menjatuhkan isi senapannya ke rerumputan setelah disikut Seulgi. Ketika semua anak buahnya sudah mengangkat tangan, Baekhyun melanjutkan.

"Dengarkan aku, tentara! Kami tim yang banyak dengan jumlah tujuh orang." jeda sejenak, memastikan pasukan timur tengah mendengar baik-baik pidatonya. Ia tersenyum selagi menunjuk pintu di belakangnya seolah mempersembahkan tayangan sirkus, "Tim dengan tiga orang ada di dalam!"

"Monster kurang ajar!" Kaiv menyumpah selagi mengisi revolvernya secepat mungkin.

Tangannya gemetar karena amarah membumbung sampai ubun-ubun. Penerus kedua keluarga Byun itu telah menjebaknya. Pasukan tentara timur tengah keluar dari persembunyiannya untuk mengepung reruntuhan pos penjaga. Mereka semua berlari melewati tim Baekhyun seolah eksistensi mereka tidak ada.

"Sial. Sial. Sialan!" Kaiv menghujani pintu masuk yang didobrak dengan peluru tanpa ampun.

Detik berikutnya, keheningan malam diisi bunyi baku tembak berturut-turut. Baekhyun memandangi tempat itu sambil tersenyum jenaka. Seorang pemimpin pasukan timur tengah dengan alat komunikasi di tangannya mendekati Baekhyun.

"Jangan berpikir taktik ini akan selalu berhasil, Tuan Muda. Kami hanya merasa harus membayar hutang padamu karena mengembalikan sandera dengan selamat."

Jika pasukan pengawal Kaiv membunuh, maka pasukan pengawal Baekhyun hanya melucuti senjata. Itulah taktik permainan aman dari strategi Baekhyun.

Baekhyun berbalik, berhadapan dengan seorang pria tua berseragam tentara lusuh. Matanya letih akibat perang terlalu lama. Baekhyun menunjukkan senyum hangat, "Terima kasih sudah berpihak padaku, Mayor."

Mayor itu mengibaskan tangan, "Pergilah ke utara dengan selamat, bocah. Secepat mungkin selagi kami sibuk mengurusi tim Inggris itu."

Mereka tidak membuang waktu lagi untuk berlari di antara lebatnya pepohonan. Baekhyun berlari paling depan, merasa senang karena berhasil dengan rencananya. Ia melompati medan tinggi dan bebatuan tajam.

"Semuanya! Kabur dari medan pertempuran!" seru Baekhyun dengan lantang.

Chanyeol menatapnya tanpa berkedip. Ketika dahan pepohonan memiliki celah, cahaya rembulan tepat mengenai rambut silver Baekhyun. Terlihat bercahaya bagai mahkota kerajaan. Ia tersenyum lalu berubah menjadi tawa lepas yang bergema di malam hari.

Baekhyun menoleh sekilas, merasa perlu merekam suara tawa Chanyeol. Sementara Joonmyeon memutuskan untuk bertanya tanpa melambatkan lari, "Kenapa tertawa, Chanyeol?"

"Rasanya aneh." Ia memandang lurus dan menemukan Baekhyun tengah memandangnya balik. Tatapan mereka terkunci. "Ini pertama kalinya aku tidak menembakkan satu peluru pun di medan pertempuran."

Seulgi menyahut di belakangnya, "Tuan Muda Baekhyun memang bisa dipercaya."

Jongin menyambar sambil tertawa, "Aku benar-benar syok ketika Kak Baekhyun menyuruh kita menjatuhkan senjata! Itu keren sekali!"

Sehun mengangguk menyetujui meski tidak ada seorang pun yang melihatnya. Chanyeol berhenti lari ketika aliran sungai dangkal terlihat di depan. Baekhyun yang menyadarinya ikut melambatkan kaki menjadi langkah satu-satu.

"Teruslah berlari, kalian semua!"

"Siap, Tuan Muda!"

Kelima anak buah melesat melewatinya. Baekhyun berhenti di tengah-tengah sungai, menatap Chanyeol yang juga berhenti di pinggirnya. Suara pijakan kaki semakin samar hingga mereka berdua bisa mendengar suara burung hantu yang bertengger di dahan pohon.

"Ada apa, Chanyeol?"

Air sungai yang dingin menyelimuti kaki Baekhyun sampai sepertiga betis. Namun ia tetap berdiri di sana. Menunggu Chanyeol. Sinar rembulan membuat mata biru terang yang lebih tinggi menjadi jernih. Sangat jernih dan polos namun ada nyala bara api di sana. Kecil seperti mudah hilang jika tertiup angin.

"Katakan saja."

Chanyeol menggeleng pelan, "Aku tidak pintar berkata-kata."

Baekhyun tersenyum. Selalu tersenyum tulus. Tangan kanannya terulur, "Kalau begitu kemarilah."

Sejak awal, itu bukanlah perintah agar anjing peliharaan menurut pada majikannya. Melainkan sebuah ajakan pada kehidupan barunya. Tangan yang akan menuntunnya dan berjalan bersisian dengannya. Tangan itu selalu terbuka untuknya. Sampai dua tahun terlewat saat ini.

Chanyeol mendekat dengan perlahan, kakinya ikut mencelupkan diri ke sungai. Ia tidak menyambut tangan itu, melainkan meraihnya. Membawa tangan Baekhyun untuk berada di atas selagi lututnya jatuh ke dasar sungai. Chanyeol berlutut di hadapan Baekhyun. Tangan kanan menggenggam lembut dan tangan kiri terlipat di belakang punggung.

"Aku akan mengikutimu. Sampai kapanpun."

Ia memberanikan diri—tidak, mendedikasikan diri untuk mencium punggung tangan Baekhyun dengan penuh ketulusan. Ketika mendongak, Baekhyun benar bercahaya dilihat dari bawah dengan pantulan sinar rembulan. Seperti malaikat penyelamatnya dari dunia kehancuran.

"Pembohong. Kau bilang tidak pintar berkata-kata."

Mereka pecah dalam tawa. Chanyeol berdiri tegak setelah dirasa cukup. Kakinya basah sampai lutut. Baekhyun menarik pelan sebagai isyarat untuk melanjutkan sesi pelarian dari pasukan tentara timur tengah.

Kaki-kaki dibawa berlari lagi dengan tangan tetap bertautan.

"Chanyeol."

"Ya?"

"Kau milikku."

"Tentu."

"Jadi jangan pernah beralih menodongkan senjata padaku."

"Tidak akan terjadi."

"Chanyeol."

"Ya?"

"Jangan pernah tinggalkan aku."

Senyuman mengembang dengan manis. "Tentu, Baekhyun. Tentu."

Tidak akan bisa karena Byun Baekhyun dalam sekejap sudah menjadi poros dunianya.

.

.

.

.

.

.


Sekian.


IT'S THE LOVE SHOT, EVERYONE~!