The Death of the Heart
Kim Taehyung & Jeon Jungkook
Drama | Romance | Supernatural
[ tulisan ini hanya fiksi belaka ]
[ 1 ]
.
Jeon Jungkook melihatnya ketika pemuda itu memasuki kelas Aritmatika. Keberadaanya tidak mungkin tak disadari. Aura yang begitu hitam dan suram menyelimutinya tiap kali Jungkook menyadari kehadirannya. Apalagi ketika netra berlainan itu saling bersirobok. Membuat darah seakan mendidih dan rasa panas penuh benci menjalar rakus dalam pembuluh darahnya. Kebencian itu langsung mengebor jantungnya memompa ke seluruh tubuh. Ya, hanya dengan menatap sosok itu, kebencian itu seakan menyeruak dan tak sanggup dia sembunyikan dari wajahnya.
Pria itu tersenyum sinis, ikut melemparkan tatapan benci.
Kim Taehyung.
Pria itu menatapnya dengan pandangan benci yang sama. Kebencian yang telah mendarah daging dalam diri mereka masing-masing. Membuat hanya ada kata benci yang terus berputar-putar ketika melihat sosok itu. Perasaan sesak yang terus menguap seakan tak tahan untuk memusnahkan pemuda yang baru saja melangkah masuk ke dalam ruang kelas. Taehyung menyeringai licik memikirkan rencana buruk yang akan dilakukannya kepada pemuda itu.
Jungkook berjalan penuh percaya diri melewati murid-murid yang menatapnya jijik dan rendah. Mengepalkan tangannya untuk menguatkan diri dan memfokuskan tatapannya pada bangku yang berada di deretan pojok paling belakang. Bangku yang merupakan tujuannya.
Burk
Terdengar suara gaduh yang menyakitkan, namun detik berikutnya digantikan dengan gelak tawa merendahkan yang berasal dari seluruh murid di kelas itu.
"Oww, pagi yang sangat manis untuk pemuda rendah sepertimu," suara dingin penuh benci yang sudah sangat familiar bagi Jungkook. Kalimat yang dilontarkan dengan nada yang sangat merendahkan membuat Jungkook sadar siapa yang sengaja membuatnya terjatuh.
Jungkook bangkit dengan angkuh menahan rasa sakit di kedua lututnya yang telah mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Berusaha memperlihatkan kepada pria itu bahwa ia tak selemah yang dipikirkannya. Kejadian barusan sudah menjadi makanan sehari-harinya.
"Tutup mulut busukmu, brengsek," Jungkook berdesis rendah ketika dirinya tengah berdiri di depan bangku pria brengsek itu. Kim Taehyung.
"Uuuhh, si rendahan nampak sedang membela diri." Taehyung menatap Jungkook dengan pandangan benci yang tidak bisa ia tutupi.
"Apa yang kau lakukan?" Jungkook bertanya dengan geram berusaha tidak mendatangkan rasa benci itu untuk menonjok pria angkuh di hadapannya.
Taehyung mengangkat satu alisnya dengan elegan dan melipat kedua tangan. "Apa yang kau maksud?" Taehyung berucap dengan sinis dan ikut berdiri menantang pemuda di hadapannya yang telah dikuasai amarah.
"Kau jelas sengaja membuatku terjatuh," katanya sesopan mungkin, namun dengan segala kemarahan yang tertahan tersembunyi secara implisit dalam setiap kata-katanya. Wajah Jungkook merah padam, hampir tak bisa menahan kekesalan.
"Ooooh. Itu." Taehyung mengangguk-angguk. "Maksudmu ketika kau menabrakku, lalu wajahmu merah karena semua buku-bukumu berjatuhan, lalu kau menyemburkan omong kosong yang abstrak di sela-sela napasmu?" Taehyung berucap dengan penekanan tiap suku kata yang dilontarkannya,membalikkan fakta yang ada. Pria itu bahkan dengan bengisnya menginjak buku-buku Jungkook yang masih tergeletak.
Ruang kelas tiba-tiba sunyi yang terdengar hanyalah suara buku yang terinjak. Jungkook menahan napas. Berusaha menahan luapan amarah melihat buku-bukunya diinjak oleh brengsek itu. Namun, tanpa disadarinya bulir air mata jatuh akibat kemarahan yang seakan berderak paksa. Kemarahan dan sakit menyaksikan Taehyung menginjak buku-buku yang dibelinya dengan susah payah. Dia bahkan harus menyisikan upah dari kerja paruh waktu yang jumlahnya tak seberapa banyak. Bahkan harus mereduksi waktu makannya selama 6 bulan dan sekarang pria brengsek berhati iblis itu dengan santainya merusak semuanya.
"Hentika—!"
Ucapan Jungkook terpotong saat Taehyung mengambil satu langkah panjang, mempersempit jarak diantara mereka, berhenti tepat di hadapan Jungkook kemudian menunduk, bebisik dingin penuh benci. "Aku memandangmu rendah," pria itu berdesis bagaikan ular dengan bisa mematikannya.
Puluhan pasang mata yang menyaksikan pertengkaran sang cassanova dengan si pemuda rendahan sedari tadi menahan napas. Mereka memandang penuh waspada. Takut apabila dua orang yang dipenuhi buncahan amarah itu akan saling membunuh detik itu juga. Namun, tetap saja diantara mereka tak ada yang berani menegur atau bahkan sekedar menarik napas di sela-sela pertengkaran yang seakan tak berujung itu.
Jungkook menegang kaku merasakan napas pria itu yang begitu dekat dengan telinganya. Dia bahkan dapat merasakan panas hembusan napas itu yang seakan berusaha membakarnya. Hembusan napas yang penuh api kebencian. Pria itu kembali berbisik rendah tepat di telinga Jungkook. Sangat dekat dari yang seharusnya. "Kupastikan orang rendah sepertimu akan hancur di tanganku."
Taehyung kemudian menjauhkan tubuhnya dari Jungkook. Pria itu terdiam sejenak menatap Jungkook dengan pandangan dingin kemudian berlalu pergi meninggalkan ruang kelas.
"Kim Taehyung, hentikan langkahmu dan kembali ke tempat dudukmu sekarang." Tiba-tiba terdengar teguran yang berasal dari Mr. Hunt yang baru saja memasuki ruang kelas.
Namun, seperti biasa, siapa peduli? Taehyung hanya berlalu melewati Mr. Hunt. Mengabaikan teguran yang jelas-jelas ditujukan kepadanya. Semua orang tahu menegur seorang Kim Taehyung sama saja berbicara dengan kuda liar yang malah akan menyerangmu balik. Pria itu tak suka dan membenci apabila seseorang memerintahnya.
Mr. Hunt menghela napas pasrah kemudian kembali berjalan memasuki ruangan. "Jeon Jungkook, apa yang kau lakukan disitu? Segera kembali ke tempatmu."
Jungkook tersentak kaget dan segera memunguti buku-bukunya yang sebenarnya sudah tidak layak baca lagi. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya. Memikirkan segala hal tentang pria brengsek itu. Dia tidak boleh kalah. Tindakan biadab yang dilakukan Taehyung padanya hanyalah hal kecil yang telah menjadi hal biasa baginya.
Jungkook berusaha mengelak segala hal tentang pria itu yang mampu membuat hatinya sakit. Dia tidak boleh seperti itu. Dia akan kalah jika merasakan rasa sakit itu. Karena seorang Kim Taehyung tidak boleh membuatnya sakit, hanya rasa benci yang seharusnya ada.
Aku benci dia.
Jungkook sama sekali tak keberatan untuk terus mengulangi kalimat itu. Ya, karena begitulah seharusnya.
.
.
.
Taehyung berjalan menyusuri hutan yang tak berada jauh dari sekolah. Terdengar suara patahan daun-daun kering yang menutupi tanah. Melewati pohon-pohon besar yang daunnya mulai menguning. Pria itu berhenti dan menghela napas sebelum mendudukkan badannya di akar pohon oak yang tumbuh menyembul di atas permukaan tanah.
"Pemuda rendahan," Taehyung berujar dingin mengingat wajah Jungkook. Sungguh kebencian itu tidak dapat dihilangkan dalam dirinya bahkan untuk sedetik saja. Yang ada malah kebencian yang semakin bertambah tiap waktunya.
Taehyung mengeluarkan rokok yang berada di dalam sakunya, menyalakan korek kemudian membakar ujung rokok tersebut dan menghisapnya dalam. Pria itu sangat menikmati suasana sunyi dan damai seperti saat ini.
Hanya di tempat ini, di hutan Thetford pria itu dapat sejenak melupakan kekacauan dan kelicikan dunia yang telah dipemuhi kebusukan manusia. Pria yang penuh akan kuasa itu sekarang berada di hutan Thetford, tempat yang seharusnya tak boleh dimasuki siapapun. Namun, apa pedulinya? Toh, tak ada yang berani melarangnya. Dia adalah pewaris tunggal Kim, keluarga bangsawan kelas Duke di Britania Raya dan semua orang tahu akan hal itu.
Tidak ada seorang pun yang pantas melarangnya. Bahkan untuk memasuki hutan Thetford ini sekalipun. Hutan yang dipercayai tempat bersemayam para roh dan binatang iblis. Tempat yang sangat berbahaya jika tidak memiliki kekuatan khusus untuk pertahanan diri.
Kekuatan itu berupa energi alami yang diperoleh dari alam. Biasanya akan digunakan pada masa perang, mampu menghancurkan musuh dengan trik gerilya. Satu hal yang diyakini bahwa hanya orang-orang dalam silsilah kerajaan yang memiliki kekuatan itu, kekuatan untuk mengendalikan kekuatan alam, kekuatan yang diincar banyak orang terlebih para kaisar perang.
.
.
.
Jungkook memasukkan buku-bukunya dengan tergesa setelah pelajaran sastra inggris berakhir. Dia harus segera pulang, cuaca mendung menandakan hujan akan segera turun dan dia tak ingin terjebak badai hujan yang sangat menakutkan. Terlebih dia tak ingin terlambat masuk kerja, bosnya telah memberikan peringatan terakhir apabila dia mengulangi keterlambatannya lagi.
Baru saja pemuda itu akan melangkahkan kakinya, tiba-tiba seseorang mendorong kursi cukup keras tepat di hadapannya. Membuat Jungkook tersentak kaget dan menghentikan langkahnya dengan cepat.
"Buru-buru, Jeon?" Jungkook memutar mata bosan. Siapa lagi pria iblis yang selalu menyebut marganya dengan nada rendahan seperti itu selain Kim Taehyung si arogan.
Jungkook menatap pria angkuh di hadapannya. Jungkook memandang jengah melihat gaya pria itu yang melipat kedua tangannya di dada. Sungguh, dia tak tahan untuk membunuh pria penganggu di hadapannya ini. Berharap kerak bumi tiba-tiba terbuka dan segera melahap pria itu.
Tak ingin membuang-buang waktu percuma, Jungkook mengabaikan pria itu dan bersiap untuk melangkah kembali. Namun, sekali lagi dan seakan tak ada kapoknya. Pria itu memblokir jalan Jungkook, sehingga membuatnya menggeram jengkel dan rasa panas yang familiar kembali menjalar di wajahnya.
Aku benci dia.
"Di luar mendung, bukankah lebih baik untuk tinggal lebih lama di kastil sekolah megah ini, Jeon? Dari pada harus kembali ke gubuk reot milikmu. Banar, 'kan?" Taehyung mencemooh dan tersenyum. Tak ada kebaikan sama sekali dalam senyuman itu.
"Oh, perhatian sekali. Tapi, terima kasih. Akan lebih baik terjebak badai daripada harus berlama-lama di ruangan yang sama dengan iblis arogan sepertimu," Jungkook berbicara dengan satu tarikan napas, menandakan bahwa dia sungguh tak tahan lagi jika harus berlama-lama di dekat pria brengsek itu.
"Ow, manis sekali," desis Taehyung, maju selangkah. Namun, sebelum pria itu menyelesaikan langkahnya, Jungkook lebih dulu melangkah cepat dan menyambar bahu tegap pria itu cukup keras. Jungkook sempat mendengar pria itu mengaduh tak terima. Namun, pemuda itu hanya tersenyum senang, melihat pria itu kesakitan.
"Well, setidaknya aku berhasil membuatmu terlambat 15 manit." Jungkook terbelalak mendengar ucapan pria itu dan segera mengalihkan pandangannya pada jam kayu raksasa di sudut ruangan. Dengan tergesa dia berlari meninggalkan kelas, berharap yang ditakutkannya tidak terjadi.
"Dasar idiot," Taehyung mencela atas kebodohan pemuda itu.
.
.
.
Gemuruh guntur dan kilat yang saling menyambar membuat Jungkook terus berdoa. Berharap kilat itu menyambar orang brengsek itu. Hari-harinya tak akan pernah tenang jika pria arogan itu masih bernapas di dunia ini. Sudah banyak kesusahan yang pria itu perbuat dalam hidupnya yang sebenarnya sudah sengsara sebelumnya.
Pria yang mana Jungkook akan mengeluarkan sumpah serapah apabila mengingat nama bajingan brengsek itu.
Kim Taehyung.
Aku benci dia.
Pemuda itu kini terduduk hampa menyandarkan punggungnya pada pintu flat kecil dan kumuhnya. Pekerjaan yang sangat susah dia dapatkan dulu kini berakhir berkat ulah pria brengsek itu. Dia hampir menangis mengeluarkan segala rasa frustasi yang dirasakannya.
Jungkook memang tak terima ini. Orang yang tidak punya kekuasaan pasti akan tertindas. Jungkook mengepalkan tangannya ketika mengingat Taehyung dengan sengaja membuatnya terlambat masuk kerja dan berakhir pemecatan dirinya dari pekerjaan itu. Sungguh ironi. Jadi, bagaimana nantinya dia mendapat pekerjaan baru untuk bertahan hidup? Mencari pekerjaan di daerah yang didominasi orang-orang bangsawan membuat orang rendah sepertinya sangat susah atau bahkan tidak mungkin mendapatkan pekerjaan yang layak. Orang rendah sepertinya hanya akan dipekerjakan sebagai pelayan bangsawan atau bahkan pemuas nafsu wanita-wanita bangsawan yang kehabisan akal sehat.
Mengapa takdir tidak pernah berpihak padanya?
.
.
.
Jungkook melangkah tergesa dengan napas memburu di pagi yang sangat tenang ini. Pemuda itu bangun sangat pagi dari biasanya. Jungkook menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang mewah dan kokoh kastil tempatnya bersekolah, sekolah yang bahkan lebih pantas dikatakan kastil istana.
Bangunan sekolah dengan gaya Eropa dan Gothik klasik yang dipadukan sedemikian rupa. Pilar-pilar dengan corak yang rumit. Bangunan yang tinggi menjulang dengan susunan batu-batu kualitas tinggi. Atap menara berlapis besi hitam dan ujung menara berlapis perak yang nampak mengkilat. Jadi, tidak mengherankan jika para anak bangsawan banyak yang disekolahkan di tempat ini.
Pandangan Jungkook berubah sayu ketika memori menyakitkan itu kembali menyentuh pikirannya. Pemuda itu terdiam lama memandangi kastil megah itu.
Distrik Folkstone, April 1850
Teriakan dan tebasan pedang terdengar sangat gaduh hingga menjadi melodi yang menyakitkan telinga. Sentakan kaki kuda terdengar di mana-mana. Puluhan orang berlari tergesa tak tentu arah menghindari pasukan berbaju besi yang tiba-tiba menyerang distrik Folkstone. Distrik kecil di daerah pelosok Britania Raya. Suasana panik dan menegangkan mengambil alih.
Shark!
Srang!
Prang!
Tebasan pedang terdengar lagi membuat orang-orang berteriak histeris menyaksikan korban yang tergelatak tak berdaya dengan leher yang hampir putus menyisakan genangan darah berwarna merah pekat.
Teriakan nyaring kuda saling beradu saat prajurit yang menungganginya kembali melayangkan pedang kepada orang-orang yang ditemuinya. Tubuh-tubuh yang tak bernyawa tergeletak hampir menutupi seluruh jalanan. Para prajurit tak peduli saat keempat kaki kokoh kuda menginjak tubuh-tubuh tak bernyawa di jalanan.
"Ibu, aku takuut."
"Tenang sayang, ibu akan mencari tempat aman untuk kita." Wanita paruh baya berlari tergesa dengan seorang anak kecil yang berusia 5 tahun dalam gendongannya. Anak kecil itu terus merengek ketakutan menyaksikan puluhan orang bersimbah darah tergeletak di jalan. Mata anak itu melebar kaku menampakkan netra hazel yang penuh ketakutan. Kelopak mata yang bergetar hebat memaksanya menyaksikan pembantaian itu.
Pinggiran bawah dress putih kumal yang dikenakan wanita paruh baya itu telah berubah warna menjadi merah menyapu jalan yang dipenuhi genangan darah. Suara hentakan kaki kuda dari arah belakang semakin mendekat. Wanita paruh baya itu mengeratkan pelukannya pada anak dalam gendongannya. Berusaha menutupi seluruh tubuh anak kecil itu dengan selendang coklatnya. Tubuh wanita itu bergetar mengetahui apa yang selanjutnya terjadi pada dirinya.
Hentakan kaki kuda semakin mendekat. Suara tebasan pedang semakin jelas. Jantungnya terpacu kuat membuat tubuhnya ikut bergetar takut.
Wanita paruh baya itu berlari sekuat tenaga mengabaikan pecahan beling yang bersarang di telapak kakinya yang telanjang. Wanita itu kemudian berbelok ke gang sempit dan menemukan gentongan air yang terbuat dari kayu.
"Tutup matamu, Jungkook." Wanita itu berujar sangat lirih penuh putus asa kepada bocah dalam gendongannya. Anak kecil itu hanya terbelalak sendu melihat bulir air mata yang mengalir di kedua pipi ibunya. Wanita itu mengecup singkat kening anak kecil itu. Isakan tak tertahankan bernada pilu terdengar saat wanita paruh baya itu memasukkan anak kecil dalam gendongannya ke dalam gentongan kayu di gang sempit itu.
Wanita itu tersentak saat mendengar hentakan kuda sudah berada di gang itu. Sudah sangat dekat darinya. Wanita itu tak sempat menghindar.
Shark!
Ujung pedang tepat menusuk punggungnya dengan sangat kasar. Membuat napas wanita paruh baya itu bagian depannya terangkat berusaha menghirup oksigen yang tiba-tiba saja sangat sulit diperolehnya. Hanya ada deru napas putus-putus yang terdengar. Berusaha mempertahankan diri.
Waktu seakan terhenti dan membiarkan anak kecil itu menyaksikan detik-detik rekaman kematian menyakitkan itu. Percikan darah mengenai selendang yang membungkus hampir seluruh tubuh anak kecil di dalam gentongan itu.
Wanita paruh baya itu berlutut saat pedang itu ditarik paksa dari punggungnya seiring dengan muntahan darah keluar dari mulutnya. Wanita itu berusaha bangkit menjauh, berusaha tak membiarkan anak kecil dalam gentongan melihat detik-detik pembantaiannya. Dia berusaha menjauh melindungi pandangan anak kecil itu agar tidak memiliki masa lalu kelam yang menyakitkan di masa depan nanti.
Namun, percuma. Pedang itu bergerak sangat cepat.
Jungkook merasakan jiwanya seakan dicabut paksa melihat darah memenuhi punggung ibunya. Pedang itu tepat menebas punggung wanita paruh baya itu. Mata beriris hazel itu tak berkedip memandang takut ke arah ibunya yang bersimbah darah. Detik berikutnya tanpa disadarinya air mata itu jatuh dengan sangat derasnya menyaksikan pedang itu menebas punggung ibunya untuk yang kedua kali. Pandangan anak itu menggelap melihat tangan prajurit itu menarik paksa pedang itu dari tubuh ibunya membiarkan tubuh lemah itu tersungkur tak bernyawa di atas jalanan yang kasar dan dingin.
Anak itu hanya terdiam kaku di dalam gentongan kayu saat mendengar kuda prajurit itu telah menjauh. Tubuhnya bergetar membuatnya lupa untuk sekedar menarik napas. Terdiam bersama ketakutan. Sama sekali tak berniat untuk keluar dan melihat suasana mematikan yang mampu meraup paksa jiwanya saat itu juga. Anak itu memandang kosong, air mata yang tetap mengalir, tak mampu menyembunyikan rasa menyakitkan itu.
11 tahun kemudian
Newington, April 1861
"Yang Mulia raja datang!" Terdengar teriakan lantang mencekam dari salah satu pengawal kerajaan Coldstream Guard saat memasuki gerbang Newington. Pengawal kerajaan dengan seragam kebesaran berupa jas merah panjang dengan topi menjulang tinggi yang terbuat dari kulit berang-berang.
Jalanan kasar berbatu terdengar semakin menoton saat hentakan kaki kuda mengenai genangan air menimbulkan decakan air yang teratur. Sebuah kereta kuda beroda empat dengan corak kecoklatan berhenti di tengah-tengah masyarakat yang mengelilingi kereta tersebut. Kedatangan raja disambut baik oleh penduduk Newington.
"Yang Mulia, mereka ini merupakan murid-murid Newington Academy." Seorang pria berjas merah mempersilahkan raja berjalan memasuki halaman kecil sebuah sekolah. Halaman itu dipenuhi oleh murid-murid yang berbaris rapi menunggu kedatangannya.
"Persiapkanlah diri kalian karena satu dari semua murid Newington akan dipilih oleh raja untuk melanjutkan sekolah di Trinity College," pria berjas merah itu menyuarakan suaranya dengan lantang kepada murid-murid Newington.
Raja memerhatikan setiap murid Newington dengan pandangan meneliti. Berusaha menemukan yang dicarinya. Lima menit hampir berlalu kemudian sang raja membisikkan sesuatu kepada pria berjas merah yang sejak tadi berada di sampingnya. Pria itu mengangguk patuh setelah mendengar bisikan sang raja.
"Perhatian! Yang Mulia sudah menentukan pilihannya." Pria berjas merah tersebut berhenti sejenak. "Jeon Jungkook, silahkan maju ke depan dan beri hormat kepada Yang Mulia karena kau telah terpilih sebagai siswa Trinity College."
Pemuda remaja bersurai pirang-kecoklatan mengangkat kepala dengan pandangan kaget. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Bahagia? Seharusnya rasa menyenangkan itu telah meninggalkan hidupnya. Tapi, perasaan hangat itu tiba-tiba datang tanpa permisi. Ah, sudah sangat lama.
Pemuda dengan penampilan lusuh melangkah ke arah sang raja dan membungkuk penuh hormat. Iris hazel-nya memandang kosong, sama sekali tak memancarkan rasa senang. Wajah datar tanpa ekspresi. Raja terus memandang pemuda itu dengan pandangan sulit dimengerti.
Sejak itu kehidupan biasa Jeon Jungkook mulai berubah. Rasa bahagia dan bangga perlahan mulai dirasakannya semenjak memijakkan kaki di Trinity College. Namun, perubahan menyenangkan itu kembali berubah semenjak pertemuannya dengan Kim Taehyung. Dia bahkan merasa ingin muntah menyebut nama pria brengsek itu. Pria yang membuatnya merasakan keterpurukan bahkan disetiap sela napasnya.
Jeon Jungkook memejamkan mata, cukup lama dia terdiam saat pikirannya menoleh ke masa lalu. Jungkook melangkah santai memasuki halaman kastil sekolahnya. Pikirannya sejenak lebih relaks. Ketika angin sejuk khas pagi hari menyapu kulitnya. Pemuda itu memang jarang datang lebih awal atau mungkin sangat awal seperti saat ini. Cahaya matahari bahkan baru menyembulkan sedikit sinarnya di balik pegunungan Sherk yang nampak masih sangat gelap.
Jelas bukan tanpa alasan pemuda itu jarang masuk pagi atau bahkan lebih memilih terlambat daripada harus menginjakkan kaki sepagi ini. Ya, semua itu punya alasan. Jelas sekali ada.
Pemuda itu melangkah semakin pelan kemudian berhenti tepat di depan pintu ruang kelas astronomi yang tepat berada di sayap Timur kastil ini. Menatap tanpa emosi sosok yang berada di dalam kelas itu. Sosok dengan tubuh tegap dan sempurna berdiri menghadap jendela besar yang tepat mengarah ke Timur, tempat matahari keluar dari peradabannya.
Sosok yang memandang keluar jendela dengan pandangan damai. Wajah dengan pahatan sempurna. Alis yang indah dan iris biru-kelabu yang bagitu memabukkan. Hidung lancip dan bibir yang mampu meluluhkan hati wanita hanya dengan satu senyuman tipis. Rambut berwarna hitam kelam yang tertata rapi khas bangsawan. Sosok yang begitu digilai wanita, sang cassanova Britania Raya, Kim Taehyung. Sosok yang begitu sempurna. Namun, tetap saja tak akan merubah apapun tentangnya.
Aku benci dia.
Jungkook menarik napas kemudian menghembuskannya dengan tergesa. Itulah alasan dia benci datang sepagi ini, karena pria brengsek itu pasti akan selalu datang lebih awal dan dia muak melihat pesona damai iblis itu. Pesona yang mampu memikat hampir seluruh rakyat Inggris, tetapi jelas tidak untuknya. Tertarik dengannya sama saja tertarik dengan kecoa busuk tak berguna.
Jungkook kembali menata pikirannya yang sempat kacau berkat pria itu. Dia jelas punya niat khusus untuk datang sepagi ini. Jungkook melangkah memasuki ruang kelas dan dengan sengaja membanting pintu cukup keras agar pria itu dapat mengetahui keberadaannya. Jungkook nampak kesal melihat tak ada perubahan ekspresi dari wajah Taehyung. Pria itu bahkan tak menoleh sama sekali untuk melihat siapa yang datang.
Jungkook berjalan tergesa menahan segala umpatan untuk menyembur pria brengsek di hadapannya. Ow, jelas saja orang itu mengetahui keberadaannya lebih awal atau bahkan terlalu awal, jendela itu bahkan dapat melihat gerbang dengan sangat jelas. Jungkook melangkah semakin dekat dan bersumpah akan hal itu. Sekarang dia dapat melihat seringai licik yang terpatri di wajah Taehyung. Demi Tuhan. Dia sangat ingin menjahit bibir itu agar berhenti mengeluarkan seriangai menyebalkan itu.
"Wow, pagi sekali, Jeon. Merindukanku?" Taehyung mencemooh kedatangan Jungkook sepagi ini.
"Menurutmu! Saking rindunya aku bahkan sampai ingin membunuhmu!" Tukas Jungkook sembari melemparkan kertas yang berisi surat pemecatan di tempat kerjanya. Tepat mengenai wajah pewaris tunggal Kim.
"Tsk. Sapaan selamat pagi yang sungguh manis," cerocos Taehyung tak terima diperlakukan serendah itu oleh pemuda yang tak kalah rendahnya.
"Kau!" Jungkook menunjuk Taehyung penuh amarah.
"Singkirkan telunjuk kotormu itu." Taehyung menyingkirkan telunjuk Jungkook dengan kasar. Jelas saja, sang bangsawan sangat benci ditunjuk oleh siapapun, terlebih oleh pemuda keparat di hadapannya ini.
"Iblis tak berperasaan. Bajingan licik. Bangsawan terkutuk." Wajah Jungkook merah padam manahan ledakan amarah yang menguasainya.
Taehyung hanya diam menunggu pemuda itu melanjutkan perkataannya. Dia cukup menikmati wajah murka pemuda itu. Dia senang melihat pemuda rendahan itu tersiksa.
"Gara-gara kau, aku kehilangan pekerjaanku."
"Wow, kejutan menyenangkan, Jeon," ucap Taehyung datar dengan senyum yang dibuat-buat.
Kecoa busuk!
"Kau selalu menyebutku rendahan, tapi kau bahkan lebih rendah daripada orang yang kau sebut rendah itu. Bahkan binatang masih punya hati nurani dibandingkan iblis keparat sepertimu."
"Jaga ucapanmu." Taehyung tak terima dengan ucapan pemuda itu. Tak pernah sekalipun orang membentaknya dengan kalimat serendah itu dan siapa dia berani membantaknya seperti ini?
"Kau seharusnya lebih berhati-hati terhadap orang sepertiku. Kurasa kau tahu siapa aku," ucap Taehyung berdesis memperingatkan.
"Ow, jelas aku tahu anak bangsawan yang sama sekali tak berjiwa bangsawan dan bahkan setara dengan iblis. Aku heran, apakah orangtuamu mengajarkan arti menghargai orang lain," Jungkook berucap setengah teriak. Tak pernah ada kata sabar jika sudah berhadapan dengan pria di hadapannya sekarang.
"Jika kau berpikir untuk melibatkan kedua orangtuaku dalam percakapan kita, kau membuat kesalahan besar. Akan kupastikan itu," kata Taehyung tajam.
"Cih, aku yakin orangtuamu merasa tersiksa memiliki anak iblis sepertimu."
"Kesalahan lagi, Jeon."
"Aku yakin ayahmu merasa gila karena mendidik anak sepertimu."
"Keparat—!"
"Dan aku menyesalkan ibumu melahirkanmu."
Jungkook benar-benar terkejut ketika Taehyung mendorong tubuhnya ke belakang jendela, menghimpitnya dan mencengkram bahunya dengan sangat keras seakan ingin mematahkan tulang belikat pemuda itu. Taehyung mendorong, mendesaknya ke jendela. Kedua tangannya mengunci bahu dan tubuh Jungkook. Wajahnya sangat dekat dengannya. Tegang. Penuh amarah yang gelap mata.
"Jangan—," Taehyung mendesis tajam. Jungkook dapat merasakan napas Taehyung di wajahnya. Mendirikan bulu kuduknya. "Jangan pernah libatkan kedua orangtuaku lagi dalam percakapan kita."
Jungkook berdiri terpojok dengan tegang. Pria itu terlalu dekat dari yang seharusnya. Mata yang menggelap semakin menatapnya intens, tanpa berkedip. Baru kali ini Jungkook menatap matanya yang biru-kelebu sedekat ini dan Jungkook merasa takut. Tidak! Dia tidak boleh merasakan ketakutan itu. Karena itu akan menjadi kelemahannya. Dia tak boleh terlihat lemah di hadapan musuhnya.
"Kau takut." Dia merasakan ucapan pria itu begitu dekat dengannya, membuat Jungkook menegang penuh waspada.
"Aku sedang marah brengsek!" Jungkook menaikkan oktaf suaranya, berusaha menutupi rasa takut itu.
"Pembohong." Ucap Taehyung dengan seringai liciknya.
Taehyung semakin mendekatkan wajahnya ke telinga Jungkook, pemuda itu bahkan dapat merasakan napas pria itu yang semakin berat menerpa tengkuknya. Brengsek.
"Aku tahu kau membenciku, well aku juga sama, jelas semua orang mengetahui itu." Taehyung terdiam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk memancing pemuda itu. "Dan aku juga tahu bagaimana memuakkannya jika orang yang kau benci hingga pembuluh darah menyentuhmu," Taehyung berucap dengan rendah.
"Apa yang akan kau lakukan? Kuperingatkan kau untuk segera menjauh dariku," Jungkook berusaha menahan getaran takut pada suaranya. Pemuda itu meronta dan berusaha mendorong pria itu ketika dia merasakan tubuhnya semakin terhimpit oleh brengsek di hadapannya.
"Aku akan membuatmu meyesalkan karena bersekolah di tempat ini." Suaranya lebih menyerupai bisikan. Demi Tuhan! Apa yang akan pria iblis ini lakukan. "Aku akan menyadarkanmu bahwa kau memang pemuda rendahan tak berguna." Tak sempat berpikir. Kejadiannya sangat cepat. Pria itu melakukannya.
Jungkook terpaku dalam shock. Taehyung menyentuh bibirnya.
Taehyung menekan mulutnya ke atas bibir Jungkook. Membuat pemuda itu semakin terdesak. Ada suatu perasaan menjalar di sekujur tubuhnya. Ada sesuatu. Taehyung menahan wajah Jungkook dengan kedua telapak tangannya ketika mulut pemuda itu mencoba membebaskan diri. Dia mengatupkan bibirnyaa rapat-rapat. Berusaha tak membiarkan pria itu menyentuhnya lebih intens.
Jungkook memberontak liar, berusaha melepaskan diri. Pria itu meraup bibirnya begitu kasar, membuat Jungkook merasa sesak. "Enyahlah—!" Jungkook mengumpat tajam ketika mendapat celah untuk membuka mulut.
Namun, sia-sia. Taehyung seakan tak mendengar umpatan pemuda itu. Dia terus menekan bibirnya ke atas bibir Jungkook. Berusaha membuat Jungkook merasa muak akan sentuhannya. Tidak ada kelembutan sama sekali dalam ciuman paksa itu. Wajah Jungkook memerah merasakan pasokan udara di paru-parunya semakin menipis. Sesak. Jungkook merasa pria itu mungkin akan membunuhnya hanya dengan ciuman.
Jungkook hampir tak bisa menahan air mata itu, dia menutup mata dan memfokuskan kekuatannya di satu titik dan—
Taehyung mundur ke belakang. Lalu berjongkok memegang kakinya. "Kau menginjakku, keparat!"
Jungkook mengabaikan umpatan Taehyung. Pemuda itu segera berlari. Keluar dari ruangan itu. Dia tak ingin berpikir. Dia tak boleh menoleh ke belakang. Dia tak boleh berpikir. Dia tak boleh peduli. Sebelum benar-benar jauh dia mendengar Taehyung berteriak. "Kau akan menyesali tindakanmu, pemuda rendah."
Jungkook terus berlari. Menyusuri koridor yang masih sepi. Terus berlari seakan Taehyung mengejarnya. Tapi, pria itu jelas sama sekali tak mengejarnya. Dia harus berlari dan terus menjauh. Menjauh dari pria brengsek itu. Dia tak boleh berpikir dulu. Jangan berpikir dulu. Ia berlari berusaha memusnahkan hal terkutuk yang menimpanya tadi. Merutuki kebodohannya datang sepagi ini. Membuatnya semakin membenci pria itu.
Tanpa sadar, Jungkook berlari menuju hutan Thetford. Dia tidak peduli hukuman apa yang akan didapatnya nanti karena melanggar aturan untuk tidak memasuki hutan yang dibutuhkan sekarang adalah menjauh dari pria brengsek itu.
Jungkook bersandar di bawah pohon oak. Napasnya tersengal-sengal seakan dia telah berlari seharian tanpa henti. Dia merasakan jantungnya berdetak keras sehingga dia merasa jantungnya akan melompat setiap waktu. Matanya terpejam berusaha mengontrol pikirannya.
Demi Tuhan. Apa itu tadi?
Jungkook terduduk kaku, punggungnya menggesek kulit pohon dengan kasar. Tangannya gemetar akibat napas yang masih tak beraturan. Mengarahkan jemarinya untuk menyentuh bibirnya. Bibir yang baru saja di sentuh oleh bibir itu.
Masih begitu terasa. Pria itu. Bibir itu. Bibirnya.
Dia takut.
.
.
.
bersambung/tamat=dunno
