"Aku tidak tahu seistimewa apa lemari itu, tapi, hei mungkin benda itu sudah ada sejak ayah belum lahir."
Sasuke bernegosiasi. Tentang lemari hitam dengan ukiran seperti yang dibuat oleh pengrajin dengan usia 150 tahun—walau itu kedengarannya lucu, sangat tua bahkan ia sering mengejeknya dengan sebutan lemari peninggalan zaman kegelapan.
Lemari itu sudah ada sejak ia lahir, bahkan sebelum itu, mungkin juga sudah ada sebelum ayahnya yang lahir dan kemungkinan lainnya adalah milik kakek buyutnya. Ia tidak pernah menggunakannya, lemari itu hanya terpajang di pojok kamarnya dengan segala gaya kuno yang aneh.
"Lemari itu unik, tentu saja." Ayahnya membelakangi, menatap ke luar jendela dengan segala pertunjukan tetes air hujan di sana, "Karena itu adalah lemari turun temurun, saat seusiamu, ayah rasa lemari itu memiliki cerita tersendiri."
"Wow, apa lemari juga manusia?" ejek Sasuke, menyandarkan kepalanya pada badan sofa yang mulai mengeras—oh semua barang di sini terasa kuno. "Lemari itu hanya benda aneh, tidak terurus, mengerikan, yang ada di pojok kamarku," tambahnya dengan nada malas.
Kalimat Sasuke membuat ia mendapatkan atensi dari ayahnya yang sedari tadi tak acuh, atau sedang memikirkan sesuatu untuk mengularkan dan menjual lemari itu. Mungkin jika dijual ke toko barang antik harganya pasti cukup untuk pergi ke kota lain, karena di sini terlalu membosankan dan ia tidak akan menemukan hal lain selain rumah-rumah berjejer rapi dan beberapa gedung tinggi.
Kota ini terlalu kecil untuk Sasuke, dan sialnya orang-orang terlalu mengenalnya hingga setiap berangkat keluar rumah, ia akan mendapatkan ratusan sapaan. Tentu saja itu terlalu merepotkan.
"Mau ayah ceritakan sesuatu yang menarik?" Tanya ayahnya setelah beberapa saat berpikir, menghela napa seraya mendudukan diri di sofa yang sudah mulai usang itu. Sasuke hanya diam, menatap ayahnya seolah ia akan pergi jika ayahnya masih berbasa-basi. "Baiklah. Mungkin, bisa dibilang ini adalah rahasia berharga ayah," bisiknya, menjaga volume suara.
"Apa ayah diam-diam masih sering meminum alhokol?"
Sambung Sasuke sebelum ayahnya memulai cerita.
Tampak dari raut wajah, ayahnya langsung terkejut, lalu memberi kode agar Sasuke tidak mengatakan itu keras-keras. Karena jika hal itu sampai terdengar oleh ibunya atau kakak laki-lakinya, mungkin saja ayahnya akan terkena semprotan nasehat dan bonus omelan dari sang ibu. Mengingat ayahnya memiliki penyakit jantung beberapa bulan lalu, tak ayal ibunya sangat khawatir, lalu sejak saat itu ayahnya dilarang terlalu sering meminum whisky dan lebih baik menikmati masa-masa tahun terakhir menjadi pensiunan dosen, kata ibunya.
"Bukan itu bagian yang menariknya—dan, ya, minggu ini tidak ada alkohol," interupsi ayahnya, entah itu hanya untuk mengalihkan pembicaraan, lalu berkata lagi dengan nada serius. "Saat ayah seusaimu—yah, kupikir saat itu usiaku 17 tahun—ayah menemukkan sesuatu yang luar biasa di dalam lemari itu."
"Maksudmu kepala Hitler?" gurau Sasuke.
"Baiklah berhenti, Nak." Jika Sasuke melakukan lagi—menyela pembicaraan, mungkin ayahnya akan berhenti berwajah serius dan pergi. Karena penasaran, Sasuke hanya diam dan mencoba mendengarkan. Dan ayahnya kembali bersuara, "Lemari itu pernah membawa ayah pergi menjelajahi ruang dan waktu yang sangat berbeda dengan dunia kita. Maksudku, hal yang ajaib jika kau menemukan kembaranmu—maksudku orang yang mirip denganmu—di tempat lain dan hebatnya melalui lemari yang kropos itu, sensasi berada di tempai yang semuanya terasa berbeda."
Ayahnya berhenti sejenak. Memperhatikan wajah Sasuke yang mengernyit, mungkin mencoba membayangkan cerita ayahnya, atau mencoba untuk tidak buka suara dan berkata jika itu adalah saat di mana ayahnya bermimpi terlalu nyata.
Ayahnya melanjutkan.
"Kau tahu, saat itu aku sedang dimarahi kakekmu. Dia marah besar sampai aku tidak berani menampakkan diri di depannya. Karena takut, akhirnya aku bersembunyi di lemari kamarku, bahkan sampai tertidur di sana. Kau tahu apa yang terjadi setelah aku terbangun?" tanyanya. Sasuke hanya menggeleng—terlalu tenggelam pada cerita ayahnya hingga ia tidak mengedipkan matanya hanya untuk melihat ekspresi antusias sekaligus serius milik ayahnya. "Saat aku terbangun dan keluar dari lemari, aku tidak menemukan kamarku yang berantakan itu. Ajaib, kamarku berubah seperti kamar yang hiasannya terlalu mewah dan luas, hanya saja hiasannya terlalu kuno untuk zaman sekarang."
"Ayah pergi ke masa lalu?" tanya Sasuke sebagai respon, wajah menyiratkan seperti ia setengah percaya dengan cerita ayahnya.
"Tidak, oh, tidak. Ini tidak seperti masa lalu, tapi, hmmm ... menurutku perputaran waktunya yang berbeda." Ayahnya seperti melupakan sesuatu, atau mencoba bergurau dengan menambah-nambahkan cerita dongengnya. "Maksudku, jika itu masa lalu, aku tidak akan menemukan diriku yang lain di sana—dengan usia yang terlihat sama, atau mungkin dia lebih dewasa pada diriku. Ya, aku menemukan kembaranku. Di tempat itu dengan jubah kebesarannya dan mahkotanya yang sepertinya terbuat dari emas dan dihiasi berlian."
"Sepertinya aku tahu," kata Sasuke malas. Ia sudah remaja untuk mendengarkan legenda ayahnya atau hanya cerita yang terinspirasi dari khayalan. "Di dunia lain ayah menjadi mahkota raja, mempunyai kerajaan besar dan mewah, lalu hidup bahagia selamanya. Akhir yang bahagia untuk sebuah cerita dewasa."
"Itu kenyataan, Nak," tegas ayahnya, walaupun raut wajah itu mulai ragu. "Maksudku itu tampak nyata. Saat aku menemukan diriku di sana, ia juga tampak terkejut dan mengatakan bahwa di sana tengah terjadi perang kerajaan karena perebutan wilayah. Sepertinya dia mengetahui sesuatu dan malah menyuruh ayah untuk kembali."
"Kembali? Kenapa?"
"Karena, tempat kita berbeda. Dan ayah sudah melanggar ketentuan dengan melewati batas ruang dan waktu hingga pergi ke tempat dunia yang lain—kurang lebih seperti itu, kalimatnya. Saat kembali, ternyata aku terbangun di kasurku, lalu hanya sebagian yang kuingat. Tapi, ayah mulai berpikir jika dunia yang riil tidak hanya dunia yang sedang kita tempati saja. Lalu—"
"—Baiklah, baiklah. Sudah selesai." Sasuke berdiri. Semakin didengarkan cerita ayahnya jadi semakin tidak masuk akal dan Sasuke tidak mau memikirkan dunia satu dan dunia yang lain. "Aku tidak akan percaya dongeng buatan itu. Itu mimpimu, Ayah. Bahkan kau masih percaya itu nyata padahal kau sendiri tertidur."
"Tapi aku masih mengingatnya," Mengetuk-ngetukkan sepatu, akhirnya ayahnya juga ikut berdiri. "Walaupun saat aku mencobanya lagi tidak ada hasilnya."
"Aku pergi," ucap Sasuke. Ia berada di ambang pintu, sedikit menolehkan kepalanya dan melihat wajah kecewa ayahnya. Ia tidak mengerti mimpi itu seperti mencuci otak ayahnya sehingga melupakan realitas kehidupan sekarang, seperti pria itu masih terikat dengan yang dikatakan 'kembarannya'. "Walaupun begitu, dongeng ayah tidak terlalu buruk."
Sasuke menutup pintu dengan bergumam pelan ...
Dan aku masih berpikir untuk menjual lemari mengerikan itu.
.
.
.
~0o0~
.
.
.
Sasuke tidak menemukan alasan mengapa ayahnya begitu mencintai Lexington dan mengatakan kota ini adalah tempat terbaik sepanjang ia hidup—nyatanya pria setengah abad itu menghabiskan masa hidupnya tanpa menjelajahi tempat manapun. Lihat saja, jika ia telah menyelesaikan masa SMA-nya, tentu saja ia akan pergi ke Boston dan tinggal bersama kakak laki-lakinya, Itachi, untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Harvard University, sangat brilian dan ia sangat optimis dengan tesnya mengingat betapa cerdasnya ia dari anak-anak di kota kecil ini.
Tapi, tetap saja, Sasuke bahkan terus memikirkan cerita ayahnya hingga saat ini ia sedang berbaring dengan kedua lengan sebagai bantalannya dan menatap langit-langit kamar yang begitu kelabu dan menghitung sarang laba-laba di sana.
Malam ini terasa berbeda, dan Sasuke merasakan hawa dingin yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar redupnya. Tiba-tiba saja, entah mengapa, kepalanya dengan gerakan refleks menoleh ke arah lemari itu. Ya, benda itu memang masih di sana, dan Sasuke berencana untuk memindahkannya besok pagi di depan halaman rumah dan menulis di selebaran bahwa lemari itu adalah peninggalan ratu Victoria lalu akan menjualnya dengan harga fantastis.
Ide bagus.
Sasuke menguap setelah beberapa saat menatap lemari itu. Menarik selimutnya hingga sampai ke perempat leher dan menunggu fajar membangunkannya di pagi Minggu yang membosankan seperti biasa. Ya, hidupnya membosankan untuk saat ini.
Dalam sekejap mata Sasuke tiba-tiba terbuka mendengar bunyi seperti benda jatuh tertimpa kayu diiringi jeritan seperi suara kucing yang sedang terjepit, bedanya terdengar seperti perempuan.
Sasuke menyalakan lampu kamarnya hingga ia bisa melihat keseluruhan isi yang ada di sana. Dan pendengarannya tertuju pada satu titik. Suara itu bersumber pada lemari karena ia mendengar suara gedoran beberapa kali lalu berhenti di sana.
Baiklah, bukan ide bagus. Ia tidak akan menjual lemari itu jika roh yang ada di dalamnya akan marah. Berapa sen pun, kecuali dollar, ucapnya dalam hati.
"Siapa di sana?"
Akhirnya Sasuke mendapatkan suarany. Terlalu keras untuk bertanya dan berharap tidak terdengar oleh ibunya. Sasuke mencoba berpikir positif untuk mendapatkan keberaniannya mengedap-edap menuju lemari yang sekarang tidak mengeluarkan suara gaduh itu lagi.
Ia mengetuk beberapa kali, memastikan. "Siapa di dalam?"
Tidak ada suara, namun Sasuke dapat mendengar deru napas itu dari luar. Ia berpikir bahaya jika sampai menemukan seseorang yang sekarat di lemarinya karea kehabisaan napas.
tanpa pikir panjang Sasuke membuka kunci lemari itu dan sesuatu langsung terjatuh. Ia tidak bisa menahan matanya untuk tidak terbuka lebar ketika menemukan ...
"Anak perempuan?!"
Dan Sasuke hampir berpikir itu adalah elf atau sejenisnya karena rambut perempuan itu berwarna merah muda seperti permen karet.
BERSAMBUNG
Hai, saya kembali dengan cerita baru di awal 2019. Saya juga update ya di wattpad dengan user name aicchi_ . terima kasih banyak sudah berkunjung.
