Kesalahan tidak bisa dihapuskan. Itu membekas dan meninggalkan jejak.

Kau hanya bisa memperbaikinnya, namun berhentilah mencoba karena kau terlalu terlambat untuk melakukannya

.

.

.

.

.

Ditulis berdasarkan imajinasi tanpa referensi

© Masashi Kisimoto

Tidak dipersyaratkan untuk dibaca anak kecil, khusus (18+).

Warning : Typo(s), Bahasa tidak baku (cenderung kasar), sexual content, AU, Modern live, OOC, alur cepat

Rated : M (language and content)

Pairing : Naruto-Hinata

Story : Atharu

Cover : Masih dalam tahap pengerjaan

Bisa mengikutinya juga di wattpad (Atharu) namun belum bisa saya upload di sana karena covernya masih belum jadi. So, still waiting ya.

Tolong perhatikan warning yang saya cantumkan, terutama mengenai bahasa yang saya gunakan. Memang ada beberapa bagian dengan frasa tidak sesuai tatanan kebahasaan karena memang konteknya saya buat seperti itu.

.

.

.

REMOVE

.

.

.

Sepuluh menit lagi maka Hinata akan benar-benar terlambat menjemput anaknya. Ia melirik pada jarum jam yang menunjukkan waktu makan siang telah hampir berakhir. Ingin segera pergi namun sederet pekerjaan semakin menumpuk di siang hari.

Setidaknya dirinya harus menyelesaikan cucian piring kotor jika ingin mendapat ijin ke seberang jalan untuk melihat apa putranya telah makan atau belum.

"Kau masih di sini? Anakmu akan cemberut seharian bila ibunya tidak muncul sekadar menemaninya makan."

Perkataan Kiba –teman seprofesinya membuat Hinata tertunduk merasa menyesal. Lelaki itu kemudian merebut spon busa dan menyingkirkan tubuh Hinata dari wastafel tak mempedulikan raut tidak enak Hinata karena merasa merepotkan orang lain untuk menggantikan pekerjaannya.

"Aku minta maaf, kupikir aku bisa menyelesaikannya –"

"Cukup Hinata. lepaskan apronmu dan berlarilah kesana. Bocah itu begitu mengerikan ketika merajuk." Kiba tidak berbohong. Dia sudah sangat akrab dan tahu seluk-beluk sifat bocah lima tahun yang menjadi anak kandung Hinata.

Anak itu akan menolak makan jika ibunya tidak ada. Kekanakan dan menggelikan sekali.

"Trims. Kupikir kau begitu lembut untuk ukuran lelaki bertato." Hinata terkikik melihat wajah memerah Kiba, sedangkan yang digoda hanya mendengus kesal pura-pura mengabaikan. "Setidaknya terima kasih telah memerhatikan Boruto. Kelak kau akan menjadi ayah yang baik."

Mendengar pujian dari Hinata, Kiba yakin ia bisa mati kesenangan. Tidak ingin wajahnya kembali memerah –memalukan Kiba mengingatkan Hinata agar segera pergi. "Sudah sana cepat. Bilang pada anakmu bila bekal makan siangnya masih belum habis aku tidak akan membelikan gulali lagi."

Mata Hinata melotot tak jadi melepas apron mendengar ucapan yang keluar dari mulut temannya. "Jadi kau yang membuat gigi susu anakku berlubang?" Jelas sudah kenapa Boruto kadang mengeluh sakit gigi. Kiba berlebihan memanjakan anaknya dan Hinata merasa kesal, tentu saja.

Salah bicara, Kiba hanya nyengir merasa tidak berdosa. "Salahkan mata anakmu yang bisa menghipnotisku. Dia benar-benar monster kecil ketika merajuk –dompetku bisa cepat mengempis di awal bulan." Dan Kiba harus merasakan sakit ketika cubitan panas menyerang tangannya.

"Bilang pada Ms. Konan aku akan kembali sebelum jam tiga." Menyambar tas selempang ungu pada pintu loker, Hinata berlari melewati pintu belakang untuk segera ke tempat penitipan anak.

.

.

Dan dugaan Hinata tidak meleset sama sekali. Ia melihat Boruto berdiam diri dengan bekal makan siang belum tersentuh sama sekali. Terkadang Hinata merasa menjadi ibu yang lalai, Boruto lebih banyak mengalah tanpa merengek, menghabiskan waktu dari pagi sampai petang tanpa bisa Hinata temani.

"Boru," Panggil Hinata halus. Mata biru terang anaknya sontok mencari sumber suara dan berubah senang ketika melihat mamanya telah datang. Langkah kaki kecilnya berlari tidak terlalu seimbang akibat banyaknya mainan berserakan di lantai.

"MAAA." Satu loncatan maka tubuh Hinata sudah menangkap putranya dalam gendongan. "Mama telat," Bibirnya manyun. "Boruto lapar namun ingin menunggu mama." Kepala dengan surai blonde itu bersembunyi di leher mamanya.

Sangat manja tapi Hinata menyukai hal manis itu dari Boruto. Putranya bisa menunjukkan sikap menggemaskan.

"Ah, Hinata kau akhirnya datang." Seorang wanita dewasa tersenyum melihat kedatangan Hinata. Dia pemilik tempat Daycare dimana Hinata menitipkan sang buah hati. "Aku sudah membujuknya untuk makan namun, see anakmu terlalu keras kepala menunggumu ke sini."

"Maaf membuatmu kerepotan Kurenai-san. Dia memang anak yang manja." Dua wanita itu saling tertawa meski Boruto sudah menjukkan wajah sebal. Bocah itu mengerti jika mamanya sedang menyindirnya.

"Setidaknya ia menyayangimu teramat besar Hinata. Ah, aku harus pamit dulu. Ada beberapa hal yang harus kukerjakan."

Mengangguk mengerti Hinata kembai mengucapkan terima kasih. "Nah sayang, katakan pada mama kenapa meski sering mogok makan namun tubuhmu semakin berat saja, hmm." Kecupan kecupan sayang diberikan Hinata hampir di seluruh wajah Boruto.

Bocah itu terkikik dan tertawa keras merasa geli. "Maa ayo makan. Lapar." Tangan kecil itu mengelus perutnya, bentuk penyampaian kepada Hinata bahwa ia benar-benar merasa lapar.

"Oke jagoan. Ayo kita makan bersama."

Kotak persegi Tupperware di buka oleh Boruto. Liurnya mulai menetes, bau harum masakan mama Hinata begitu menggoda. Dengan cekatan ia mulai mengambil sendok dan sebelum memasukan makanan ke mulut ia menutup mata untuk berdo'a. Boruto menangkap apa yang ibunya ajarkan.

Diusianya yang masih kanak-kanak, Boruto sudah bisa makan sendiri meski di lain waktu ia akan meminta Hinata untuk menyuapinya.

"Mama nggak makan?" Dua bola mata biru bergerak menatap Hinata polos. Ibu muda itu tertegun sesaat lalu terkekeh menyadari bahwa-

Tidak ada yang Boruto bawa dari dirinya selain bentuk kontur wajah. Anaknya begitu mirip dengan sang ayah biologis. "Tidak adil sama sekali." Tapi Hinata enggan mengungkapnya, apapun itu Boruto adalah miliknya.

Hinata menggeleng mencoba menekan perutnya. Lambungnya sedikit perih akibat jadwal makan tidak teratur. Sejak pagi ia belum sarapan sampai siang hari. Kemungkinan hanya akan mengisi perut dengan roti atau biskuit di malam hari, kadang pula hanya merebus mie instam –daripada tidak makan sama sekali.

Pekerjaan menjadi waiter di sebuah cafe kecil membuat Hinata harus berhemat membelanjakan uang. Segala kebutuhan menempatkan Boruto pada prioritas utama. Semisal ada lebih maka uang itu akan terpelinting rapi di dalam kotak laci sebagai tabungan jika sewaktu-waktu Boruto sakit.

Cukup melihat anaknya tidak kekurangan gizi maka Hinata akan mengabaikan berat tubuhnya yang semakin menurun.

"Mama sudah makan sayang. Dan semakin kenyang melihat Boru makan dengan lahap." Dia berkata jujur. Di kehidupan susahnya ini Boruto adalah satu-satunya hal yang begitu Hinata syukuri.

"Tentu dong maa. Jika Boru makan banyak nanti akan cepat besar dan akan melindungi mama. Mama tidak perlu lagi pulang malam karena Boruto akan memberikan banyak uang." Anak itu tertawa lebar memerlihatkan deretan gigi susu yang sudah tumbuh berjejer.

Anaknya begitu dewasa memahami hidup.

"Maa, aaaa. . ." Satu sendok isi nasi dan sosis bakar di dekatkan Boruto pada bibir Ibunya. Hinata hampir menangis haru namun ia tahan sebisa mungkin. Meski hidupnya penuh kekurangan namun setidaknya ia masih bisa melihat senyum putranya.

"Mama sayang Boruto." Tangan kurus wanita bermata bulan itu mengelus penuh kasih sayang pada puncak kepala malaikatnya. "Jika Boruto pergi maka Mama –akan mati." Pelukan Hinata mengerat. Dia bersumpah akan mencegah apapun yang membuat cahaya kecil hatinya hilang.

"Maaa." Teriak kesal anaknya. "Boruto selalu di samping mama. Aku sayang mama. Mama jangan nangis, nantinya nasinya jadi asin." Ia merengek kemudian balas memeluk tubuh ibunya menggunakan dua tangan mungil.

"Love you son."

Akhirnya setelah menghabiskan waktu 30 menit Boruto berhasil menghabiskan bekal makan siangnya. Hinata mengambilkannya minum lalu menyimpan kotak makan ke dalam kantong plastik untuk dicucinya di cafe. "Setelah ini kamu bisa main lagi sayang."

Raut muka Boruto nampak langsung muram, bocah itu malah menyenderkan kepalanya pada pangkuan Hinata. "Kapan Mama pulang? Boru ingin segera ke rumah."

"Memangnya kenapa, nak? Mama pulang seperti biasa, jam tujuh malam Mama akan menjemputmu pulang." Daycare tempat Boruto dititipkan sebenarnya hanya melayani sampai pukul lima sore, namun Kurenai tidak masalah sekiranya harus menjaga Boruto lebih lama.

Diam-diam Hinata melihat gelagat aneh yang disembunyikan putranya. Boruto menunjukkan rasa keengganan untuk ditinggal. Sangat tidak biasa sekali.

"Teman-teman nggak mau main sama Boruto, maa."

Hinata tersentak mendengarnya, sejak awal dititpkan Boruto terlihat begitu mudah akrab bersama teman-temannya.

"Ada anak baru yang dititipkan. Boru benci dia maa. Hanya memegang mainannya saja dia marah. Mengatakan aku harus memintanya pada papa, ta-tapi Boru kan nggak punya papa."

Napas Hinata tercekat, badanya sedikit gemetar imbas dari rasa kejut mendadak. Kenapa ada yang tega melukai buah hatinya.

"Dia mengejekku, lalu –lalu dia bilang sesuatu yang buruk mengenai mama." Dua iris biru samudera milik Boruto tak sengaja mengeluarkan air mata, isak tanginya perlahan terdengar membuat hati Hinata mencelos sakit.

Anak itu kesusahan menahan agar matanya tidak berair, menangis di depan mamanya. Sedangkan Hinata tahu bahwa uangnya belum cukup dipergunakan membeli satu mainan robot.

"Dia menyebut mama wanita tidak tahu malu. Boru lahir tanpa papa itu artinya Boru anak kotor. Hikss –Aku tidak mau berteman dengannya."

Boruto tidak ingin Hinata khawatir tapi itu terlambat ketika ia melihat mamanya merasakan sedih dari pantulan mata sendu yang berair. "Maa, mama kenapa menangis? Apa aku melakukan kesalahan? Maa, Boru akan menjadi anak baik. Boru akan memukul anak itu."

Cepat-cepat Hinata menghapus air matanya dan menggelengkan kepala. "Tidak sayang, mama tidak mengajarimu memukul ataupun berkelahi. Mama hanya ingin bilang meskipun Boruto tidak punya papa namun ada mama di sini, nak. Mama akan menutup telinga pada omongan itu begitupun juga Boruto. Cukup hanya ada kita berdua, sayang. Mama mencintaimu. Dan nanti akan mama belikan mainan robot untuk Boruto."

Mengelap ingus dan sisa air mata, Boruto nampak sangat senang dengan apa yang mamanya katakana. "Beneran ma? Sekalian gulali ya?"

Hinata mengacak rambut halus anak Boruto. Dia harus tetap mempertahankan senyum anaknya. "Janji sayang. Lalu kau juga harus berjanji pada mama." Hinata memberikan jari kelingkingnya, pinky swear yang langsung Boruto sambut antusias.

"Apa maa?"

"Berhenti memaksa paman Kiba untuk menuruti kemauanmu anak nakal. Kau akan gendut akibat kebanyakan menimbun gulali."

.

.

Lagi-lagi Hinata mengalami keterlambatan dari janji awalnya. Lewat ekor mata, Kiba memberitahunya jika Ms. Konan –pemilik cafe sedang menunggu di balik pintu ruangan manager.

"Aku sudah memberinya alasan, namun kau tahu sendiri bagaimana sifat bos kita." Kata Kiba menyampaikan permohonan maaf tersirat.

"Kau sudah membantuku selama ini, aku sudah banyak merepotkanmu."

"No, aku suka rela melakukannya."

Setelah itu Hinata secara sopan mengetuk pintu dan masuk ke ruangan. Bisa dilihat seorang wanita elegan berpakaian formal tengah menatapnya tajam. Ms. Konan memang memiliki pandangan tegas dan sifat intoleran terhadap standar operasional kerja.

"Sudah berkali-kali kau terlambat menjalankan shiftmu. Aku tahu kau punya anak Hinata, namun cobalah mengerti bahwa cafe ku juga butuh seorang pekerja. Gajimu bisa kupotong jika kau tidak kompeten."

Rambut bercat ungu dengan hiasan jepit bunga membuat Ms. Konan seperti wanita karir penuh dedikasi di mata Hinata. Tidak pernah pelit namun dia begitu menuntut kedisiplinan. Tipikal wanita karir yang Hinata kagumi.

"Maaf Ms, aku tidak akan mengulanginya lagi."

Konan menatap Hinata sesaat, ia menghela napas menyadari bahwa sifat naluri seorang ibu memang kental dalam diri pegawainya ini. "Jika kau merasa kesulitan, kau bisa membawa putramu ke sini. Bukan masalah dan kau tetap bisa melaksanakan tugasmu. Terimalah ini, bonus hasil lemburmu beberapa hari lalu. Belilah makanan bergizi agar anakmu tidak sedih melihat ibunya kurus kering begini."

Bagi Hinata, Ms. Konan sudah ia anggap lebih dari seorang bos. Sosok wanita yang tegas namun berkasih sayang adalah hal yang Hinata lihat dari Ms. Konan.

Dulu di saat ia bingung mencari pekerjaan dengan membawa beban janin umur tujuh bulan dalam perut, semua tokoh yang didatangi akan menolak dengan alasan mereka membutuhkan wanita single bukan seorang wanita berbadan dua.

Hanya Ms. Konan yang mau menerimanya bekerja meski beberapa bulan selanjutnya Hinata meminta cuti panjang sehabis melahirkan. Mungkin perkataan dari wanita yang besar di Amerika itu sedikit tajam dan kejam, namun bentuk perhatiannya pada setiap pekerja tidak perlu diragukan.

"Kembalilah bekerja, jangan lupa bahwa aku serius tentang anakmu yang memang seharusnya tidak berada jauh dari ibunya."

Hinata mengangguk lalu bergegas kembali bekerja. Menenteng sebuah lap guna membersihkan piring serta kain pel basah untuk mengepel lantai telah Hinata lakukan. Kini tinggal membuang trashback besar berisi timbunan sampah sebelum tubuhnya limbung akibat seseorang secara tak sengaja menabraknya dari arah depan.

Gaya grafitasi menarik Hinata jatuh mengakibatkan serakan sampah kotor bercecer di lantai. Dia meringis menyadari lututnya sempat menghantam marmer namun merasa sakit ketika mendengar kalimat berisi makian terhadapnya.

"Oh shitt! Bisakah matamu kau taruh di tempatnya." Umpatan itu membuat beberapa pasang mata melihat ke arah mereka.

Sial benar nasib pegawai rendah itu membuat masalah dengan orang berkuasa –itulah yang berada di benak para penonton.

"Ma-maaf tuan, aku tidak melihat anda." Buru-buru Hinata mengelurkan sapu tangan mencoba mengelap cipratan kotoran di sepatu pria itu. Namun sebuah hinaan kasar kembali Hinata terima.

"Jauhkan itu dariku, kau sudah membuat diriku merasa malu. Aku bisa membuat lidahmu membersihkan sampah di lantai."

Merasa harga dirinya tengah direndahkan, Hinata mendongak menatap nyalang pada sang pria. Tidak ada seorang pun yang bisa mengelurkan kata kotor seperti itu selain-

Uzumaki Naruto

Hinata membatu menyadari siapa pria di depannya. Sorot mata biru tajam serta surai blonde yang diwariskan pada anaknya sangat dihafal baik oleh Hinata.

Naruto adalah cetak biru sempurna bagi Boruto.

Orang ini masih sama dari terakhir yang Hinata lihat, selalu mengeluarkan aura kejam diiringi dominasi tak terkalahkan.

Dialah ayah biologis Boruto, pria yang Hinata harapkan kematiannya.

"Astaga lihat, siapa wanita jalang yang kutemui ini." Tangan kekar Naruto menyentuh dagu Hinata namun ditepis kuat oleh wanita yang sudah beberapa tahun menghilang dari hidupnya. Naruto mendesis marah dan ia merasa suatu keberuntungan bisa bertemu lagi dengan-

Mantan istrinya.

"Hyuuga Hinata masih hidup rupanya. Jadi, pria hidung belang mana yang sudah menawarimu tempat tinggal. Oh my, katakan apakah kau bertahan hidup dengan membuka pahamu lebar-lebar?"

Hampir saja Hinata akan menampar mulut rusak Naruto jika saja Ms. Konan tidak datang dan menanyai keributan macam apa yang sedang terjadi. "Maaf sir namun apa ada masalah dengan pegawai kami?" Konan mencoba menengahi apa yang terjadi. Sebagai seorang pembisnis Konan tentu mengenal siapa pria yang sedang ia hadapi.

Kedatangan seorang Uzumaki Naruto hanya akan memiiki dua tujuan, kerjasama dengan nominal milyaran atau kehancuran. Pria itu sedang di atas puncak keemasan sebagai seorang pengusaha. Konan melirik ke samping, matanya melihat keadaan Hinata yang jauh dari kata baik-baik saja.

"Ya tentu saja. Pegawaimu itu buta, melihat ada orang di depannya saja ia tak bisa. Lihat! Sampah yang dibawanya mengenaiku, seharusnya ia sadar bahwa dengan menjajakan tubuhnya pun tidak akan sanggup membersihkan noda apalagi mengganti sepatuku."

"Tuan!" Kiba datang menyusul dan langsung bersuara lantang memperingatkan. Tangannya terkepal tak ingin mendengar kalimat buruk yang dilontarkan pada Hinata. "Mulut anda tidak lebih bersih dari kotoran itu."

Determinasi Naruto kelewat kuat untuk dilawan, sosoknya bengis hampir meragukan memiliki sisi kebaikan. "Jadi dia priamu Hinata, sama sekali tidak terduga kau berakhir dengan pegawai rendahan."

"Kiba hentikan." Jika bukan perintah larangan Ms. Konan maka Kiba telah meninju Naruto sampai babak belur. Mau diperkarakan sampai jalur hukum pun kemarahan Kiba sudah sampai ubun-ubun

Ms. Konan memijat pelipisnya. Ia cukup merasakan ketegangan, mencekam dan sebentar lagi bakal terjadi baku hantam jika tidak segera dipisah. Ms. Konan menawarkan Naruto sebuah perbincangan di ruangannya. Pribadi dan professional.

"Jika tidak keberatan, silahkan anda masuk ke dalam ruangan saya. Aku yakin orang terpelajar seperti anda tidak akan datang jauh-jauh ke sini dengan tujuan menghina pegawaiku."

"Dan –Hinata, bisakah kau membereskan semua ini?" Tanya Ms. Konan yang dijawab anggukan oleh Hinata.

Naruto masih menatap tajam pada Hinata meski wanita itu berusaha mengabaikannya. Ia mendecih ketika melihat bagaimana pemuda yang disebut Kiba tadi bersikap terlampau akrab mencoba menawari Hinata bantuan.

Hinata seharusnya mampu menolaknya.

.

.

"Uzumaki Naruto, seorang pengusaha mapan di usia muda. Kenapa anda datang ke tempat terpencil seperti ini?" Konan merasa bahwa Naruto sedang salah tempat. Dirinya tahu bagaimana seorang Naruto bermain di dunia bisnis. Pintar dan sedikit licik. Bukankah itu kombinasi mengerikan?

"Aku sedang membangun sebuah hotel baru, kulihat bahwa ada cafe menarik yang mungkin bisa kuajak kerja sama."

"Lantas?"

Seperti yang Naruto duga bahwa wanita pemilik cafe ini memang cerdik. "Aku akan memberimu beberapa saham di perusahaan dan uang pembuka jika kau mau menjual tanah beserta cafemu." Satu cek siap diisi berapapun nominal angka sudah Naruto siapkan.

Konan tak bergeming, wanita dengan pengalaman matang dalam dunia bisnis tentu paham akan maksud Naruto. "Maaf tapi aku tidak berniat menjual cafeku, ini adalah tempatku dan bukan milikmu."

"Ms. Konan terlalu cepat mengambil keputusan. Waktu berpikir anda masih lama."

Tidak ada rasa takut, Konan sangat tenang dalam menghadapi baik sebuah tantangan atau desakan. "Kau sudah mendapatkan jawabanku, Uzumaki-san."

Namun Naruto juga tak mau menyerah. Pembangunan hotel sudah hampir selesai, tinggal menggusur cafe ini maka sebuah hotel bintang tujuh akan berdiri megah di Sapporo. "Pikirkan baik-baik, bahkan dengan uang yang kuberikan anda mampu membangun cafe yang lebih besar di pusat ko –"

"Tidak, itu sudah menjadi jawaban pertama dan terakhirku. Kuharap anda mau mengerti, memaksapun hasilnya tetap sama saja. Aku menolak menjual cafeku." Putus Konan tanpa keraguan.

Naruto tak lagi berbasa-basi, ia memahami maksud dari kalimat yang Ms. Konan katakan. Dia punya dedikasi yang begitu tinggi, tidak heran meski berada di tempat jauh dari keramaian metropolitan cafe ini mampu meroket terkenal.

"Dan, apa anda punya suatu hubungan dengan pekerja saya? Sepertinya anda mengenal Hinata."

Sedikit, Naruto merasa sengaja dibidik. Bukan dalam artian tersudut melainkan dipancing melalui verbal. Melempar umpan dengan menyebut nama terlarang bagi Naruto. Sesosok wanita berambut biru gelap serta mata ungu pucat berhasil menyulut kobaran kebenciannya. "Itu bukan urusan anda."

"Kau benar, nak. Namun aku seolah mengenal dirimu yang lain."

Kening Naruto mengerut hampir menyatukan dua alis datar –tak mengerti. "Ah, mungkin aku salah berkata. Mungkin ada sebuah kesalahan yang membuatmu nampak seperti duplikat dari anak Hinata."

Anak? Anak Hinata? Hinata sudah menikah lagi?

Oh itu sebuah kabar buruk, Naruto mengasihani pria yang mau menikahi seorang murahan. Hinata pantas menderita, bukan dibahagiakan. Tapi jantungnya berdegup kencang seolah mengatakan hal ini menyakitkan.

Dalam lima tahun selepas perceraiannya baru kali ini Naruto merasakan perasaan dikalahkan. Apa ini? Ia memegang dadanya sendiri. Memori malam itu kembali merasukinya, sebuah kehancuran rumah tangga yang betu-betul ingin Naruto hanguskan.

Dirinya akan memastikan hidup Hinata tidak akan lebih baik lagi.

"Dia bocah lelaki yang lucu, sangat mirip dengan anda. Apa anda ayahnya, sir? Itu tidak mungkin bukan, Hinata mengatakan suaminya sudah lama meninggal."

Mata Konan menerawang jauh. Sewaktu awal bertemu, Hinata datang saat memasuki musim gugur, merantau mencari uang. Tidak ada dokumen penunjang guna melamar pekerjaan, ia hanya menunjukkan kartu penduduk berstatus istri tanpa suami. Entah dicerai atau ditinggal mati, Hinata bungkam menolak berterus terang.

Ketika ditanya adakah sanak saudara, Hinata menunduk mengatakan ayahnya baru saja meninggal.

Dia sendiri tanpa sanak saudara.

Hinata terlalu muda mengecap asamnya dunia, Konan tidak sampai hati membiarkannya menjadi gelandangan apalagi melihat perutnya membuncit. Bahkan sejak awal, sebenarnya Konan telah menganggap Hinata sebagai anak sendiri mengingat dia memiliki ciri fisik menyerupai mendiang putrinya.

Dan Konan cukup terkejut ketika melihat sosok anak yang dilahirkan oleh Hinata. Tidak ada yang tidak mengenali ciri fenotip berambut kuning serta bermata biru selain dari keturunan langsung Uzumaki. Gennya diberebutkan sebagai pewaris kekayaan.

Sebuah marga kenamaan di Jepang.

Konan tahu Hinata punya rahasia besar, dijaga dan disembunyikan sebaik mungkin. Namun Konan akan tetap mendukungnya secara diam-diam, memberikan tempat jika kelak Hinata mau mengatakan sebuah kebenaran yang sudah Konan duga.

Tangan Naruto terkepal. Giginya bergemelatuk ingin meremukkan apapun. Keparat sialan, perasaan aneh ini kembali lagi menelikung akalnya. Ia tidak menyangkah di tempat ini dirinya baka bertemu dengan Hinata.

Apa-apaan pula dengan perkataan Ms. Konan barusan.

Seorang anak? Naruto kembali dibuat kepikiran. Yang dia ingat adalah bayi yang dikandung Hinata merupakan keturunan haram. Bukan dari benihnya melainkan dari orang lain. Naruto cukup yakin, dirinya melihat sendiri bagaimana mantan istrinya dulu menggandeng lelaki asing masuk ke sebuah bilik kamar tempat hiburan.

Tubuh Naruto tiba-tiba bangkit. Ia sudah banyak membuang waktu di sini. "Saya permisi kalau begitu. Mungkin ini terdengar lancang, namun sebelum terlambat ada baiknya anda memecat Hinata secepat mungkin. Dia adalah jalang murahan dengan kedok wanita baik-baik."

"Jangan mengkhawatirkanku. Entah jalang atau bukan, di mataku Hinata adalah seorang ibu penuh kasih sayang." Ms. Konan tersenyum menyindir.

.

.

"Kau mengenal laki-laki brengsek itu?" Keluh menyebut nama pria yang dimaksud, Kiba merasa pantas memanggilnya si brengsek. "Dia arogan dan kurang ajar." Kiba tahu Hinata berusaha menulikan pendengarannya. "Dia nampak seperti–"

Secara cepat Hinata memotong kalimat temannya. "Hentikan Kiba, dia bukan ayah Boruto. Boruto milikiku dan itu sudah cukup." Final Hinata sebelum kembali ke belakang untuk membersihkan pakainnya sendiri.

Kenapa pria itu bisa ke sini?

Ini begitu gawat. Hinata tidak pernah memikirkan perasaan semenakutkan seperti ini. Jantungnya berdetak kehilangan kendali, Naruto sosok keji yang tak segan-segan menghancurkannya. Lelaki bermarga Uzumaki itu membawa mimpi buruk bagi Hinata.

Memangnya apa yang begitu Naruto inginkan darinya? Tidak cukupkah pria itu menghancurkan hidupnya, bahkan Hinata meyakini bahwa ia sudah tidak memiliki hal beharga selain putranya. Maka, apapun yang terjadi Naruto tidak boleh tahu bahwa ia telah menjadi seorang ayah sejak lima tahun silam.

Tidak seorang pun yang bisa merebut Boruto dari sisinya.

"Kau yakin itu anakku? Sudah berapa banyak lelaki yang kau goda dengan wajah sok baikmu itu. Kuakui tubuhmu memang nikmat, namun sayangnya kau lebih rendah dari pelacur yang melemparkan diri mereka dalam bisnis prostitusi."

"Atau sebenarnya kau meniduri mereka semua secara random lalu kau bersandiwara dengan mengatakan itu anakku?"

"Maka jawabanku adalah enyahlah dari sini. Bawa aib itu bersamamu, kalau perlu lebih baik ia mati daripada menjadi benalu. Kau bukan istriku lagi dan makhluk yang berada di perutmu adalah kesialan yang ingin aku musnahkan."

Perut Hinata terasa mual ketika mengingat semua perkataan buruk Naruto. Hatinya dihujani ribuan makian dan umpatan, bayinya diragukan asal-usulnya. Bahkan dulu ia hampir terjatuh ketika dengan sengaja Naruto mendorongnya keras. Menunjukkan bahwa pria itu ingin membunuh mereka –Hinata beserta anak dalam kandungannya.

Sejak saat itu lah Hinata merasakan apa itu benci dan mendendam. Hatinya terbakar rasa sakit serta luka oleh seorang pria macam Naruto.

Hidupnya dihancurkan dalam waktu satu malam. Pengusiran disertai penghianatan sudah cukup bagi Hinata menemukan alasan untuk membenci Naruto. Perkataan maupun perbuatan Naruto di masa lalu tidak akan bisa dihapus meski banyak waktu berlalu.

Jika dulu ia lemah sekadar menjaga kehormatannya, maka kali ini ia tidak keberatan melawan –berkonfrontasi secara langsung dengan mantan suami untuk melindungi sumber kekuatannya –Boruto. Mungkin dari segi keuangan Hinata memang jauh dari kata 'mampu' tapi satu hal yang membuat Hinata merasa akan menang, karena dia memiliki Boruto.

Meski pun suatu saat kebenaran akan jati diri Boruto terungkap, Hinata tidak akan membiarkan Naruto menyentuh Boruto sehelai rambut pun.

Tidak! Sejak Tuhan menitipkan embrio janin dalam rahimnya, Boruto adalah miliknya seorang.

Dialah yang membawa Boruto dari janin sampai sekarang di saat papa kandung dari Boruto sendiri menolak dan justru mendoakan kematian anaknya.

Jika Boruto pergi maka Hinata akan mati.

Naruto tidak berhak mengatasnamakan seorang ayah setelah dirinya sendiri mengatakan ingin membunuh darah dagingnya. Seorang Naruto sudah menghapuskan haknya sendiri untuk mengenal Boruto.

.

.

Pukul tujuh malam adalah batas Hinata untuk bekerja. Ia tidak ingin mengambil shift malam meski akan menerima bonus besar, tidak jika yang dikorbankan adalah kebersamaan waktu bersama Boruto.

Dia tidak ingin putranya kekurangan kasih sayang meski sejak lahir tidak mengenal sosok sang ayah.

"Ma, Boru ingin roti itu." Sejak menjemput Boruto dari daycare anaknya ini berubah menjadi begitu manja. Setiap tokoh yang dilewati akan dia tunjuk sesuka hati, bukannya ingin dibelikan namun Boruto ingin mamanya berbicara seperti sebelumnya.

Wajah Hinata pucat nyaris bewarna putih mayat, Boruto takut mamanya sedang sakit atau terkena masalah. Seolah pundak sang mama membawa setumpuk beban yang tak mau dibagi. Boruto tidak tahu kenapa namun mamanya berubah pendiam, tidak melontarkan candaan di sepanjang perjalanan pulang.

"Mama, aku ingin roti itu." Tangannya menarik ujung baju Hinata.

Barulah Hinata menoleh ke Boruto ketika dia melihat keseriusan Boruto mengatakan ingin roti di salah satu tokoh.

Mencoba tersenyum Hinata mengangguk dan menggandeng tangan kecil anaknya ke sana. "Baiklah jagoan, kau mendapatkannya malam ini." Boruto berteriak girang, setidaknya Hinata tidak lagi mengabaikan dirinya.

Tanpa disadari oleh Hinata, sebuah mobil hitam membuntutinya dari arah belakang. Sosok lelaki bermata biru itu menatap punggung mantan istrinya dan satu lagi punggung milik bocah kecil yang Naruto tidak tahu bagaimana rupanya.

Topi beruang itu menghalangi Naruto untuk lebih jelas melihat, tapi tentu ia bisa mengintip surai blonde rambutnya. Tingkahnya kekanakan, sampai membuat Naruto tergerak ingin mendekati bocah itu.

Anak kecil entah siapapun namanya itu sudah mencuri attensi dari orang berhati kaku seperti Naruto.

Tidak mau membuang waktu, Naruto lantas mengambil ponselnya dan mendial nama seseorang. "Kakashi, selidiki apapun mengenai Hyuuga Hinata. Aku ingin berkasnya besok sudah ada di mejaku." Langsung mematikan sambungan, Naruto kembali mengikuti Hinata. kali ini dia memutuskan memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, mencoba mendekat dengan ikut masuk ke dalam toko roti meski dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

"Aku ingin roti panggang selai vanilla dan keju maa, tanpa coklat."

Pelayan yang melihatnya tersenyum maklum. Anak kecil memang menggemaskan jika menginginkan sesuatu.

Hinata mencubit gemas pipi gembil Boruto. Anaknya sedang menyombongkan diri mengenai memilih makanan. "Lihat, kenapa kau tidak suka coklat lagi."

"Aku sudah besar maa. Namun tak masalahkan jika diberi sedikit toping coklat."

Naruto mengamati interaksi mereka dalam diam. Satu kesempatan kecil diperolehnya agar bisa melihat wajah anak itu meski terlihat dari samping.

Rambutnya memang benar kuning mentereng, bibirnya penuh ditambah volume pipi membulat lucu, kulit putih serta bentuk buat wajah Naruto yakini menyerupai Hinata. Tapi ketika direksinya teralih pada mata sang bocah, Naruto tak mampu bersuara.

Mata anak itu memancarkan biru terang seperti apa yang ayah Minato turukan padanya.

Itu tidak mungkin.

Anak itu bukan anaknya kan? Lagi-lagi Naruto merasa sesak. Bila memang benar-benar dia telah menjadi seorang ayah maka dia tidak akan melepaskan Hinata begitu saja.

Wanita itu punya urusan serius yang akan ia sesali jika menyembunyikan sebuah kebenaran.

"Mama, Boru ingin pipis."

"Mama antar ya."

"No, mama. Boruto sudah besar. Mama tunggu aku di meja saja."

"Issh, jangan cepat dewasa sayang. Mama masih kuat untuk menggendongmu." Hinata masih melihat Boruto berjalan ke arah toilet. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa sosok pria masa lalunya mengintai tanpa melepas pandangan dari sosok kecil tersebut.

.

Naruto sebenarnya tidak benar-benar dalam keadaan harus masuk ke toilet. Ia menunggu cukup lama sebelum sebuah pintu bilik terbuka dan anak kecil bertopi beruang sedang berusaha untuk memencet kran air.

Tubuhnya masih terlalu pendek untuk meraih kran.

"Butuh bantuan, nak?"

Boruto menolehkan kepala pada sosok asing di sampingnya. Matanya berkedip lucu melihat siapa yang menawarinya bantuan.

Dua mata serupa saling bertemu, Naruto merasakan darahnya berdesir membawa banyak partikel oksigen hingga sesaat ia lupa cara bernapas. Membiarkan dirinya terjatuh mengagumi bola mata biru serupa miliknya. Entah benar turunan atau imitasi hasil kloningan, Naruto seperti melihat masa kecilnya.

Naruto belum tahu ikatan apa diantara mereka, tapi pria berwajah barat ini justru mendekatkan diri. "Paman bisa mengangkat tubuhmu."

"Ah –" Boruto nampak malu dan merasa tidak sopan karena terus memandangi orang asing itu lamat-lamat. Sedikit ragu menerimanya, Boruto lantas berkata malu-malu. "Tapi, kata mama badanku berat. Paman yakin bisa kuat?"

Naruto tertawa begitu lepas. Dia bisa menjadi orang lain di depan bocah kecil ini, secara reflek tangannya mengelus helai kuning milik Boruto. Lembut dan halus meski bergelombang, sama persis dengan tekstur rambut Hinata –Naruto takkan lupa ciri Hinata meski sudah lama berpisah.

"Kau meragukan paman? Sini, biarkan paman menggendongmu."

Tubuh Boruto terangkat hingga tangannya dengan mudah menekan kran dan mencuci sela-sela jarinya menggunakan sabun cair. "Sudah paman, terima kasih." Lagi-lagi Naruto dibuat tersenyum melihat tingkah lucu yang ditunjukkan Boruto. Dia masih sangat muda namun sikapnya begitu tertata.

"Siapa namamu?"

"Boruto."

"Nama lengkap."

"Hyuuga Boruto."

Naruto terdiam beberapa saat. Dia memandang lekat Boruto tidak ingin melewatkan secuilpun apa yang bisa dirinya lihat. Semua yang ada dalam diri Boruto mengundang ketertarikan. Anak ini jika dipandang sekilas akan nampak seperti replika dirinya, tapi jika diamati baik-baik maka sosok Hinatalah yang terlihat.

Antara marah dan senang, Naruto terbiasa menutupinya. Gemetar, Naruto mencoba mengelus pipi sang anak. Dia bukan tipe lelaki yang lembut namun hatinya melunak pada Boruto. Ada ikatan, sebuah tali pertautan yang tidak bisa diputuskan.

Meski tanpa bukti nyata, dalam hati Naruto berucap

Anakku

Jadi, bisakah ia sesegera mungkin membawa anaknya dari sini? Hinata teralu miskin untuk bisa menghidupi Boruto.

.

.

.

.

.

TBC

Mungkin sebagian besar reader sudah sering membaca thema seperti ini. Namun, apa boleh dikata, saya emang lagi berhasrat ingin membuat cerita thema perebutan hak asuh anak. Mungkin juga tidak ada hal penting yang bisa dipetik dari cerita ini, namun saya hanya ingin menyampaikan bahwa seburuk apapun keadaan orang tua, mereka selalu menyayangi anaknya.

Terima kasih untuk reader yang mengkoreksi umur Boruto. Fanfic ini memang tanpa adanya riset sehingga memiliki peluang cacat penyampaian hehe, dan sudah saya perbaiki umurnya menjadi usia lima tahun.

Jangan Tanya kapan update karena saya sendiri ragu jika bisa update kilat. Kalau Tanya ini fanfic jenis oneshoot atau multichapter saya pun juga masih mikir-mikir. Takutnya kalau dibuat panjang gg bakal kelar -,- tapi dipendekin kok ya nanggung.

Dan jika ingin memanggil saya, panggil aja atha, kak atha, dek atha, asal jangan MAS #serius meski saya gg keberatan dipanggil 'thor,author' namun nama tetaplah suatu panggilan penanda seseorang eahhhh.

Satu lagi, untuk yang memberikan kritik/saran/flame, saya harap anda berkenan untuk login atau setidaknya mencantumkan 'nama'. Itu mempermudah saya untuk memberikan klarifikasi/tanggapan, kalau cuma ninggalin protes namun malah kabur kan konyol. #minta disayang kali ya.

Thanks buat yang bilang tulisan saya kayak bocah SMP #saya emang masih muda kok ^^ Saya juga masih belajar nulis bahasa baku, namun bukan berarti semua cerita kudu pakek aturan format penulisan ilmiah.

Contohnya, saya ambil dari percakapan Boruto. Terdapat kata-kata 'nggak' sebagai pengganti kata 'tidak'. Sebenarnya cukup dilemma juga, namun saya memutuskan menggunakan kata 'nggak' sebagai interaksi yang sesuai untuk diucapkan anak kecil. Child can so cute whatever they say *o*